Anda di halaman 1dari 10

BAB III

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Definisi Hubungan kerja menurut Soepomo adalah "Suatu hubungan antara


seorang buruh dan seorang majikan, di mana hubungan kerja itu terjadi setelah
adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu
perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia be- kerja dengan menerima upah
dan pengusaha mempekerjakan pekerja /buruh dengan memberi upah." Sedangkan
menurut Husni dalam Asikin (1993: 51) berpendapat bahwa hubungan kerja adalah
"Hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu
perjanjian di mana pihak buruh' mengikatkan dininya pada pihak majikan untuk
bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah." Sedangkan Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan
bahwa "Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
ber- dasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah."
unsur hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan
pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan
demikian, landasan hubungan kerja karena adanya perjanjian kerja, baik tertulis
maupun tidaktertulis (lisan). Beberapa ahli berpendapat bahwa di dalam perjanjian
kerja yang menjadi dasar hubungan kerja adalah empat unsur penting, yaitu Adanya
pekerjaan (Pasal 1601 a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH Dagang), Adanya
perintah orang lain (Pasal 1603 b KUH Perdata), Adanya upah (Pasal 1603 p KUH
Perdata), dan Terbatas waktu tertentu, karena tidak ada hubungan kerja
berlangsung terus-menerus.
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja dan perjanjian Kerja
merupakan peristiwa hukum sehingga konsekuensi suatu hubungan akibat hukum
berupa hak dan kewajiban bagi para pihak, yakni pihàk pengusaha dan pihak
pekerja/buruh. Hak adalah suatu peranan yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh
subjek hukum. Karenanya, apabila hak dilanggar, tídak berakibat sanksi apa pun
bagi pelakunya. Sedangkan kewajiban adalah suatu peranan yang harus atau tidak
harus dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila kewajiban dilanggar,
berakibat sanksi bagi setiap pelakunya. Pada dasarnya hubungan kerja merupakan
hubungan yang mengatur/ memuat hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Takaran hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang.
Dalam konteks hubungan kerja, kewajíban para pihak berlangsung secara timbal
balik. Artinya, "kewajiban pengusaha merupakan hak pekerja/buruh" dan sebaliknya
"kewajiban pekerja/buruh merupakan hak pengusaha, Untuk itu, jika terjadi
pelanggaran kewajiban yang telah diatur peraturan perundang-undangan atau
perjanjian kerja, masing-masing pihak dapat menuntut pihak lainnya. mengenai hak
dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha secra lebih rinci biasanya
dicantumkan dalam Surat perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama, Rincian ini dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum tentang
hak dan kewajiban para pihak. Untuk keperluan tersebut dan agar dapat mengikat
para pihak, maka perumusan hak dan kewajiban harustah cermat dan dergan
bahasa yang jelas sehingga tidak multi-interpretasi.
Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada
ialah perikatan atau verbintenis (Pasal 1233) dan persetujuan atau overeenkomst
(Pasal 1313. Beberapa ahli hukum juga berbeda pendapat da- lam menggunakan
istilah- istilah tersebut. Di Indonesia istilah verbintenis diterjemahkan dalam tiga arti,
yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan istilah overeenkomst
diterjemahkan dalam dua arti, yaitu perjanjian dan persetujuan, Jika menggunakan
Pasal 1313 KUH Perdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di
mana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Pembagian perjanjian menurut Pasal 1601 KUH Perdata adalah:
 Perjanjian untuk Melakukan Jasa-Jasa Tertentu, Yaitu suatu perjanjian di
mana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya agar dilakukan suatu
perjanjian guna mencapai suatu tujuan, untuk itu salah satu pihak bersedia
membayar honorarium atau upah. Contohnya, hubungan antara pasien dan
dokter, pengacara dan klien, dan lain-lain.
 Perjanjian Kerja, Yaitu perjanjian antara seorang buruh dan seorang majikan
yang ditandai dengan ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dienstverhoeding),
dimana pihak majikan berhak memberikan perintah- perintah yang harus
ditaati oleh pihak lain.
 Perjanjian Pemborongan Kerja, Yaitu suatu perjanjian antara pihak yang
satu dan pihak yang lain, di mana pihak yang satu (yang memborongkan
pekerjaan) menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak
lain, atas pembayaran suatu uang tertentu sebagai harga pemborongan.
Untuk sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus memenuhi
syarat materil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar:
 Kesepakatan kedua belah pihak;
 Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
 Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
 Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar huruf a dan b merupakan syarat subjektif, sedangkan dasar huruf c dan
d merupakan syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak
memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat di batalkan. Artinya, salah satu
pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan
oleh hakim. Kemudian, apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif,
perjanjian itu batal demi hukunn. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian atau perikatan sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling me
nuntut di muka sidang pengadilan. Kemudiarn, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa "Perjanjian kerja tidak dapat ditarik
kembali dan /atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak."
Terkait dengan bentuk dan isi perjanjian kerja berarti membahas tentang syarat
formil suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengikat
tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijam in dengan adanya asas kebebasan
berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas
kebebasan berkont rak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
dengan memerhatikan Pasal 1320, 1335, dan 1337 KUH Perdata di samping Pasal
52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Mengenai pengelompokan perjanjian kerja tanpaknya sangat beragam, hal ini
bergantung dari persepsi mana para ahli memandangnya. Di samping itu, perjanjian
kerja selalu berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan dan kebutuhan
masyarakat sehingga berpengaruh dalam pengelompokannya. Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI (2003 : 14-25) membagi perjanjian kerja menjadi dua
jenis, yaitu
 Berdasarkan waktu berlakunya, yaitu Kesepakatan Kerja Waktu Tidak
Tertentu (KKWTT), dan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT).
 Perjanjian kerja lainnya, yaitu Perjanjian pemborongan pekerjaan, Perjanjian
kerja bagi hasil, Perjanjian kerja laut, dan Perjanjian untuk melakukan jasa-
jasa.
Menurut penulis, baik secara yuridis maupun empiris perjanjian kerja dapat dibagi
dalam empat kelompok, yaitu berdasarkan bentuk perjanjian jangka waktu
perjanjian, status perjanjian, dan pelaksanaan pekerjaan.
 Berdasarkan bentuk perjanjian kerja, Berdasarkan bentuknya perjanjian kerja
dibagi menjadi dua macam [Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003], yaitu :
 Perjanjian kerja secara tertulis, Yaitu perjanjian kerja yang harus dibuat
sesuai peraturan perundang-undangan.
 Perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis), Yaitu perjanjian kerja yang
dibuat sesuai kondisi masyarakat secara tidak tertulis.
 Berdasarkan jangka waktu perjanjian kerja, Berdasarkan jangka waktunya
perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu:
 Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Yaitu perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha yang hanya dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu.
 Perjanjian kerja waktu tidak tertentu, Yaitu perjanjian antara pekerja/buruh
dan pengusaha, di mana jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam
perjanjian, undang- undang, maupun kebiasaan, atau terjadi secara
hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
 Berdasarkan status perjanjian kerja, Berdasarkan status perjanjiannya,
perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu :
 Perjanjian kerja tidak te tap
 Perjanjian kerja perseorangan (Oengan masa percobaan tiiga bulan),
Semula dasar hukum masa percobaan s bulan ini diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 12 lahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta dan kemudian diatur dalam Pasal 60 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Secara tegas ditetapkan
bahwa masa percobaan paling lama 3 bulan.
 Perjanjian kerja harian lepas, Perjanjian kerja harian lepas diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Ter tentu, yang sebelumnya diatur melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per.06/Men/1985 tentang Perlindungan Pekerja
Harian Lepas.
 Perjanjian kerja borongan, Pengertian ini secara eksplisit dapat
ditemukan pada Pasal 1 angka 3 Ke putusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Kep.150/Men/1999 di sebutkan bahwa"Tenaga kerja borongan
adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan
pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume
pekerjaan satuan hasil kerja."
 Perjanjian kerja tetap
Pekerjaan bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus-
menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan atau
pekerjaan yang bukan musiman [Penjela san Pasal 59 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003]. Secara yuridis perjanjian kerja tetap
terjadi karena dua hal, yakni Kesepakatan para pihak, yaitu antara
pekerja/buruh dan pengusaha, dan Tidak terpenuhinya dan atau akibat
adanya pelanggaran terhadap ketentuan ketenagakerjaan. Secara
empiris pengertian perjanjian kerja tetap adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu,
di mana pekerja/buruh menerima upah dan tanpa adanya pembatasan
waktu tertentu karena jenis pekerjaannya menjadi bagian dari suatu
proses produksi dalam suatu perusahaan, bersifat terus-menerus, dan
tidak terputus-putus.
 Berdasarkan pelaksanaan pekerjaan, Secara yuridis pengelompokan
perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan pekerjaan mengacu pada
ketentuan Pasal 64-66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam praktik
kegiatan perusahaan ada penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dan di samping sudah adanya justifikasi dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun, sebagian pekerjaan lainnya
harus dilakukan sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu
pengelompokan perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan pekerjaan dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
 Dilakukan sendiri oleh perusahaan, Yaitu untuk jenis-jenis kegiatan atau
pekerjaan utama (vital) yang tidak diserahkan pelaksanaan pckerjaannyd
kepada perusahaan lain.
 Diserahkan kepada perusahaan lain (outsourcing)
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 bahwa: Perjanjian kerja berakhir apabila: pekerja/buruh meninggal dunia,
berakhirnya jangka waktu. perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan dan/atau
putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau adanya keadaan atau kejadian
tertentu" yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja."
Dasar hukum perjanjian kerja wäktu tertentu adalah :
 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 50-
66).
 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.
100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain.
Adapun beberapa prinsip perjanjian kerja waktu tertentu yang perlu diperhatikan,
antara lain:
 Harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin, minimal
rargkap 2. Apabila dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing dan
terjadi perbedaan penafsiran, yang berlaku bahasa Indonesia.
 Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Paling lama 3
tahun, termasuk jika ada perpànjangan atau pembaruan.
 Pembaruan PKWT dilakukan setelah tenggang waktu 30 hari sejak
berakhirnya perjanjian, Tidak dapat diadakan untuk jenis pekerjaan yang
bersifat tetap.
 Tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
 Upah dan syarat-syarat kerja yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), dan
peraturan perundang-undangan.
sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) harus memenuhi syarat syarat pembuatan, baik syarat materiil maupun
syarat formil (periksa pembahasan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja). Dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 syarat materiil diatur dalam Pasal 52, 55, 58, 59, dan
60, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 dan 57. Syarat-syarat kerja yang
dimuat dalam PKWI tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat
dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jika ternyata kualitas
isinya lebih rendah, syarat-syarat kerja yang berlaku adalan yang termudt dalam
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.dan Segala hal dan/atau biaya
yang timbul atas pembuatan PKWT menjadi tanggung jawab pengusaha (Pasal 53
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Dalam praktik sering terjadi penyimpangan atas hal ini. Dengan latar
belakang dan alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja
memberlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Guna
mengantisipasi masalah ini, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undarng Nomor 13 Tahun
2003 menetapkan kategori pekerjaan untuk PKWT sebagai berikut:
 pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya,
 pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun,
 pekerjaan yang bersifat musiman, atau
 Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.
100/Men/VI/2004 pengelompokan PKWT terdiri atas:
 Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau
sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun
 Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman
 Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru
 Perjanjian kerja harian lepas
Sedangkan mengenai jangka waktu PKWT diatur pada Pasal 59 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa PKWT dapat diperpanjang atau
diperbarui pilih salah satu dengan jangka waktu paling lama tiga tahun. Yang
dimaksud diperpanjang ialah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir
tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pembaruan adalah
melakukan hubungan kerja baru setelah PKWT pertama berakhir melalui pemutusan
hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 hari. Jadi secara normatif jangka waktu
PKWT keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3 tahun, baik untuk
perpanjangan maupun untuk pembaruan.
Perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan salah satu akibat dari ketidak
cermatan dalam menyusun suatu perjanjian kerja. Di sinilah peran pentingnya
seorang perancang kontrak (contract drafter) dalam menyusun suatu perjanjian
kerja. Apabila tidak cermat, dapat berakibat merugikan perusahaan, baik secara
yuridis maupun secara ekonomis. Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi
PKWTT telah diatur dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 serta Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah
memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yang
populer disebut outsourcing. Pengertian outsourcing adalah hubungan kerja dimana
pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi
kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh
perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja
berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada
hubungan kerja ini ditemukan tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau penginm
tenaga kerja/ pekerja (penyedia), perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja
(pengguna), dan tenaga kerja/pekerja. Walaupun outsourcing merupakan hak
pengusaha, pelaksanaan hak itu ada persyaratan tertentu dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, dalam
melakukan outsourcing di samping harus memenuhi syarat materiil dan formil, juga
secara substansial tidak boleh mengurangi hak-hak normatif pekerja/buruh.
Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditegaskan
bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua
cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
 Perjanjian Pemborongan Pekerjaan,
Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian
pemborong pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, dan secara yuridis pembuatan perjanjian
pemborongan pekerjaan harus dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh
secara lisan (tidak tertulis), dan Untuk jenis atau sifat pekerjaan yang tidak
memenuhi ketentuan PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003) dibuat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Jadi,
tidak boleh menggunakan PKWT karena tidak memenuhi ketentuan PKWT.
Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat [Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012].
Guna menentukan suatu jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan pokok
(core business) atau kegiatan penunjang (suppor ting business) harus dilihat
dari diagram atau alur kegiatan proses produksi yang menggambarkan
proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan
utama dan kegiatan penunjang dengan memerhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 di atas. Moh. Syafii
Syamsuddin berpendapat bahwa dalam setiap proses pelaksanaan
pekerjaan akan selalu ada kegiatan pokok (core business) atau kegiatan
penunjang (supporting business), baik sebelum (pra), selama, maupun
setelah (pasca) produksi.

 Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh


Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melatui perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh sebagai berikut:
 Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja /buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
 Penyedia jasa pekerja/buruh Harus :
 memenuhi syarat-syarat, yaitu Adanya hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh,
Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangan Kedua pihak,
melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu Jika memenuhi
persyaratan Pasal 59 Undang-Undang Nomor tahun 2003 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu, Perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul
mnenjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh,
dan Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan
wajib memuat pasal-pasal sebagaimana di maksud dalam undang-
undang ini.
 Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
 Jika ketentuan butir a., b.1)a), b. 1)b), b.1)d), dan b.2) tidak terpenuhi, demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedian jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi [Pasal 17 ayat (2) dan (3) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012] yang meliputi Usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), Usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh (catering), Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan),
Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, dan Usaha penyediaan
angkutan bagi pekerja/buruh.
Mengingat jenis dan sifat pekerjaan untuk waktu tertentu di perusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi memiliki karakteristik khusus, maka dibuatlah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1995 tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, untuk
memenuhi kebutuhan operasional yang mempunyai kekhususan itu. Di samping itu,
untuk keseragaman pelaksanaan diterbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
Nomor SE. 10/M/BW/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor Per.05/Men/1995. Pengertian perjanjian kerja waktu tertentu pada
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, yang disebut Perjanjian Kerja
Migas (PKM) adalah perjanjian antara pekerja dan pengusaha migas yang dibuat
secara khusus guna mengadakan hubungan kerja untuk waktu tertentu atau pe
kerjaan tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan
Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi (Pasal 1 huruf a Peraturan Menter Tenaga
Kerja Nomor Per.05/Men/1995).
Berkenaan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per.05/Men/1995 berikut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE.
10/M/BW/1995 dinyatakan tidak berlaku. hal ini sangat tepat karena dalam praktik
Perjanjian Kerja Migas selama ini cenderung multiinterpretasi dan tidak jarang
memicu perselisihan, seperti adanya pekerja/buruh kontrak yang berlangsung lebih
dari tiga tahun. Untuk itu berdasarkan peraturan sekarang lebih simpel dengan
mengacu pada satu ketentuan hukum, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 sebagai tindak lanjut pelaksanaan Pasal
59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, status ketentuan
PKM dalam hal seperti jangka waktu PKWT, penyelesaian perselisihan, perhitungan
hak PHK, dan lain-lain harus mengacu ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI /2004 tersebut, kecuali diatur
tersendiri, seperti mengenai waktu kerja dan istirahat. Namun demikian, berdasarkan
ke. tentuan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/V1/2004 untuk PKWT yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per. 05/Men/1995 dinyatakan masih tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya perjanjían kerja waktu tertentu.
Sedangkan untuk Pengertian perjanjian kerja laut menurut Pasal 395 KUH
Dagang ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak
dan seorang buruh di pihak lain, di mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk
di bawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, baik
sebagai nakhoda atau anak kapal. Berkenaan dengan perjanjian kerja laut, berikut
perlu dipahami pula beberapa istilah seperti :
 Kapal, Menurut Pasal 95 ayat (1) KUHP yaitu kapal (perahu) yang menurut
undang-undang umum tentang pemberian surat laut dan pas kapal di negara
Indonesia harus mempunyai pas laut atau pas kapal atau surat izin buat
sementara waktu pengganti surat atau pas kapal itu. Dan Menurut, Pasal 1
ayat (2) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Kapal
adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apa pun, yang di gerakkan
dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan di
bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah-pindah.
 Nakhoda kapal, Menurut Pasal 93 KUHP Yaitu orang yang memegang kuasa
dalam kapal (perahu) atau orang yang menggantikannya. Sedangkan
Menurut Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran Yaitu salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum
di atas kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuaí
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Anak kapal, Menurut Pasal 93 ayat (3) KUHP Yaitu sekalian orang yang ada
di kapal (perahu) menjadi opsir dan kelasi. Anak kapal ini terdiri atas perwira,
bintara, dan tamtama. Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1992 tentang Pelayaran, istilah perwira disebut pemimpin kapal, yaitu
salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas kapal
untuk jenis dan ukuran tertentu serta mempunyai tanggung jawab dan
wewenang tertentu, berbeda dengan yang dimiliki oleh nakhoda. Sedangkan
kelasi menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Uridang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran, istilah anak buah kapal ialah awak kapal selain nakhoda
atau pemimpin kapal.
Secara tegas perjanjian kerja laut diatur dalam Bab IV Buku II KUH Dagang,
di samping Bab VII.A Buku IIl KUH Perdata. Ini berarti perjanjian kerja laut
kedudukannya sama dengan perjanjian kerja pada umumnya sehingga bentuk dan
isi perjanjian kerja laut harus tetap memerhatikan Pasal 1320, 1335, dan 1337 KUH
Perdata. Menurut KUH Perdata perjanjian kerja dimungkinkan dibuat dengan tidak
tertulis. Hal demikian tidak berlaku untuk pembuatan perjanjian kerja laut karena
sudah diatur dengan tegas pada Pasal 399 KUH Dagang bahwa perjanjian kerja laut
harus dibuat secara tertulis bagi nakhoda atau perwira kapal. Sedangkan untuk
kelasi (anak buah kapal) di samping harus tertulis, juga harus dibuat di depan pihak
berwenang (Pasal 400 KUHD) Maksud pihak berwenang di sini adalah pejabat
syahbandar.
Secara formil Pasal 401 KUH Dagang menetapkan Danwa dalam perjanjian
kerja laut harus memuat Nama si buruh, hari kelahirannya, atau setidak-tidaknya
taksiran umur dan tempat kelahiran, Tempat dan tanggal dibuatnya perjanjian,
Penunjukan kapal tempat buruh sanggup bekerja, Rute perjalanan, apabila
ditetapkan, Kemungkinan pengikatan buruh untuk bekerja di daratan dan jenis
pekerjaan apa yang akan dilakukan, Hak-hak buruh atas hari libur (Pasal 415 KUH
Dagang). Hal-hal lain tercantum pada Pasal 448, 449, dan 450 KUH Dagang.
Dalam KUH Dagang, pengelompokan perjanjian kerja laut adala sebagai
berikut:
 Berdasarkan keterkaitan subjek terbagi dalam dua macam:
 Perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal (reder) dengan nakhoda dan
perwira kapal [Pasal 399 ayat (1)], di mana perjanjian ini harus dibuat
secara tertulis. Cukup dengan akta dibawah tangan, tidak perlu otentik.
 Perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal (reder) dan anak buah kapal
[Pasal 400 ayat (1)], di samping harus dibuat secara tertulis, juga harus
otentik, yakni dibuat di hadapan pejabat berwenang (dalam hal ini
syahbandar).
 Berdasarkan status hubungan kerja terbagi dalam tiga macam:
 Hubungan kerja tuntuk waktu tertentu, yang menyebut kan kapan waktu
berakhirnya hubungan kerja (Pasal 448).
 Hubungan kerja untuk satu atau beberapa perjalanan tertentu, yang
menyebutkan di mana pelabuhan yang disetujui untuk berakhirnya
hubungan kerja [Pasal 449 ayat (2)].
 Hubungan kerja untuk waktu tidak tertentu [Pasal 450 ayat (1)].
Menurut Budiono Kedudukan seorang nakhoda dalam perjanjian kerja laut
sebenarnya sama dengan buruh pada umumnya walaupun peranannya amat
penting dalam suatu pelayaran. Oleh sebab itu, segala ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku bagi seorang pekerja/buruh
juga berlaku bagi nakhoda, kecuali ditentukan lain dalam KUH Dagang.
Persoalannya ketika terjadi sengketa atau perselisihan hubungan industrial antara
nakhoda, juga perwira atau kelasi, dengan pengusaha kapal (reder), apakah
menggunakan prosedur penyelesaian seperti diatur dalam Pasal 426 KUH Dagang?
Sementara dalam sistem Hukum Ketenagakerjaan sudah ada pengaturan tersendiri
sebagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Adapun ketentuan pidana yang berhubungan dengan perjanjian kerja laut
dimuat dalam:
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
 Pasal 453, Tentang ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan
bagi nakhoda yang menarik diri sebagai pimpinan kapal sebelum
berakhirnya perjanjian.
 Pasal 454, Tentang ancaman pidana penjara 1 tahun 4 bulan bagi
nakhoda dan anak kapal yang melarikan diri dari kewajiban (desertie).
 Pasal 455, Tentang ancaman pidana penjara 4 bulan 2 minggu bagi anak
kapal yang melakukan desersi sederhana (apabila ia telah
menandatangani surat perjanjjan kerja, tettapi tidak mau ikut berlayar).
 Pasal 466 dan Pasal 478, Menurut pasal-pasal di atas, berarti apabila
seorang pekerja/buruh kapal mengakhiri hubungan kerja sebelum
perjanjian berakhir berakhir, mereka dapat diancam pidana. Hal ini dapat
dipähami, mengingat pentingnya peranan awak kapal (nakhoda, opsir,
dan kelasi) dalam setiap pelayaran.
 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang tercantum
pada Pasal 101, Pasal 102 ayat (1), Pasal 103, Pasal 109, Pasal 110 ayat (1)
dan (2), Pasal 114, Pasal 115 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 116 ayat (2), Pasal
118, Pasal 120, Pasal 124 ayat (1) dan (2), Pasal 125 ayat (1) dan (2), Pasal
126, dan Pasal 127.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran semua ketentuan atau peraturan perundang-undangan (termasuk yang
termuat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang) dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.
secara umum perjanjian kerja laut Sudah diatur dalam beberapa undang-undang,
yaitu KUH Dagang, KUH Perdata, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran. Kedua, di dalamnya terdapat minimal tiga aspek-yang
kesemuanya pasti bersentuhan dengan aspek hukum yaitu aspek dagang (bisnis),
aspek teknis pelayaran, dan aspek ketenagakerjaan. Terkait dengan pengaturan
upah tampaknya sudah diatur dalam Pasal 402 ayat (2) KUH Dagang, di mana upah
haruS dibayar oleh pengusaha kapal kepada pekerja/buruh dalam bentuk uang.
Sedangkan mengenai jumlahnya harus disepakati dan disebutkan secara jelas
dalam perjanjian kerja laut. Apabila tidak disebutkan besaran upah dimaksud,
pemberian atau pembayaran upah harus didasarkan pada peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, besaran upah untuk pekerja /buruh
dalam perjanjian kerja laut sekurang-kurangnya adalah Upah Minimum Provinsi atau
Upah Minimum Kabupaten /Kota.
Dan terkait dengan perselisihan para pihak harus cermat, termasuk ke dalam
jenis atau kelompok mana perselisihan itu sendiri, Apakah perselisihan perdata
murni, ataukah perselisihan yang berkaitan dengan teknis pelayaran, ataukah
perselisihan ketenagakerjaan, Apabila terjadi perselisihan perdata murni,
penyelesaiannya mengacu pada hukum acara perdata (melalui peradilan umum).
Apabila perselisihan yang berkaitan dengan teknis pelayaran, penyelesaiannya
mengacu pada hukum acara pelayaran (mclalui syahbandar dan mahkamah
pelayaran). Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, secara
hukum harus mengikuti mekanisme dan prosedur sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

Anda mungkin juga menyukai