Anda di halaman 1dari 5

Kumpulan novel remaja

Ayah, Mengapa aku berbeda? bagian 3


Aku Berbeda

Aku mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa aku berbeda dengan
orang-orang yang ada di sampingku. Semuanya mulai kupahami, saat aku sadar bahwa aku tidaklah
sama dengan anak-anak lain yang kulihat. Ketika berjalan bersama  Nenek di halaman rumahku,
mereka dapat berbicara dengan mulutnya dan mendengar apa yang sulit kupahami. Aku tidak
mengerti apa itu yang disebut dengan pendengaran.  Alat indra yang satu ini tidak pernah ada dalam
hidupku. Bahkan aku tak bisa mendengar suaraku sendiri.
Aku memiliki telinga dan fisikku tumbuh dengan baik saat berusia lima tahun, tapi itu hanya tampak
dari luar.  Sesungguhnya aku tidak pernah bisa mendengar apapun selain suara hatiku sendiri.  Ayah
yang  dari sejak awal menyadari aku cacat, tidak pernah mau mengatakan kalau aku adalah seorang
gadis cacat. Ia dan Nenek memperlakukanku selayaknya  gadis  normal sejak dua tahun sebelumnya,
setelah mendapatkan informasi dari Dokter Intan tentang pelatih tunarungu.
Ayah langsung menghubungi pelatih itu yang  notabene seorang ibu yang tampak sudah tua.  Ia
datang setiap hari  ke rumahku   untuk memberikan pelajaran kepada  Ayah dan  Nenek tentang
bagaimana  cara berkomunikasi  denganku. Ayah dengan  giat belajar pada ibu baik hati yang
kupanggil Bibi Anggun itu. Yang aku tahu, ia memiliki seorang anak yang juga tunarungu. Jadi,  ia
memiliki perasaan senasib dengan orang tua yang juga memiliki seorang anak tunarungu Baginya,
menjadi pelatih orang tua tunarungu adalah cara  untuk berbakti sosial.
Setiap hari setelah pulang kerja, Ayah belajar pada Bibi Anggun. Nenek juga ikut serta, sedangkan
aku malah asyik bermain boneka tanpa menyadari bahwa kelak akupun akan mempelajari bahasa
tangan dari Ayah. Ia dengan cepat mengerti sedikit demi sedikit hal-hal yang harus ia ajarkan
padaku. Ia tidak mengajarkan aku secara keras, tapi ia menggunakan sedikit permainan. Misalnya,
apabila ia ingin mengatakan padaku bahwa ini adalah seekor kelinci, ia akan menunjukkan dengan
tangannya lalu memperagakannya padaku.
Aku yang saat itu masih kecil mengikuti saja apa yang Ayah ajarkan walau itu sulit. Terkadang aku
malah asyik bersama bonekaku, namun akhirnya lama-kelamaan aku terbiasa untuk mengerti
maksud Ayah. Aku mulai mengerti bagaimana caranya untuk meminta minum pada Nenek, ingin
bermain atau bahkan ke toilet agar tidak buang air kecil di celanaku.  Dua tahun adalah masa-masa
yang sangat sulit bagi Ayah, karena ia menghabiskan banyak waktunya  untukku dengan setulus hati
dan tanpa lelah.
Setelah umurku cukup, Ayah menyekolahkanku di Sekolah Luar Biasa dimana aku merasa sangat
nyaman dan bertemu orang-orang yang sama denganku. Aku memiliki banyak teman sepermainan
yang mengerti apa yang hendak aku katakan lewat bahasa tanganku. Di sekolah ini,  setiap harinya
aku menghabiskan waktu selama lima jam dari pagi hingga siang hari sampai Nenek
menjemputkupulang. Sedangkan pada pagi hari Ayahlah yang bertugas mengantarkanku sebelum
akhirnya melanjutkan pergi ke kantornya.
Aku memiliki banyak guru yang baik hati dan sabar untuk mengajari kami anak-anak tunarungu,
dengan sepenuh hati. Sahabat-sahabat kecilku saat itu semuanya sangat baik. Ada Lina yang
umurnya setahun lebih tua dariku atau Andri yang  sudah berumur sepuluh  tahun tapi masih perlu
belajar banyak bahasa isyarat tangan. Rasanya, aku selalu ingin bersama teman-temanku ketika
pulang dari sekolah. Namun kini, duniaku sudah berubah. Aku tidak punya teman untuk berbagi
cerita selain Nenek yang terkadang sibuk dengan pesanan tetangga-tetangga yang menyukai rotinya.
Pernah suatu ketika, aku mencoba untuk keluar dari rumahku seorang diri  saat  Nenek sedang asyik
membuat roti dan pintu terbuka lebar. Aku selalu mengingat jalan menuju sekolahku dan berpikir
untuk sekali-sekali berjalan ke sekitar taman komplek. Di sana banyak mainan yang disediakan untuk
anak-anak. Ada sekolam pasir, ayunan dan kincir angin kecil yang sesungguhnya membuatku begitu
ingin mencobanya.
Saat aku tiba di taman, ada sekumpulan anak yang sedang bermain dan perawat yang menjaga tak
jauh dari mereka. Aku mendekat dan langsung mencoba ayunan yang kosong. Namun tanpa aku
sadari, ada seorang anak laki-laki menunggu giliran dan melihat ke arahku.  Ia terus berteriak padaku
namun aku hanya terus mengayun tanpa henti. Karena kesal, ia pun menahan tali pengikat ayunan
dan aku agak terkejut sambil memperhatikannya.
Dia berteriak padaku.
“Gantian dong, ini kan mainan bersama!”
Aku tidak mengerti apa yang ia katakana, jadi kuteruskan bermain. Kemudian ia menangis  karena
merasa aku terlalu egois sehingga anak-anak lain pun berkumpul.  Semua melihatku  dengan tatapan
aneh dan aku merasa seperti seekor harimau  di atas panggung sirkus. Aku berhenti dan
memperhatikan mereka. Semua saling bicara satu sama lain, sedangkan aku hanya bisa terdiam
seperti merasa ada sebuah penolakan padaku.
“Ini kan anak cacat yang tinggal di samping komplek,” kata seorang anak perempuan yang tinggal tak
jauh dari rumahku.
“O… jadi dia cacat. Sudah cacat jahat lagi tidak mau gentian main, kasihan Hendra nangis gara-gara
anak cacat ini, kita laporin suster yuk!” ujar salah satu anak laki-laki lain. Aku baru menyadari bahwa
anak yang menangis itu bernama Hendra.
Perawat yang mereka sebut suster itu mendekatiku.  Aku menjadi ketakutan. Semua berteriak
bahwa aku jahat seolah aku ini maling. Walau aku tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi
tatapan mereka terlihat seperti  tidak menyukaiku,. Akhirnya aku pun berjalan meninggalkan tempat
itu sebelum perawat itu datang padaku. Mereka terus berteriak menghinaku tapi perawat mereka
justru hanya terdiam.
“Anak cacat jangan kembali, anak cacat jangan kembali,” teriak mereka berulang-ulang.
Aku menoleh ke belakang  dan pada saat itu juga hatiku pun sedih. Andai saja aku mengerti apa yang
mereka katakan, pasti aku akan lebih sedih lagi. Aku pulang dan melihat  Nenek begitu cemas
menungguiku. Ia menarik tanganku masuk ke rumah dan bertanya padaku lewat bahasa tangan.
“Kamu darimana Angel? Nenek cemas mencari – cari kamu!”
“Nenek, mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang anak-anak lain bicarakan? Kenapa mereka
mengusirku dan menunjukkan wajah yang tidak baik padaku?”
“Anak-anak mana?”
“Anak-anak di taman komplek,” ujarku sedih.
“Jadi kamu habis dari sana? Untuk apa?”
“Aku hanya ingin bermain ayunan, tapi mereka tidak suka padaku.”
Nenek lalu menarik tanganku dan membawaku ke taman tempat tadi aku bermain, kemudian 
Nenek berteriak pada anak-anak itu.
“Siapa yang melarang cucuku bermain di taman ini?”
Semua terdiam dan berhenti bermain mendengar suara Nenek yang cukup terlihat marah dari
wajahnya. Seorang perawat mendekati Nenek dan mencoba menjelaskan,
“Kenapa Nek?”
“Siapa yang melarang cucuku untuk bermain disini?”
Akhirnya suster itu menjelaskan sesuatu kepada  Nenek,  sedangkan anak-anak lain tampak
ketakutan  bahkan sebagian pergi meninggalkan taman.  Aku melihat mereka pergi dan langsung
mendekati ayunan. Saat itu aku langsung duduk dan mengayun diriku sendiri. Nenek sepertinya
mulai menyadari persoalannya dan terlihat lebih tenang dari sebelumnya setelah perawat itu
menjelaskan beberapa hal. Setelah perawat itu pergi,  Nenek mendekatiku. Ia terlihat begitu
murung, perlahan ia membantuku untuk mendorong ayunan.
Aku tersenyum padanya dan berkata untuk lebih cepat. Nenek dengan senang hati melakukan apa
yang aku inginkan. Aku tertawa  kegirangan karena akhirnya bisa menikmati ayunan yang semakin
kencang dan merasakan angin menyentuh tubuhku dan membuat rambutku berterbangan. Nenek
berhenti mengayun dan melepas kacamatanya, air matanya terjatuh dan ia  hapus dengan perlahan.
Saat ayunan berhenti,  aku menoleh ke arah  Nenek di belakangku. Karena aku melihat Nenek
menangis, maka  kuhentikan ayunan dan mendekatinya.
“Kenapa Nenek menangis?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Sudah puas mainnya?”
“Sudah. Ayah kapan pulang?” tanyaku lagi.
Nenek menundukkan badannya lalu mengatakan sesuatu padaku,
“Angel, lain kali kalau kamu ingin bermain ke mana pun, ajaklah Nenek. Nenek akan dengan senang
hati menemani kamu.”
“Iya.”
Aku yang masih kecil itu belum menyadari mengapa Nenek berkata demikian. Karena sesungguhnya
Nenek hanya bersedih di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa cucunya yang tunarungu, memiliki dunia
yang berbeda dengan anak-anak lain yang melihatku dengan aneh. Ia cemas melihat masa depanku
di dunia ini, ia cemas untuk membayangkan bagaimana aku nanti hidup di dalam kehidupan
bermasyarakat. Usianya yang sudah sepuh, memiliki sedikit waktu untuk menjagaku. Saat aku tiba
dirumah, ia berkata padaku,
“Angel, belajarlah dengan benar di sekolah. Karena dengan begitu kamu akan bisa mengerti
bagaimana cara bicara dan berkomunikasi dengan orang lain.”
“Memangnya kenapa, Nek?”
“Karena itulah cara kamu untuk belajar tentang bermain, memiliki teman dan meminta pertolongan
pada orang lain.”
“Aku kan sudah punya teman di sekolah. Mereka mengerti apa yang aku katakan dan semua tampak
normal?”
Nenek mungkin tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih dalam dan ia hanya memintaku untuk
belajar lebih giat. Dalam hatinya, ia ingin berkata bahwa aku berbeda dengan orang lain yang
normal. Satu-satunya cara agar aku dapat hidup bermasyarakat adalah dengan belajar untuk
mengerti bagaimana cara untuk dapat hidup di dunia ini dengan keadaanku yang tidak sempurna.
Tapi ia mengurungkan niat itu karena sadar bahwa aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti
kehidupan yang keras ini.
Nenekku yang baik hati, ia adalah malaikat yang selalu siap  melindungiku walau harus kusadari
usianya telah senja.
***
Di sekolahku, aku mulai mempelajari bagaimana caranya berhitung, membaca dan memperhatikan
mimik muka atau gerak bibir untuk manangkap maksud apa yang hendak dibicarakan  lawan bicara.
Aku berpikir itulah kehidupan normal yang aku jalani dan merasa bahwa seisi kelasku juga sama
dengan kondisiku, jadi aku menikmati semuanya  seiring berjalannya waktu.
Saat mengambil raport kelas setiap semester, aku selalu mendapatkan rangking satu dan itu
membuat  Ayah cukup senang. Saat pengambilan raport, wali kelasku berkata kepada  Ayah,
“Angel terlalu pandai untuk bersekolah di tempat seperti ini, apakah  Bapak berpikir untuk
menyekolahkannya di sekolah yang umum dan normal?”
“Tapi dia masih terlalu kecil dan saya tidak yakin.”
“Kami para guru sepakat untuk mengatakan bahwa kemampuan pendidikan Angel setara dengan
anak kelas 6 SD di sekolah normal. Ia pandai berhitung, menulis dan menangkap apa yang kami
bicarakan lewat mulut  juga tampak seperti anak normal lainnya. Mungkin kesulitannya hanya tidak
dapat mendengar dan bicaranya kurang sempurna, tapi semua itu bukanlah masalah.”
“Lalu apa saran Ibu?”
“Semua pelajaran telah ia serap dengan baik. Walau usianya saat ini baru  delapan tahun, tapi ia
sudah belajar dengan  anak usia tiga belas tahun tahun. Mungkin lebih baik ia disekolahkan di
tempat yang normal. Saya yakin Angel bahkan bisa lebih pintar dari anak-anak normal lainnya.”
“Akan kami pikirkan, karena sulit untuk membayangkan Angel sekolah umum.  Saya takut ia tidak
siap dan tidak bisa diterima.”
“Bapak tidak perlu  pesimis begitu. Sekarang, kami guru-guru akan fokus untuk mengajarkan Angel
untuk bahasa isyarat sehingga ia dapat dengan cepat sekolah di tempat normal. Yang terpenting
sekarang  adalah kita menyiapkan dia untuk ke depannya. Banyak kok anak-anak seperti Angel yang
akhirnya memutuskan untuk sekolah di tempat umum dan selama ini tidak ada masalah.”
Ayah hanya terdiam kemudian kami pulang ke rumah. Ketika makan malam,  Ayah dan  Nenek
berdiskusi, sepertinya Nenek sedikit tidak setuju dengan pendapat  Ayah. Ia lebih berharap aku
bersekolah di tempat yang lama karena ia tidak ingin aku terluka oleh anak-anak normal lain seperti
ia melihatku ketika di taman dulu. Ketika malam saatnya tidur,  Ayah mengantarkan aku hingga ke
ranjang lalu mengajakku untuk bicara sebelum tidur.
“Angel, apakah kamu merasa diri kamu berbeda dengan anak-anak lain?”  tanya Ayah tampak serius.
“TIdak,” jawabku.
“Angel, apakah kamu tau, bahwa kamu adalah seorang tunarungu?”
“Tunarungu, bukannya semua teman-temanku juga tunarungu?”
“Tidak semua anak-anak yang kamu tau itu adalah tunarungu. Kamu berbeda Angel. Kamu tidak
dapat mendengar dan  hanya sedikit dari anak-anak lain yang bisa mendengar. Bisa kamu pahami?”
Aku terdiam seperti tampak tidak mengerti.
“Baiklah, kalau begitu kamu  lekas tidur sana,” kata Ayah menyerah dan hendak pergi. Aku meraih
tangannya sambil berkata.
“Ayah, yang aku tau tentang diriku, aku hanya ingin bersamamu. Itu saja cukup. Aku tau, aku tidak
mendengar dan tidak mengerti apa itu mendengar, tapi aku merasa cukup dengan keadaanku saat
ini. Aku bahagia memiliki teman-teman yang bisa bermain bersamaku. Tidak sulit buat aku bicara
dengan mereka.”
“Tapi kelak kamu harus mencoba untuk hidup dengan lingkungan berbeda. Karena kamu akan terus
tumbuh menjadi besar.”
“Hmm… teman-temanku juga akan tumbuh dewasa dan sama dengan kondisiku.”
“Kamu memangnya tidak ingin punya teman yang bisa mendengar?”
Aku terdiam. Belum pernah terpikir olehku memiliki teman yang bisa mendengar, malah berpikir
bahwa bisa mendengar adalah sesuatu yang aneh.
“Aku tidak pernah berpikir tentang itu,” jawabku.
“Baiklah, lupakan pertanyaan  Ayah hari ini, lekas tidur. Besok kamu kan harus sekolah. Ayah tidak
ingin kamu terlambat bangun. Oke?”
“Oke,” jawabku.
“Selamat malam Ayah…” ucapku pada  Ayah yang langsung menjawab dengan tersenyum.
Sejak malam itu, aku mulai berpikir tentang sebuah pertanyaan dari Ayah. Apakah aku bisa memiliki
teman lain selain teman-temanku  yang tunarungu? Bagaimana rasanya memiliki teman yang bisa
mendengar? Bagiku, melihat orang lain bicara adalah sesuatu yang aneh. Dalam  duniaku hanya ada
satu cara untuk berkomunikasi yaitu lewat bahasa tangan. Ayah sungguh membuatku bingung dan
berpikir tanpa henti dengan pertanyaan-pertanyannya.
***

Anda mungkin juga menyukai