Anda di halaman 1dari 24

BUDAYA DAERAH SULAWESI SELATAN DAN

KALIMANTAN TIMUR

Nama anggota kelompok:


 Citra Mentari
 Tina Ningsi
 Ismail Yasin
 Lia Fatmawati
 Agus Saputra

SMAN 1 ALAS

Tahun pelajaran 2018/2019


Budaya Daerah Sulawesi Selatan

 Bahasa Daerah Sulawesi Selatan

Bahasa Bugis (bahasa Ugi) digunakan oleh orang-orang Bugis. Beberapa dialek dalam
bahasa Bugis misalnya Bone, Pangkep, Camba, Sinjai, Sidrap, Wajo, Soppeng, Sawitto, Barru,
dan Luwu. Suku Makasar menggunakan bahasa Mangasara (Mangasarak) dengan persebaran
sebagian besar di wilayah Pangkep, Gowa, Maros, Jeneponto, Bantaeng, Takalar, dan Makasar.
Cara pengucapan bahasa mangasara terdiri atas beberapa dialek, antara lain dialek Gowa (Gowa,
Lakiung), Turatea(Jeneponto), Maros, dan Pangkep. Bahasa Mangasara ini terdiri atas beberapa
sub bahasa, yaitu bentong, konjo pesisir, konjo pegunungan (kajang), dan selayar.

Suku Toraja menggunakan bahasa Toraja yang terdiri atas beberapa sub bahasa yaitu
bahasa Tae', Toala', dan Torajasa'dan. Bahasa Tae'digunakan di daerah Masamba sampai ujung
selatan Luwu Utara, sedangkan bahasa Torajasa'dan digunakan untuk Tana Toraja dan sebagian
Luwu Utara.

 Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Rumah adat Sulawesi Selatan bermacam-macam bentuk dan jenisnya tergantung suku
bangsa yang ada di Sulawesi Selatan. Rumah adat Tongkonan (rumah adat suku Toraja) menjadi
identitas rumah adat Sulawesi Selatan. Tongkonan berarti balai musyawarah. Menurut
kepercayaan Toraja, terdapat hubungan yang sangat erat antara manusia, bumi, dan tongkonan.
Oleh karena itu, waktu dan cara pembangunan harus memenuhi peraturan tertentu sesuai dengan
ajaran aluk todolo.
Rumah adat suku Bugis dan Makassar memiliki kesamaan. Keduanya memiliki bentuk
yang hampir sama.Orang Makassar menyebut rumah dengan balla, sedangkan orang Bugis
menyebutnya dengan bola. Rumah adat Makassar dan suku Bugis bertipe rumah panggung yang
berkolong pada bagian bawahnya. Selain rumah adat di atas, ada banyak bentuk rumah adat
lainnya di Sulawesi Selatan. Setiap daerah memiliki keunikan dan nama-nama sendiri, misalnya
rumah adat attake (kab. Wajo), Bola soba (Soppeng), rumah adat Bajo (kab. Bone), rumah adat
suku kajang (kab. Bulukumba), perkampungan nelayan (Pallopo), dan rumah terapung (Sekang).

Rumah adat di Sulawesi Selatan bermacam-macam bentuknya tergantung dari jenis suku
bangsanya. Rumah adat jenis Tongkonan (rumah adat suku Toraja) menjadi identitas rumah adat
Sulawesi Selatan.

Rumah Adat Tongkonan

Tongkonan berarti balai musyawarah. Menurut kepercayaan Toraja, ada hubungan yang
sangat erat antara manusia, tongkonan, dan bumi. Oleh karena itu, cara dan waktu pembangunan
harus memenuhi peraturan tertentu sesuai dengan ajaran aluk todolo. Bentuk rumah tongkonan
harus selalu persegi panjang dan ini tidak boleh diubah termasuk cara pemasangan kayunya.
Misalnya, pemasangan kayu silongko yaitu perpotongan kayu yang saling mengait. Pemasangan
kayu siamma' yaitu pemasangan kayu di dan ke dalam kayu di bawahnya, dengan cara tidak
boleh  menggunakan pasak dan paku. Hingga kini pembangunan Tongkonan tidak memakai
paku atau pasak pada pertemuan kayu.

Rumah adat tongkonan secara umum berstruktur panggung dengan tiang-tiang penyangga
berbentuk bulat berjajar menyangga bangunan. Tiang-tiang penyangga bangunan tersebut tidak
ditanam di dalam tanah, melainkan ditumpangkan pada batu penyangga berukuran besar yang
dipahat berbentuk persegi.

Bagian dinding dan lantai rumah adat tongkonan dibuat dari papan kayu yang disusun
dan direkatkan dengan tiang penyangga menggunakan teknik pemasangan kayu silongko dan
siamma tanpa menggunakan paku.

Bagian atap rumah adat tongkonan berbentuk seperti perahu terbalik lengkap dengan
buritannya. Ada pula yang mengatakan bentuk atap rumah tongkonan ini seperti tanduk kerbau.
Atap rumah tongkonan dibuat menggunakan bahan ijuk atau daun rumbia, meskipun kini
penggunaan atap lebih sering menggunakan seng.

Fungsi Rumah Adat Tongkonan

Masyarakat Toraja mempercayai bahwa rumah adat Tongkonan perlambang seorang ibu,
sedangkan "Alang Sura" atau lumbung padi adalah perlambang ayah. Untuk menunjang
keberadaan Tongkonan sebagai rumah tinggal dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rattiangbanua
(bagian atas) yang berfungsi sebagai ruangan untuk menyimpan benda pusaka dan benda
berharga, kale banua (bagian tengah) yaitu sebagai bagian inti rumah adat tongkonan, dan sulluk
banua (bagian bawah) yaitu sebagai kolong rumah yang biasanya dipakai untuk menyimpan alat
pertanian dan kandang ternak.

Ciri Khas Rumah Adat Tongkonan

Selain memiliki bentuk atap yang menyerupai tanduk kerbau, rumah adat Tongkonan
memiliki beberapa ciri khas yang membedakan bentuk rumah adat ini dengan suku lain di
Indonesia. Beberapa ciri khas tersebut antara lain sebagai berikut.

 Bentuk ukuran pada dinding rumah adat ini memiliki 4 warna dasar yang bermakna
filosofis. Keempat warna dasar tersebut yaitu warna merah yang melambangkan
kehidupan, warna kuning yang melambangkan keanugerahan, warna putih yang
melambangkan kesucian, dan warna hitam melambangkan kematian.
 Pada bagian depan tiang bangunan rumah terdapat susunan tanduk kerbau sebagai hiasan
rumah sekaligus melambangkan tingkat strata sosial si pemilik rumah tersebut. Dalam
budaya Toraja tanduk kerbau melambangkan kekayaan dan kemewahan.
 Di samping rumah adat Tongkonan terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai
lumbung padi "alang sura". Lumbung padi ini berbentuk bangunan panggung dengan
tiang penyangga yang terbuat dari batang pohon palem yang dibuat licin sehingga tikus
tidak bisa memanjatnya. Pada dinding lumbung padi terdapat ukiran ayam dan matahari
yang melambangkan kemakmuran dan keadilan.

Rumah adat suku Bugis dan Makassar memiliki kemiripan. Bentuk keduanya hampir
sama. Orang Makassar menyebut rumah dengan balla, sedangkan orang Bugis menyebutnya
bola. Rumah adat suku Bugis dan Makassar bertipe rumah panggung yang berkolong pada
bagian bawahnya.

 Pakaian Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Pakaian Suku Bugis


Anak laki-laki mengenakan pakaian terdiri atas tope, songkok pute passapu, lipa'sabbe,
waju kasa, dan pakambang, sedangkan anak perempuan mengenakan jempang, tope, waju
ponco/waju pella-pella/waju rawang, lipa' sabbe, waju bella dada. Pakaian dewasa sehari-hari
untuk bangsawan laki-laki berupa lipa'sabbe, waju bella dada, dan jase tutu, untuk perempuan
mengenakan waju bodo, dan lipa' sabbe. Pakaian orang biasa untuk laki-laki mengenakan
lipa'wenang dan waju, sedangkan wanita mengenakan lipa' dan waju ponco.

Pada saat upacara adat anak bangsawan laki-laki mengenakan pakambang, lipa'sabbe,
songko' pamiring, tope, serta songkok pute, sedangkan untuk perempuan mengenakan
pakambang, lipa'sabbe, waju rawang, dan waju ponco'. Sedangkan untuk anak orang biasa laki-
laki mengenakan lipa' dan songkok guru, dan perempuan mengenakan lipa'sabbe dan waju
ponco'.

Pakaian pria dewasa untuk upacara mengenakan lipa'sabbe, waju jase tutu, dan songkok
pamiring ulaweng. Pakaian yang dikenakan oleh Bissu yaitu songkok guru/ songkok to-Bone,
baju model jase tutu, rok panjang untuk ketua Bissu serta passapu dan baju kurung panjang
smpai mata kaki dengan belah dada pada bagian dada untuk para anggota Bissu.

Pakaian Suku Makassar


Pakaian sehari-hari untuk anak laki-laki yaitu salawik, lipa', lipa'sabbe, passapu, dan
songkok guru, sedangkan anak wanita memakai jempang, salawik, lipa', baju rawang, dan
lipa'sabbe. Pakaian untuk orang dewasa laki-laki memakai lipa'sabbe, songkok guru, dan jase
tutu, sedangkan untuk wanita dewasa memakai baju bodo dan lipa'sabbe.

Pakaian yang dikenakan saat upacara anak laki-laki bangsawan memakai songkok gaduk,
songkok biring, sedangkan anak wanita mengenakan waju assusun. Untuk pria dewasa laki-laki
mengenakan lipa'sabbe, jase tutu, dan songkok guru, sedangkan perempuan memakai baju
rawang, waju kasa, lipa'sabbe.

Pakaian Suku Toraja


Pakaian sehari-hari antara lain pio  (sejenis cawat yang sekarang sudah tidak digunakan
lagi), baju pokko'(pakaian khusus anak laki-laki maupun wanita), seppa' (celana pendek anak
laki-laki), sambu' (sarung untuk anak laiki-laki maupun wanita), baju pokko' serta bayu toraya
(laki-laki dan perempuan).

Pakaian saat upacara adat Rambu Tuka' masyarakat Toraja mengenakan pakaian adat
warna warni dengan warna dasar kuning. Sebaliknya, pada upacara adat Rambu Solo' masyarakat
Toraja mengenakan pakaian adat serba hitam. Pakaian adat yang dikenakan laki-laki pada kedua
upacara tersebut yaitu passapu', bayu toraya, dan salembang, sedangkan kaum wanita
mengenakan bayu toraya, dodo, dan salembang.

Selain itu masyarakat Toraja juga mengenal pakaian adat yang dikenakan laki-laki saat
upacara Ma'rinding yang merupakan bagian upacara Rambu Solo'. Ma'rinding merupakan jenis
tarian perang yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pada upacara ini kaum laki-laki mengenakan
beke', salembang, bayu toraya, dan seppa'.

Penduduk asli Sulawesi Selatan terdiri atas bermacam-macam suku bangsa. Suku bangsa
yang dominan, yaitu suku Bugis, Makassar, dan suku Toraja. Terdapat kesamaan karakteristik
antara suku Bugis dan Makassar. Sedangkan suku Toraja memiliki karakteristik yang sedikit
berbeda. Begitupula dengan jenis pakaian adat yang mereka gunakan. Nama pakaian adat dari
beberapa suku di Sulawesi Selatan antara lain sebagai berikut ini.
 Kesenian Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Tarian Tradisional Daerah Sulawesi Selatan


Tiap suku bangsa memiliki jenis tarian tradisional tertentu yang berkaitan dengan
kebudayaan masing-masing. Sulawesi Selatan memiliki beragam tarian berdasarkan suku bangsa
yang terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Tarian Suku Bugis-Makassar diantaranya tari
Pakarena, Pajoge, Pamanca, Pajaga Andi, Paddupa Bossara, Padendang, Pattenung, Paraga,
Mappuka, Ganrang Bulo, Paolle, Maddogi, Kipas, Pasere Pitupitu, Masselung Tana,
Marumatang, Galaganjur, dan Salonreng.

Tarian Suku Toraja antara lain Ma'gellu, Ma'papangngan, Daun Bulan, Burake, Ma'
dandan, Manganda', Manimbong, Pa'bondesan, Ma'bandong, Memanna, Ma'katia, dan
Ma'paranding.

Musik Tradisional Daerah Sulawesi Selatan


Suku Bugis-Makassar memiliki beberapa jenis musik tradisional. Diantaranya
mappadendang yaitu alat musik yang terdiri atas lesung dan alu. Kemudian ada Jajjakkang yaitu
peralatan musik dari kab. Gowa yang terdiri atas kancing, bacing, bulo, dan kaoppo serta Orkes
Toriolo, yaitu orkes tempo dulu dari kota Makassar yang terdiri atas alat musik biola, gendang,
gong, rebana, katto-katto, dan kannong-kannong.

Suku Kajang di kab. Bulukumba mengenal jenis musik tradisional yang disebut Basing-
Basing. Suku Toraja memiliki alat musik seperti Passuling, Pa'pelle/ Pabarrung, Pa'bas atau
Pa'pompang, Pa'karombi, Pa'geso'geso, Gendang, dan Pa'tulali.

Kerajinan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan

 Kerajinan Tenun Sutera

Sengkang, Kab. Wajo merupakan sentra penghasil kain sutra. Sementara Soppeng
sebagai penghasil benang sutra. Sejak dahulu, suku Bugis di Sengkang terkenal sebagai
penghasil kain sarung yang disebut lipa' sengkang. Lipa' sengkang ada beberapa corak, antara
lain kotak-kotak kecil (cure'renni), kotak-kotak besar (cure'lobang), motif bunga (cure'subbi),
dan variasi bunga-ombak (cure'bombang).

 Pembuat Perahu Pinisi

Desa Tana Beru, Bulukumba, yang terletak 173 km dari kota Makassar, Sulawesi Selatan
adalah desa yang sudah ratusan tahun menajadi tempat pembuatan kapal tradisional. Di desa
inilah kapal pinisi atau perahu khas Makassar dibuat. Uniknya, para pengrajin kapal di desa ini
tidak menggunakan gambar dalam bekerja. Semua seperti sudah terpola di pikiran mereka
masing-masing. Para tukang pembuat perahu (sahi) biasanya merupakan orang-orang Ara atau
Bira yang secara turun temurun mewarisi keahlian membuat perahu dari nenek moyangnya.

 Seni Ukir Toraja


Salah satu kerajinan yang terkenal dan khas Tana Toraja adalah seni ukir. Pusat kerajinan
ukir ini terdapat di desa Tikala dan Ratepao. Pada masyarakat Toraja ukiran dipakai sebagai
ragam dekorasi baik eksterior maupun interior pada rumah adat Toraja (Tongkonan), termasuk
pula pada lumbung pari (Alang Sura').

 Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Orang Makassar, Bugis dan Toraja mengenal upacara yang berhubungan dengan daur
hidup dan yang umum. Misalnya, pada masa kehamilan orang Makassar mengenal ritual adat
yang dinamakan dengan annyampa' sanro dan a'bayu minnya'. Begitupula orang bugis mengenal
makkatenni sanro, mappanre to mengindeng, dan maccera wettang yang prinsipnya sama
dengan yang diselenggarakan masyarakat Makassar.

Adapun orang Toraja sedikit berbeda karena mereka tidak mengenal ritual adat pada saat
kehamilan dan kelahiran. Namun, orang Toraja terkenal dengan penyelenggaraan adat upacara
kematian. Upacara adat kematian orang Toraja disebut dengan Rambu Solo'. Ada beberapa
tingkatan dalam perayaan Rambu Solo' tergantung status sosial orang yang mati. Dalam
perayaan Rambu Solo' terdapat bermacam-macam kegiatan seperti mapasilaga tedong (adu
kerbau), sisemba (adu kaki), tari-tarian, musik, dan pemotongan kerbau khas Toraja.

Adapun upacara yang bersifat umum yang dirayakan masyarakat Sulawesi Selatan di
antaranya, maccera tappareng, pa'jukukang, tudang ade, ma'rimpa salo. Beragam upacara
tersebut pada prinsipnya diselenggarakan masyarakat untuk mengucap rasa syukur atas
kesejahteraan yang mereka terima.

Sebagian dari masyarakat Sulawesi Selatan merayakan ritual adat pada waktu-waktu
tertentu. Upacara adat dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu yang berhubungan
dengan daur hidup (lifecycle) dan yang bersifat umum. Upacara adat yang pertama contohnya,
ritual saat kehamilan, kelahiran, dan kematian, sedangkan upacara yang kedua contohnya, ritual
sehabis masa panen yang dilakukan secara bersama-sama.

Orang Makassar, Bugis, dan Toraja mengenal upacara yang berhubungan dengan daur
hidup dan yang umum. Misalnya, pada masa kehamilan orang Makassar mengenal ritual adat
yang dinamakan dengan annyampa’ sanro (mencari dukun bersalin) dan a’bayu minnya’ (pada
usia kandungan tujuh bulan). Begitu pula orang Bugis mengenal makkatenni sanro, mappanre
to mangideng, dan maccera wettang yang prinsipnya sama dengan yang diselenggarakan orang
Makassar. Adapun orang Toraja sedikit berbeda karena mereka tidak mengenal ritual adat pada
saat kehamilan dan kelahiran. Namun, orang Toraja terkenal dengan penyelenggaraan upacara
adat yang berhubungan dengan kematian.

Upacara adat kematian orang Toraja disebut dengan Rambu Solo’. Menurut keyakinan
orang Toraja, orang mati belum dikatakan mati jika belum melaksanakan Rambu Solo’. Mereka
menganggapnya sedang sakit atau tidur. Ada beberapa tingkatan dalam perayaan Rambu Solo’
tergantung dengan status sosial orang yang mati. Dalam perayaan Rambu Solo’ terdapat
bermacam-macam kegiatan seperti mapasilaga tedong (adu kerbau), sisemba (adu kaki), tari-
tarian, musik, dan pemotongan kerbau khas Toraja.
Adapun upacara adat yang bersifat umum yang dirayakan masyarakat Sulawesi Selatan di
antaranya, Maccera Tappareng, Pa’jukukang, Tudang Ade, dan Ma’rimpa Salo. Beragam
upacara tersebut pada prinsipnya diselenggarakan masyarakat untuk mengucapkan syukur atas
kesejahteraan yang mereka terima.

Upacara Maccera Tappareng, Pa’jukukang, dan Ma’rimpa Salo diselenggarakan


masyarakat nelayan atas berlimpahnya hasil tangkapan ikan mereka. Maccera Tappareng
diselenggarakan masyarakat di gekitar Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Upacara Pa’jukukang
diselenggarakan masyarakat di desa pantai, sedangkan upacara Ma’rimpa Salo diselenggarakan
masyarakat di Desa Sanjai dan Desa Bua. Adapun upacara adat Tudang Ade agak berbeda.
Upacara ini untuk mengingat tradisi musyawarah yang merupakan warisan budaya dari Kerajaan
Bone.

 Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Orang Bugis dan Makassar memiliki senjata tradisional berupa keris. Dalam bahasa
Bugis keris disebut kawali, sedangkan orang Makassar menamakan keris dengan sebutan seleq'.
Ada bermacam-macam nama keris, misalnya gencong, kaleo, tappi, dan sambang.

Badik merupakan senjata tradisional yang dikenal dan dipergunakan orang Bugis dan
Makassar sejak ratusan tahun lalu. badik terbuat dari besi yang satu sisi bilahnya tajam dan ujung
runcing. Badik Makassar bentuknya memiliki kale (bilah) yang pipih, batang buncit dan tajam
serta cappa' (ujung) yang runcing. Badik berbentuk seperti ini disebut badik sari. Badik
masyarakat Bugis memiliki bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada
bagian ujung.

Senjata tradisional juga merupakan produk kebudayaan dari suatu komunitas masyarakat.
Orang Bugis dan Makassar memiliki senjata tradisional yang berupa keris. Dalam bahasa Bugis,
keris disebut kawali dan menurut orang Makassar dinamakan seleq’. Senjata ini sebagai warisan
budaya kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan sebagian orang meyakininya sebagai
pusaka.
Senjata Tradisional Keris
Ada bermacam-macam nama keris, misalnya gencong, kaleo, tappi, dan sambang. Fungsi
keris berbeda dengan senjata tajam lainnya, misalnya badik. Tindak kekerasan lainnya di
kalangan orang Bugis-Makassar umumnya berkaitan dengan penggunaan badik. Badik
sebenarnya adalah pisau yang bersarung. Bentuknya lebih pendek daripada keris, tidak ada
liukan, dan tidak ada urat. Badik pun umumnya lebih banyak didapatkan pada orang-orang
Makassar, sementara orang Bugis lebih gemar memelihara kawali. Ada sebagian kawali yang
memiliki pamor. Pembuat keris ini di Sulawesi Selatan disebut panrita.

Senjata Tradisional Badik


Badik merupakan senjata tradisional yang dikenal dan dipergunakan oleh orang Bugis-
Makassar sejak ratusan tahun lalu. Badik terbuat dari besi yang satu sisi bilahnya tajam dengan
ujung runcing. Secara umum badik terdiri atas tiga bagian: hulu (gagang), bilah (besi), dan
warangka (sarung badik) sebagai pelengkap badik. Badik Makassar bentuknya memiliki kale
(bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik
yang berbentuk seperti ini disebut badik sari. Badik masyarakat Bugis memiliki bilah yang pipih,
ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung.

Badik sebagai benda budaya dan hasil kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan telah
lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, khususnya kaum laki-laki.
Hal ini dapat dilihat pada konsep budaya dan pandangan masyarakat bahwa laki-laki dianggap
ideal bila telah memiliki tiga hal: wanita (istri), rumah, dan besi (badik). Saat ini, fungsi dan
kegunaan badik telah mengalami pertukaran, di mana badik lebih dihayati sebagai benda pusaka
yang mempunyai nilai sebagai bahan sejarah.
 Makanan Khas Daerah Sulawesi Selatan

Ada beberapa jenis makanan yang menjadi ciri khas bagi daerah Makassar, diantaranya
coto makassar, sop konro, pisang epe, dan es palubuntung. Selain jenis makanan tersebut, masih
banyak jenis makanan tradisional lainnya, diantaranya ikan bakar, barongko, coto kuda,
nyuknyang, burasa, kapurung, dange, dan patollo pammarasan.
Sulawesi Selatan cukup terkenal dengan ragam makanan dan minuman khas tradisionalnya. Ada
beberapa jenis makanan yang kemudian menjadi ciri khas bagi daerah setempat. Sebut saja
seperti coto makassar, sop konro, pisang epe, dan es pallubuntung.

Coto Makassar terbuat dari daging dan jeroan sapi. Kuah coto Makassar kental yang
dibuat dari kacang tanah yang dihaluskan. Coto Makassar dimasak dengan kuali tanah (korong
butta atau uring butta) dan dengan rampah patang pulo (40 macam rempah). Biasanya coto
makassar dimakan dengan ketupat.

Sop konro, sop berkuah maupun dibakar, dengan bahan-bahan dasar seperti tulang rusuk
sapi atau kerbau, dimasak/ dibakar dengan bumbu keturnbar, jintan, sereh, kaloa, bawang merah,
bawang putih, garam, penyedap yang sudah dihaluskan. Sop konro pada umumnya disajikan
bersama nasi putih dan sambal.

Pallubasa merupakan masakan daging berkuah, mirip dengan coto makassar. Bedanya,
kuah pallubasa diberi kelapa sangrai yang dihaluskan dan dicampur daging pada bagian otot.
Pallubasa disajikan dengan mangkok dan nasi di piring, dicampur sambal, jeruk nipis, dan kecap
sesuai selera. Kekhasan pallubasa terletak pada bau dan rasa kelapa sangrai yang merupakan
salah satu bahan masakan ini.

Es pallubuntung berupa pisang yang disajikan dengan bubur sumsum, diberi susu, sirup,
dan es. Jenis pisangnya, pisang kepok. Jika menggunakan pisang manis kemudian dibalut
tepung, minuman ini disebut dengan es pisang ijo.

Pisang epe dibuat dari pisang kepok yang mengkal, dibakar dan dipipihkan. Pisang epe
disajikan dengan kuah air gula merah yang biasanya telah dicampur dengan durian atau nangka
yang aromanya dapat membangkitkan selera. Selain jenis makanan di atas, masih banyak jenis
makanan tradisional lainnya. Di antaranya yaitu ikan bakar harongko, coto kuda, nyuknyang,
burasa, kapurung, dange dan pantollo pacumarasan.

BUDAYA DAERAH KALIMANTAN TIMUR

 Bahasa Daerah Kalimantan Timur

Tiap-tiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa sendiri-sendiri yang disebut bahasa
daerah. Tiap-tiap bahasa daerah terbagi menjadi beberapa sub bahasa daerah. Dalam bahasa
daerah tertentu, kadang-kadang terdapat beberapa dialek. Dialek artinya cara mengucapkan kata-
kata yang khas dari suatu daerah atau kelompok. Di Provinsi Kalimantan Timur terdapat banyak
bahasa daerah dengan ratusan subbahasa daerah.

Bahasa-bahasa daerah di Provinsi Kalimantan Timur merupakan bahasa Austronesia dari


rumpun Malayo-Polynesia. Bahasa-bahasa daerah tersebut meliputi bahasa Melayu Berau,
Melayu Banjar, Melayu Kutai Tenggarong, Melayu Kutai Kota Bangun, Lundayeh, Putoh,
Lengilu, Lawangan-Pasir, Tunjung. Ampanang, Okolod, Selungai Murut, Tidung, Bulungan,
Kenyah Sungai Bahau. Kenyah Sungai Kayan, Kenyah Kelinyau, Kenyah Mahakam, Kenyah
Bakung, Punan Tubu. Kenyah Wahau, Basap, Burusu, Punan Merap, Sajau Basap. Kayan
Bahau, Kayan Busang, Kayan Wahau, Kayan Mahakam, Kayan Sungai Kayan, Modang, Segai,
theng, Punan Aput, Punan Merah, dan UnengKereho.

Selain itu. ada pula bahasa Kutai. Bahasa Kutai termasuk dalam bahasa Melayu yang
berkembang sejalan dengan perkembangan suku bangsa Kutai. Suku bangsa Kutai adalah suku
bangsa yang mendiami alur sepanjang Sungai Mahakam dan populasinya terbesar di wilayah
bekas Kabupaten Kutai dahulu. Bahasa Kutai umumnya berkembang dalam bentuk penuturan
serta sastra dalam bentuk puisi. Bahasa Kutai terbagi menjadi tiga dialek, yaitu dialek Kutai
Tenggarong, Kutai Kota Bangun, dan Kutai Muara Ancalong.

Selain memiliki beberapa persamaan kosakata dengan bahasa Banjar, bahasa Kutai juga
memiliki persamaan kosakata dengan bahasa Iban. Persamaan kosakata tersebut. antara lain:
1. nade (bahasa Kutai Kota Bangun); nadai (bahasa Kantu’). artinya tidak;
2. celap (bahasa Kutai Tenggarong); celap (bahasa Dayak Iban). artinya dingin. Beberapa bahasa
subsuku bangsa yang sudah tidak dipergunakan lagi atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak.
Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog. Baang Kelo. dan Umaa Sam. Dahulu bahasa-bahasa
tersebut lazim digunakan oleh masyarakat Dayak baik di hulu maupun hilir Sungai Mahakam.

 Rumah adat Provinsi Kalimantan Timur

Rumah adat Provinsi Kalimantan Timur disebut dengan nama Rumah Lamin. Rumah
Lamin memiliki bentuk dasar persegi panjang dengan panjang kurang lebih 200 meter, dan lebar
20-25 meter. Rumah adat ini biasanya dibangun menghadap ke arah sungai. Ciri khas rumah adat
ini yaitu terdapat patung-patung kayu berukuran besar sebagai patung persembahan kepada
nenekmoyang.

Rumah adat Lamin merupakan rumah panggung dan menggunakan atap bentuk pelana.
Kolong rumah adat ini tingginya mencapai 4 meter. Untuk naik ke rumah lamin menggunakan
tangga berbentuk undakan dari kayu yang ditakik-takik dan biasanya di pindah-pindah atau
ditarik ke atas. Bentuk rumah adat yang dibuat dalam bentuk rumah panggung bertujuan untuk
mengantisipasi ancaman serangan musuh maupun binatang buas.Terdapat serambi panjang pada
bagian depan rumah Lamin yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat seperti
perkawinan, melahirkan, kematian, dan upacara adat lainnya. Rumah Lamin ini biasanya
ditempati sebanyak 12 keluarga yang dipimpin kepala suku.

Rumah lamin biasanya dilengkapi dengan ornamen-ornamen tertentu. Banyak sedikitnya


ornamen pada rumah lamin melambangkan derajat pemilik rumah. Ornamen kepala naga dan
burung enggang biasanya terdapat di bagian atap rumah bangsawan. Ornamen tersebut
melambangkan keberanian dan tingginya derajat manusia.
Rumah adat suku Dayak Kalimantan timur ini menggunakan bahan berupa kayu ulin.
Kayu ulin merupakan kayu dari pohon ulin yang terdapat di hutan-hutan Kalimantan. Kayu ini
sangat kuat dan bahkan jika terkena air tingkat kekerasan kayu ini semakin kuat. Kayu ulin
digunakan sebagai bahan bangunan rumah Lamin pada tiang penyangga, dinding, dan alas rumah
adat lamin ini.

Bagian-bagian rumah lamin terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Ruang tamu
berbentuk ruangan panjang beralaskan tikar yang digunakan untuk ruang menerima tamu atau
ruangan pertemuan adat. Ruang untuk tidur umumnya terdiri dari ruang tidur untuk laki-laki dan
ruang tidur untuk perempuan dalam bentuk terpisah. Ada juga ruang tidur untuk pasangan yang
sudahmenikah.

Rumah adat Kalimantan Timur ini memiliki ciri khas berupa warna-warna kontras pada
ornamen dan hiasan dinding yang terdapat pada dinding-dinding rumah Lamin. Warna-warna
dominan dalam arsitektur rumah adat ini adalah warna kuning yang melambangkan kewibawaan,
warna merah keberanian, warna hitam keteduhan dan warna putih yang melambangkan
kebersihan jiwa.

 Pakaian Adat Kutai Kalimantan Timur

Pakaian adat yang dikenakan masyarakat Kutai sehari-hari meliputi baju, celana, dan kain
panjang yang terbuat dari kain tipis. Akan tetapi, kain tersebut tidak tembus pandang. Kain tipis
tersebut terbuat dari bahan katun. Masyarakat Kutai mempunyai pakaian sehari-hari yang khas,
yang sampai saat ini masih sering dijumpai, yaitu palembangan dan baju cina. Baju
palembangan biasanya dikenakan oleh kaum lelaki. Pakaian bawahnya adalah seluar sekoncong,
celana panjang dengan pipa celana yang longgar atau kain sarung pelekat. Jika bepergian,
mereka memakai ikat kepala, destar dari kain batik. Kaum perempuan memakai baju cina,
semacam kebaya tidak berkerah, berkancing lima buah dan dipasangi kantong kiri dan kanan
bagian bawah baju.
Para gadis atau ibu-ibu muda biasanya memakai sarung caul, yaitu kain panjang batik
yang sudah dijahit berbentuk sarung, Pakaian tersebut dilengkapi dengan babat (kain pinggang)
dari kain Samarinda. Wanita lanjut usia pada umumnya memakai pakaian berupa sarung pelekat.
Rambut kaum wanita biasanya disanggul bentuk gelung Kutai, dan ketika bepergian diberi
kerudung.Masyarakat Kutai mengenal dua macam pakaian pengantin, yaitu baju kustim dan baju
takwo.

Baju Takwo
Dahulu baju takwo adalah pakaian kaum bangsawan atau para penari saat mengikuti
upacara adat. Sekarang masyarakat umumpun dapat mengenakan baju takwo sebagai baju
pengantin. Baju takwo dipakai oleh mempelai perempuan. Baju ini mirip jas tutup, tetapi
berleher tinggi. Di bagian depannya ditambah sepotong kain yang disebut jelapah. Jelapah ini
menutup bagian tengah dada dibagian bawah leher hingga pinggul. Di bagian pinggir kiri dan
kanan jelapah ditambahkan lima pasang kancing, sedangkan pada bagian lehernya dipasang dua
buah kancing. 

Baju takwo dibuat dari kain katun, linen, atau beludru. Baju takwo dipadukan dengan
kain panjang bermotif parang rusak yang sisinya diberi ornamen berupa rumbai-rumbai
keemasan. Kain panjang tersebut dipakai hingga mata kaki dan sibebatkan sedemikian rupa
sehingga sisi kain yang berumbai berlipat-lipat di bagian depan.

Rambut mempelai wanita yang berbentuk gelungsiput dihiasi gerak gempa (kembang
goyang). Hiasan gerak gempa tersebut berwujud bunga melati yang terbuat dari emas atau perak
bersepuh emas. Selop atau alas kaki yang digunakan biasanya berwarna hitam atau cokelat.
Mempelai pria juga memakai baju takwo dan celana panjang. Kain panjangnya bermotif
sama dengan mempelai wanita yang berfungsi sebagai dodot. kain panjang tersebut dibebatkan
seputar pinggang, bagian depannya hanya sebatas lutut. Bagian sisinya yang berumbai menjuntai
dari bagian belakang hingga ke mata kaki. Sentorong dipakai sebagai hiasan kepala. Sentorong
adalah sejenis peci atau kopiah berbentuk bundar setinggi 15 cm dan terbuat dari kain beludru
hitam. Untuk kelengkapannya, mempelai pria memakai selop berwarna cokelat atau hitam.

Baju Kustim
Nama kustim berasal dari kata kostum yang bermakna baju tanda kebesaran. Baju kustim
hampir mirip baju takwo, hanya saja pada sisi jelapah, leher baju, dan ujung lengan baju dihiasi
pasmen. Pasmen yaitu sulaman stilasi bentuk bunga atau flora dari benang emas. Pasmen terbuat
dari benang serat logam mulia (emas). Kaum pria memakai sentorong dengan pasmen benang
keemasan. Di bagian depan sentorong dipasang wapen, semacam lencana, atau lambang yang
menunjukkan derajat sosial pemakainya. Sepasang pengantin biasanya mengenakan baju takwo
ketika akad nikah dan berbaju kustim pada saat perayaan pernikahan.
Sumber : Selayang Pandang Kalimantan Timur : M. Purwati

Pakaian Adat Dayak Benuaq


Suku bangsa Dayak Benuaq mendiami daerah hulu sungai Mahakam. Daerah
persebarannya mencakup Kecamatan Danau Jempang, terutama di desa Tanjung Isuy, Pentat,
Muara Nayann dan Lempunah, serta sebagian di wilayah Kecamatan Tenggarong. Bahan yang
digunakan untuk membuat pakaian adat tradisional Dayak Benuaq adalah kain tenunan serat
daun doyo. Tumbuhan sejenis pandan ini tumbuh dengan subur di daerah Tanjung Insuy. Dari
tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang yang kuat untuk ditenun.

Sebelumnya, daun doyo yang akan diolah dipotong sepanjang 1-1,5 meter. Kemudian,
daun itu direndam di dalam air. Setelah daging daun hancur, seratnya diambil untuk diwarnai.
Biasanya tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna yaitu merah, hitam, dan cokelat
muda.

Ulap doyo sebagai tenunan ikat khas Dayak Benuaq, bermotif stilasi dari bentuk flora,
fauna, dan alam mitologi. Pada bidang yang berwarna terang dan pada kain bercorak hias itu
muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan pewarna. Titik-
titik hitam inilah yang membedakan hasil tenunan ikat dari daerah lain. Bahkan, hampir tidak
ditemui pada tenunan ikat daerah manapun. Kain tenun serat ini dapat dibuat destar, kopiah,
baju, sarung, dan sebagainya.

Masyarakat Dayak Benuaq juga mengenal kain tenun kapas yang berwarna warni.
Mereka mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat mereka. Perpaduan antara kain
serat doyo dengan kain warna warni tersebut menjadi pakaian adat yang dikenakan oleh
pemeliaten (ahli pengobatan tradisional). 

Biasanya dalam upacara-upacara adat, seperti upacara kematian, upacara pengobatan, dan
upacara panen hasil bumi masyarakat mengenakan pakaian adat tertentu. Kaum perempuan
mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain panjang (tapeh). Ulap ini diberi belahan pada
bagian belakang yang disebut ulap sela. Untuk kepentingan sehari-hari,ulap yang dikenakan
berwarna hitam, sedangkan untuk upacara adat ulap tersebut diberi hiasan kain perca warna-
warni bermotif bunga atau dedaunan. Pakaian yang dipakai kaum wanita adalah kebaya tanpa
lengan atau yang berlengan panjang. Sementara itu, kaum pria biasanya mengenakan baju tanpa
lengan dan celana pendek yang terbuat dari tenunan serat doyo.

Dahulu masyarakat Dayak mengenal pelapisan sosial karena masih terdapat raja pada
setiap sukunya. Para raja menurunkan para bangsawan yang disebut golongan mantiq.
Masyarakat kebanyakan disebut kelompok marantikaq. Golongan mantiq dan marantikaq dapat
dibedakan dari ragam hias yang ditambahkan pada berbagai perlengkapan acara adat.

Salah satu ragam hias tersebut bermotif jautn nguku. Jautn berarti awan, sedangkan
nguku berarti berarak. Ragam hias ini menggambarkan kebesaran seseorang dalam suasana
kebahagiaan. Motif ini biasanya dilukis pada templaq/ tinaq (tempat penyimpanan tulang
belulang jenazah) golongan bangsawan atau raja-raja. Motif lain adalah waniq ngelukng. Wanik
berarti lebah dan ngelukng berarti menyerupai sarang lebah. Motif ini mengandung makna
bahwa orang yang mempunyai cukup harta benda dapat melaksanakan upacara kematian. Ragam
hias ini dilukiskan pada templaq/ tinaq tempat tulang belulang orang mati untuk golongan orang
marantikaq, tetapi bisa juga untuk golongan bangsawan. 

Oleh karena sekarang sudah tidak ada lagi raja, yang dianggap sebagai pemuka
masyarakat adalah kepala adat , kepala suku, dan para ahli belian (ahli penyembuhan penyakit)
yang disebut pemeliaten. Kepala adat suku bangsa Benuaq biasanya memakai destar atau leukng
dari serat doyo atau kain biasa. Kepala adat suku bangsa Dayak Benuaq juga berbaju kemeja
tanpa lengan dari kain serat doyo berwarna merah atau hitam. Dahulu kepala adat biasanya
mengalungkan jimat-jimat, manik-manik, taring harimau dahan, taring beruang, dan patung-
patung yang mempunyai kekuatan magis yang disebut tonoi. Selain itu, mereka juga
mengenakan cawat atau cancut yang juga dibuat dari tenunan serat doyo.

Kepala adat yang merangkap kepala suku mengenakan topi berhiaskan bulu burung
enggang, baju perang dari kulit kayu atau kulit harimau dahan, memakai cawat, dan tanpa alas
kaki. Tangan kirinya memegang perisai dan tangan kanannya memegang tombak. Di
pinggangnya terselip sebilah mandau perang yang dahulunya dihiasi dengan aneka warna bulu
burung. Sarung mandaunya berukir dan pada ujungnya dihiasi dengan aneka warna bulu burung.

Pemeliaten atau ahli penyembuh penyakit tidak mengenakan baju. Akan tetapi, di bagian
dadanya disilangkan kalung manik-manik, taring binatang buruan, dan patung-patung kayu kecil
(jorokng) yang dipercaya sebagai tonoi. Bawahannya memakai tapeh belian, yaitu kain panjang
serupa rok maksi yang menutup hingga mata kaki dan diberi hiasan aplikasi berupa tempelan
kain warna warni motif floral yang sangat artistik. Pada pinggangnya dililitkan sempilit, yaitu
kain panjang yang berhias pada ujungnya dan berjuntai sepanjang kiri dan kanan kaki. Jika
terdapat hiasan berupa garis-garis pada bagian tapeh, menunjukkan bahwa pemeliaten itu
berilmu tinggi.

Untuk menahan tepeh dan sempilit dikenakan babat yang dihiasi dengan manik-manik,
taring binatang, dan uang logam kuno. Babat juga berfungsi untuk menyimpan berbagai jimat
penolak pengaruh jahat. Pemeliaten juga mempunyai destar (laukng) yang warnanya mempunyai
arti simbolik. Laukng berwarna hitam menandakan bahwa pemakainya mampu menangkal
berbagai bantuk sihir hitam. Jika laukng hitam itu ditambah garis-garis putih, bermakna
pemeliaten belum mampu menolak sihir hitam. Dipergelangan tangannya dipakai gelang-gelang
yang berukuran relatif besar. Gelang-gelang tersebut biasanya terbuat dari logam, yang juga
berfungsi sebagai musik pengiring saat upacara.

 Alat musik tradisional Kalimantan timur

Suku bangsa Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik,
pukul, dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku bangsa ini menggunakan musik sebagai
sarana untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik
terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu, alat-alat musik ini digunakan untuk
mengiringi bermacam-macam tarian.

Alat musik tradisional suku bangsa Dayak, antara lain gendang, genikng, gong, glunikng,
jatung tutup, jatung utang, kadire, klentangan, sampe, suliikng, taraai, dan uding. Berikut ini
ulasan singkat beberapa alat musik tradisional Provinsi Kalimantan Timur.

1. Gendang
Ada beberapa gendang yang dikenal oleh suku bangsa Dayak Tunjung, yaitu prahi,
gimar, tuukng tuat, dan pampong.

2. Jatung Tutup
Jatung tutup adalah gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm.

3. Jatung Utang
Jatung utang yaitu alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Alat musik ini memiliki
12 kunci, yang tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.

4. Kadire
Kadire adalah alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang. Alat musik ini
memiliki Iima buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga
mulut untuk menghasilkan suara dengung.
5. Klentangan
Klentangan yaitu alat musik pukul yang terdiri atas enam buah gong kecil tersusun
menurut nada-nada tertentu. Alat musik tersebut ditata pada sebuah tempat dudukan berbentuk
semacam kotak persegi panjang.

6. Sampe
Sampe yaitu sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4. Alat
musik tersebut biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku bangsa Dayak.

Seni suara atau musik suku bangsa Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu
dan Islam. Seni musik khas suku bangsa Kutai adalah musik Tingkilan. Kesenian ini memiliki
kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah gambus,
ketipung, kendang, dan biola.

Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan
berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Tingkilan sering dinyanyikan oleh dua orang
penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan. Isi lagu berupa nasihat-nasihat percintaan,
saling memuji, bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu.
Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tarian pergaulan rakyat suku bangsa
Kutai, yaitu tari Jepen.

Ada pula jenis kesenian lain yang disebut Hadrah. Kesenian ini mempergunakan alat
musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang dan disertai dengan
nyanyian dalam bahasa Arab. Nyanyian tersebut diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini
umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju rumah mempelai wanita. Selain
itu, hadrah juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.
Senjata-senjata tradisional yang terkenal dari Provinsi Kalimantan Timur adalah mandau, anak
mandau, sumpitan, bujak, dan beliung.

 Senjata tradisional Kalimantan Timur

Senjata Tradisional Mandau


Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di
Kalimantan. Panjangnya kira-kira 1/2 meter. Mandau terbuat dari besi mantikei yang terdapat di
hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Samba, Kotawaringin
Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokkan.

Mandau asli mempunyai penyang. Penyang adalah kumpulan ilmu suku Dayak yang
diperoleh dari hasil bertapa atau petunjuk leluhur yang digunakan untuk berperang. Penyang
akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat, dan kebal daIam menghadapi musuh.
Mandau dan penyang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara turun-
temurun dari Ieluhur.

Sarung bilah mandau disebut kumpang. Kumpang terbuat dari kayu dan lazimnya dihiasi
dengan ukiran. Pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu.
Kantong tersebut berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang
buas. Mandau yang disarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan
rotan.

Ada dua macam mandau, yaitu mandau yang disebut tampilan dan mandau biasa.
Mandau tampilan memiliki mata agak tipis dan terbuat dari batu besi. Senjata ini digunakan
untuk perang dan untuk upacara. Sementara itu, mandau biasa terbuat dari besi biasa. Senjata ini
dipakai untuk keperluan sehari-hari. Hulu dari tampilan atau mandau biasa tarbuat dari tanduk
atau dari kayu bangris. Pada hulunya diberi ukiran yang berbentuk kepala burung enggang dan
dihiasi dengan rambut manusia.

Anak mandau adalah semacam pisau yang berfungsi untuk mendampingi mandau.
Senjata ini terbuat dari besi. Anak mandau ini sering digunakan untuk meraut rotan dan membuat
sumpitan.
Senjata Tradisional Sumpitan
Sumpitan adalah semacam senjata tiup yang mempunyai anak sumpit. Senjata ini terbuat
dari kayu besi yang panjangnya kira-kira tiga meter. Batang sumpitan dilubangi seperti bambu.
Ujung batangnya diberi mata tombak yang tajam. Sumpitan mempunyai dua fungsi yaitu dipakai
untuk sumpitan dan dipakai sebagai tombak. Sebagai sumpitan pangkal batangnya harus ditiup
dan anak sumpitnya akan lepas melayang sampai lebih kurang 200 meter. Senjata ini dapat
dipakai untuk perang, berburu, dan upacara-upacara adat.

Senjata Tradisional Bujak


Bujak adalah semacam tombak. Tangkainya terbuat dan kayu ulin. Matanya dari besi dan
mempunyai panjang kurang lebih tiga meter. Mata bujak diberi racun getah pohon ipuh. Bujak
biasa digunakan untuk berburu, sedangkan bujak bercabang yang dikenal dengan nama serepang
digunakan untuk menangkap ikan.

 Upacara Adat Kalimantan Timur 

Upacara adat atau upacara tradisional adalah upacara yang diselenggarakan menurut adat
istiadat yang berlaku di daerah setempat. Upacara tradisional Provinsi Kalimantan Timur tidak
dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Sampai
saat ini, masih ada sebagian masyarakat suku bangsa Dayak yang memercayai adanya dewa-
dewa. Mereka percaya bahwa di langit tinggal para roh dan dewa (seniang) yang masing-masing
mempunyai tugas sendiri terhadap kehidupan manusia.

Selain itu, mereka mengenal adanya nayuq seniang yaitu makhluk gaib (dewa) yang
tinggal di bumi sebagai pelindung manusia. Suku bangsa Dayak juga percaya kepada roh nenek
moyang yang telah meninggal. Hal ini terlihat pada kebiasaan mengayau (balaag) untuk
menambah kekuatan gaib seseorang.
Bentuk upacara adat dalam masyarakat Provinsi Kalimantan Timur cukup banyak.
Upacara adat daerah ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu upacara yang berhubungan dengan
daur hidup manusia dan upacara yang berhubungan dengan masyarakat serta lingkungan. Jenis
upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup masyarakat Provinsi Kalimantan Timur
sebagai berikut.

Masa Kelahiran
Upacara yang dilakukan pada masa ini ada beberapa jenis. Namun, yang menjadi
perhatian khusus yaitu bayi yang lahir pada bulan Safar. Menurut kepercayaan, anak tersebut
akan menemui banyak bahaya (naas) sepanjang hidupnya. Agar terhindar dari malapetaka, harus
diadakan upacara timbangan. Upacara timbangan dilakukan dengan cara anak disetimbangkan
dengan sejumlah buah-buahan. Upacara ini diadakan setiap tahun pada hari Rabu terakhir bulan
Safar. Dalam tradisi masyarakat Kutai juga ada upacara naik ayun/ tasmiyah, yaitu upacara
pemberian nama bayi yang baru lahir.

Masa Dewasa
Upacara pada masa ini terutama untuk mencari jodoh untuk pasangan hidup. Kesempatan
berkenalan untuk memilih ini dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan adat. seperti berharian
(pelaa’ru), ngayang, dan purun. Berharian yaitu bekerja bersama secara bergantian. Ngayang
yaitu bertamunya seorang pemuda ke rumah pemudi pada malam hari. Purun yaitu wisata
bersama sambil memasak atau menyiapkan alat-alat penangkap ikan.

Perkawinan
Upacara pada masa ini merupakan simbol peralihan status seseorang dari masa lajang ke
masa berumah tangga. Upacara masa ini dibedakan atas upacara sebelum perkawinan, upacara
perkawinan, dan upacara setelah perkawinan. Upacara sebelum parkawinan terdiri atas beberapa
tahap, seperti melamar, penyerahan tanda ikatan, dan serangkaian ritual sebelum pelaksanaan
perkawinan. Upacara perkawinan dilaksanakan di rumah (lamin) pengantin laki-laki dengan
mengambil tempat pada bagian muka (use). Sesudah perkawinan, kedua pengantin melaksanakan
upacara palan. Upacara palan yaitu upacara yang berisi pantangan atau larangan yang tidak
boleh dilanggar oleh pengantin, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Masa Kematian
Upacara masa ini untuk tiap-tiap suku bangsa berbeda. Namun, semuanya mempunyai
tujuan yang sama yaitu agar arwah diantarkan dengan selamat ke alam baka dan tidak
mangganggu yang ditinggalkan. Upacara kematian suku bangsa Dayak Tunjung terbagi atas tiga
jenis, yaitu upacara toho, kenyau, dan kwangkai. Suku bangsa Dayak Benuaq mengenal tiga
jenis upacara kematian, yaitu param api, kenyau, dan kwangkai. Upacara kematian suku bangsa
Dayak Bahau terdiri atas lima tahap, yaitu madu pate (memandikan mayat), makan berweg
(memberi makan mayat), pamakaman (penguburan jenazah), muqak toq (mengusir hantu), dan
hadui taknaq (memandikan roh).

Selain upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup, ada pula beberapa jenis
upacara adat yang berhubungan dengan masyarakat atau lingkungan sekitar.

Ngungu Tahun adalah upacara adat suku bangsa Dayak Bahau untuk memelihara tahun.
Upacara sejenis dapat ditemui dalam suku bangsa Melayu Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara
dengan nama erau pelas tahun.

Mangosang adalah upacara adat suku bangsa Dayak Aboeng untuk menunjukkan semangat
keberanian, kesetiaan, dan kecintaan terhadap sukunya.

Bob Jengau adalah upacara adat menanam padi ladang pada suku bangsa Dayak Modang.
Upacara sejenis dapat ditemui pada suku-suku lain, seperti Upacara hudoq (suku bangsa bangsa
Dayak Kenyah), dongei (suku bangsa Dayak Bahau), dan kwangkai (suku bangsa Dayak
Tunjung dan Benuaq).

Pelambe adalah upacara adat pada suku bangsa Dayak Punan. Upacara ini dilakukan jika pada
tahun berjalan tidak mendapatkan hasil panen yang baik, tidak ada musim buah, dan tidak ada
musim babi.

Mamat dan Belawing adalah upacara adat pada suku bangsa Dayak Kenyah Lepo Tau di Apo
Kayan. Upacara ini melambangkan kemenangan, kejayaan, dan keberanian prajurit perang,  serta
untuk menolak roh-roh jahat.

Upacara Beliatn adalah sebuah ritus penyembuhan yang biasa dilakukan oleh suku bangsa
Dayak Benuaq. Ada beberapa jenis upacara beliatn, tetapi yang paling popular dan sering
diselenggarakan adalah beliatn bawo dan beliatn Sentiyu. Beliatn Bawo merupakan upacara
penyembuhan yang dapat dipimpin tabib perempuan. Upacara ini biasanya dilakukan untuk
pengobatan ringan seperti demam pada anak-anak. Sementara itu, beliatn sentiyu merupakan
upacara beliatn terbesar yang dipimpin oleh seorang tabib atau lebih. Upacara ini biasanya
berlangsung hingga 4 hari 4 malam.

Upacara beliatn biasanya berlangsung di rumah lamin. Sebelum upacara dilakukan,


berbagai perlengkapan disiapkan. Persiapan tersebut antara lain menyembelih beberapa ekor babi
untuk diambil darahnya, patung-patung kecil yang melambangkan hantu pengganggu, ornamen
janur, dan ramuan dari dadaunan. Selain itu, mereka juga menyiapkan masakan khas untuk
upacara beliatn, yaitu tumpi dan lemang yang terbuat dari beras ketan.
Upacara beliatn dimulai pada malam hari. Orang-orang yang sakit dibaringkan di lamin.
Kerabatnya duduk di samping pasien dan menyaksikan jalannya ritual. Tabib yang mangobati
menari dengan diiringi musik tetabuhan sambil melantunkan mantra dalam bahasa Kutai.
Semakin lama gerakannya semakin cepat dan tidak terkendali. Sambil terus menari, tabib beliatn
mengoleskan ramuan pada tubuh si pasien. Bagian belakang tubuh si pasien dihisap untuk
menyedot roh jahat yang mengganggu. Pada malam terakhir, yaitu malam yang keempat,
disembelihlah seekor babi untuk diambil darahnya. Darah babi tersebut dioleskan pada tubuh
pasien, sedangkan dagingnya dimasak esok paginya sebagai lauk.

Sesudah upacara beliatn, para pasien belum diizinkan untuk pulang ke rumah masing-
masing. Mereka masih berada pada masa tuhing, yaitu masa tabu untuk menjalani berbagai
pantangan. Masa tuhing berlangsung hingga empat hari. SeteIah itu, pasien baru diizinkan
kembali ke tempat tinggalnya.

 Makanan khas Kalimantan timur

Bagi orang Benuaq ataupun masyarakat pedalaman lainnya, penyakit dianggap sebagai
akibat dari ketidakseimbangan manusia, alam, dan lingkungan sosial budayanya. Oleh karena itu,
ritus penyembuhan tersebut merupakan salah satu upaya mencapai harmonisasi yang hilang.
Makanan dan minuman khas Provinsi Kalimantan Timur yaitu makanan dan minuman yang
dibuat dengan bahan-bahan yang berasal dari hasil-hasil sumber daya alam wilayah itu. Bahan
dasar tersebut bisa berasal dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan, atau kehutanan sehingga
resep yang dihasilkan pun berbeda dengan daerah lain di luar Provinsi Kalimantan Timur. Salah
satu jenis makanan khas Provinsi Kalimantan Timur yaitu amplang.

Amplang adalah makanan sejenis kerupuk udang yang terbuat dari ikan pipih atau ikan belida
(Notopetrus chitala). Amplang disebut juga kuku macan karena bentuk fisik potongannya seperti
kuku macan. Proses pembuatan amplang relatif sederhana. Setelah dibersihkan, ikan segar
diambil dagingnya. Kemudian, ikan segar tersebut digiling. Langkah selanjutnya dicampur
bumbu dan tepung, lalu diaduk hingga merata. Adonan tersebut dibentuk dengan tangan sesuai
keinginan atau dicetak jika akan dibuat kuku macan. Pembuatan amplang sampai sekarang masih
menggunakan cara-cara tradisional.
Petah adalah salah satu kue tradisional Banjar. Selain petah khas Banjar, ternyata ada jenis
makanan yang punya nama sama, yaitu petah Asia atau Ipau. Petah Asia biasa disantap bersama
saus tomat ditambah lauk karih kambing. Makanan berbahan tepung beras ini sangat identik
dengan tahi lala. Tahi lala adalah sejenis saus terbuat dari santan. Sari muka bagian atasnya
berwarna cokelat yang terbuat dari tepung, santan, telur, dan gula merah. Bagian bawahnya putih
yang terbuat dari kelapa parut, tepung, dan garam. Amparan tatak terdiri atas tepung dan pisang.
Bagian atasnya yang lembek terdiri atas santan kental dan garam. Bagian bawahnya yang lebih
padat terdiri atas tepung, santan, dan pisang yang diiris-iris melintang. Kue bingka terbuat dari
gula, tepung, santan masak, dan telur. Kueh lam terbuat dari tepung, gula, santan, susu, telur,
cacao.

Dalam adat parkawinan suku bangsa Dayak Kenyah, sering dihidangkan berbagai jenis
makanan khas yang dibuat bersama-sama oleh masyarakat Kenyah. Salah satu makanan yang
khas yaitu kue anye. Anye adalah makanan sejenis kue yang terbuat dari pulut (ketan). Proses
pembuatannya yaitu ketan ditumbuk, lalu digoreng dengan minyak. Dalam satu upacara adat
tertentu, juga tidak ketinggalan dihidangkan minuman khas suku Dayak yaitu tuak. Minuman
jenis ini terkadang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi.

Anda mungkin juga menyukai