Definisi Hubungan kerja menurut Soepomo adalah "Suatu hubungan antara
seorang buruh dan seorang majikan, di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia be- kerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja /buruh dengan memberi upah." Sedangkan menurut Husni dalam Asikin (1993: 51) berpendapat bahwa hubungan kerja adalah "Hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak buruh' mengikatkan dininya pada pihak majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah." Sedangkan Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa "Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh ber- dasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah." unsur hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian, landasan hubungan kerja karena adanya perjanjian kerja, baik tertulis maupun tidaktertulis (lisan). Beberapa ahli berpendapat bahwa di dalam perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja adalah empat unsur penting, yaitu Adanya pekerjaan (Pasal 1601 a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH Dagang), Adanya perintah orang lain (Pasal 1603 b KUH Perdata), Adanya upah (Pasal 1603 p KUH Perdata), dan Terbatas waktu tertentu, karena tidak ada hubungan kerja berlangsung terus-menerus. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja dan perjanjian Kerja merupakan peristiwa hukum sehingga konsekuensi suatu hubungan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak, yakni pihàk pengusaha dan pihak pekerja/buruh. Hak adalah suatu peranan yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila hak dilanggar, tídak berakibat sanksi apa pun bagi pelakunya. Sedangkan kewajiban adalah suatu peranan yang harus atau tidak harus dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila kewajiban dilanggar, berakibat sanksi bagi setiap pelakunya. Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur/ memuat hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Dalam konteks hubungan kerja, kewajíban para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya, "kewajiban pengusaha merupakan hak pekerja/buruh" dan sebaliknya "kewajiban pekerja/buruh merupakan hak pengusaha, Untuk itu, jika terjadi pelanggaran kewajiban yang telah diatur peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja, masing-masing pihak dapat menuntut pihak lainnya. mengenai hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha secra lebih rinci biasanya dicantumkan dalam Surat perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, Rincian ini dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban para pihak. Untuk keperluan tersebut dan agar dapat mengikat para pihak, maka perumusan hak dan kewajiban harustah cermat dan dergan bahasa yang jelas sehingga tidak multi-interpretasi. Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada ialah perikatan atau verbintenis (Pasal 1233) dan persetujuan atau overeenkomst (Pasal 1313. Beberapa ahli hukum juga berbeda pendapat da- lam menggunakan istilah- istilah tersebut. Di Indonesia istilah verbintenis diterjemahkan dalam tiga arti, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan istilah overeenkomst diterjemahkan dalam dua arti, yaitu perjanjian dan persetujuan, Jika menggunakan Pasal 1313 KUH Perdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Pembagian perjanjian menurut Pasal 1601 KUH Perdata adalah: Perjanjian untuk Melakukan Jasa-Jasa Tertentu, Yaitu suatu perjanjian di mana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya agar dilakukan suatu perjanjian guna mencapai suatu tujuan, untuk itu salah satu pihak bersedia membayar honorarium atau upah. Contohnya, hubungan antara pasien dan dokter, pengacara dan klien, dan lain-lain. Perjanjian Kerja, Yaitu perjanjian antara seorang buruh dan seorang majikan yang ditandai dengan ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dienstverhoeding), dimana pihak majikan berhak memberikan perintah- perintah yang harus ditaati oleh pihak lain. Perjanjian Pemborongan Kerja, Yaitu suatu perjanjian antara pihak yang satu dan pihak yang lain, di mana pihak yang satu (yang memborongkan pekerjaan) menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain, atas pembayaran suatu uang tertentu sebagai harga pemborongan. Untuk sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus memenuhi syarat materil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar: Kesepakatan kedua belah pihak; Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar huruf a dan b merupakan syarat subjektif, sedangkan dasar huruf c dan d merupakan syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat di batalkan. Artinya, salah satu pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan oleh hakim. Kemudian, apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif, perjanjian itu batal demi hukunn. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian atau perikatan sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling me nuntut di muka sidang pengadilan. Kemudiarn, ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa "Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan /atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak." Terkait dengan bentuk dan isi perjanjian kerja berarti membahas tentang syarat formil suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengikat tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijam in dengan adanya asas kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkont rak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dengan memerhatikan Pasal 1320, 1335, dan 1337 KUH Perdata di samping Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Mengenai pengelompokan perjanjian kerja tanpaknya sangat beragam, hal ini bergantung dari persepsi mana para ahli memandangnya. Di samping itu, perjanjian kerja selalu berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehingga berpengaruh dalam pengelompokannya. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2003 : 14-25) membagi perjanjian kerja menjadi dua jenis, yaitu Berdasarkan waktu berlakunya, yaitu Kesepakatan Kerja Waktu Tidak Tertentu (KKWTT), dan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT). Perjanjian kerja lainnya, yaitu Perjanjian pemborongan pekerjaan, Perjanjian kerja bagi hasil, Perjanjian kerja laut, dan Perjanjian untuk melakukan jasa- jasa. Menurut penulis, baik secara yuridis maupun empiris perjanjian kerja dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu berdasarkan bentuk perjanjian jangka waktu perjanjian, status perjanjian, dan pelaksanaan pekerjaan. Berdasarkan bentuk perjanjian kerja, Berdasarkan bentuknya perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam [Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003], yaitu : Perjanjian kerja secara tertulis, Yaitu perjanjian kerja yang harus dibuat sesuai peraturan perundang-undangan. Perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis), Yaitu perjanjian kerja yang dibuat sesuai kondisi masyarakat secara tidak tertulis. Berdasarkan jangka waktu perjanjian kerja, Berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu: Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu, Yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha, di mana jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang- undang, maupun kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Berdasarkan status perjanjian kerja, Berdasarkan status perjanjiannya, perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu : Perjanjian kerja tidak te tap Perjanjian kerja perseorangan (Oengan masa percobaan tiiga bulan), Semula dasar hukum masa percobaan s bulan ini diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 lahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan kemudian diatur dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Secara tegas ditetapkan bahwa masa percobaan paling lama 3 bulan. Perjanjian kerja harian lepas, Perjanjian kerja harian lepas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Ter tentu, yang sebelumnya diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.06/Men/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas. Perjanjian kerja borongan, Pengertian ini secara eksplisit dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 3 Ke putusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.150/Men/1999 di sebutkan bahwa"Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan satuan hasil kerja." Perjanjian kerja tetap Pekerjaan bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus- menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman [Penjela san Pasal 59 ayat (2) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003]. Secara yuridis perjanjian kerja tetap terjadi karena dua hal, yakni Kesepakatan para pihak, yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha, dan Tidak terpenuhinya dan atau akibat adanya pelanggaran terhadap ketentuan ketenagakerjaan. Secara empiris pengertian perjanjian kerja tetap adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, di mana pekerja/buruh menerima upah dan tanpa adanya pembatasan waktu tertentu karena jenis pekerjaannya menjadi bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan, bersifat terus-menerus, dan tidak terputus-putus. Berdasarkan pelaksanaan pekerjaan, Secara yuridis pengelompokan perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan pekerjaan mengacu pada ketentuan Pasal 64-66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam praktik kegiatan perusahaan ada penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dan di samping sudah adanya justifikasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun, sebagian pekerjaan lainnya harus dilakukan sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu pengelompokan perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan pekerjaan dibagi menjadi dua macam, yaitu: Dilakukan sendiri oleh perusahaan, Yaitu untuk jenis-jenis kegiatan atau pekerjaan utama (vital) yang tidak diserahkan pelaksanaan pckerjaannyd kepada perusahaan lain. Diserahkan kepada perusahaan lain (outsourcing) Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa: Perjanjian kerja berakhir apabila: pekerja/buruh meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu. perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau adanya keadaan atau kejadian tertentu" yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja." Dasar hukum perjanjian kerja wäktu tertentu adalah : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 50- 66). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Adapun beberapa prinsip perjanjian kerja waktu tertentu yang perlu diperhatikan, antara lain: Harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin, minimal rargkap 2. Apabila dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing dan terjadi perbedaan penafsiran, yang berlaku bahasa Indonesia. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Paling lama 3 tahun, termasuk jika ada perpànjangan atau pembaruan. Pembaruan PKWT dilakukan setelah tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya perjanjian, Tidak dapat diadakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Upah dan syarat-syarat kerja yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), dan peraturan perundang-undangan. sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) harus memenuhi syarat syarat pembuatan, baik syarat materiil maupun syarat formil (periksa pembahasan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja). Dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 syarat materiil diatur dalam Pasal 52, 55, 58, 59, dan 60, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 dan 57. Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWI tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jika ternyata kualitas isinya lebih rendah, syarat-syarat kerja yang berlaku adalan yang termudt dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.dan Segala hal dan/atau biaya yang timbul atas pembuatan PKWT menjadi tanggung jawab pengusaha (Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Dalam praktik sering terjadi penyimpangan atas hal ini. Dengan latar belakang dan alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja memberlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Guna mengantisipasi masalah ini, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undarng Nomor 13 Tahun 2003 menetapkan kategori pekerjaan untuk PKWT sebagai berikut: pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 pengelompokan PKWT terdiri atas: Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru Perjanjian kerja harian lepas Sedangkan mengenai jangka waktu PKWT diatur pada Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa PKWT dapat diperpanjang atau diperbarui pilih salah satu dengan jangka waktu paling lama tiga tahun. Yang dimaksud diperpanjang ialah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pembaruan adalah melakukan hubungan kerja baru setelah PKWT pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 hari. Jadi secara normatif jangka waktu PKWT keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3 tahun, baik untuk perpanjangan maupun untuk pembaruan. Perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan salah satu akibat dari ketidak cermatan dalam menyusun suatu perjanjian kerja. Di sinilah peran pentingnya seorang perancang kontrak (contract drafter) dalam menyusun suatu perjanjian kerja. Apabila tidak cermat, dapat berakibat merugikan perusahaan, baik secara yuridis maupun secara ekonomis. Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT telah diatur dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yang populer disebut outsourcing. Pengertian outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau penginm tenaga kerja/ pekerja (penyedia), perusahaan pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna), dan tenaga kerja/pekerja. Walaupun outsourcing merupakan hak pengusaha, pelaksanaan hak itu ada persyaratan tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, dalam melakukan outsourcing di samping harus memenuhi syarat materiil dan formil, juga secara substansial tidak boleh mengurangi hak-hak normatif pekerja/buruh. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborong pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan secara yuridis pembuatan perjanjian pemborongan pekerjaan harus dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh secara lisan (tidak tertulis), dan Untuk jenis atau sifat pekerjaan yang tidak memenuhi ketentuan PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dibuat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Jadi, tidak boleh menggunakan PKWT karena tidak memenuhi ketentuan PKWT. Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat [Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012]. Guna menentukan suatu jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang (suppor ting business) harus dilihat dari diagram atau alur kegiatan proses produksi yang menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memerhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 di atas. Moh. Syafii Syamsuddin berpendapat bahwa dalam setiap proses pelaksanaan pekerjaan akan selalu ada kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang (supporting business), baik sebelum (pra), selama, maupun setelah (pasca) produksi.
Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melatui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagai berikut: Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Penyedia jasa pekerja/buruh Harus : memenuhi syarat-syarat, yaitu Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangan Kedua pihak, melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu Jika memenuhi persyaratan Pasal 59 Undang-Undang Nomor tahun 2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu, Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul mnenjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana di maksud dalam undang- undang ini. Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika ketentuan butir a., b.1)a), b. 1)b), b.1)d), dan b.2) tidak terpenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedian jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi [Pasal 17 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012] yang meliputi Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, dan Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. Mengingat jenis dan sifat pekerjaan untuk waktu tertentu di perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi memiliki karakteristik khusus, maka dibuatlah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, untuk memenuhi kebutuhan operasional yang mempunyai kekhususan itu. Di samping itu, untuk keseragaman pelaksanaan diterbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE. 10/M/BW/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1995. Pengertian perjanjian kerja waktu tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, yang disebut Perjanjian Kerja Migas (PKM) adalah perjanjian antara pekerja dan pengusaha migas yang dibuat secara khusus guna mengadakan hubungan kerja untuk waktu tertentu atau pe kerjaan tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi (Pasal 1 huruf a Peraturan Menter Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1995). Berkenaan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1995 berikut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE. 10/M/BW/1995 dinyatakan tidak berlaku. hal ini sangat tepat karena dalam praktik Perjanjian Kerja Migas selama ini cenderung multiinterpretasi dan tidak jarang memicu perselisihan, seperti adanya pekerja/buruh kontrak yang berlangsung lebih dari tiga tahun. Untuk itu berdasarkan peraturan sekarang lebih simpel dengan mengacu pada satu ketentuan hukum, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 sebagai tindak lanjut pelaksanaan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, status ketentuan PKM dalam hal seperti jangka waktu PKWT, penyelesaian perselisihan, perhitungan hak PHK, dan lain-lain harus mengacu ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/Men/VI /2004 tersebut, kecuali diatur tersendiri, seperti mengenai waktu kerja dan istirahat. Namun demikian, berdasarkan ke. tentuan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/V1/2004 untuk PKWT yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 05/Men/1995 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjían kerja waktu tertentu. Sedangkan untuk Pengertian perjanjian kerja laut menurut Pasal 395 KUH Dagang ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang buruh di pihak lain, di mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk di bawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, baik sebagai nakhoda atau anak kapal. Berkenaan dengan perjanjian kerja laut, berikut perlu dipahami pula beberapa istilah seperti : Kapal, Menurut Pasal 95 ayat (1) KUHP yaitu kapal (perahu) yang menurut undang-undang umum tentang pemberian surat laut dan pas kapal di negara Indonesia harus mempunyai pas laut atau pas kapal atau surat izin buat sementara waktu pengganti surat atau pas kapal itu. Dan Menurut, Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apa pun, yang di gerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Nakhoda kapal, Menurut Pasal 93 KUHP Yaitu orang yang memegang kuasa dalam kapal (perahu) atau orang yang menggantikannya. Sedangkan Menurut Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Yaitu salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuaí dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anak kapal, Menurut Pasal 93 ayat (3) KUHP Yaitu sekalian orang yang ada di kapal (perahu) menjadi opsir dan kelasi. Anak kapal ini terdiri atas perwira, bintara, dan tamtama. Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, istilah perwira disebut pemimpin kapal, yaitu salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas kapal untuk jenis dan ukuran tertentu serta mempunyai tanggung jawab dan wewenang tertentu, berbeda dengan yang dimiliki oleh nakhoda. Sedangkan kelasi menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Uridang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, istilah anak buah kapal ialah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin kapal. Secara tegas perjanjian kerja laut diatur dalam Bab IV Buku II KUH Dagang, di samping Bab VII.A Buku IIl KUH Perdata. Ini berarti perjanjian kerja laut kedudukannya sama dengan perjanjian kerja pada umumnya sehingga bentuk dan isi perjanjian kerja laut harus tetap memerhatikan Pasal 1320, 1335, dan 1337 KUH Perdata. Menurut KUH Perdata perjanjian kerja dimungkinkan dibuat dengan tidak tertulis. Hal demikian tidak berlaku untuk pembuatan perjanjian kerja laut karena sudah diatur dengan tegas pada Pasal 399 KUH Dagang bahwa perjanjian kerja laut harus dibuat secara tertulis bagi nakhoda atau perwira kapal. Sedangkan untuk kelasi (anak buah kapal) di samping harus tertulis, juga harus dibuat di depan pihak berwenang (Pasal 400 KUHD) Maksud pihak berwenang di sini adalah pejabat syahbandar. Secara formil Pasal 401 KUH Dagang menetapkan Danwa dalam perjanjian kerja laut harus memuat Nama si buruh, hari kelahirannya, atau setidak-tidaknya taksiran umur dan tempat kelahiran, Tempat dan tanggal dibuatnya perjanjian, Penunjukan kapal tempat buruh sanggup bekerja, Rute perjalanan, apabila ditetapkan, Kemungkinan pengikatan buruh untuk bekerja di daratan dan jenis pekerjaan apa yang akan dilakukan, Hak-hak buruh atas hari libur (Pasal 415 KUH Dagang). Hal-hal lain tercantum pada Pasal 448, 449, dan 450 KUH Dagang. Dalam KUH Dagang, pengelompokan perjanjian kerja laut adala sebagai berikut: Berdasarkan keterkaitan subjek terbagi dalam dua macam: Perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal (reder) dengan nakhoda dan perwira kapal [Pasal 399 ayat (1)], di mana perjanjian ini harus dibuat secara tertulis. Cukup dengan akta dibawah tangan, tidak perlu otentik. Perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal (reder) dan anak buah kapal [Pasal 400 ayat (1)], di samping harus dibuat secara tertulis, juga harus otentik, yakni dibuat di hadapan pejabat berwenang (dalam hal ini syahbandar). Berdasarkan status hubungan kerja terbagi dalam tiga macam: Hubungan kerja tuntuk waktu tertentu, yang menyebut kan kapan waktu berakhirnya hubungan kerja (Pasal 448). Hubungan kerja untuk satu atau beberapa perjalanan tertentu, yang menyebutkan di mana pelabuhan yang disetujui untuk berakhirnya hubungan kerja [Pasal 449 ayat (2)]. Hubungan kerja untuk waktu tidak tertentu [Pasal 450 ayat (1)]. Menurut Budiono Kedudukan seorang nakhoda dalam perjanjian kerja laut sebenarnya sama dengan buruh pada umumnya walaupun peranannya amat penting dalam suatu pelayaran. Oleh sebab itu, segala ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku bagi seorang pekerja/buruh juga berlaku bagi nakhoda, kecuali ditentukan lain dalam KUH Dagang. Persoalannya ketika terjadi sengketa atau perselisihan hubungan industrial antara nakhoda, juga perwira atau kelasi, dengan pengusaha kapal (reder), apakah menggunakan prosedur penyelesaian seperti diatur dalam Pasal 426 KUH Dagang? Sementara dalam sistem Hukum Ketenagakerjaan sudah ada pengaturan tersendiri sebagaimana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Adapun ketentuan pidana yang berhubungan dengan perjanjian kerja laut dimuat dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 453, Tentang ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan bagi nakhoda yang menarik diri sebagai pimpinan kapal sebelum berakhirnya perjanjian. Pasal 454, Tentang ancaman pidana penjara 1 tahun 4 bulan bagi nakhoda dan anak kapal yang melarikan diri dari kewajiban (desertie). Pasal 455, Tentang ancaman pidana penjara 4 bulan 2 minggu bagi anak kapal yang melakukan desersi sederhana (apabila ia telah menandatangani surat perjanjjan kerja, tettapi tidak mau ikut berlayar). Pasal 466 dan Pasal 478, Menurut pasal-pasal di atas, berarti apabila seorang pekerja/buruh kapal mengakhiri hubungan kerja sebelum perjanjian berakhir berakhir, mereka dapat diancam pidana. Hal ini dapat dipähami, mengingat pentingnya peranan awak kapal (nakhoda, opsir, dan kelasi) dalam setiap pelayaran. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang tercantum pada Pasal 101, Pasal 102 ayat (1), Pasal 103, Pasal 109, Pasal 110 ayat (1) dan (2), Pasal 114, Pasal 115 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118, Pasal 120, Pasal 124 ayat (1) dan (2), Pasal 125 ayat (1) dan (2), Pasal 126, dan Pasal 127. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran semua ketentuan atau peraturan perundang-undangan (termasuk yang termuat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru. secara umum perjanjian kerja laut Sudah diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu KUH Dagang, KUH Perdata, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Kedua, di dalamnya terdapat minimal tiga aspek-yang kesemuanya pasti bersentuhan dengan aspek hukum yaitu aspek dagang (bisnis), aspek teknis pelayaran, dan aspek ketenagakerjaan. Terkait dengan pengaturan upah tampaknya sudah diatur dalam Pasal 402 ayat (2) KUH Dagang, di mana upah haruS dibayar oleh pengusaha kapal kepada pekerja/buruh dalam bentuk uang. Sedangkan mengenai jumlahnya harus disepakati dan disebutkan secara jelas dalam perjanjian kerja laut. Apabila tidak disebutkan besaran upah dimaksud, pemberian atau pembayaran upah harus didasarkan pada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, besaran upah untuk pekerja /buruh dalam perjanjian kerja laut sekurang-kurangnya adalah Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten /Kota. Dan terkait dengan perselisihan para pihak harus cermat, termasuk ke dalam jenis atau kelompok mana perselisihan itu sendiri, Apakah perselisihan perdata murni, ataukah perselisihan yang berkaitan dengan teknis pelayaran, ataukah perselisihan ketenagakerjaan, Apabila terjadi perselisihan perdata murni, penyelesaiannya mengacu pada hukum acara perdata (melalui peradilan umum). Apabila perselisihan yang berkaitan dengan teknis pelayaran, penyelesaiannya mengacu pada hukum acara pelayaran (mclalui syahbandar dan mahkamah pelayaran). Akan tetapi, apabila terjadi perselisihan hubungan industrial, secara hukum harus mengikuti mekanisme dan prosedur sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.