Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling
tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 2006).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik (Muscari, 2011).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2016).
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh
kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut
ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari
kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada
saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

 
C. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan
cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi.
Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin (Dongoes, 2009).
D. Klasifikasi Kejang
1. Berdasarkan penyebabnya
a. epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana,yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal
Dengan gejala motorik:
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian
tubuh saja
- Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo):
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil):
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti
melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan,
raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu,
memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
- Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun
sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik).
- Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
- Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
- Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum (Wong,
2015).
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,
muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas,
tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini
berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang,
kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-
kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
E. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran
atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi,
bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
10.Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara
tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke
segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya
menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata
berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat.
Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut
dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara
spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal
Muttaqien (2017) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh
adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan
biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak.
Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik,
benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam
akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan
oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang
nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh
berbagai faktor (Wong, 2015).
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic
resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
a. mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
b. menilai fungsi hati dan ginjal
c. menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
d. Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
G. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
1. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari
epilepsi
2. Melakukan terapi simtomatik
3. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
a. Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
b. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
c.Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika
penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia,
hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut
menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah
serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin
(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik.
Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut
di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya
epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan
sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang-melayang, tidak fokus
pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di
telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti
melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung
beristirahat atau tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi,
yakinkan bahwa jalan napas paten.
c. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini
bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang
penderita epilepsi. 
2. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau
kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau
cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada
usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan
obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup
merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Yulianni, 2011).
3. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita
akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan
jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan
ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih
dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap.
Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak
memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada
kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini
bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama
pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine,
fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat
digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti
epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas
tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek
samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan
dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua
sebagai add on (Yulianni, 2011).
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang
terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca
ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na. Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik,
sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan
GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor
Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang
potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya.
Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya
letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan
karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur
oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal
saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat
GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim
pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase, dan menghambat letupan
frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron
thalamus.
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat
saluran Na  peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na  peka voltase.
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari
GABA.
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-
nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat
akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin,
fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan
osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat
menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur
Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat
dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
4. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum
obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-
70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun
serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun
atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek (Supartini, 2014).
 
1. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke
otak
2. Intervensi dan rasional
1.Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan
dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman
untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:  
-Observasi tanda-tanda vital -Mengidentifikasi perkembangan atau
-Identifikasi factor lingkungan yangpenyimpangan
memungkinkan resiko terjadinya cidera -Brang-barang disekitar pasien dapat
membahayakan saat terjadi kejang
Nursing: - Mengurangi terjadinya cedera seperti
-Jauhkan benda-benda yang dapat akibat aktivitas kejang yang tidak
mengakibatkan terjadinya cidera pada terkontrol
pasien saat terjadi kejang -Penjagaan untuk keamanan, untuk
-Pasang penghalang tempat tidur pasien mencegah cidera atau jatuh.
-Letakkan pasien ditempat yang rendah -Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cidera pada pasien
Edukasi:  -Sebagai informasi pada perawat untuk
 -Anjurkan keluarga pasien untuk segera melakukan tindakan sebelum
memberi tahu jika merasa ada sesuatu terjadinya kejang berkelanjutan.
yang tidak nyaman atau mengalami -Melibatkan keluarga untuk mengurangi
sesuatu yang tidak bisa sebagai resiko cidera
permulaan terjadinya kejang.
-Berikan informasi pada keluarga
tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang
Kolaborasi: Mengurangi aktivitas kejang yang
-Berikan obat anti kovulsan sesuai berkepanjangan, yang dapat mengurangi
advice dokter suplai oksigen ke otak

2.Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan


lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi Rasional
Observasi:  
-Monitor pola nafas -menurunkan resiko aspirasi atau
-Monitor bunyi nafas tambahan  masuknya sesuatu benda asing ke faring.

Edukasi:
-Edukasi tentang penanganan kejang dan -Melibatkan keluarga untuk mengurangi
posisi yang benar saat anak kejang resiko cidera
Kolaborasi:
-Kolaborasi dalam pemberian oksigen -Membantu memenuhi kebutuhan
sesuai program terapi oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral sebagai
akibat dari sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.

3. Resiko penurunan perfusi serebral b.d suplai oksigen ke otak


Tujuan : tidak terjadi penurunan perfusi serebral
Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat

Intervensi Rasional
Observasi:  
-Observasi tanda-tanda vital -Mengidentifikasi perkembangan atau
-Timbang berat badan penyimpangan
-Kaji intake masukan dan keluaran -Mengetahui adanya kenaikan/penurunan
berat badan
-Mengidentifikasi intake dan output

Nursing:  
-Pemberian obat  -Mengurangi aktivitas kejang yang
-Pemberian obat intravena berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:  
-Edukasi program pengobatan dan -Melibatkan keluarga dalam penanganan
pencegahan penyakitnya dan pengobatan dalam pencegahan
penyakitnya
Kolaborasi:
-Kolaborasi dalam pemberian obat -Pemberian obat dan dosis yang tepat
sesuai recipe dokter
4.
 

3. Evaluasi
a. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
b. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
c. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien
tidak menarik diri (minder)
d. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
e. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas
sehari- hari secara normal
f. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan
dengan normal
g. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
h. Status kesadaran pasien membaik
 
DAFTAR PUSTAKA
Arif.(2016). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Dongoes M. E. et all. (2009). Nursing Care Plans, Guidelines for Planning

Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.

Jastremski. (2006). Tumbuh kembang dan Terapi Bermain pada Anak. Jakarta:

Salemba Medika.

Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach,

Fourt Ed, Philadelpia London.

Muscari.(2011). Pedoman Nasional Tumbuh Kembang Anak .Jakarta : Gramedia.

Supartini. (2014). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi

VI, EGC, Jakarta Indonesia.

Tarwoto.(2007). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan

Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta.

Wong, E. (2015). Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second

Ed, St Louis, New York.

Yulianni. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.

Zaenal Muttaqien.(2017). Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai