Anda di halaman 1dari 141

KLINIK HUKUM PERDATA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................... v


DAfTAR ISI.............................................................................vii

MATERI I PROSES BERACARA DI PENGADILAN NEGERI


PLANNING COMPONENT – INTERAKTIF
REFLEKTIF................................................................................. 47
4.1. Dokumen Beracara Perdata di Pengadilan.................. 47
4.2. Surat Kuasa Khusus ....................................................... 48
4.3. Surat Gugatan ................................................................. 55
4.4. Mediasi di Pengadilan .................................................... 64
4.5. Jawaban Gugatan ........................................................... 67
4.6. Eksepsi ........................................................................... 67
4.7. Gugatan Rekonvensi..................................................... 70
4.8. Replik ............................................................................. 71
4.9. Duplik ............................................................................. 73
4.10. Putusan Hakim ........................................................... 74

MATERI II PENGEMBANGAN PRACTICAL LEGAL SKILL


EXPERENTIAL COMPONENT INTERAKTIF
REFLEKTIF..................................... ...................................78

DAfTAR BACAAN .................................................................. 83


LAMPIRAN
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat (Perkara Perceraian
.......................................................................................................88
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat (Perkara Perceraian
.......................................................................................................90
Contoh 3: Surat Gugatan Perceraian ...................................... 92
Contoh 4: Akta Perdamaian..................................................... 96
Contoh 5: Jawaban Gugatan Perceraian ................................ 98
Kode Etik Advokat Indonesia....................................................103
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim...........................................................................128
Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.....................................................................157

2
BAB III PENGENALAN CLINICAL LEGAL
EDUCATION (CLE) – KLINIK HUKUM

3.1 Klinik Hukum Berbasis Pendidikan Klinis

Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan Fakultas Hukum tidak


diragukan lagi berperan penting dalam agenda reformasi hukum
di Indonesia, yaitu sebagai salah satu agent of change khususnya
dalam mempercepat peningkatan akses masyarakat terhadap
keadilan, pelayanan masyarakat (Public Service), keadilan sosial
(Social Justice) yang berbasis: a. Prinsip Persamaan dan Keadilan
yaitu pro masyarakat miskin, pro masyarakat tidak mampu, pro
masyarakat rentan, serta pro masyarakat terpinggirkan; b. Akses
yang sama terhadap berbagai kesempatan dan hak serta ; c. Sistem
dan Prosedur hukum yang adil. SDM lulusan yang memiliki
kepekaan serta kompetensi seperti tersebut dapat dihasilkan salah
satunya melalui proses belajar pada mata Kuliah Klinik Hukum
yang menekankan metode pembelajaran serta substansi
kurikulumnya pada tiga
(3) komponen yaitu: Planning Component, Experiential Component
serta Reflection Component.
Melalui Mata Kuliah Klinik Hukum atau yang juga dikenal
dengan sebutan Clinical Legal Education (CLE, lulusan fakultas
hukum terbaik akan dapat dihasilkan karena dalam proses
pembelajarannya mahasiswa mendapatkan ruang untuk
mengembangkan legal skill melalui proses pembelajaran di kampus
(In-House Clinic) sebagai bagian dari Planning Component dengan
metode Interaktif - Reflektif, serta kuliah praktik di institusi dosen
mitra seperti Kantor Hukum atau Law Office- Law Firm maupun
Pengadilan Negeri yaitu sebagai bagian dari Experiential
Component, yang mana para peserta didik
mendapatkan kesempatan langsung praktik belajar dengan kasus-
kasus hukum nyata yang sedang ditangani oleh para dosen Mitra
Klinik Hukum. Proses pembelajaran praktik dibimbing secara intensif
oleh dosen Mitra yang berkoordinasi dengan dosen dari kampus.
Dalam Mariana Berbec-Rostas (2007:21-22) dikemukakan bahwa
Clinical Legal Education (CLE) adalah sebuah Program Pendidikan
yang didasarkan pada metode pengajaran yang interaktif dan reflektif
berisikan pengetahuan, nilai dan keahlian praktis yang mampu
3
meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk memberikan pelayanan
hukum dan menciptakan keadilan social. CLE juga disebut sebagai
experiential learning atau learning by doing.1 CLE-Klinik Hukum,
termasuk Klinik Hukum Perdata di Fakultas Hukum menjadi salah
satu Mata Kuliah yang mampu menghasilkan sebagian besar lulusan
terbaik dengan pengetahuan hukum serta keterampilan praktis yang
diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas penegakan hukum yaitu
baik sebagai hakim maupun pengacara.
Konsep CLE menurut Dickson (2000), Bradney (1992) dan Graime
(1995) sesungguhnya telah lama dikenal di berbagai Universitas di
Amerika Serikat dan sekarang ini CLE tidak hanya berkembang di
Negara-Negara Maju namun juga secara berkelanjutan terus
berkembang di Negara-Negara Berkembang.2 Pendidikan hukum
klinis di amerika Serikat sudah dikembangkan sejak lama, seperti
misalnya di Duke University berkembang tahun 1931, kemudian pada
era tahun 1979 mulai menyebar di Amerika dengan bantuan
pendanaan dari luar, dan dalam perkembangannya hingga tahun 2011
hampir setiap Fakultas Hukum di Amerika Serikat memiliki program
hukum klinis.3

1 Mariana Berbec-Rostas, 2007: 21-22 dalam Tomi Suryo


Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi Workshop P
engembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik Hukum FH UNUD,
Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-15 April 2015, FH UNUD
Den- pasar Bali, h. 1.
2 James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal
Education in University Law School : The UK Perspective,
International Journal of Clinical legal Education, ISSN 1467-1062,
p.519.
3 E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal
Education) Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan Klinik Hukum,
h. 5.

4
Sejak tahun 2012 di Indonesia, Program Educating and Equipping
Tomorrow’s Justice Sector Reformers (E2J) dan The Asia
Foundation-USAID berkontribusi dalam memperkenalkan dan
mengembangkan CLE di Indonesia sebagai pendidikan hukum
modern, yaitu sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas Hukum dengan
pengembangan kurikulum berbasis pendidikan klinis, dalam proses
pembelajaran memberi kesempatan dan pengalaman kepada
mahasiswa dalam menangani kasus-kasus perdata, pidana,
antikorupsi, lingkungan, kaus-kasus riil di bidang perempuan dan
anak. Klinik hukum kemudian menjadi sebuah pembelajaran dengan
maksud menyediakan mahasiswa hukum dengan pengetahuan
praktis, keahlian skill, nilai-nilai
– kode etik dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan keadilan
sosial.
CLE sebagai suatu Program Pendidikan di Perguruan Tinggi (Fakultas
Hukum) memberi manfaat terutama bagi mahasiswa untuk lebih
mengenal dunia praktik hukum , yaitu dapat menjembatani fakultas
dan mahasiswanya untuk dapat lebih mengenal, lebih peka dan
memperaktikkan social justice lawyering.4 Komponen-komponen
penting yang menjadikan CLE sebagai pendidikan hukum modern
menjadi bermanfaat dalam proses pembelajaran di fakultas hukum
karena didalamnya terkandung komponen-komponen sebagai berikut:
Legal Analysis, Skill Development, dan Professionalism.5

KOMPONEN PENDIDIKAN HUKUM MODERN-CLE


 LEGAL ANALYSIS
 SKILL DEVELOPMENT
 PROFESSIONALISM

4 Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal


Education: An Opening for Dia- logue, Journal Social Change, Vol
34, Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage Publication, Washington DC, p.
484.
5 Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education, Materi
Workshop P engembangan dan Rekrutmen Dosen Klinik Hukum FH
UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan E2J, 13-15 April 2015, FH
UNUD Denpasar Bali, h. 4
Clinical Legal Education (CLE) atau yang dikenal dengan sebutan
Klinik Hukum yang dimaknai sebagai sebuah program
pendidikan modern didasarkan pada metode pengajaran yang
khas yaitu metode Interaktif - Reflektif. Cakupan substansi
dari CLE meliputi: Pengetahuan (Knowledge), Nilai (Value),
dan Keahlian Praktis (Practical Skills) yang memampukan
mahasiswa untuk memberikan pelayanan hukum dan
menciptakan keadilan sosial.6
TujuandariCLE ialah meliputi:Pelayanan masyarakat(Public Service),
Keadilan Sosial (Social Justice) yang mengedepankan Prinsip
Persamaan dan Keadilan, Akses yang sama terhadap berbagai
kesempatan, serta Sistem dan Prosedur Hukum yang Adil.

3.2 Karakteristik Clinical Legal Education (CLE)


- Klinik Hukum

CLE sebagai sebuah Mata Kuliah memiliki karakteristik yang khas


yaitu kekhasannya karakteristiknya dapat dilihat dari Clinical Legal
Education (CLE) sebagai sebuah Program Pendidikan dan sebagai
sebuah Metode Pembelajaran.
Clinical Legal Education (CLE) - sebagai Program Pendidikan
memiliki karakteristik : a. Terstruktur yaitu masuk dalam kurikulum,
memiliki KRS, memiliki manajemen (bagian dari unit), SDM terlatih
dan berpengalaman serta berkomitmen; b. melibatkan mahasiswa; c.
Mendapat dukungan pimpinan; d. mempunyai anggaran kegiatan .7
Sementara itu Clinical Legal Education (CLE) sebagai Metode
Pembelajaran memiliki kekhasan metode Interaktif dan Reflektif.
Metode Pembelajaran “Interaktif” dilaksanakan melalui metode:
Bermain peran (Role Play), Simulasi (Simulation), Diskusi Kelompok
(Group Discussion), Curah Pendapat/Gagasan (Brainstroming),
Peradilan Semu (Moot Court), serta Analisis Kasus

6 Ibid, h. 7.
7 Ibid., h. 4.
(Case Analysis). Sementara itu Metode Pembelajaran “Reflektif”
bermakna secara berkelanjutan dilakukan Evaluasi materi dan
sistem pengajaran, Evaluasi efektitas materi dan sistem
pengajaran terhadap peningkatan dan derajat pemahaman
mahasiswa, serta dilakukan Evaluasi sejauh mana mahasiswa
telah belajar dari materi dan sistem pembelajaran tersebut
(Student Feedback). 8

3.3 Model-Model Pelaksanaan Clinical Legal Education (CLE)


-Klinik Hukum

CLE – Klinik Hukum sebagai suatu Mata Kuliah di Fakultas Hukum


dapat dikembangkan dengan berbagai model yaitu :
• In-House Clinics
Klinik yang dibentuk di Fakultas Hukum dan semua kegiatan
pengajaran dan pengawasan dilakukan di Fakultas Hukum.
• External or Out-House Clinics
(Externships, Community Clinics, Mobile Clinics)
• Kombinasi antara In-House and Out- House Clinics Semua
kegiatan pengajaran dan pengawasan dilakukan di Fakultas Hukum
(In-House Clinics), mahasiswa kemudian dikirim ke pengadilan,
kejaksaan dan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan
externship (Out-House Clinics)
• Street Law (Penyuluhan Hukum)

Dalam pelaksanaan model Klinik Hukum khususnya Kombinasi In-


House dan External Clinics atau Out-House Clinics proses
pembelajarannya selain dilakukan di kampus dibawah asuhan
pengajar dosen Klinik Hukum dari Kampus, juga proses
pembelajarannya dilakukan di luar kampus yaitu dibawah bimbingan
proses belajar kuliah praktik dari Dosen-Dosen Praktisi yang
dilakukan di institusi Mitra yang telah ditetapkan seperti Kantor
Hukum / Kantor Pengacara, Pengadilan Negeri,
8 Ibid. , h. 6.
dan kejaksaan dibawah bimbingan dosen Mitra yaitu baik Lawyer,
Jaksa, maupun Hakim.
Dalam pelaksanaan Klinik Hukum dengan Model “Street Law
Clinic” , mahasiswa mendapat kesempatan kuliah praktik yaitu
mempraktikkan bagaimana menjadi penyuluh atau mensosialisasikan
materi hukum yang dapat dilakukan melalui bermitra dengan lembaga
pendidikan seperti sekolah-sekolah maupun terjun langsung
penyuluhan ke masyarakat dibawah bimbingan, pengarahan dan
pengawasan dosen Klinik Hukum.

3.4 Komponen-Komponen Dalam Pembelajaran CLE -


Klinik Hukum

Komponen metode pembelajaran dalam CLE- Klinik Hukum meliputi


:Planning Component (Teori hukum, permasalahan hukum,
pelayanan hukum), Experiental Component (Keahlian beracara,
kegiatan praktis, penyuluhan hukum), dan Reflection Component
(Refleksi, evaluasi).9

Mariana Berbec-Rostas, 2007:22, dalam Tomi Suryo Utomo,


2015: 12.

9 Ibid., h. 9.
Dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran Klinik Hukum
Perdata di Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam uraian
Bab selanjutnya (Bab IV) akan diuraikan materi pembelajaran
berkaitan dengan kegiatan pembelajaran Planning Component
yaitu materi tentang proses beracara perdata di Pengadilan
Negeri. Karena luasnya cakupan hukum perdata, maka dalam
kegiatan Planning Component dalam proses pembelajaran
Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata dapat mengedepankan atau
mensimulasikan bagian-bagian tertentu saja dari proses
beracara di pengadilan yang nantinya akan menunjang kegiatan
Experiential Component setelah mahasiswa kuliah praktik di
lapangan, begitu juga tentang substansinya dapat dipilih secara
tematik apakah akan dilaksanakan Role Play berkaitan dengan
kasus perceraian, wanprestasi ataupun perdata lainnya.
Materi II
PROSES BERACARA PERDATA DI PENGADILAN
NEGERI
PLANNING COMPONENT – INTERAKTIF REFLEKTIF
COMPONENT

4.1 Dokumen Beracara Perdata di Pengadilan Negeri

ebagai tahap awal dalam proses pembelajaran Klinik


S Hukum Perdata di FH UNUD, yaitu sebagai bagian
dari Planning Component, setelah mahasiswa diperkenalkan
dengan pemahaman serta karakteristik Clinical Legal Education
(CLE) – Klinik Hukum sebagai sebuah Program Pendidikan, maka
selanjutnya pemahaman tentang proses beracara perdata di
Pengadilan Negeri dibahas kembali terkait praktik Role Play
mulai dari mewawancarai klien hingga praktik membuat berbagai
dokumen hukum yang diperlukan dalam proses acara perdata.
Kegiatan Planning Component ini mampu meningkatkan
Lawyering Skill mahasiswa.
Dalam praktik beracara perdata di Pengadilan Negeri, ada
beberapa pihak yang berperan di dalamnya yaitu: Penggugat,
Tergugat, Kuasa Hukum / Penasehat Hukum, Panitera, dan Hakim.
Berbagai kasus perdata yang sering sekali terjadi di masyarakat
yang dibawa ke pengadilan antara lain: kasus wanprestasi
perjanjian, waris, perceraian serta berbagai kasus keperdataan
lainnya. Sehubungan dengan penyelesaian kasus-kasus perdata
tersebut melalui jalur pengadilan, maka berbagai dokumen
dipersyaratkan dalam rangka proses beracara di pengadilan yaitu:
Surat Kuasa Khusus, Surat Gugatan, Eksepsi dan Jawaban
Gugatan, Replik, Duplik, Putusan, dan Akta Perdamaian apabila
suatu kasus diselesaikan dengan proses Mediasi.
4.2. Surat Kuasa Khusus

Pemberian Kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata


yang mengatur: “Pemberian kuasa ialah suatu perjanjian dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian
kuasa terdapat 2 (dua) pihak yang terdiri dari pemberi kuasa dan
penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau
mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.1
Berdasarkan Pasal 1793 KUHPerdata lebih lanjut dapat
diketahui bahwa pemberian kuasa dapat berupa akta autentik,
akta dibawah tangan ataupun secara lisan.

Pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum,


dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk
surat ataupun dengan lisan. Penerimaan surat kuasa dapat pula
terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

Pemberian Kuasa selain dapat dicermati dari bentuknya


yaitu ada yang berbentuk akta umum, akta di bawah tangan dan
bahkan boleh juga bentuknya lisan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1793 KUH Perdata sebagaimana tersebut di atas, juga
dapat dicermati pembedaannya menjadi Kuasa Secara Umum
dan Kuasa Secara Khusus.
KUH Perdata mengatur pembedaan macam Kuasa Secara
Umum dan Kuasa Secara khusus sebagai berikut:2
1 M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Peny- itaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.

2 Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum


Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 12.
1. Kuasa secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si
pemberi kuasa. Pasal 1796 KUH Perdata menyatakan bahwa
pemberian kuasa secara umum ini cukuplah dirumuskan
dalam kata-kata umum, dan perbuatannya hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan saja.
2. Kuasa secara khusus, yang apabila dituangkan dalam surat
kuasa disebut sebagai surat kuasa khusus. Menurut Pasal
1795 KUH Perdata pemberian kuasa dapat dilakukan secara
khusus yaitu, hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau
lebih sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam pemberian
kuasa. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian
kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili
kepentingan pemberi kuasa

Sesungguhnya ketika seseorang yang berhadapan dengan


proses pengadilan tidak selalu harus diwakilkan atau dikuasakan
kepada pihak lainnya. Pemeriksaan perkara di persidangan dapat
dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Namun demikian, seseorang yang berperkara juga mempunyai
kesempatan untuk meminta bantuan kepada pihak lain yang
memiliki kemampuan di bidang itu, yaitu mewakilkan kepada
seorang kuasa yang dilakukan dengan Surat Kuasa Khusus
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 123 HIR / 147 RBg.
Dalam Proses beracara perdata di pengadilan, pembuatan
surat kuasa khusus merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Pembuatan surat kuasa khusus harus
memenuhi syarat yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus yang
tidak memenuhi syarat, yaitu:
1. Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan
menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan surat
kuasa tersebut, dan
2. Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan
pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh
surat kuasa yang memenuhi syarat.3

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.


2 Tahun 1959 dan SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober
1994 menyebutkan syarat surat kuasa khusus yang sah, yaitu:
1. menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa untuk
berperkara di pengadilan
2. menyebut kompetensi relatif di Pengadilan Negeri mana
surat kuasa khusus itu digunakan; dan
3. menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak dan
4. menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan objek
sengketa yang diperkarakan.

Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif artinya tidak


dipenuhinya satu syarat mengakibatkan surat kuasa tidak sah.
Selainitu, SEMANo. 01 Tahun 1971 menegaskan bahwa
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak boleh
menyempurnakan surat kuasa khusus yang tidak memenuhi
syarat.4
Secara lebih detail tentang Surat Kuasa Khusus diatur
dalam Pasal 1975 KUH Perdata. Surat Kuasa Khusus adalah
pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan
tertentu atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1975 KUH
Perdata. Dalam surat kuasa khusus, didalamnya dijelaskan
tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima
kuasa. Karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat
kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa
khusus.5

3 M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 2.


4 M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 15.
5 Shanti Rachmandsyah, 2010, Kuasa umum atau Kuasa
Khusus,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c105a52c629a, h. 1.
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi


kuasa)
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
( Nama penerima Kuasa )

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor


Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-
sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
---------------------------------
KHUSUS--------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat,
mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri
Denpasar mengenai perceraian terhadap (nama). , (pekerjaan)
............., bertempat tinggal di Jalan...........sebagai Tergugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan danmenanda tangani
gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan
dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan
perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh
seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-
kuitansi, menerima dan
melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada
orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak
retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan
dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya
yang ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Ttd. Materai ttd.

( ….………………) (……………………)
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat
(perkara perceraian)
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi


kuasa)
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
(Nama penerima kuasa)
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor
Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-
sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
----------------------------------
KHUSUS--------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat.......di
Pengadilan Negeri Denpasar yang terdaftar dalam rol
perkara No..…/Pdt.G/………….
mengenai………………………
melawan….................................sebagai Penggugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani
gugatan, Replik, Kesimpulan, perdamaian / dading, mengajukan
dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan
perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh
seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-
kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara
ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada


orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara
tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti
yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Ttd. Materai ttd.

( ….………………) (……………………)

Contoh Surat Kuasa Khusus tersebut di atas adalah


berkaitan dengan kasus perceraian. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa kasus-kasus perdata tidak
hanya perceraian, akan tetapi banyak ragamnya ada yang
berkaitan dengan waris, wanprestasi dan sebagainya.
Tugas dalam Planning Component :

Mahasiswa Peserta Klinik Hukum Perdata dibagi dalam


group-group, ada yang berperan sebagai Pengacara, ada yang
berperan sebagai pihak Tergugat dalam perkara perdata
wanprestasi, dan ada yang berperan sebagai Penggugat yang
datang ke Kantor Hukum anda.

Buatlah Surat Kuasa Khusus dari penggugat yang


memberikan Kuasa Khusus kepada Kantor Hukum anda
berkaitan dengan gugatan perkara wanprestasi yang diajukan
oleh penggugat.

ROLE PLAY :

Praktikmewawancaraiklien,yaitupenggugatyangmemberikan
kuasa khusus kepada pengacara / kantor hukum. Group yang
berperan sebagai pihak pengacara dan group mahasiswa yang
berperan sebagai penggugat memainkan peran (Role Play)
dalam sesi wawancara klien. Kemudian Group mahasiswa
yang berperan sebagai pengacara, praktik membuat Surat
Kuasa Khusus sesuai dengan hasil wawancara.

4.3. Surat Gugatan

Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang


bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat
melakukan suatu tuntutan hak. Tuntutan hak yang didalam Pasal
118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 RBG) disebut sebagai tuntutan
perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak
yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan.
Gugatan dapat diajukan secara tertulis Pasal 118 ayat 1 HIR
( Pasal 142 ayat RBG)maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144
ayat 1 RBG).6

6 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata


Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 53.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan
surat gugatan adalah sebagai berikut7 :
1. Surat gugatan harus ditandatangani oleh Penggugat atau
kuasanya. Oleh karena itu, apabila ada surat kuasa yang
dalam hal ini berupa surat kuasa khusus, maka tanggal
surat gugatan harus lebih muda daripada tanggal surat
kuasa.
2. Surat gugatan harus bertanggal, menyebut dengan jelas
nama Penggugat dan Tergugat, tempat tinggal Penggugat
dan Tergugat, serta apabila diperlukan menyebutkan
jabatan kedudukan Penggugat dan Tergugat.
3. Surat gugatannya sebaiknya diketik, dan tidak perlu
dibubuhi meterai
4. Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap. 1
(satu) rangkap aslinya untuk pengadilan negeri, kemudian
untuk arsip Penggugat dan beberapa rangkap lagi untuk
masing-masing Tergugat dan turut Tergugat.

Surat gugatan harus didaftar di Kepaniteraan Pengadilan


Negeri yang berkompeten dengan membayar biaya perkara.
Surat gugatan yang tidak memenuhi unsur-unsur yang
secara formil seharusnya ada dalam surat gugatan berakibat
ditolaknya surat gugatan tersebut. Meskipun dalam berbagai
bahan bacaan telah sering dibaca unsur serta isi daru surat
gugatan, namun jika tidak pernah dipraktikkan secara langsung
dalam membuatnya tentu tidak semudah yang dipikirkan. Dalam
membuat surat gugatan dibutuhkan data-data penting dan detail
dari klien, khususnya data-data yang relevan dengan bukti-bukti
yang dimiliki oleh klien.
Kadangkala bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak
relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi
demikian maka kita harus pandai mengingatkan klien agar data-
data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang
lengkap akan memudahkan kita membuat suatu surat gugatan.
Apabila

7 Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, Op. Cit, h. 20.


data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah
terkumpul, diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang
akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang
perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum.
Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan sekaligus
badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien
kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir
perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang
terakhir.
HIR dan RBG hanya mengatur tentang cara mengajukan
gugatan, sedangkan tentang persyaratan mengenai isi dari surat
gugatan tidak ada ketentuannya. Namun dalam Pasal 119 HIR
(Pasal 143 RBG) mengatur mengenai pemberian wewenang
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan nasehat dan
bantuan kepada pihak Penggugat dalam mengajukan gugatannya.
Dengan demikian dapat dicegah gugatan-gugatan yang kurang
jelas atau kurang lengkap.8
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 No. 3 Rv mengatur bahwa
gugatan harus memuat:
• Identitas Para Pihak
• Posita
• Potitum

Identitas Para Pihak:


Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah
identitas yang berkaitan dengan nama, umur, pekerjaan, dan
tempat tinggal dari Penggugat dan Tergugat.

Posita:
Posita dalam suatu gugatan dapat dipahami berupa dalil-
dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar, serta alasan-alasan daripada tuntutan atau dikenal juga
dengan sebutan fundamentum petendi.

8 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 54.


Fundamentum petendi yang juga dikenal dengan sebutan
dasar dari tuntutan terdiri dari 2 (dua) bagian:
- Bagian menguraikan tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa
- Bagian yang menguraikan tentang hukum.

Berkaitan dengan gugatan perdata dalam perkara


perceraian, Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mengatur alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar gugatan perceraian antara lain :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan ;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.

Petitum:
Petitum atau juga dikenal dengan sebutan tuntutan adalah
apa yang diminta oleh Penggugat atau diharapkan agar
diputuskan oleh hakim. Penggugat harus merumuskan petitum
dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak
sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut.
Petitum atau Tuntutan pokok yang ada dalam gugatan
acapkali dibarengi dengan tuntutan pelengkap atau tuntutan
tambahn berupa:
a. Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar biaya perkara.
b. Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih
dahulu, meskipun putusannya dilawan atau dimintakan
banding
c. Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga
apabila tuntutan yang dimintakan oleh Penggugat berupa
pembayaran sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar uang
paksa (dwangsom)
e. Dalam hal gugatan perceraian dapat disertai dengan
tuntutan mengenai nafkah anak-anak.
f. Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair yang pada
umumnya berbunyi ex aequo et bono atau “mohon putusan
berdasarkan keadilan. “

Contoh : Surat Gugatan Perceraian

Denpasar,…..............2015
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar
Perihal:Gugatan Cerai

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
Jalan , Denpasar

10220, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. tanggal


, bertindak untuk dan atas nama :---------------------------------
Nama Penggugat , Perempuan, Lahir di ,
umur , Agama ,
Pekerjaan ,
bertempat tinggal di
Selanjutnya disebut
sebagai P E N G G U G A T

Dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan cerai


terhadap :
Nama Tergugat , Laki-laki, umur ,
Agama ,
Pekerjaan ,
bertempat tinggal di
Selanjutnya disebut
sebagai T E R G U G A T

Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alasan diajukannya


gugatan cerai ini adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah
yang melangsungkan perkawinan secara adat dan agama
Hindu yang dilaksanakan pada tanggal
di rumah Tergugat di
dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan Kutipan
Akta Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : tertanggal
;----------

2. Bahwa dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat telah


dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang masing-
masing bernama :
Anak Pertama : lahir di ,
tanggal sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
Anak Kedua : lahir di ,
tanggal sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
;-----------------------------------
3. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, harmonis, kekal dan abadi, selama
perkawinan berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh)
tahun tidak ada permasalahan, kira-kira sejak tahun 2010
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak
harmonis lagi sebagaimana layaknya pasangan suami istri
yang masih rukun yang mana Tergugat sering keluar
malam datang pagi dan Tergugat juga sering meluapkan
emosi tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat ;-----------------------------
4. Bahwa Penggugat sudah berusaha memberikan nasehat
serta membicarakan hal ini, namun Tergugat bukannya
tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya akan tetapi
Tergugat membantah dan berkelakuan kasar sehingga
terjadi perselisihan dan pertengkaran di depan anak-anak
Penggugat dan Tergugat
;--------------------------------------------
5. Bahwa kira-kira tanggal , puncak
pertengkaran Antara Penggugat dan Tergugat dimana
Tergugat melakukan penganiayaan terhadap diri Penggugat,
atas perbuatan Tergugat maka Penggugat melaporkan hal
tersebut ke Kantor Polisi Sektor Denpasar, dan Tergugat
dapat ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ;
-------------
6. Bahwa Tergugat merasa bersalah atas perbuatannya dan
Tergugat berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya
maka Penggugat membuat Surat Pernyataan Pencabutan
Laporan tertanggal dan akhirnya
Tergugat dikeluarkan dari tahanan dan perkaranya tidak
dilanjutkan ;
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan
Tergugat namun sampaisaatini Tergugat tidak
memperbaiki diri dan sering berlaku kasar maka rumah
tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali
secara utuh ;
8. Bahwa untuk rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak mungkin dipersatukan lagi dan berdasarkan tujuan
suatu perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi maka dengan terpaksa Penggugat
mengajukan permasalahan ini ke Pengadilan Negeri
Denpasar ;----------

Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat dengan ini


memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
untuk memanggil kedua belah pihak ke Pengadilan untuk
didengar keterangannya serta memohon kepada Majelis Hakim
untuk memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan putusnya perkawinan Antara Penggugat dan
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta Perkawinan
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam kekuasaan
Penggugat;
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua) sama rata
diantara Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak
sebesar Rp. 3.000.000,- ( Tiga Juta Rupiah) setiap bulan
hingga anak dewasa
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan


yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono).

Hormat kuasa hukum Penggugat

( )
KASUS HIPOTESIS

Pasangan suami istri yang berkewarganegaraan asing


Andrew Dixon (Amerika ) dan istrinya Julia Anne
(Amerika) telah menikah sejak tahun 2003 di AS, mereka
tinggal di Bali sejak tahun 2005 dan membuka usaha
Resort& Restaurant dengan nama ”AA Resort &
Restaurant” yang didirikan diatas tanah seluas 30 are yang
terletak di daerah pantai Seminyak. Pasangan suami istri
tersebut menyewa tanah dari Nyoman Kantor untuk
mendirikan usaha “AA Resort & Restaurant”- nya. Pada
awal 2013, Julia Anne menggugat Andrew Dixon di PN
Denpasar berkaitan dengan pembagian harta bersama atas
kepemilikan “AAResort & Restaurant” yang mereka kelola
sekitar 8 tahun bersama. Julia Anne dalam gugatannya juga
mengemukakan bahwa mereka telah bercerai di AS pada
tahun 2012 karena sudah tidak ada kecocokan diantara
mereka, dan juga karena Andrew Dixon telah menikah
dengan prempuan berasal dari Jember pada tahun 2011
yang sebelumnya prempuan tersebut adalah bekas
karyawan di “AA Resort & Restaurant”. Julia Anne datang
kepada Kantor Hukum anda yaitu “Kantor Hukum Klinik
Perdata FH UNUD” untuk menjadi pengacara / Lawyer
yang akan mendampingi dan memberi advice selama proses
beracara di Pengadilan Negeri. Julia Anne tentu saja sangat
berharap pihaknya bisa memenangkan perkara.
Tugas : Role Play

Praktik mewawancarai klien untuk mendapatkan data-


data penting sesuai dengan materi gugatan dalam perkara
perdata perceraian. Kemudian susunlah Surat Gugatan
yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri.

4.4. Mediasi di Pengadilan

Perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara senantiasa


diharapkan. Meskipun para pihak sangat berkeinginan
permasalahan atau perkara perdatanya diselesaikan melalui
putusan pengadilan, namun hakim harus berusaha untuk
mendamaikan para pihak yang berperkara. Sepanjang hakim
belum menjatuhkan putusan, tawaran perdamaian masih dapat
diusahakan. Meskipun telah diusahakan adanya perdamaian,
namun dalam praktiknya masih sangat jarang para pihak bersedia
menempuh jalan damai untuk menyelesaikan permasalahannya.
Berkaitan dengan hal tersebut Mahkamah Agung Menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan selanjutnya disebut sebagai Perma No.
1 Tahun 2008. Perma No. 1 ini pada intinya mewajibkan agar
ditempuh proses mediasi terlebih dahulu bagi perkara perdata
yang diajukan ke pengadilan.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008, mediasi
bersifat wajib ditempuh dalam perkara perdata yang diajukan
ke pengadilan pada tingkat pertama atau di Pengadilan Negeri.
Mediasi di Pengadilan tersebut bersifat Mandatory sehingga para
pihak tidak bisa menolak ataupun untuk meminta langsung
dilakukannya pemeriksaan perkara secara litigasi kepada Majelis
Hakim. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Perma No. 1 Tahun
2008 menentukan bahwa apabila ada perkara yang diperiksa
dan diputus tanpa menempuh prosedur mediasi berdasarkan
Perma ini, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130
HIR (Pasal 154 RBG) yang mengakibatkna putusan batal demi
hukum.
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang dihadiri
Penggugat dan Tergugat atau kuasa hukumnya, hakim
mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi
dalam menyelesaikan perkara (Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1
Tahun 2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga
atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding
guna memilih mediator baik yang ada di dalam daftar yang
dimiliki oleh pengadilan ataupun diluar daftar pengadilan,
termasuk juga biaya yang ditimbulkan akibat pilihan penggunaan
mediator yang bukan hakim. (Pasal 11 ayat (1) Perma No. 1
Tahun 2008).
Mediator yang akan dipilih dalam proses mediasi ini bisa
dari kalangan hakim, asalkan bukan hakim yang memeriksa
perkara tersebut. Dapat juga dipilih mediator yang bukan hakim
dengan syarat telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang
telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung. (Pasal 9 Perma No. 1
Tahun 2008). Dalam tahap pelaksanaan mediasi, Pasal 10 Perma
No. 1 Tahun 2008 menentukan mediasi dapat diselenggarakan
disalah satu ruangan pengadilan dan untuk penggunaan ruangan
ini tidak dikenakan biaya. Sedangkan apabila pelaksanaan
mediasi dilakukan ditempat lain, maka biaya yang timbul dari
penggunaan tempat tersebut dibebankan kepada pihak
berdasarkan kesepakatan. Demikian juga dengan penggunaan
mediator yang bukan hakim biayanya ditanggung oleh para pihak
yang berperkara berdasarkan kesepakatan.
Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan
atau penunjukkan mediator, para pihak wajib menyerahkan
resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator (
Pasal 13 ayat
(1) Perma No. 1 Tahun 2008). Proses mediasi berlangsung
selama empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim ( Pasal 13 ayat (2)
Perma No. 1 Tahun 2008) dan atas dasar kesepakatan para pihak,
jangka
waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ( Pasal 14 ayat (4) Perma
No. 1 Tahun 2008). Dalam pelaksanaan mediasi para pihak
ataupun kuasa hukumnya dan mediator dapat mengundang saksi
ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau
pertimbangan terkait dengan penyelesaian sengketa, dimana
segala biaya yang timbul dari pemanggilan saksi ahli tersebut
dibebankan kepada para pihak. ( Pasal 16 Perma No. 1 Tahun
2008).
Tercapainya kesepakatan ataupun tidak tercapainya
kesepakatan hasi dari proses mediasi tersebut dibawa ke
pengadilan dan para pihak kembali menghadap kepada majelis
hakim. Apabila dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut
harus dirumuskan secara tertulis yang kemudian ditandatangani
oleh kedua belah pihak yang berperkara. Mediator wajib
memeriksa kembali kesepakatan tersebut untuk menghindari
adanya kesepakatan yang saling bertentangan. Hakim dapat
mengukuhkan kesepakata tersebut dakam suatu akta perdamaian
yang memiliki kekuatan hukum tetap. Apabila para pihak yang
berperkara tidak menghendaki kesepakatan tersebut dituangkan
dalam akta perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis tersebut
harus memuat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17 Perma
No. 1 Tahun 2008).
Apabila proses mediasi gagal mencapai kesepakatan
sampai batas waktu yang telah ditentukan, Mediator wajib
menyatakan bahwa proses mediasi gagal dan
memberitahukannya kepada Majelis Hakim yang memeriksa
perkara. Segera setelah pemberitahuan tersebut hakim
melanjutkan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan
ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku (Pasal 18 Perma
No. 1 Tahun 2008). Dalam proses pemeriksaan perkara di
persidangan dilanjutkan kembali, segala pernyataan dan
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat
digunakan dalam proses persidangan yang bersangkutan maupun
perkara lainnya. Demikian juga fotocopy dokumen, notulen, dan
catatan mediator wajib dimusnahkan dan mediator
tidak dapat diminta untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan
perkara yang bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1 Tahun 2008).

4.5. Jawaban Gugatan

Jawaban gugatan merupakan jawaban atas gugatan


Penggugat yang diajukan Tergugat terhadap pokok perkara.
Jawaban gugatan dapat berupa: pengakuan, bantahan, tangkisan,
dan referte. Pengakuan adalah jawaban Tergugat yang
membenarkan isi gugatan Penggugat. Referte lebih bersifat
pengakuan karena Tergugat dalam hal ini menunggu
kebijaksanaan hakim. Pada referte, Tergugat dalam tingkatan
banding masih dimungkinkan mengajukan bantahan apabila
belum pernah mengajukan bantahan sebelumnya. Namun jika
Tergugat pada jawaban pertama mengakui dalil-dalil Penggugat,
maka pada jawaban berikutnya sampai ke tingkat banding
Tergugat tetap terikat dengan pengakuannya tersebut. Bantahan
adalah pernyataan yang tidak mengakui apa yang digugatkan
Penggugat. Bantahan harus disertai dengan alasan-alasannya
secara terperinci dan meyakinkan.9

4.6. Eksepsi

Eksepsi adalah suatu tangkisan oleh Tergugat yang


objeknya diluar pokok perkara. Eksepsi disusun dengan mencari
kelemahan-kelemahan baik terkait dengan dalil-dalil gugatan
maupun di luar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak
gugatan. Eksepsi dapat dibagi dua bagian, yaitu eksepsi absolut
dan eksepsi relatif. 10Eksepsi absolut erat kaitannya dengan
kompetensi pengadilan dalam memeriksa perkara. Kompetensi
pengadilan tersebut dapat dibagi dua:

9 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata


Indonesia, PT. Citra Aditya Bak- ti, Bandung, h.97
10 Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani
Gugatan Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 169.
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut terkait dengan kewenangan dari jenis
pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara itu
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Peng-
adilan Agama (Islam), atau Pengadilan Militer). Eksepsi
terkait kompetensi absolut dapat diajukan kapanpun selama
perkara masih berlangsung, dan bahkan pengadilanpun
wajib menyatakannya tanpa eksepsi. Kompetensi absolut
diatur dalam Pasal 134 HIR Jo Pasal 160 RBG. 11
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif terkait dengan wilayah hukum
pengadilan yang berwenang memeriksa perkara (terhadap
pengadilan sejenis). Eksepsi terkait kompetensi relatif
ini harus diajukan pada kesempatan pertama Tergugat
memberikan jawabannya, sesuai ketentuan Pasal 133 HIR
Jo Pasal 159 RBG. 12

Sedangkan Eksepsi relatif erat kaitannya dengan dalil-dalil


gugatan. Eksepsi relatif harus diajukan pada jawaban pertama
Tergugat. Eksepsi relatif dapat meliputi:
1. Exceptie van litispendentie, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan kepastian hukum dari perkara tersebut
belum ada.
2. Dilatoire exceptie, adalah tangkisan yang berkaitan dengan
waktu pengajuan gugatan yang belum tepat dikarenakan
masih terdapat waktu bagi Tergugat untuk melakukan
prestasi.
3. Premtoire Exceptie, adalah tangkisan yang mengakui
kebenaran dalil gugatan, namun diajukan dengan
penambahan yang sangat prinsipal sehingga dapat
menggugurkan gugatan.
4. Disqualificatoire exceptie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan hak menggugat dari Penggugat (Penggugat tidak
berhak mengajukan gugatan).

11 Ibid
12 Ibid
5. Exceptie Obscuri Libelli, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan kekaburan/ketidakjelasan gugatan. (Pasal 125 ayat
(1) HIR Jo Pasal 149 ayat (1) RBG).
6. Exceptie Plurium Litis Consortium, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan kelengkapan para pihak khususnya yang
berkedudukan sebagai Tergugat belum lengkap, sehingga
subjek hukum dalam gugatan dapat digugurkan.
7. Exceptie Non-adimpleti Contractus, adalah tangkisan yang
berkaitan dengan wanprestasi dari Tergugat dikarenakan
Penggugat juga dalam keadaan wanprestasi.
8. Exceptie rei judicatie, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan asas ne bis in idem, yaitu terhadap perkara yang
telah diputus dengan kekuatan hukum tetap, tidak dapat
diajukan gugatan lagi.
9. Exceptie van connexiteit, adalah tangkisan yang berkaitan
dengan masih diperiksanya perkara yang berkaitan oleh
pengadilan/instansi lain, sehingga harus menunggu
putusan.13

Selain karena alasan-alasan tersebut, eksepsi juga dapat


diajukan karena:
1. Posita dan petitum yang tidak terkait atau petitum yang
melebihi posita (objek dalam petitum tidak boleh melebihi
posita).
2. Surat kuasa yang tidak sah, misalnya surat kuasa yang
bersifat umum, dibuat oleh orang yang tidak memiliki
kewenangan, dan tidak memenuhi syarat formil.
3. Kerugian tidak dirinci dengan lengkap.
4. Daluwarsa, yaitu gugatan yang diajukan telah melebihi
tenggang waktu daluwarsa.
5. Objek gugatan dan kesalahan dari Tergugat tidak jelas/ tidak
dirinci secara lengkap. 14

13 Ibid, h. 171-176.
14 Ibid, h.177-180.
Eksepsi yang diajukan Tergugat harus diperiksa dan
diputus dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
pokok perkara (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBG).Jawaban gugatan
dan eksepsi dapat dijadikan satu pada pengajuannya, yaitu
dengan menyertakan eksepsi pada jawaban gugatan. Dalam hal
ini, eksepsi akan ditulis dengan istilah “DALAM EKSEPSI” dan
dilanjutkan dengan penulisan jawaban gugatan dengan istilah
“DALAM POKOK PERKARA”.

4.7. Gugatan Rekonvensi

Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat


untuk mengimbangi gugatan Penggugat. Rekonvensi dapat
diajukan apabila Penggugat juga melakukan wanprestasi
terhadap Tergugat. Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a dan
132b HIR.15 Rekonvensi pada praktiknya seringkali diajukan
bersama- sama dengan jawaban (pada jawaban pertama atau
duplik) Tergugat karena rekonvensi juga dapat dikategorikan
sebagai tindakan responsif Tergugat atas gugatan dari Penggugat.
Sehingga secara logis rekonvensi tidak dapat diajukan apabila
kegiatan jawab-menjawab telah selesai atau perkara telah
dilanjutkan ke pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi. Dalam
rekonvensi, pihak Tergugat menjadi Penggugat rekonvensi dan
pihak Penggugat menjadi Tergugat rekonvensi.
Menurut ketentuan Pasal 132a HIR Jo. RBg, terdapat 3
(tiga) pengecualian bagi pihak Tergugat dalam mengajukan
rekonvensi terhadap gugatan dari pihak Penggugat yaitu:
1. Tergugat dilarang mengajukan rekonvensi kepada
diri pribadi Penggugat apabila Penggugat bertindak
berdasarkan suatu kedudukan/jabatan tertentu.
2. Rekonvensi tidak dapat diajukan bila Pengadilan Negeri
yang memeriksa gugatan Penggugat tidak berwenang

15 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata


Indonesia, PT. Citra Aditya Bak- ti, Bandung, h.103.

70
memeriksa gugatan rekonvensi atau diluar yurisdiksi
Pengadilan Negeri tersebut.
3. Dalam hal pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap, rekonvensi tidak dapat diajukan lagi.16

4.8. Replik

Dalam praktik, pemeriksaan perkara perdata di persidangan


melalui proses jawab-menjawab antara pihak Penggugat dan
Tergugat. Pihak Tergugat diberikan kesempatan untuk
memberikan jawaban atas gugatan dari pihak Penggugat di muka
pengadilan, baik secara tertulis maupun lisan. Apabila jawaban
gugatan tersebut dilakukan secara tertulis baik berupa eksepsi
maupun bantahan terhadap pokok perkara, maka majelis hakim
memberi kesempatan kepada pihak Penggugat untuk menjawab
kembali hal-hal yang dikemukakan oleh Tergugat dalam jawaban
gugatannya yang disebut replik.17 Replik merupakan pemberian
hak kepada pihak Penggugat untuk menanggapi jawaban yang
diajukan oleh Tergugat.
Aturan mengenai replik tidak dijumpai dalam HIR dan
RBG, ketentuan ini diatur dalam Pasal 142 Rv yang menegaskan
para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik
dan duplik.18 Bagi seorang praktisi hukum, replik bukanlah
merupakan hal yang asing, karena replik adalah bagian dari
proses beracara di persidangan. Membuat atau menyusun replik
bukanlah pekerjaan yang sederhana, karena penyusunan replik
selalu dikaitkan dengan perkara apa replik tersebut disusun.
Replik dalam perkara perdata yang diajukan Penggugat berkaitan
dengan jawaban Tergugat atas gugatannya, dimana jawaban
Tergugat selain berisikan eksepsi juga berisikan bantahan-
bantahan terhadap pokok perkara. Replik Penggugat adalah dalil-
dalil yang menguatkan atau meneguhkan dalil-dalil gugatan yang
dibantah oleh Tergugat dalam jawabannya.

16 Ibid, h.104-105
17 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 128.
18 H. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 462.
Secara teoritis tidak ada teori yang membahas mengenai
bagaimana proses menyusun replik, mengenai bentuk dan
susunan dari replik juga tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
Oleh karena itu dalam menyusun replik harus disesuaikan
dengan jenis bidang hukumnya (hukum acara pidana/hukum
acara perdata), selain itu juga tergantung pada materi pokok dari
perkara yang dihadapi. Dalam menyusun replik ini, Penggugat
dapat mengemukakan sumber sumber kepustakaan, pendapat
pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan hal-hal baru untuk
menguatkan dalil gugatan yang diajukan sebelumnya.19
Dalam proses berperkara perdata di pengadilan, jawaban
gugatan dari Tergugat selain memuat jawaban atau bantahan
terhadap pokok perkara, juga termuat eksepsi serta dapat pula
memuat gugatan balik atau gugatan rekonvensi. Dalam
menyusun replik, pihak Penggugat perlu memperhatikan jawaban
gugatan dari pihak Tergugat. Bentuk dan susunan replik harus
disesuaikan dengan apa yang termuat dalam jawaban gugatan
yang diajukan pihak Tergugat. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan replik yaitu:
1. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus
menguasai hal-hal yang terkait dengan eksepsi.
2. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dengan cermat isi gugatan balik/
rekonvensi dari Tergugat. Dalam menanggapi gugatan
balik/rekonvensi dari Tergugat, Penggugat harus memuat
jawaban dari gugatan balik/rekonvensi tersebut dalam
replik.
3. Penggugat dalam menyusun replik harus
mempertimbangkan dalil-dalil bantahan atas gugatan
balik/rekonvensi yang diajukan Tergugat dan juga harus
mempertimbangkan alat bukti yang dapat memperkuat
dalil-dalil bantahan terhadap gugatan bali tersebut.
4. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat

19 Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di


Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, h. 225.
permintaan pada majelis hakim untuk mengabulkan
tuntutan dalam gugatan.20

4.9. Duplik

Dalam proses beracara perdata di pengadilan dikenal juga


adanya istilah duplik. Duplik merupakan jawaban Tergugat
terhadap replik yang diajukan oleh pihakPenggugat. Sama halnya
dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun
lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban
gugatan/eksepsi yang telah diajukan sebelumnya, yang secara
umum berisi bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh si
Penggugat. Tergugat dalam dupliknya dapat saja membenarkan
dalil atau tuntutan yang diajukan oleh si Penggugat dalam
repliknya, namun tidak pula menutup kemungkinan Tergugat
menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat menguatkan bantahan
atas replik yang diajukan pihak Penggugat.
Dalam menyusun duplik, diharapkan dalil-dalil/pernyataan
yang diajukan oleh Tergugat agar tidak bertentangan dengan
dalil-dalil yang telah dibuat dalam jawaban gugatan/eksepsi.
Duplik biasanya memuatbantahan atau pembelaan atas dalil-
dalil/pernyataan yang diajukan oleh Penggugat dalam repliknya,
yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang dapat
menguatkan bantahan atau pembelaan tersebut. Sebagaimana
dengan halnya replik, pengaturan mengenai duplik dapat
dijumpai dalam Pasal 142 Rv, namun tidak menguraikan secara
jelas mengenai bentuk dan susunan dari Duplik tersebut.
Biasanya duplik ini dibuat oleh kuasa hukum Tergugat yang
dilengkapi dengan bukti data, pernyataan dan juga keterangan-
keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga.
Tahapan replik dan duplik dapat saja diulangi sampai
terdapat kesepahaman antara Tergugat dan Penggugat atau

20 Boy Yendra Tamin, 2013, Prinsip dan Teknik Menyusun


Replik dan Duplik,http://www.
boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-
replik-dan.html, diak- ses tanggal 15 Mei 2015.

73
bisa saja dalam prosesnya hakim yang menentukan apakah
proses jawab-menjawab ini ditutup ataukah diteruskan,dalam
proses tersebut hakim akan menilai apakah replik yang diajukan
Penggugat dengan duplik yang diajukan Tergugat hanya
mengulang-ulang dalil atau tuntutan yang sebelumnya telah
disampaikan di dalam proses persidangan, jika hakim menilai
proses tersebut hanya pengulangan dari apa yang telah
disampaikan maka atas dasar tersebut hakim akan memutuskan
untuk menghentikan proses jawab-menjawab tersebut.
Sesuai dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan, sedapat mungkin proses pemeriksaaan berjalan
dengan efisien dan efektif. Apabila prinsip tersebut dikaitkan
dengan tahapan jawab-menjawab yang diatur dalam Pasal 117
Rv, hakim cukup memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan replik dan duplik hanya satu kali saja, namun
dalam hal ini tidak ada larangan yang tegas untuk menyampaikan
replik dan duplik berkali-kali. Apabila Hakim menilai proses
jawab-menjawab tersebut tidak efektif dan efisien, serta hanya
membuang waktu saja, maka hakim dapat menghentikan proses
jawab-menjawab tersebut untuk selanjutnya dilanjutkan pada
tahap pembuktian di pengadilan.21

4.10. Putusan Hakim

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang diucapkan


oleh hakim di persidangan yang bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak
yang berperkara. Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR, terdapat 2
(dua) jenis Putusan Hakim dilihat dari waktu penjatuhannya,
yaitu: Putusan Akhir (eind vonnis) dan Putusan Sela (tussen
vonnis). Putusan akhir (eind vonnis) adalah suatu putusan yang
bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau
perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung).

21 M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 463


Menurut sifatnya putusan akhir dapat diklasifikasikan. menjadi 3
(tiga) jenis, yaitu:
1. Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis,
condemnatory verdict).
Putusan kondemnator adalah putusan yang bersifat
menghukum. Dalam perkara perdata, menghukum artinya
membebani kewajiban untuk memenuhi prestasi terhadap
pihak yang kalah. Dalam memenuhi prestasi tersebut dapat
dilaksanakan dengan memberi sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu. Putusan kondemnator yang
ditetapkan oleh Hakim dapat dilaksanakan dengan paksaan
(forceiijk executie, forcible execution). Dictum dalam
putusan kondemnator dapat berbunyi: “ Mengadili :
Menerima permohonan Penggugat, Mengabulkan/menolak
gugatan Penggugat, Menghukum Tergugat/Penggugat
untuk dst. ”
2. Putusan deklarator (declartoir vonnis, declaratory verdict).
Putusan deklarator adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan suatu keadaan hukum.
Putusan deklarator hanya bersifat penetapan saja tentang
keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak ada
sengketa. Putusan deklarator seperti ini disebut deklarator
murni. Umumnya putusan deklarator terjadi dalam lapangan
hukum badan privat, misalnya mengenai pengangkatan
anak, kesalahan identitas diri (Nama, Tanggal lahir dsb.)
penegasan hak atas suatu benda. Bunyi Dictum dalam
putusan deklarator adalah seperti berikut: “Menetapkan :
Menerima permohonan Pemohon, Mengabulkan
permohonan Pemohon, Menyatakan, bahwa
…., Menyatakan pula, bahwa …. “. Jadi, fungsi pernyataan
di sini adalah sebagai penegasan saja dari suatu. keadaan
yang sudah ada, atau keadaan yang sudah tidak ada.
3. Putusan konstitutif (constitutief vonnis, constitutive
verdict). Putusan konstitutif adalah
putusan yang bersifat meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum. Dalam putusan ini
suatu keadaan hukum tertentu

75
ditiadakan, atau ditimbulkannya suatu keadaan hukum
baru, misalnya putusan pembatalan perkawinan,
pembatalan perjanjian, putusan perceraian. Pelaksanaan
putusan konstitutif tidak memerlukan paksaan karena tidak
menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Perubahan
keadaan atau hubungan hukum otomatis terjadi pada saat
putusan tersebut diucapkan di muka persidangan. Dictum
dalam putusan konstitutif dapat berbunyi : “Mengadili
: Menerima gugatan Penggugat, Mengabulkan gugatan
Penggugat …., Membatalkan perjanjian ….“.22

Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum


putusan akhir yang bertujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam praktik di
pengadilan terdapat 4 (empat) jenis putusan sela yaitu:
1. Putusan Prepatoir, adalah Putusan yang dijatuhkan oleh
hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan
perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan
akhir.
2. Putusan Interlucotoir, adalah Putusan yang berisi
bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian
dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Insidentil, adalah Putusan yang berhubungan
dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian
yang menunda jalannya persidangan. Contoh: putusan
insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil
dalam sita jaminan.
4. Putusan Provisionil, adalah Putusan yang menjawab
tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi
perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara
pembangunan di atas tanah objek sengketa.23

22 Ibid, h.156-164.
23 Bambang Sugeng A.S., Sujayadi, Op. Cit, h.87.
Putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat formal
dan substansi. 24Syarat formal sahnya putusan pengadilan, yaitu:
1. Dimulai dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Memuat waktu (tanggal, bulan, dan tahun) putusan.
3. Dibacakan dalam sidang pengadilan yang dinyatakan
terbuka untuk umum. 25

24 Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani


Gugatan Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.205.
25 Ibid, h. 206
BAB V PENGEMBANGAN
PRACTICAL LEGAL SKILL
EXPERIENTIAL COMPONENT –
REFLECTION COMPONENT

ada tahapan Planning Component, melalui metode


P pembelajaran interaktif seperti bermain peran (Role
Play), Simulasi (Simulation), Diskusi Kelompok (Group
Discussion), serta Peradilan Semu (Moot Court), diharapkan
mahasiswa sudah memiliki pengalaman praktik dalam
mewawancarai klien, menulis Surat Kuasa, serta membuat atau
menyusun Surat Gugatan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri.
Peningkatan kemampuan Lawyering Skill mahasiswa tidak
cukup didapatkan hanya melalui proses pembelajaran Role
Play maupun Moot Court di kampus, namun sangat penting
untuk mendapatkan pengalaman Practical Skill – Lawyering
Skill yang berkaitan langsung dengan kasus-kasus atau perkara-
perkara perdata yang riil terjadi dan dihadapi oleh masyarakat.
Pengalaman praktik akan dapat diperoleh mahasiswa melalui
tahapan perkuliahan Experiential Component yang berbasis
metode Interaktif-Reflektif di tempat institusi mitra seperti
Pengadilan Negeri maupun Kantor Pengacara.
Setelah kurang lebih tiga (3) tahun, yaitu sejak tahun
2013 Klinik Hukum Perdata FH UNUD bermitra dengan
Kantor Hukum “Arjaya & Umi Martina Law Office” dalam
penyelenggaraan Mata Kuliah Klinik Hukum Perdata, khususnya
pada tahapan Experiential Component, mahasiswa diberi
kesempatan pengalaman praktik secara langsung untuk diikutkan
dalam penanganan perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan
Negeri, salah satunya adalah proses praktik siding perkara
wanprestasi di Pengadilan Negeri. Menurt Made Nardhi, salah
seorang parther pengacara dalam “Arjaya & Umi Martina
Law Office” mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman
praktik, yaitu Lawyering Skill yang diberikan kepada mahasiswa
salah satunya adalah proses praktek sidang perkara wanprestasi
di Pengadilan Negeri Denpasar dengan tahapan-tahapannya
beserta nilai-nilai etika yang senantiasa harus diindahkan selama
mahasiswa ikut serta dalam proses beracara di Pengadilan Negeri
sebagai tahapan proses pembelajaran praktik hukum .1
Tahapan-tahapan serta pengalaman-pengalaman praktik
menurut Made Nardhi sebagai berikut2: Masyarakat dalam
menjalani kehidupannya sering mengalami masalah-masalah
hukum yang berawal dari ada perjanjian yang mereka buat
dengan pihak lain. Apabila salah satu pihak ingkar janji atau
wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat, maka pihak yang
lainnya pasti akan merasa dirugikan, sehingga pihak yang
dirugikan tersebut biasanya melakukan tindakan-tindakan hukum
seperti memberikan somasi dan mengajukan Gugatan
Wanprestasi ke Pengadilan Negeri.
Bagi pihak yang merasa dirugikan atas wanprestasi yang
dilakukan oleh pihak lain maka mereka akan berkonsultasi ke
Kantor Advokat. Di dalam kantor advokat tersebut seorang
advokat akan memberikan penjelasan tentang masalah ingkar
janji atau wanprstasi yang sedang dihadapi oleh seseorang
tersebut. Dan apabila seseorang tersebut mempercayakan kepada
advokat untuk menyelasaikan masalah yang dihadapinya maka
orang tersebut akan memeberikan surat kuasa kepada advokat
untuk mewakilinya membuat dan mengajukan gugatan
wanprestasi ke Pengadilan Negeri.
Surat kuasa yang sudah diberikan oleh pemberi kuasa
tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri pada bagian hukum
dan setelah mendapatkan nomor register lalu surat kuasa tersebut
dipakai sebagai lampiran didalam mendaftarkan Gugatan
wanprestasi pada bagian perdata. Pada saat melakukan

1 Ni Made Nardhi, 2015, Proses Praktik Sidang Perkara


Wanprestasi di Pengadilan Negeri Denpasar, Materi Kuliah
Praktik Bagi Mahasiswa Klinik Hukum Perdata, h. 1-8.
2 Ibid.
pendaftaranGugatanwanprestasitersebut,gugatanakandiperiksa
terlebih dahulu oleh Panmud bagian perdata lalu ditandatangani.
Di meja kasir kita akan di berikan SKUM untuk melakukan
pembayaran biaya perkara, biasanya biaya perkara tersebut di
bayar di Bank BNI, lalu slip pembayaran tersebut dipakai bukti
untuk mendaftarkan gugatan wanprestasi, serta akan diberikan
nomor register perkara. Setelah kurang lebih dua minggu maka
ditetapkanlah Hakim Majelis yang akan menyidangkan perkara
yang telah didaftarakan tersebut. Para pihak akan dipanggil
secara patut yaitu paling lambat tiga hari sebelum hari sidang.
Pada saat siding pertama perkara wanprestasi dilaksanakan
Majelis Hakim akan membuka persidangan, dan menanyakan
kebenaran identitas para pihak.
Pada persidangan pertama, Majelis hakim wajib
memberitahukan kepada para pihak agar mereka mau berdamai
melalui proses mediasi sebagaimana yang diatur dalam PERMA
NO : 2 tahun 2003, serta menanyakan pula kepada para pihak
apakah para pihak akan menunjuk Mediator sendiri atau
menyerahkan kepada Majelis Hakim. Apabila para pihak
menyerahkan kepada Majelis Hakim maka Majelis Hakim
akan menunjuk dan menetapkan Mediator dari salah satu hakim
yang ada pada Pengadilan Negeri tersebut yang telah mempunyai
sertipikat Mediator. Waktu mediasi adalah selama
40 hari apabila dianggap belum cukup maka mediator akan
memberikan perpanjangan waktu sampai 14 hari. Tetapi apabila
para pihak tidak mau berdamai, walaupun waktu 40 hari belum
tercapai maka proses mediasi dianggap gagal dan Mediator akan
melaporkan kepada Majelis Hakim, bahwa proses mediasi gagal
dan persidangan akan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan.
Setelah gugatan wanprestasi dibacakan oleh Penggugat atau
Kuasanya, Majelis Hakim akan memberikan kesempatan kepada
Pihak Tergugat atau kuasanya,untuk mengajukan jawaban secara
tertulis selama satu minggu. Biasanya dalam jawaban gugatan
tersebut juga bisa dibarengi dengan eksepsi yaitu keberatan dari
Tergugat terhadap gugatan tersebut.
Dalam eksepsi biasanya berisi tentang keberatan Tergugat
akan kewenangan mengadili baik kewenangan absolute maupun
kewenangan relative atau bisa juga keberatan tentang syarat-
syarat atau formalitas gugatan. Mengenai eksepsi tersebut diatur
dalam pasal 134 HIR untuk eksepsi absolute dan pasal 125 ayat
(2) jo. pasal 133 dan pasal136 HIR. Setelah Tergugat
membacakan eksepsi dan jawaban gugatan tersebut, maka
Majelis Hakim juga akan memberikan kesempatan kepada
Penggugat untuk menanggapi jawaban gugatan dari Tergugat
secara tertulis yang disebut dengan Replik, setelah replik dibaca
dan diajukan pada persidangan yang telah ditentukan, maka
Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk
menanggapi Replik dari Penggugat secara tertulis yang disebut
Duplik.
Setelah persidangan jawab menjawab dianggap cukup oleh
Majelis Hakim, maka persidangan berikutnya akan dilanjutkan
dengan agenda pembuktian dari kedua belah pihak, biasanya
Majelis Hakim memberikan kepada Pihak Penggugat untuk
melakukan pembuktian terlebih dahulu baik berupa bukti surat
maupun saksi-saksi, selanjutnya pada persidangan berikutnya
baru Pihak Tergugat diberikan untuk mengajukan pembuktian,
baik bukti surat-surat maupun saksi-saksi. Apabila dipandang
perlu oleh para pihak maupun Majelis Hakim, maka dalam siding
berikutnya akan diajukan Saksi ahli untuk didengarkan
keterangannya dalam persidangan. Apabila perkara wanprestasi
tersebut menyangkut masalah tanah, dan jika dipandang perlu
untuk melakukan persidangan setempat oleh Majelis hakim maka
Majelis Hakim akan memerintahkan kepada para pihak untuk
melakukan persidangan ditempat tanah sengketa. Setelah
persidangan setempat akan dilanjutkan dengan agenda
persidangan berikutnya yaitu mengajukan Kesimpulan, kedua
belah pihak atas perintah Majelis Hakim akan mengajukan
Kesimpulan tentang persidangan yang telah dilakukan kepada
Mejelis Hakim.
Setelah Majelis hakim menerima Kesimpulan dari para
pihak maka dua minggu kemudian siding akan dilanjutkan
dengan
Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan
perkara Wanprestasi tersebut. Apabila salah satu pihak yang
dikalahkan tidak menerima dari Putusan tersebut maka pihak
yang kalah akan melakukan uapaya hukum selanjutnya yaitu
berupa Banding ke Pengadilan Tinggi. Waktu untuk melakukan
uapaya banding tersebut adalah 14 hari setelah Putusan
dibacakan.

Evaluation- Reflection
Mahasiswa merefleksikan pengalaman yang telah diperoleh
di lapangan dan melakukan evaluasi terhadap kinerja yang
telah dilakukan berdasarkan pengarahan dari dosen
pembimbing (Mariana berbec-Rostas, 2007: 22 dalam Tomi
Suryo Utomo, 2015: 9.

TUGAS AKHIR

Buatlah laporan akhir dari proses perkuliahan Klinik Hukum


Perdata, terutama pengalaman praktik selama mengikuti
proses Planning Component, Experiential Component dan
Reflection Component.

Draft Laporan secara garis besar memuat:


• Pengalaman praktik (role play, group discussion,
case analysis) serta refleksi yang dilakukan dalam
tahapan Planning Component.
• Pengalaman praktik selama mengikuti Experiential
Component di institusi mitra.
• Kode Etik yang dipraktikkan baik selama Planning
maupun Experiential Component
DAFTAR BACAAN

• Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra


Aditya Bakti, Bandung
• Edi As Adi, 2012, Hukum Acara Perdata Dalam Persfektif
Mediasi ADR Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
• E2J 2012, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal
Education) Sebuah Gerakan Global, Materi Pelatihan
Klinik Hukum.
• Gunawan Widjaja, 2001, Alternatif Penyelesaian
Sengketa,
Raja Grafindo, Jakarta
• Handout Proses Beracara di PN, Pengadilan Niaga, ADR
• James Marson, 2014, The Necessity of Clinical Legal
Education in University Law School: the UK Perspective,
International Journal of Clinical legal Education, ISSN
1467-1062.
• J Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan,
Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung
• Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi &
Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• M Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma
Dan Praktik di Peradilan, Prenada Media Group, Jakarta
• M Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata tentang
Gugatan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan,
Sinar Grafika, Jakarta
• Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit dalam Teori Dan Praktik,
Citra Aditya Bakti, Bandung
• Sophar Maru Hutagalung, 2012, Praktik Peradilan Perdata
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika,
Jakarta
• Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kerjasama Canadian
International Devolvement Agency –departemen Agama-
McGill University-IAIN Banda Aceh
• Tomi Suryo Utomo, 2015, Clinical Legal Education,
Materi Workshop pengembangan dan Rekrutmen Dosen
Klinik Hukum FH UNUD, Kerjasama FH UNUD dengan
E2J, 13- 15 April 2015, FH UNUD Denpasar Bali.
• Victorianus MH Randa Paung, 2011, Penerapan Asas
Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan
Pailit, Sarana tutorial Nurani Sjahtra, Bandung
• Vaidya Gullapalli, 2012, Transforming Clinical legal
Education: An Opening for Dialogue, Journal Social
Change, Vol 34, Issues 8-9, ISSN 0309-0590, Sage
Publication, Washington DC
• Wahju Muljono, 2012, Teori &Praktik Peradilan Perdata
Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta
REGULASI

• HIR /RBG
• BW / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
• Undang-Undang Ni. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
• Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah
• Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia
• Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
• Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
• Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal

ETIKA PROFESI
Keputusan Bersama
– Ketua MA RI No. 047/KMA/SKB/
IV/2009 dan Komisi Yudisial RI No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilak
Etika Profesi dan Kode Etik Advokat
Role Play Etika –Profesi menjadi seorang Advokat atau Konsultan Hukum Dalam Menangani Klien

PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Perkara
1. Nomor : 37/Pdt.G/2012/PN.Tbn.
Putusan Perkara
2. Nomor : 79 /Pdt.G/2012/PN.Tbn. Putusan Nomor : 04/PKPU/2009/P.N.-Niaga
3.
86
LAMPIRAN-LAMPIRAN

87
Contoh 1: Surat Kuasa Khusus dari Penggugat (perkara
perceraian)
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi kuasa)


Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
( Nama penerima Kuasa )

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara


......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
------------------------------------
KHUSUS------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat,
mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri
Denpasar mengenai perceraian terhadap (nama). , (pekerjaan)
............., bertempat tinggal di Jalan...........sebagai Tergugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan danmenanda tangani
gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan
dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan
perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh
seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-
kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara
ini, mempertahankan

88
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain
dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan
seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang
ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Ttd. Materai ttd.

( ….………………) (……………………)
Contoh 2: Surat Kuasa Khusus dari Tergugat
(perkara perceraian)
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini : (identitas pemberi kuasa)


Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya
tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan
kuasa kepada :
(Nama penerima kuasa)

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara


......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
------------------------------------
KHUSUS------------------------------------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat.........di
Pengadilan Negeri Denpasar yang terdaftar dalam rol
perkara No..…/Pdt.G/…………. mengenai………………………
melawan….................................sebagai Penggugat.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka


Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-
pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan danmenanda tangani
gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan
dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan
perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh
seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-
kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara
ini, mempertahankan
kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada
umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh
Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain
dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-
syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.

Denpasar, ……………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Ttd. Materai ttd.

( ….………………) (……………………)
Contoh 3: Surat Gugatan Perceraian

Denpasar,…..............2015
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar
Perihal: Gugatan Cerai

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
Jalan , Denpasar
10220, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. tanggal
, bertindak untuk dan atas nama :---------------------------------
Nama Penggugat , Perempuan, Lahir di
, umur
, Agama ,
Pekerjaan______________,
bertempat tinggal di

Selanjutnya disebut
sebagai P E N G G U G A
T
Dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan cerai
terhadap :
Nama Tergugat , Laki-laki, umur
_, Agama ,
Pekerjaan_____________,
bertempat tinggal di

Selanjutnya disebut
sebagai T E R G U G A T
Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alasan diajukannya
gugatan cerai ini adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang
sah yang melangsungkan perkawinan secara adat dan
agama Hindu yang dilaksanakan pada tanggal
di rumah Tergugat di
dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan Kutipan
Akta Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : tertanggal
;----------

2. Bahwa dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat telah


dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki yang masing-
masing bernama :
Anak Pertama : lahir di ,
tanggal sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
Anak Kedua : lahir di ,
tanggal sesuai dengan Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
;-----------------------------------
3. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, harmonis, kekal dan abadi, selama
perkawinan berlangsung kurang lebih selama 7 (tujuh)
tahun tidak ada permasalahan, kira-kira sejak tahun 2010
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak
harmonis lagi sebagaimana layaknya pasangan suami istri
yang masih rukun yang mana Tergugat sering keluar
malam datang pagi dan Tergugat juga sering meluapkan
emosi tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat ;-----------------------------
4. Bahwa Penggugat sudah berusaha memberikan nasehat
serta membicarakan hal ini, namun Tergugat bukannya
tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya akan tetapi
Tergugat membantah dan berkelakuan kasar sehingga
terjadi perselisihan dan pertengkaran di depan anak-anak
Penggugat dan Tergugat
;--------------------------------------------
5. Bahwa kira-kira tanggal , puncak
pertengkaran Antara Penggugat dan Tergugat dimana
Tergugat melakukan penganiayaan terhadap diri Penggugat,
atas perbuatan Tergugat maka Penggugat melaporkan hal
tersebut ke Kantor Polisi Sektor Denpasar, dan Tergugat
dapat ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ;
-------------

6. Bahwa Tergugat merasa bersalah atas perbuatannya dan


Tergugat berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya
maka Penggugat membuat Surat Pernyataan Pencabutan
Laporan tertanggal dan akhirnya
Tergugat dikeluarkan dari tahanan dan perkaranya tidak
dilanjutkan ;

7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan


Tergugat namun sampaisaatini Tergugat tidak
memperbaiki diri dan sering berlaku kasar maka rumah
tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali secara utuh ;
8. Bahwa untuk rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak mungkin dipersatukan lagi dan berdasarkan tujuan
suatu perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah tidak mungkin untuk
dapat dipertahankan lagi maka dengan terpaksa Penggugat
mengajukan permasalahan ini ke Pengadilan Negeri
Denpasar ;----------

Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat dengan ini memohon


kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk
memanggil kedua belah pihak ke Pengadilan untuk didengar
keterangannya serta memohon kepada Majelis Hakim untuk
memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan putusnya perkawinan Antara Penggugat dan
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta Perkawinan
dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar Nomor :
tertanggal
3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam kekuasaan
Penggugat;
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua) sama rata
diantara Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak
sebesar Rp. 3.000.000,- ( Tiga Juta Rupiah) setiap bulan
hingga anak dewasa
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang


seadil-adilnya ( ex aequo et bono).

Hormat kuasa hukum Penggugat

( )
Contoh 4: Akta Perdamaian

AKTA PERDAMAIAN
Pada hari ini, …..tanggal ….., telah dating menghadap di
persidangan umum Pengadilan Negeri di............., yang bersidang
dalam gedungnya di Jl….........Kedua belah pihak yang berpekara
perdata: ………. Umur………., pekerjaan..........., tempat tinggal
di Jl............, selanjutnya disebut Penggugat;

LAWAN
………., umur ………., pekerjaan ………., tempat tinggal di
………., selanjutnya disebut Tergugat; yang menerangkan
bahwa kedua belah pihak mufakat menyelesaikan perkaranya
dengan perdamaian, yang bunyinya sebagai tertera di bawah ini:
- Disebutnya isi perdamaian (pasal demi pasal)
Setelah perjanjian perdamaian tersebut dituliskan dan
dibicarakan pada kedua belah pihak, maka Penggugat dan
Tergugat menerangkan bahwa mereka menerima dan menyetujui
perdamaian ini

Kemudian Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sebagai


berikut:

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAAN


YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah membaca surat perdamaian tersebut di atas;
Telah mendengar kedua belah pihak;
Mengingat pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan;

MENGADILI
Menyatakan bahwa telah tercapai perdamaian antara kedua belah
pihak;
Menghukum kedua belah pihak untuk mengetahui bunyi isi
perdamaian tersebut di atas;
Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara
masing-masing separuhnya, yang sehingga perdamaian ini dibuat
berjumlah Rp ……………......….…… (.................rupiah)

Demikian diputuskan pada hari ini...............................tanggal


…………, oleh kami …………………,..........................,
…………………, hakim-hakim Pengadilan Negeri di
……………..
dan pada hari ini juga diumumkan di persidangan dengan
dihadiri oleh …………. Panitera (pengganti) dan kedua belah
pihak yang berpekara

Panitera (pengganti) Pengadilan .. Majelis Hakim


Pengadilan Negeri

Negeri ………………………,.........................................,

(………………………………).............................(Hakim Ketua)

……………..(Hakim
Anggota)

……………..(Hakim
Anggota)

Biaya – biaya :
Panggilan kedua belah pihak : Rp ……………………….
Materai Akte Perdamaian : Rp ……………………….
Dan lain-lain : Rp ……………………….
Contoh 5: Jawaban Gugatan Perceraian

Denpasar,…..............2015
Kepada Yth,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri ,
Pemeriksa Perkara Perdata No. :
di Denpasar
Perihal: Jawaban atas Gugatan Cerai Penggugat

Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini :
, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat
Jalan , Denpasar
80111, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. tanggal
, bertindak untuk dan atas nama--------------------------, Laki-
laki, umur , Agama , Pekerjaan
, bertempat tinggal di Selanjutnya disebut
sebagai TERGUGAT, dalam Perkara Perdata Perceraian Nomor
di Pengadilan Negeri Denpasar.

Dengan ini mengajukan jawaban atas gugatan Penggugat sebagai


berikut :

I. DALAM EKSEPSI:
- Bahwa karena Penggugat dan Tergugat melakukan
pernikahan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil
Kabupaten Tabanan, maka seharusnya Pengadilan
Negeri Denpasar bukanlah yang berwenang
mengadili, melainkan Pengadilan Negeri Tabanan.
Jadi yang berwenang mengadili perkara ini adalah
Pengadilan Negeri Tabanan, bukan Pengadilan Negeri
Denpasar. (Eksepsi Kompetensi Relatif)

II. DALAM POKOK PERKARA (dalam Konvensi)


1. Bahwa Tergugat menolak selurh dalil-dalil Penggugat
, kecuali yang secara tegas diakui;
2. Bahwa memang benar, Penggugat dan Tergugat
adalah suami istri yang sah yang melangsungkan
perkawinan secara adat dan agama Hindu yang
dilaksanakan pada tanggal di
rumah Tergugat di
dimana Penggugat berkedudukan sebagai Predana
sedangkan Tergugat sebagai Purusa sesuai dengan
Kutipan Akta Perkawinan dari Kantor Catatan
SipilKota/Kabupaten Nomor :

3. Bahwa benar dalam perkawinan Penggugat dan


Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) orang anak laki-laki
yang masing-masing bernama :
Anak Pertama : lahir di
, tanggal sesuai dengan Akta
Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar
Nomor : tertanggal
---

Anak Kedua : lahir di


_, tanggal sesuai dengan Akta

Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar


Nomor : tertanggal ;----

4. Bahwa memang benar Tergugat sering keluar malam


dan pulang pagi, hal ini dilakukan karena Tergugat
mendapatkan tugas oleh atasannya untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
5. Bahwa tidak benar dalil-dalil yang dikemukakan
Penggugat, bahwa Tergugatsering meluapkan emosi
tanpa alasan yang jelas, berkelakuan kasar terhadap
diri Penggugat, dan hal ini bisa di buktikan dengan
pihak-pihak luar (dalam hal ini tetangga dan keluara
Tergugat);
6. Bahwa tidak benar Tergugat melakukan penganiayaan
terhadap diri Penggugat, yang diuraikan oleh
penggugat dalam butir No. 5 dan butir No. 6
gugatannya, dan juga tidak benar bahwa tergugat
pernah ditahan di Kantor Polisi Sektor Denpasar ; ----

7. Bahwa Penggugat sudah berusaha memaafkan perbuatan


Tergugat namun sampai saat ini Tergugat tidak memperbaiki
diri dan sering berlaku kasar sehingga Penggugat merasa
rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak mungkin akan
dipersatukan kembali secara utuh adalah suatu alasan yang
tidak benar, seperti apa yang telah Tergugatkemukakan pada
jawaban Tergugat tersebut diatas;

III. DALAM REKONVENSI


Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dengan ini
mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap Tergugat Rekonvensi/
Penggugat Konvensi sebagai berikut :
1. Bahwa, hal-hal yang dikemukakan dalam jawaban pokok
perkara adalah merupakan satu kesatuan dengan hal-hal
yang dikemukakan dalam Rekonvensi.
2. Bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi sering
melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik.
Sifat-sifat dan kebiasaan buruk penggugat diantaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi adalah
istri yang tidak taat terhadap suami. Seorang suami
pastilah menginginkan ketaatan dari istrinya sebagai
wujud dari kesetiannya, seperti meluangkan banyak
waktu buat suami, membuatkan kopi, bersikap sopan.
Hal demikian tidak pernah Penggugat lakukan,
sebagaimana istri-istri yang lain melakukan kepada
suami mereka.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi memiliki
jiwa/emosi yang sulit terkontrol. Jika terjadi hal yang
tidak dikehendaki Penggugat maka Penggugat sering
marah-marahyang tidak jelas dan sering memaki
pekerjaan Tergugat.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi tipe orang
yang sering meremehkan orang lain. Sebagai seorang
karyawati di Penggugat sering
meremehkan pekerjaan Tergugat yang hanya sebagai
.
- Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi adalah
seorang ibu yang tidak baik bagi anak-anaknya,
dimana Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
tidak pernah menghiraukan/memperhatikan anak-
anaknya seperti membuatkan sarapan serta urusan
pendidikan dan sering bersikap kasar kepada anak-
anak.
3. Bahwa berdasarkan kepada hal-hal yang dikemukakan
diatas, sudahlah jelas bahwa yang menyebabkan tidak
harmonisnya rumah tangga adalah karena sikap dan
perilaku yang tidak baik dari Tergugat Rekonvensi/
Penggugat Konvensi.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas berkenan kiranya


Bapak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

I. Dalam Konvensi
1. Menolak gugatan Penggugat konvensi (Tergugat
Rekonvensi) untuk seluruhnya.
2. Menghukum penggugat konvensi (Tergugat
Rekonvensi) untuk membayar lunas semua biaya yang
timbul dalam perkara ini.

II. Dalam Rekonvensi


1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi
(Tergugat Konvensi) untuk seluruhnya.
2. Menyatakan putusnya perkawinan Antara Penggugat
dan Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Akta
Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil
Kota/Kabupaten
Nomor : tertanggal

3. Menyatakan hak asuh anak-anak berada dalam


kekuasaan Penggugat Rekonvensi (Tergugat
Konvensi)
4. Menyatakan seluruh harta bersama dibagi 2 (dua)
sama rata diantara Penggugat Rekonvensi (Tergugat
Konvensi) dan Tergugat Rekonvensi (Penggugat
Konvensi);
5. Menghukum Tergugat Rekonpensi/Penggugat
Konpensi membayar segala biaya perkara

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang


seadil-adilnya ( ex aequo et bono).

Hormat kami,
Kuasa Hukum Tergugat dalam Konvensi
Penggugat dalam Rekonvensi

( )
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA

KODE ETIK
ADVOKAT
INDONESIA

IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI


ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT
HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT &
PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT
PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI
KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN
KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)

DISAHKAN PADA TANGGAL:


23 MEI 2002

DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH:


PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT
INDONESIA DKI JAKARTA 2002
KODE ETIK ADVOKAT
INDONESIA
PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik


yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan
perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam
menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang
dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan
hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang
didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang
berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan
dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak
hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,
oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara
teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra
dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung
tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya
diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang
eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa
melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi
anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya
tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik
Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah
sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang
menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban
kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam
menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara
atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktik memberi jasa hukum,
baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik
sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara
praktik ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang
menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang
menjalankan praktik hukum sebagai Advokat sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan
berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktik
hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi
dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik
Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak
menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang
Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai
imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau
perjanjian dengan kliennya.

BAB II
KEPRIBADIAN
ADVOKAT

Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang
tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya
menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik
Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan
bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa
dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena
tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan
hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan
karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan,
jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan
semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih
mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara
Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman
sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan
hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa
dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena
penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain
yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat
Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap
sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan
hak dan martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk
menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan
judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktik sebagai
Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan
atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun
dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama
ia menduduki jabatan tersebut.

BAB III
HUBUNGAN DENGAN
KLIEN

Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus
mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang
dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang
diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib
mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-
biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus
memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara
untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut
keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal
yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan
wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya
hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas
yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak
menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki
lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua
pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari
pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila
dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak
akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT

Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi
sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika
berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan,
hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang
dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus
diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan
tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau
cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut
seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat
yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada
Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien
untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap
Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien
terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib
memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang
penting untuk mengurus perkara itu, dengan
memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien
tersebut.

BAB V
TENTANG SEJAWAT
ASING

Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang- undangan
yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk
kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA

Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman
sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada
hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang
bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans
Prejudice “.
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya
perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak
dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka
pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia
menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat “ad
informandum” maka hendaknya seketika itu tembusan dari
surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula
kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat
hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama
dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau
mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan
dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum
dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah
menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka
hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu
tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau
pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan
dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang
menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka
maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara
proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki
imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang
yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang
putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani
kepada kliennya pada waktunya.

BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN
LAIN
TENTANG KODE ETIK

Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat
(officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi
selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa
dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada
dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode
Etik ini.Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik
perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan
papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang
b. berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan
di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan
martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan
Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di
papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang
bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya
sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-
karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus
perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan
lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari
publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian
masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai
Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang ia
berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip
hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan
dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak
dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara
dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim
atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak dibenarkan
untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa
pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga)
tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE
ETIK

Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik
Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini
dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN

Bagian Pertama
KETENTUAN
UMUM

Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh
Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui
dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa
pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan
Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu
sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan
Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai
anggota;
c. Pengadu/Teradu.
Bagian Kedua
PENGADUA
N

Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari
organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan
Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga
bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut
epentingan hukum dan kepentingan umum dan yang
dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai
pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN

Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap
melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara
tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan
Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu
menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah
Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan
Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah
meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan
Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk
memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui
Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH
DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang
dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang
adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy
surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari
pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis
kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap
perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu
tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua
dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap
tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah
melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban
sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan
hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat
segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak
yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka
Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan
menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan
kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah
ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari
sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat
menguasakan kepada orang lain, yang jika
dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh
penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-
bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara
pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan
yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan
pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan
langsung dengan kepentingan organisasi atau umum,
dimana pengadu akan mencabut kembali
pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang
dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-
alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa
dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak
tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya
paling lambat 14 (empat belas) hari dengan
memanggil pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua)
kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan
dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan
pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa
materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan
umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali
tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
diteruskan tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di
luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan
yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN
CABANG/DAERAH

Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang
anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis,
tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin
oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia
berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan
diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara
persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua
Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan
keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan,
pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi
maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan
yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat
diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili
serta menjatuhkan sanksisanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan
yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal
Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan
suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang
terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari,
tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara
berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan
didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota
Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani
keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang
bersangkutan.

Bagian Ketujuh
SANKSI-
SANKSI

Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat
pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak
berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat
atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik
dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak
mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan
kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan
maksud dan tujuan merusak citra serta martabat
kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi
advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian
sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari
keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar
Advokat.

Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN
KEPUTUSAN

Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan
kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi
profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi
profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan
telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING
DEWAN
KEHORMATAN PUSAT

Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan
permohonan banding atas keputusan tersebut kepada
Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding
yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima
salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima
Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui
surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku
terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori
Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak
menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah
melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang
diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan
Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya
pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan
Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang
anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah
satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau
ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum
serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik
Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang
khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua
Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh
anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan
yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu
dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang
bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya
sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima
permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang
diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal
saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari
kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh
Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada
tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah,
mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat
banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN
KEHORMATAN

Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah
atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/
Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan
tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau
tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya
telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak- pihak yang
bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan
mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum
manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan
Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai
pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun
terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang
bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing
organisasi profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan
Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta
kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk
memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan
organisasi profesi.

Bagian Kesebelas
KETENTUAN
LAIN
TENTANG DEWAN KEHORMATAN

Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang
telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan
atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan
kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/
Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap
anggota dari masing-masing organisasi.

BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN

Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan
Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan
profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang
diberlakukan dan berlaku di Indonesia.
BAB XI
ATURAN
PERALIHAN

Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja
Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh
Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum
Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang
yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa
terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-
organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai
dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002
dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan
lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini
akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan
Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan
dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan
belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau
dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus
berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
BAB XXII
PENUTUP

Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-
undang tentang Advokat

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei
2002 Oleh :

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA


(IKADIN) Ttd. Ttd.
H. Sudjono, S.H. Otto Hasibuan, S.H. MM.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA


(AAI) Ttd. Ttd.
Denny Kailimang, S.H. Teddy Soemantry, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA


(IPHI) Ttd. Ttd.
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA


(AKHI) Ttd. Ttd.
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua
5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR
MODAL Ttd. Ttd.
Soemarjono S., S.H. Hafzan Taher, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA


(SPI) Ttd. Ttd.
Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA


(HAPI) Ttd. Ttd.

H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.


Ketua Umum Sekretaris Jenderal
PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam


Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia
(SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI),
dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode
etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei
2002 sehingga seluruhnya menjadi :

BAB XXII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu
sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA:

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA


(IKADIN) Ttd. Ttd.
H. Sudjono, S.H. Otto Hasibuan, S.H. MM.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA


(AAI) Ttd. Ttd.
Denny Kailimang, S.H. Teddy Soemantry, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA
(IPHI) Ttd. Ttd.
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA


(AKHI) Ttd. Ttd.
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H.,
LL.M. Sekretaris/Caretaker Ketua
Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR


MODAL Ttd. Ttd.
Soemarjono S., S.H. Hafzan Taher, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA


(SPI) Ttd. Ttd.
Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso,
S.H. Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA


(HAPI) Ttd. Ttd.
H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
PERATURAN BERSAMA

KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA

DAN

KETUA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK


INDONESIA
Nomor : 02/PB/MA/IX/2012

02/PB/P.KY/09/2012

TENTANG

PANDUAN PENEGAKAN KODE ETIK


DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA

DAN

KETUA KOMISI YUDISIAL


REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam


Kode Etik dan PedomanPerilaku Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan
Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/
SKB/IV/2009 — 2/SKB/P.KY/IV/2009,
perlu menetapkan Peraturan Bersama tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009


tentang Perubahan Keduaatas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4958);
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234);
4. Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan atas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5250);
5. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor
47/ KMA/SKB/IV/2009 —
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim Juncto
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36
P/HUM/2011 Tanggal 9 Februari 2012.

Memperhatikan : Hasil Rapat Pleno Tim Penghubung dan Tim


Asistensi yang dibentukberdasarkan:
1. Hasil kesepakatan rapat koordinasi antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang
dilakukan pada tanggal 8 Desember 2011 di
Mahkamah Agung;
2. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor: 210/KMA/SK/XII/2011 tentang
Pembentukan Tim Penghubung Mahkamah
Agung RI Dalam Rangka Kerja Sama
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI;
3. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor: 211/KMA/SK/XII/2011 tentang
Pembentukan Tim Asistensi Mahkamah
Agung RI Dalam Rangka Kerja Sama
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI;
4. Keputusan Komisi Yudisial RI Nomor: 5/
KEP/P.KY/I/2012 tentang Pembentukan Tim
PenghubungdanTimSekretariatPenghubung
Komisi Yudisial dalam Kerangka Kerjasama
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung;
5. Keputusan Komisi Yudisial RI Nomor: 6/
KEP/P.KY/I/2012 tentang Pembentukan Tim
Asistensi Komisi Yudisial Dalam Kerangka
Kerjasama Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA


KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIKINDONESIA DAN KETUA
KOMISI YUDISIAL
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PANDUAN PENEGAKAN
KODE ETIK DAN PEDOMAN
PERILAKU HAKIM.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam peraturan bersama ini yang dimaksud dengan:
1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan
keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun
di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009
tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
2. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, termasuk hakim ad hoc dan hakim pengadilan
pajak.
3. Pimpinan Mahkamah Agung adalah Ketua, Wakil Ketua
Bidang Yudisial, Wakil Ketua Bidang Non Yudisial, dan
para Ketua Muda pada Mahkamah Agung.
4. Pimpinan Pengadilan adalah:
a. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Tingkat
Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama pada
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Kepala dan Wakil Kepala pada Pengadilan Militer
Utama, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan
Militer; serta
c. Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Pajak.
5. Perilaku hakim adalah sikap, ucapan, dan/atau perbuatan
yang dilakukan oleh seorang hakim dalam kapasitas
pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk
perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas
profesi.
6. Pelanggaran adalah setiap sikap, ucapan, dan/atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang Hakim yang
bertentangan dengan norma-norma yang ditentukan dalam
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
7. Pelapor adalah setiap orang atau badan yang
menyampaikan laporan pengaduan mengenai suatu dugaan
pelanggaran.
8. Terlapor adalah Hakim yang diduga melakukan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
9. Konfirmasi adalah tindakan meminta informasi untuk
memperjelas suatu laporan pengaduan kepada Pelapor.
10. Klarifikasi adalah tindakan meminta penjelasan atau
keterangan lebih lanjut kepada Terlapor, Pimpinan
Pengadilan, dan/atau pihak terkait lainnya untuk
memperjelas indikasi suatu dugaan pelanggaran.
11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh tim pemeriksa dengan cara meminta keterangan
kepada pelapor, terlapor, saksi-saksi dan pihak-pihak
terkait lainnya, mendapatkan dokumen-dokumen terkait,
barang bukti, dan observasi lapangan yang dihimpun dan
kemudian dianalisa guna memberi keyakinan kepada tim
pemeriksa tentang terbukti atau tidaknya suatu dugaan
pelanggaran.
12. Tim Pemeriksa adalah tim yang dibentuk oleh pejabat yang
berwenang, untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap
suatu dugaan pelanggaran.
13. Sanksi adalah sanksi administratif yang dikenakan kepada
hakim yang terbukti melakukan pelanggaran.
14. Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri
bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan
terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk
dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.
15. Hakim nonpalu adalah hakim yang dijatuhi sanksi tidak
diperkenankan memeriksa dan mengadili perkara dalam
tenggang waktu tertentu.
16. Pemberhentian adalah pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak dengan hormat.
17. Pemberhentian sementara adalah pemberhentian untuk
waktu tertentu terhadap seorang hakim sebelum adanya
putusan pengadilan dalam perkara pidana yang dijalaninya
berkekuatan hukum tetap atau keputusan pemberhentian
tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
18. Pemberhentian tetap dengan hak pensiun sebagaimana
dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, dimaknai sebagai
pemberhentian dengan hormat.
19. Hari adalah hari kalender.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2
(1) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim dimaksudkan sebagai acuan dalam rangka
menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim bertujuan untuk menciptakan kepastian dan
kesepahaman dalam penerapan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Bagian Ketiga
Prinsip-
Prinsip

Pasal 3
(1) Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim didasarkan pada prinsip-prinsip:
a. independensi hakim dan pengadilan;
b. praduga tidak bersalah;

c. penghargaan terhadap profesi hakim dan


pengadilan;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. kehati-hatian dan Kerahasiaan;
g. obyektivitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. perlakuan yang sama; dan
j. kemitraan.
(2) Prinsip independensi hakim dan pengadilan dimaksudkan
bahwa pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(3) Prinsip praduga tidak bersalah dimaksudkan bahwa
Terlapor yang diperiksa berkaitan dengan adanya dugaan
pelanggaran dianggap tidak bersalah sampai dengan
dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi administratif
berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang.
(4) Prinsip penghargaan terhadap profesi hakim dan lembaga
pengadilan dimaksudkan bahwa kegiatan pengawasan dan
penanganan dugaan pelanggaran dilaksanakan sedemikian
rupa agar sedapat mungkin tidak menciderai kewibawaan
hakim dan pengadilan.
(5) Prinsip transparansi dimaksudkan bahwa masyarakat dapat
selalu mengakses, baik secara aktif maupun secara pasif,
informasi publik yang berkaitan dengan kegiatan
pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran.
(6) Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa dalam setiap
kegiatan pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran
kode etik dan pedoman perilaku hakim, setiap pejabat
pelaksana berkewajiban mempertanggungjawabkan setiap
tindakan dan/atau kebijakan yang diambilnya, baik secara
internal kepada kolega dan atasannya, maupun secara
eksternal kepada masyarakat.
(7) Prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan dimaksudkan bahwa
setiap kegiatan pemeriksaan yang berkaitan dengan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
dilakukan secara hati-hati dan hasilnya bersifat rahasia.
(8) Prinsip obyektivitas dimaksudkan bahwa setiap kegiatan
pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim didasarkan pada kriteria
dan parameter yang jelas.
(9) Prinsip efektivitas dan efisiensi, dimaksudkan bahwa
pengawasandanpemeriksaanterhadapdugaanpelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dilakukan secara
tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(10) Prinsip perlakuan yang sama dimaksudkan bahwa dalam
penanganan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim, Pelapor dan Terlapor memiliki hak dan
diberi kesempatan yang sama.
(11) Prinsip kemitraan dimaksudkan bahwa Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial bekerjasama dan saling mendukung
dalam pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
BAB II
KEWAJIBAN DAN
LARANGAN

Pasal 4
Kewajiban dan larangan bagi Hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh)
prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
a. berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri;
h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati; dan
j. bersikap profesional.

Pasal 5
(1) Berperilaku adil bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah
memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang
sama (equalityand fairness) terhadap setiap orang. Oleh
karenanya, seseorang yang melaksanakantugas atau profesi
di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab
menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu
berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku adil
adalah:
a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya
dengan menghormati asas praduga tak bersalah,
tanpa mengharapkan imbalan.
b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun
di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari
keadilan.
c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat
mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili
perkara yang bersangkutan.
d. Hakim dalam suatu proses persidangan wajib
meminta kepada semua pihak yang terlibat proses
persidangan untuk tidak menunjukkan rasa suka atau
tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan
terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal
kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental,
usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar
kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau
pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik
melalui perkataan maupun tindakan.
e. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua
pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk
menghukum.
f. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau
kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu
proses hukum di Pengadilan.

(3) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku adil


adalah:
a. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu
pihak yang tengah berperkara atau kuasanya
termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi
yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan.
b. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang
menunjukkan rasa suka atau tidak suka,
keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap
suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan,
perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau
status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan
hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui
perkataan maupun tindakan.
c. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan
ataumelakukantindakanlainyangdapatmenimbulkan
kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau
menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-
saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku
yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai
pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan
dan pengawasan hakim yang bersangkutan.
d. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan
pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk
mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol
jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan
perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan
perkara.
e. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang
berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di
dalam lingkungan gedung pengadilan demi
kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan
secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang
berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan
perlakuan dan ketidak berpihakan.

Pasal 6
(1) Berperilaku jujur bermakna dapat dan berani menyatakan
bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak
dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap
pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik
dalam persidangan maupun diluar persidangan.
(2) Kewajiban hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela.
b. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela.
c. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku
dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta
para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap
ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan
(impartiality).
d. Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi
yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung,
dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
e. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan
setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama dan setelah menjabat.
(3) Larangan bagi hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus
mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak
atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta
atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas
dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili;
4) pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat
akan diadili oleh hakim yang bersangkutan
yang secara wajar (reasonable) patut dianggap
bertujuan atau mengandung maksud untuk
mempengaruhi Hakim dalam menjalankan
tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau
hadiah yang ditinjau dari segala keadaan
(circumstances) tidak akan diartikan atau
dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam
pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian
yang berasal dari saudara atau teman dalam
kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang
tahun, hari besar keagamaan, upacara adat,
perpisahan atau peringatan lainnya sesuai adat
istiadat yang berlaku, yang nilainya tidak melebihi
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Pemberian
tersebut termasuk dalam pengertian hadiah
sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
b. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai
pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh,
petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan
untuk meminta atau menerima hadiah, hibah,
warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun
sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau
akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang
bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya
dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
4) pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili
oleh hakim tersebut;
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat
akan diadili oleh hakim yang bersangkutan,
yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk
mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku
jujur, hakim dibolehkan menerima imbalan dan
atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra
yudisial dari pihak yang tidak mempunyai
konflik kepentingan, sepanjang imbalan dan
atau kompensasi tersebut tidak mempengaruhi
pelaksanaan tugas-tugas yudisial dari hakim
yang bersangkutan.

Pasal 7
(1) Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak
sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat
baik norma-norma hukum, norma- norma keagamaan,
kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta
mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku
yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi
yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang
tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku arif dan
bijaksana adalah:
a. Hakim wajib menghindari tindakan tercela.
b. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota
profesi hukum lain yang secara teratur beracara di
pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat
menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
c. Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak
ketiga lainnya.
(3) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku arif
dan bijaksana adalah:
a. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota
keluarga hakim yang bersangkutan bertindak
mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai
pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara
tersebut.
b. Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya
digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum
untuk menerima klien atau menerima anggota-
anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.
c. Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan
untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga
lainnya.
d. Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan
lain yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas
yudisialnya.
e. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada
masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat
atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan
yang adil, independen, dan tidak memihak.
f. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat
mengenai substansi suatu perkara di luar proses
persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang
diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
g. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang
belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam kondisi apapun.
h. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum
ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk
dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan
hakim dalam perkara lain.
i. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota
dari partai politik.
j. Hakim tidak boleh secara terbuka menyatakan
dukungan terhadap salah satu partai politik.
k. Hakim tidak boleh atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa
hakim tersebut mendukung suatu partai politik.
(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku arif dan
bijaksana, hakim diperbolehkan:
a. membentuk atau ikut serta dalam organisasi para
hakim atau turut serta dalam lembaga yang mewakili
kepentingan para hakim.
b. melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak
menggangu pelaksanaan tugas yudisial, antara lain
menulis, memberi kuliah, mengajar dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan
hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan, keadilan atau
hal-hal yang terkait dengannya.
c. menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur
beracara di pengadilan atau informasi lain yang tidak
berhubungan dengan substansi perkara dari suatu
perkara, berdasarkan penugasan resmi dari Pengadilan.
d. memberikan keterangan atau menulis artikel dalam
surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk- bentuk
kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai
hukum atau administrasi peradilan secara umum
yang tidak berhubungan dengan masalah substansi
perkara tertentu.
e. menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi
dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan
mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan
dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak
dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim dalam
membahas suatu perkara.
f. menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba
yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum,
administrasi peradilan, lembaga pendidikan dan sosial
kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap
kemandirian Hakim.
g. berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan amal
yang tidak mengurangi sikap netral (ketidakberpihakan)
Hakim.

Pasal 8
(1) Berperilaku mandiri bermakna mampu bertindak sendiri
tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan
siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri
mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh,
berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas
kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum
yang berlaku.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku mandiri
adalah:
a. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara
mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman
atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun
tidak langsung dari pihak manapun.
b. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut
dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta
kelompok lain yang berpotensi mengancam
kemandirian (independensi) Hakim dan Badan
Peradilan.
c. Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap Badan Peradilan.

Pasal 9
(1) Berperilaku berintegritas tinggi bermakna memiliki sikap
dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak
tergoyahkan.
(2) Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia
dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma- norma
yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
(3) Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan
tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan
terbaik.
(4) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku
berintegritas tinggi adalah:
a. Hakim harus berperilaku tidak tercela.
b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung
maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut dan
pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh
hakim yang bersangkutan.
c. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan advokat yang
sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat
hakim tersebut menjabat.
d. Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan
informasi mengenai kepentingan pribadi yang
menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam
menangani suatu perkara.
e. Hakim harus mengetahui urusan keuangan
pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya
dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui
urusan keuangan para anggota keluarganya.
f. Hakim yang memiliki konflik kepentingan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c dan
huruf d wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan
untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal
mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang
mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau
persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara
jujur dan tidak berpihak.
g. apabila muncul keragu-raguan bagi hakim mengenai
kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan
mengadilisuatuperkara, wajibmemintapertimbangan
Ketua.
(5) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
berintegritas tinggi adalah:
a. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila
memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan
pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan
lain yang beralasan (reasonable) patut diduga
mengandung konflik kepentingan.
b. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan,
memperlambat pemeriksaan perkara, menunda
eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam
menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
c. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim
anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera
yang menangani perkara tersebut.
d. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab
dengan pihak yang berperkara, penuntut, advokat,
yang menangani perkara tersebut.
e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
pernah mengadili atau menjadi penuntut, advokat
atau
panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di
pengadilan tingkat yang lebih rendah.
f. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan
perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat
menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum
menjadi hakim.
g. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan
menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-
akan berada dalam posisi khusus yang dapat
mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan.
h. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah
satu pihaknya adalah organisasi atau kelompok
masyarakat apabila hakim tersebut masih atau pernah
aktif dalam organisasi atau kelompok masyarakat
tersebut.
i. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah
satu pihaknya adalah partai politik apabila hakim
tersebut masih atau pernah aktif dalam partai politik
tersebut.
j. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan
sebagai hakim untuk mengejar kepentingan pribadi,
anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan
finansial.
k. Hakim dilarang mengijinkan pihak lain yang akan
menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
l. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
hakim tersebut telah memiliki prasangka yang
berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui
fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara
yang akan disidangkan.
m. Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah,
pemberian, pinjaman, atau manfaat lainnya,
khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus dari
Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut
tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas- tugas
yudisial.
(6) Dalam kaitannya dengan penerapan berintegritas tinggi,
Pimpinan Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan
yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan
dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat
hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan
suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga
akan diajukan ke Pengadilan.

Pasal 10
(1) Berperilaku bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku
bertanggung jawab adalah:
a. Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.
b. Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan
informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam
kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak
ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

Pasal 11
(1) Berperilaku menjunjung harga diri bermakna bahwa pada
diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
(2) Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim,
akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan
tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa
menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur
Peradilan.
(3) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku menjunjung
harga diri adalah:
a. Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat
lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
b. Hakim wajib menganjurkan agar anggota keluarganya
tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi
jabatan hakim tersebut.
(4) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
menjunjung harga diri adalah:
a. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan
transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi
sebagai hakim.
b. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain
yang berhubungan dengan perkara.
c. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi
sebagai layaknya seorang advokat, kecuali jika:
1) hakim tersebut menjadi pihak di persidangan;
2) memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk
anggota keluarga atau teman sesama hakim
yang tengah menghadapi masalah hukum.
d. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan
yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain.
e. Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan
yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain.
f. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor,
administratorataukuasapribadilainnya,kecualiuntuk
urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut,
dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut
secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi
pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim.
g. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Dalam penerapan perilaku menjunjung harga diri, mantan
hakim dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan
pekerjaan sebagai advokat yang berpraktik di Pengadilan
terutama di lingkungan peradilan tempat yang
bersangkutan pernah menjabat, paling sedikit selama 2
(dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti
sebagai hakim.

Pasal 12
(1) Berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma
atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur
untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan.
(2) Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam
pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam
lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang
dipercayakan kepadanya.

Pasal 13
(1) Berperilaku rendah hati bermakna kesadaran akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan
terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
(2) Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis,
mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai
pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap
tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh
rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
(3) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, Hakim harus
melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang
tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat
penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Esa.
(4) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, hakim tidak
boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan
mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan
dari siapapun juga.

Pasal 14
(1) Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh
tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan
kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar
pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
(2) Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi
yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu
pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil
pekerjaan, efektif dan efisien.

BAB III
YURISDIKSI

Pasal 15
Dalam melakukan pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial tidak dapat menyatakan benar atau salahnya
pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim.

Pasal 16
Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran terhadap Pasal 12 dan
Pasal 14 yang merupakan implementasi dari prinsip berdisiplin
tinggi dan prinsip bersikap profesional dilakukan oleh
Mahkamah
Agung atau oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial
dalam hal ada usulan dari Komisi Yudisial untuk dilakukan
pemeriksaan bersama.

Pasal 17
(1) Dalam hal Komisi Yudisial menerima laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang juga merupakan pelanggaran
hukum acara, Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung menilai hasil penelaahan atas
laporan masyarakat yang diusulkan olehKomisi Yudisial
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak layak ditindaklanjuti,
Mahkamah Agung memberitahukan hal tersebut kepada
Komisi Yudisial paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
hasil telaahan diterima.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung menilai hasil penelaahan atas
laporan masyarakat yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud ayat (1) layak ditindaklanjuti,
Mahkamah Agung memberitahukan hasil tindak lanjut
tersebut kepada Komisi Yudisial paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak hasil telaahan diterima.

BAB IV
TINGKAT DAN JENIS PELANGGARAN

Pasal 18
(1) Pelanggaran ringan meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c;
b. Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c;
c. Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k;
d. Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c;
e. Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e;
f. Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m;
g. Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f;
h. Pasal 13 ayat (1), (2), (3) dan (4);
(2) Pelanggaran sedang meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e;
b. Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e;
c. Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b;
d. Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f dan j;
e. Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g;
f. Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j;
g. Pasal 11 ayat (3) huruf b;
h. Pasal 11 ayat (4) huruf c;
(3) Pelanggaran berat meliputi pelanggaran atas:
a. Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f;
b. Pasal 5 ayat (3) huruf b, c dan d;
c. Pasal 6 ayat (2) huruf a;
d. Pasal 7 ayat (3) huruf a, d dan i;
e. Pasal 8 ayat (2) huruf b;
f. Pasal 9 ayat (4) huruf a dan f;
g. Pasal 9 ayat (5) huruf b, c, e, f dan i;
h. Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b;
i. Pasal 11 ayat (3) huruf a;
j. Pasal 11 ayat (4) huruf b, d dan g;
(4) Pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 dapat
diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat,
tergantung dari dampak yang ditimbulkannya.

BAB V
SANKSI

Pasal 19
(1) Sanksi terdiri dari:
a. sanksi ringan;
b. sanksi sedang;
c. sanksi berat.
(2) Sanksi ringan terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Sanksi sedang terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu)
tahun;
b. penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji
berkala paling lama 1 (satu) tahun;
c. penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan;
e. mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih
rendah;
f. pembatalan atau penangguhan promosi.

(4) Sanksi berat terdiri dari:


a. pembebasan dari jabatan;
b. Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun;
c. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat
lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun;
d. pemberhentian tetap dengan hak pensiun;
e. pemberhentian tidak dengan hormat.
(5) Terhadap hakim yang diusulkan untuk dijatuhi
pemberhentian tetap dan pembelaan dirinya telah ditolak
oleh Majelis Kehormatan Hakim, dikenakan pemberhentian
sementara berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung.
(6) Tingkat dan jenis sanksi yang dijatuhkan terhadap hakim
yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan tingkat
dan jenis pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), (2), dan (3) dapat disimpangi dengan
mempertimbangkan latar belakang, tingkat keseriusan,
dan/atau akibat dari pelanggaran tersebut.

Pasal 20
(1) Sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 berlaku
untuk hakim karir pada pengadilan tingkat pertama dan
pengadilan tingkat banding.
(2) Terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses
penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan
peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara
Nasional Indonesia.

Pasal 21
Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad hoc, terdiri
atas:
a. sanksi ringan berupa teguran tertulis;
b. sanksi sedang berupa nonpalu paling lama 6 (enam)
bulan;
c. sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak dengan hormat dari jabatan hakim.

Pasal 22
Tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Agung, terdiri
atas:
a. sanksi ringan berupa teguran tertulis;
b. sanksi sedang berupa nonpalupaling lama 6 (enam) bulan;
c. sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau
tidak dengan hormat dari jabatan hakim;

BAB VI
PEJABAT YANG BERWENANG

Pasal 23
Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 24
(1) Keputusan penjatuhan sanksi ringan dinyatakan secara
tertulis dan disampaikan oleh pejabat yang berwenang
menghukum kepada Terlapor.
(2) Keputusan penjatuhan sanksi sedang dan berat dinyatakan
secara tertulis dan disampaikan kepada Terlapor oleh
pejabat yang berwenang menghukum melalui Ketua
Pengadilan dimana Terlapor bertugas.

BAB VII
KEPUTUSAN

Pasal 25
Keputusan penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim tidak dapat diajukan keberatan.

Pasal 26
(1) Sanksi yang dijatuhkan kepada hakim berlaku sejak tanggal
disampaikan oleh pejabat yang berwenang kepada yang
bersangkutan.
(2) Apabila hakim yang dijatuhi sanksi tidak hadir pada waktu
penyampaian keputusan, maka keputusan itu berlaku pada
hari ketiga puluh terhitung mulai tanggal yang ditentukan
untuk penyampaian keputusan tindakan tersebut.
(3) Setiap keputusan penjatuhan sanksi kepada hakim
diberikan tembusannya kepada Komisi Yudisial.

BAB XI
PENUTUP

Pasal 27

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 27 September 2012

KETUA KOMISI YUDISIAL KETUA MAHKAMAH


AGUNG REPUBLIK INDONESIA, REPUBLIK
INDONESIA,
ttd ttd
Prof. Dr. H. EMAN SUPARMAN, S.H., M.H. Dr. H.M.
HATTAALI, S.H., M.H.
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 01 TAHUN 2008
Tentang
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu


proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan
akses yang lebih besar kepada para pihak
menemukan penyelesaian yang memuaskan
dan memenuhi rasa keadilan.
b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam
proses beracara di pengadilan dapat menjadi
salah satu instrument efektif mengatasi
masalah penumpukan perkara di pengadilan
serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi
lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang
bersifat memutus (ajudikatif).
c. Bahwa hukum acara yang berlaku,
baik pasal 130 HIR maupun pasal
154 RBg, mendorong para pihak
untuk menempuh proses perdamaian
yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.
d. Bahwa sambil menunggu peraturan
perundang-undangan dan memperhatikan
wewenang Mahkamah Agung dalam
mengatur acara peradilan yang belum cukup
diatur oleh peraturan perundang- undangan,
maka demi kepastian, ketertiban, dan
kelancaran dalam proses mendamaikan
para pibak untuk menyelesaikan suatu
sengketa perdata, dipandang perlu
menetapkan suatu Peraturan Mahkamah
Agung.
e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan
berdasarkan peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 2 tahun 2003,
ternyata ditemukan beberapa permasalahan
yang bersumber dari peraturan mahkamah
agung tersebut, sehingga Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 perlu
direvisi dengan maksud untuk lebih
mendayagunakan mediasi yang terkait
dengan proses berperkara di pengadilan.

Mengingat : 1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia tahun 1945.
2. Reglemen Indonesia yang dipcrbaharui
(HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan
Reglemen Hukurn Acara untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (RBg) Staatblad 1927
Nomor 227;
3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran
Negara Nomor 8 tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor l4 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, lembaran
Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No.5
Tahun 2004 tentang Perubahan Alas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkarnah Agung, lembaran
Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan tambahan
lernbaran, Negara No. 4359 Tahun 2004;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 ten
tang Peradilan Umum, lembaran Negara
Nomor 20 Tahun t 986, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 ten tang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umurn, Lembaran
Negara Nomor 34 Tahun 2004;
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional,
Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang peradilan Agama, Lembaran Negara
Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22
Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4611.
MEMUTUSKAN :
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan ini dimaksud dengan :
1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Akta perdamaian adalah akta yang memuaj isi kesepakatan
perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan
kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada
upaya hukum biasa maupun luar biasa.
3. Hakim adalah hakim tunggal atau majeiis hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk
mengadili perkara perdata;
4. Kaukus adalahpertemuan antara mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya;
5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat
syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna
mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya
perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih
berdasarkan Peraturan ini;
6. Mediator adalah pihal netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan
cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;
7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator;
8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan
kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa
mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian;
9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi
sebagaimana diatur dalam peraturan ini;
10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap
pihak yang memuat duduk perkara dan at au usulan
penyelesaian sengketa;
11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan
bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan
ataau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga
yang telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung;
12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa perternuan-
pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa
hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan
oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam
pertemuan tidak boleh disampaikan kepada- publik
terkecuali at as izin para pihak.
13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam
lingkungan peradilan umurn dan peradilan agama.
14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

Pasal 2
Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma

(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk


mediasi yang terkait dengan proses berperkara di
Pengadilan.
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
diatur dalam peraturan ini.
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan
ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130
HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan
menyebutkan nama mediator untuk perkara yang
bersangkutan.

Pasal 3
Biaya Pemanggilan Para Pihak

(1) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses


mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak Penggugat
melalui uang panjar biaya perkara.
(2) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya
pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para
pihak.
(3) Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya
pemanggilan para pihak dalarn proses mediasi dibebankan
kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya
perkara.

Pasal 4
Jenis Perkara Yang Dimediasi

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan


niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan
atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua
sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama
wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian
dengan bantuan mediator.
Pasal 5
Sertifikasi Mediator

(1) Kecuali keadaan scbagaimana dimaksud pasal 9 ayat (3)


dan pasal 11 ayat (6), setiap orang yang yang menjalankan
fungsi mediator pada asasnya
wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah
mengikuti pelatihan yang diseJenggarakan oleh lembaga
yang telah memperoieh akreditasi dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim,
advokat, akadcmisi hukum dan profesi bukan hukum
yang bersetifikat mediator, hakim di Jingkungan
pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan
fungsi mediator.
(3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus
memenuhi syarat-syarat berikut :
a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia;
b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki
sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan
mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai
instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi;
c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan
pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat
di pengadilan;
d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi
di pengadiian yang disahkan oleh MahkamahAgung
Republik Indonesia.

Pasal 6
Sifat Proses Mediasi

Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak


menghendaki lain.
BAB II
TAHAP PRA MEDIASI

Pasal 7
Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa
Hukum

(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi.
(2) Ketidakhadiran pihak turut Tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi.
(3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para
pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung atau
aktif dalam proses mediasi.
(4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para
pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses
mediasi
(5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
proses mediasi.
(6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma
ini kepada para pihak yang bersengketa.

Pasal 8
Hak Para Pihak Memilih Mediator

(1) Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-


pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan
yang bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum;

Pasal 9
(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua
Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai
dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para
mediator
(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang
telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator
(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak
ada mediator yang bersertifikat, semua hakim para
pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam
daftar mediator
(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar mediator para pengadilan yang
bersangkutan
(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat,
Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam
daftar mediator
(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan
memperbarui daftar mediator
(7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator
dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif,
Antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap,
ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas
pedoman perilaku

Pasal 10
Honorarium Mediator

(1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya


(2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak

Pasal 11
Batas Waktu Pemilihan Mediator

(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim
mewajibkan para pihak pada hari itujuga atau paling lama
2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator tennasuk biaya yang mungkin timbul
akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
(2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka
kepada ketua majelis hakim.
(3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih
untuk melaksanakan tugas.
(4) Jika setelah jangka wakru maksimal sebagaimana
dimaksud ayat (l) terpenuhi, para pihak tidak dapat
bersepakat memilih mediator yang dikehendaki maka para
pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih
mediator kepada ketua majelis hakim.
(5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang
kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang
bersertifikat pada pengadilan yang sarna untuk
menjalankan fungsi mediator.
(6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim
bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, rnaka Hakim
Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa sertifikat yang
ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib menjalankan
fungsi mediator.

Pasal 12
Menempuh Mediasi Dengan Itikad Baik

(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad


baik.
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses
mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan
iktikad tidak baik.
BAB III
TAHAP TAHAP PROSES MEDIASI

Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses
Mediasi

(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kcrja setelah para
pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-rnasing
pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sarna
lain dan kepada mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat
mcuyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.
(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (em pat
puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana
dimaksud dalam pasalll ayat (5) dan (6).
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi
dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari scbagaimana
dimaksud dalam ayat 3.
(5) Jangka waktu proses mediasi tidak tennasuk jangka waktu
pemeriksaan perkara.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak,
mediasi dapat di lakukan secara jarak jauh dengan
menggunakan alat komunikasi.

Pasal 14
Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal

(1) Mediator berkewajiban menyatakan mcdiasi telah


gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa
hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi sesuai jadwal perternuan mediasi
1ang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak
menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah
dipanggil secara patut.
(2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami
bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan
aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-
nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan
dalarn surat gugatan sehingga pihak lain yang
berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam
proses rnediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para
pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang
bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan
para pihak tidak lengkap.

Pasal 15
Tugas-Tugas Mediator

(1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan


mediasi kepada para pihak untuk dib ahas dan disepakati.
(2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara
langsung berperan dalam proses mediasi.
(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri
dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai
pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Pasal 16
Keterlibatan
Ahli

(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator


dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam
bidang: tertentu untuk memberikan penjelasan atau
pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan
tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari
penjelasan dan atau peniJaian seorang ahli.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih
dalarn proses mediasi ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.

Pasal 17
Mencapai
Kesepakatan

(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para


pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
(2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa
hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
(3) Sebelum para,pihak menandatangani kesepakatan,
mediator memeriksa materi kesepakatan pcrdamaian untuk
menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan
hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang
memuat iktikad tidak baik .
(4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada
hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian.
(5) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian
kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian.
(6) Jika para pihak tidak mengkehendaki kesepakatan
perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian,
kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan
gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah
selesai.
Pasal 18
Tidak Mencapai Kesepakatan

(1) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari


kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3),
para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau
karena sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 14,
mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses
Inediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada
hakim.
(2) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.
(3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa
perkara tetap berwenang untuk mendorong atau
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan
putusan.
(4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada
pihak hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 19
Keterpisahan Mediasi dan
Litigasi

(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan


dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
(2) Catatan mediator wajib dimusnahkan.
(3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan.
(4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana
maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil
proses mediasi.
BAB IV
TEMPAT PENYELENGGARAAN MEDIASI

Pasal 20
(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang
PengadiJan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang
disepakati oleh para pihak.
(2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di
luarpengadiJan.
(3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan
Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
(4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di
tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan.

BAB V
PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING,
KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI

Pasal 21
(1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat
rnenempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang
dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau
terhadap perkara yang diperiksa pada tingkat banding,
kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus.
(2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib
disampaikan sccara tertulis kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang mengadili.
(3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding
yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang
kehendak para pihak untuk menernpuh perdamaian.
(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim
pemeriksa ditingkat banding, kasasi, dan peninjauan
kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang
bersangkutan selama 14 (ernpat belas) hari kerja sejak
menerima pemberitahuan ten tang kehendak para pihak
menernpuh perdamaian.
(5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan
kembali belum dikirirnkan, Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman
berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan
kembali untuk memberi kesempatan para pihak
mengupayakan perdamaian.

Pasal 22
(1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak
diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam pasal2l
dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut
ditingkat pertama atau di temp at lain atas persetujuan para
pihak.
(3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang
hakim atau lebih untuk menjadi mediator.
(4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak
boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama,
terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat
Pertama tersebut.
(5) Para pihak melalui Pengadilan Tingkat Pertama dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada
majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan
kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6) Akta perdamaian ditandatangani oleh maj\lis hakim
banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak di catat dalam register induk perkara.
(7) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan
perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Pertama dan para pihak menginginkan
perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut
dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau
MahkamahAgung.

BAB VI
KESEPAKATAN DI LUAR PENGADILAN

Pasal 23
(1) Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang
berhasilmenyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan
kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh
akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan
perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan
ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian
apabila kesepakatan perdamaian tcrsebut memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi.
e. dengan iktikad baik.
BAB VII
PEDOMAN PERILAKU MEDIATOR DAN INSENTIf

Pasal 24
(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati
pedoman perilaku mediator.
(2) MahkamahAgung menetapkan pedoman perilaku
mediator.

Pasal 25
(1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan
bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.
(2) Mahkamah Agung menerbitkan peraturan mahkamah
agung tentang criteria keberhasilan hakim dan insentif bagi
hakim yang menjalankan fungsi mediator.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 26
Dengan berlakunya peraturan ini, peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 31 Juli
2008

KETUA MAHKAMAH

AGUNG TTD.
BAGIR MANAN

Anda mungkin juga menyukai