Anda di halaman 1dari 3

Mengingat ternyata kini daerah-daerah yang diindikasi rawan bencana telah menjadi daerah

permukinan penduduk yang cukup padat, Ariantara menilai harus dilakukan rekonstruksi.

Apabila proses relokasi tidak dapat dilakukan menimbang akan adanya penolakan dari masyarakat
setempat, maka sangat penting untuk memastikan bahwa penduduk di daerah tersebut memiliki
pemahaman yang kuat akan mitigasi.

“Nah, kalau untuk Bali di selatan, kalau ada tsunami besar, pasti hancur itu. Salah itu kalau dibilang
rencana reklamasi Teluk Benoa untuk mengamankan tsunami. Menyerahkan korban itu namanya. Saat
gempa di Nusa Dua itu, lumayan keras dan memang bisa menghasilkan tsunami, jika iya, Sanur bisa
kena. Tapi untuk Denpasar, tanahnya lumayan tinggi, sampai 10 meter. Logikanya, air tidak akan
sampai. Kalau Aceh, itu datar, makanya air sampai nyebrang pulau,” jelasnya.

Kejadian yang menurutnya perlu diwaspadai adalah patahan Seririt tahun 1976.

“Saat itu saya usia tujuh tahunan dan merasakannya. Di sini, semua anak-anak kumpul dan semua ke
luar ke jalan karena ada pengumuman di radio bahwa akan ada gempa besar. Waktu itu hampir setiap
hari ada gempa. Seririt itu hancur. Para orangtua di Seririt mungkin sekarang masih ingat dan bisa
bercerita,” tuturnya.

Selain itu, sejarah gempa yang juga perlu diperhatikan serius adalah Karangasem, karena akan ada
kemungkinan terjadi lagi.

Gempa yang merusak tidak hanya dilihat dari ukuran skalanya. Melainkan juga berdasarkan lokasi pusat
gempa dan kedalamannya.

Semua gempa pada dasarnya berpotensi tsunami. Semakin dangkal akan semakin merusak. Apabila
dangkal dan terjadi di laut, semakin besar potensi terjadi tsunami.
“Lalu, ke depannya, apa yang harus dilakukan? Apakah hanya menunggu bencana datang dan baru
bergerak? Harus diwaspadai sesar di Karangasem dan Seririt itu. Jika tsunami terjadi di Pangandaran,
kirimannya bisa sampai di Bali. Yang bahaya itu daerah bandara. Tsunami jika masuk teluk,
kecepatannya akan semakin tinggi. Ada diprediksi waktu dan siklus gempa itu bisa 100 sampai 200
tahun. Tapi ini terjadi perubahan dan kalau sekarang terjadi gempa, itu tidak bisa diprediksi. Gempa di
satu tempat akan mempengaruhi lempengan lainnya,” tegasnya.

Menurut Ariantana, selama ini penataan ruang di Bali lebih banyak berbasis ekonomi, sehingga
seringkali mengabaikan dampak jangka panjangnya.

Apabila sebuah wilayah terindikasi sebagai daerah rawan bencana, seharusnya tidak dipaksa untuk
menjadi pusat pariwisata.

“Selain pengembangan wilayah berbasis perekonomian, juga harus berbasiskan geologi, harus berbasis
mitigasi bencana geologi. Hotel wajib tahu. Misalnya hotel, bagian bawah tidak dijadikan tempat utama
kamar, bisa jadi parkir. Kecepatan tsunami itu 700 km/jam,” ujarnya.

Guna membangun budaya mitigasi, ia menilai paling tepat dimulai dari sekolah, sebab orangtua pastilah
akan lebih mengkhawatirkan anaknya.

Bencana yang sama sekali tidak bisa diprediksi, harus semakin membuat pemerintah lebih serius
memperkenalkan budaya mitigasi ke sekolah-sekolah.

Para guru wajib mendapatkan diklat dan pelatihan, serta idealnya bisa dimasukkan menjadi salah-satu
kurikulum.

“Budaya mitigasi ini harus dilakukan reguler, setidaknya seminggu sekali sampai waktu yang tidak
ditentukan. Regulasi harus diperbaiki. Geologi tidak hanya menjadi wewenang di pusat. Di daerah harus
jelas distribusi informasinya karena perlu dilakukan sosialisasi. Pelru menganggarkan kegiatan yang
dampaknya lebih panjang. Ini investasi anggaran,” tegasnya.

Alat Pendeteksi Tsunami di Perairan Bali Selatan Dicuri, Kini Andalkan Decision Support System
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BMKG Pusat menyatakan bahwa alat pendeteksi
tsunami yang dikenal dengan nama Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy di Bali sudah tak lagi berfungsi
sejak 2012 silam.

Sejumlah alat seharga ratusan miliar bantuan dari berbagai negara itu sempat dipasang di selatan Bali.
Namun, kini semua alat itu sudah tidak berfungsi lagi.

Lalu bagaimana cara BMKG memberikan peringatan dini tsunami kepada masyarakat khususnya warga
pesisir Bali? Padahal, Bali termasuk dalam daerah yang rawan bencana. Sementara, alat tide gauges dan
GPS menjadi tanggungjawab Badan Informasi Geospasial (BIG); dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) menangani akselerometer yang mengukur pergerakan gempa.

Anda mungkin juga menyukai