Anda di halaman 1dari 16

DISKUSI BESAR

SUTURING

Clara Leona
2018.07.2.0017

BAGIAN BEDAH MULUT


RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT NALA HUSADA
SURABAYA
2020
PENDAHULUAN

Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai akibat dari

ruda paksa. Penjahitan luka adalah suatu proses akhir dari prosedur bedah yang dilakukan untuk

melekatkan kembali luka yang terbuka akibat insisi, untuk mengontrol perdarahan, dan

memungkinkan terjadinya penyembuhan luka primer. Menurut Glossary of Prosthodontic Terms-

7, penjahitan luka merupakan suatu proses penyatuan jaringan yang terpisah oleh karena trauma

ataupun luka yang ditimbulkan oleh intervensi bedah dengan cara tertentu dengan menggunakan

bahan yang tepat.

Prosedur bedah sering kali mengakibatkan terbentuknya luka akibat tindakan insisi yang

memerlukan penjahitan luka. Dalam melakukan sebuah tindakan penjahitan luka, sangatlah

diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai pemilihan dan karakteristik dari benang

jahit operasi dan teknik yang akan digunakan. Penjahitan luka yang tidak tepat tidak hanya

mengakibatkan proses penyembuhan luka yang tertunda, namun juga dapat mengakibatkan

terjadinya infeksi dan komplikasi lainnya.

Pengetahuan penjahitan luka sangat diperlukan dalam ilmu bedah karena pembedahan

biasanya membuat luka sayatan dan penjahitan bertujuan untuk menyatukan kembali jaringan

yang terputus serta meningkatkan proses penyambungan dan penyembuhan jaringan dan juga

mencegah luka terbuka yang akan mengakibatkan masuknya mikroorganisme. Material

penjahitan luka yang baik dan berkualiatas juga sangat menentukan proses penyambungan dan

penyembuhan jaringan.
1. SUTURING ATAU PENJAHITAN LUKA

1.1 Definisi Suturing

Suturing adalah suatu proses akhir dari prosedur bedah yang dilakukan untuk

melekatkan kembali luka yang terbuka akibat insisi, untuk mengontrol perdarahan, dan

memungkinkan terjadinya penyembuhan luka primer. Menurut Glossary of Prosthodontic

Terms-7, penjahitan luka merupakan suatu proses penyatuan jaringan yang terpisah oleh

karena trauma ataupun luka yang ditimbulkan oleh intervensi bedah dengan cara tertentu

dengan menggunakan bahan yang tepat.

1.2 Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Suturing

Adapun alat yang digunakan dalam melakukan tindakan penjahitan luka adalah

needle holder, gunting benang, dan pinset chirurgis. Sedangkan bahan yang digunakan

untuk penjahitan luka adalah jarum jahit dan benang jahit operasi.

1.2.1 Needle Holder

Needle holder adalah sebuah instrumen dengan bentuk paruh pendek yang

berfungsi sebagai pemegang bagian distal jarum jahit dengan jarak 1/2 – 3/4 dari

ujung jarum jahit dan sebagai penyimpul benang. Jenis yang digunakan

bervariasi, yaitu tipe Crille wood (bentuknya seperti klem) dan tipe Mathew

Kusten (bentuk segitiga). Untuk menjahit daerah intra oral biasanya digunakan

needle holder ukuran 6 inchi (15cm).


1.2.2 Gunting Benang

Gunting benang biasanya memiliki dua buah ring sebagai tempat

masuknya jari. Cara memegang gunting benang sama dengan cara memegang

needle holder. Gunting benang yang paling banyak digunakan adalah Dean

scissors. Dean scissor memiliki pisau yang bergerigi yang mengakibatkan

pengguntingan benang menjadi lebih mudah.

1.2.3 Pinset Chirugis

Pinset chirurgis biasanya memiliki susunan yang khas, yaitu terdapat

semacam gigi yang berjumlah dua buah pada sisinya dan satu buah pada sisi yang

lainnya. Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu diseksi dan

penjahitan luka, memberi tanda pada kulit sebelum memulai insisi.

1.2.4 Jarum Jahit

Jarum jahit tersedia dalam beragam bentuk, diameter, dan ukuran. Secara

umum, jarum jahit terdiri atas tiga bagian, yaitu needle point, needle body, dan

swaged (press-fit) end. Needle point berbentuk tajam dan berfungsi untuk

penetrasi kedalam jaringan. Body merupakan bagian tengah dari jarum jahit.

Sedangkan swaged (press-fit) end merupakan bagian tempat menempelnya

benang. Jarum jahit digunakan untuk menutup luka insisi pada mukosa dan

biasanya berbentuk round atau triangular. Jarum jahit biasanya terbuat dari besi

tahan karat (stainless steel) yang kuat dan fleksibel.

Jarum jahit memiliki bentuk dan jenis yang beragam seperti straight

needle, curved needle, eyed needle, dan eyeless needle. Selain itu, jarum jahit juga
tersedia dalam berbagai ukuran, yaitu 1/4, 3/8, 1/2, dan 5/8. Jenis jarum jahit yang

paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah curved (circle)

needle dengan ukuran 3/8 dan 1/2. Curved needle berukuran 3/8 biasa digunakan

pada daerah bukal ke lingual dalam satu gerakan dengan memutar jarum jahit

pada axis sentralnya. Sedangkan curved needle berukuran 1/2 biasanya digunakan

pada daerah bukal gigi molar atas dan permukaan fasial gigi insisivus pada rahang

atas dan rahang bawah. Curved needle juga dapat digunakan dalam pembedahan

mukogingival dan periosteal. Secara umum, curved needle terbagi menjadi dua

jenis, yaitu round bodied dan cutting. Cutting curved needle terbagi atas dua jenis,

yaitu konvensional dan reverse cutting. Reverse cutting biasanya lebih mudah

diaplikasikan pada daerah rongga mulut karena tidak akan menembus atau

mengoyak jaringan.

1.2.5 Benang Jahit

Perkembangan bahan benang jahit untuk penjahitan luka terus

berkembang. Umumnya bahan benang jahit harus memenuhi syarat-syarat ideal

seperti dibawah ini.

a. Harus memiliki tensile strength yang tinggi untuk menahan luka dengan baik

hingga proses penyembuhan selesai.

b. Tidak menyebabkan alergi atau menyebabkan inflamasi pada jaringan.

c. Memiliki daya simpul yang baik.

d. Harus memiliki daya kapilaritas yang minimum sehingga bahan material

jahitan tidak menyerap banyak cairan jaringan yang sedang meradang di sekitar

luka dan menyebabkan infeksi.


e. Mudah disterilisasi.

f. Murah.

Bahan material benang jahit dapat diklasifikasikan menurut jenis material

menjadi dua, yaitu absorbable dan non-absorbable. Berdasarkan jumlah benang,

juga dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu monofilament dan multifilament.

Selain itu dapat pula diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu alami dan

sintetik.

Benang absorbable adalah jenis benang yang dapat dicerna oleh enzim

atau dapat dihidrolisis oleh tubuh. Benang jenis absorbable dapat dibagi atas

alami dan sintetik. Jenis benang absorbable yang terbuat dari bahan alami adalah

catgut, collagen, cargille membrane, kangaroo tendon, dan fascia lata. Jenis

benang absorbable yang terbuat dari bahan sintetik adalah polyglicolic acid

(dexon), polyglactic acid (vicryl), polydioxanone (PDS), dan polytrimethlylene

carbonate (maxon).

Benang jahit jenis absorbable yang paling sering digunakan dalam bidang

kedokteran gigi adalah catgut yang dimodifikasi dengan cara perendaman dalam

larutan garam asam kromat karena memiliki waktu penyerapan yang lebih lama

dan daya reaktivitas jaringan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan catgut

yang tidak dimodifikasi. Pada umumnya, benang absorbable memiliki waktu 70-

90 hari untuk diserap tubuh. Benang non-absorbable adalah jenis benang yang

tidak dapat dicerna oleh enzim maupun dihidrolisis oleh tubuh. Benang jenis non-

absorbable dapat pula dibagi atas alami dan sintetik.


Benang non-absorbable yang terbuat dari bahan alami adalah silk, linen,

dan cotton. Jenis benang non-absorbable yang terbuat dari bahan sintetik adalah

nylon, polypropylene, braided polyester, dan polybutester. Jenis benang non-

absorbable yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi adalah

silk dengan ukuran 4-0 dan 3-0. Benang silk terbuat dari pintalan filamen protein

alami oleh ulat sutra. Benang silk mudah dipakai dan disimpul serta relatif murah.

Namun, benang jenis ini harus segera dibuka pada minggu pertama setelah

dipasang karena memiliki potensi untuk menyebabkan inflamasi dan infeksi

akibat sifatnya yang mudah mengalami penumpukan akumulasi plak serta dapat

menyebabkan bakteri masuk kedalam luka.

1.3 Teknik Suturing

Penjahitan luka memiliki teknik yang beragam, seperti simple interrupted suture,

simple continuous suture, locking continuous suture, vertical mattress suture, horizontal

mattress suture, subcuticular suture, dan figure-of-eight suture. Meskipun demikian,

teknik-teknik penjahitan luka tersebut haruslah memenuhi prinsip-prinsip umum

penjahitan luka seperti dibawah ini:

a. Jarum jahit sebaiknya dipegang dengan needle holder pada 1/3 bagian dari tempat

masuknya benang dan 2/3 bagian dari ujung jarum jahit.

b. Penetrasi jarum jahit ke dalam jaringan harus perpendikular terhadap permukaan

jaringan.

c. Penjahitan luka sebaiknya dilakukan dengan jarak dan kedalaman yang sama pada

kedua sisi daerah insisi, biasanya tidak lebih dari 2-3mm dari tepi luka. Sedangkan jarak

antara jahitan yang satu dengan yang lainnya berkisar 3-4mm.


d. Jahitan jangan terlalu longgar maupun terlalu ketat.

e. Penyimpulan benang jangan diletakkan tepat diatas garis insisi.

1.3.1 Simple Interrupted Suture

Simple interrupted suture adalah teknik atau metode penjahitan luka yang

paling umum digunakan. Teknik ini menjahit tepi luka dengan satu jahitan,

disimpul lalu digunting. Teknik ini relatif aman karena apabila satu jahitan

terputus maka jahitan lainnya tidak terganggu. Teknik ini merupakan teknik yang

paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Simple interrupted suture

memiliki potensial yang rendah dalam menyebabkan edema dan kerusakan

sirkulasi kulit. Kerugian dari jahitan ini adalah waktu yang dibutuhkan cukup

panjang untuk insersidan memiliki resiko lebih besar dalam meninggalkan bekas

jahitan yang membentuk seperti jalur kereta api (rail-road scar).

1.3.2 Simple Continuous Suture

Adalah suatu serial jahitan yang dibuat dengan menggunakan benang

tanpa terputus antara jahitan sebelum dan sesudahnya. Untaian benang dapat

diikat pada setiap ujung jahitan. Cara ini dapat dilakukan dengan cepat, kekuatan
tegangan seluruh jahitan sepanjang luka hampir sama. Tarikan yang terlalu kuat

harus dihindari untuk mencegah putusnya jahitan yang akan merusak semua

jahitan. Biasanya digunakan diperitoneum atau fascia dinding abdomen. Untuk

luka infeksi tidak dianjurkan menggunakan teknik ini. Kerugiannya, jika satu

jahitan longgar maka akan berpengaruh terhadap jahitan sebelum atau

sesudahnya.

Keuntungan dari simple continuous suture ini adalah insersi jahitannya

yang cukup cepat. Sedangkan kerugiannya adalah jika salah satu jahitan terputus,

maka keseluruhan jahitan akan rusak. Oleh karena itu, teknik ini diindikasikan

pada penjahitan luka pada daerah tension yang minimal.

1.3.3 Locking Continuous Suture

Teknik jahitan ini hampir sama dengan teknik simple continuous suture,

namun terdapat keuntungan tambahan berupa adanya mekanisme pengunci.

Dengan adanya mekanisme ini, jaringan dapat disesuaikan dengan insisi secara

perpendikular. Selain itu, hal ini juga mencegah terjadinya pengetatan jahitan

secara terus menerus sebagai kemajuan proses penyembuhan luka


1.3.4 Vertical Mattress Suture

Vertical mattress suture merupakan teknik penjahitan yang hampir sama

dengan teknik simple interrupted suture, perbedaannya adalah adanya

penambahan penetrasi jarum jahit pada tepi luka yang berfungsi untuk

memaksimalkan eversi luka, meminimalisir adanya dead space, dan

meminimalisir tekanan yang melewati luka.

1.3.5 Horizontal Mattress Suture

Pada teknik ini, eversi luka dan kontinuitas menghasilkan penutupan luka

yang sangat fluktuatif. Oleh karena itu, teknik ini biasa dilakukan pada

pencangkokan tulang intra oral. Penetrasi jarum jahit dilakukan dari tepi ke tepi

luka lalu melewati daerah insisi dan kembali lagi ke tepi jahitan yang pertama.

1.3.6 Subcuticular Suture


Teknik ini dipopulerkan oleh Halstead pada tahun 1893. Pada teknik ini,

jahitan dilakukan dengan membuat jahitan horizontal melewati kedua tepi luka

secara bergantian. Pada jahitan ini tidak

terlihat tanda jahitan dan dapat dibiarkan

lebih dari satu minggu pada area luka.

1.3.7 Figure-of-eight Suture

Teknik ini biasa digunakan untuk menutup luka pasca ekstraksi.

1.4 Pembukaan Benang Jahitan

Jahitan pada daerah kulit biasanya dibuka setelah 7 sampai 10 hari, sedangkan

daerah mukosa dibuka setelah 5 sampai 7 hari. Ujung simpul dipegang dengan pinset,

lalu dipotong ujung jahitan yang dekat dengan arah masuknya benang dengan gunting.

Jika tidak, maka benang yang terkontaminasi akan ikut tertarik masuk ke dalam daerah

luka yang sedang mengalami penyembuhan, akibatnya terjadilah infeksi.


1.5 Respon Biologis Jaringan terhadap Penyembuhan Luka

Tubuh mempunyai mekanisme pelindung dalam menahan perubahan lingkungan.

Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung tersebut maka terjadilah

luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki fungsi fisiologis penyembuhan luka.

Berdasarkan tipe penyembuhannya, penyembuhan luka dibagi menjadi tiga, yaitu

penyembuhan luka primer, sekunder, dan tersier.

1.5.1 Penyembuhan Luka Primer

Penyembuhan luka primer adalah penyembuhan yang terjadi setelah

diusahakan bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau

flap. Luka-luka yang bersih sembuh dengan cara ini, misalnya luka karena

operasi, dan luka kecil yang bersih. Penyembuhannya tanpa komplikasi, berjalan

cepat dan hasilnya baik secara estetis. Namun, hal tersebut dipengaruhi juga oleh

keterampilan dan pengetahuan dokter gigi serta kondisi pasien seperti faktor usia,

berat badan, status nutrisi, respon imun, dan penyakit kronis yang diderita pasien.

Penyembuhan luka primer berlangsung dalam tiga fase, yaitu:

a. Fase Inflamasi

Karakteristik utama dari fase ini adalah pembentukan fibrin pada jaringan

yang rusak. Respon inflamasi menyebabkan keluarnya cairan jaringan, akumulasi

sel dan fibroblas, dan peningkatan suplai darah ke daerah luka. Leukosit dan sel-

sel lain memproduksi enzim proteolitik yang dapat menguraikan dan


menghilangkan debris pada jaringan yang rusak. Proses ini berlangsung pada hari

ke-3 hingga hari ke-7. Selama fase inflamasi akut, peningkatan tensile strength

jaringan tidak terjadi, tetapi hal ini hanya tergantung pada material penjahitan

luka yang digunakan.

b. Fase proliferasi

Setelah proses debridemen oleh leukosit selesai, fibroblas akan mulai

membentuk matriks kolagen pada luka yang dikenal sebagai jaringan granulasi.

Kolagen adalah komponen utama dari jaringan ikat. Serat kolagen membentuk

tensile strength dan piabilitas dari luka yang sedang mengalami penyembuhan

hingga mencapai 70%-80%. Setelah serat kolagen mengisi pembuluh darah yang

baru terbentuk, jaringan granulasi akan menjadi berwarna merah terang. Proses ini

terjadi pada hari ke 3 setelah luka terbentuk. Kontraksi luka juga terjadi dalam

fase ini. Kontraksi luka adalah sebuah proses dimana terjadi penarikan tepi luka

secara bersamaan untuk menutup luka. Luka bedah yang mengalami

penyembuhan luka primer memiliki respon kontraksi luka yang minimum. Hal ini

mengakibatkan pembentukan jaringan parut atau skar yang minimum sehingga

menghasilkan estetis yang lebih baik.

c. Fase Remodeling

Pada fase ini jumlah substansial dari serat kolagen yang terdeposisi akan

dieliminasi dan digantikan oleh fibril-fibril baru untuk memungkinkan terjadinya

peningkatan tensile strength jaringan. Fase ini dinyatakan berakhir apabila seluruh

tanda peradangan telah hilang. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang

pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan
maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan

regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-

6 bulan setelah penyembuhan.

1.5.2 Penyembuhan Luka Sekunder

Penyembuhan luka sekunder yaitu luka yang tidak mengalami

penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan

hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih

kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.

1.5.3 Penyembuhan Luka Tersier

Penyembuhan luka tersier yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama

beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka

dipertautkan dengan jahitan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan

luka yang terakhir dan memiliki resiko pembentukan skar yang lebih besar.

1.6 Respon Biologis Jaringan terhadap Benang Jahit

Respon sel terjadi setiap saat ketika terdapat benda asing yang diimplantasikan

atau dimasukkan ke dalam tubuh. Secara umum, respon terhadap bahan material

tindakan penjahitan seperti benang jahit sangatlah ringan. Respon ini diawali oleh

invasi netrofil ke jaringan luka. Jika tidak terjadi komplikasi seperti trauma ataupun

infeksi, respon akut sel terhadap bahan benang jahit operasi akan berubah dalam tiga

hari setelah dilakukannya implantasi benang. Populasi neutrophil kemudian

digantikan dengan monosit, sel plasma, dan limfosit. Setelah itu terjadilah proliferasi
fibroblast dan jaringan ikat. Enzim histokimia menunjukkan bahwa seluruh

perubahan sel disertai oleh adanya berbagai jenis enzim.

Dengan asumsi teknik yang sama, jaringan, dan faktor yang berpengaruh lainnya,

respon jaringan pada seluruh jenis benang jahit relatif sama pada hari ke lima hingga

hari ke tujuh. Setelah ini respon jaringan akan bergantung terhadap jenis bahan

benang jahit. Catgut yang tidak dimodifikasi biasanya lebih sering menyebabkan

respon terhadap makrofag dan neutrophil, sedangkan seluruh benang non-absorbable

menunjukkan respon aselular yang relatif.

Absorbsi benang jahit yang berasal dari bahan alami terjadi dengan proses degradasi

enzimatik. Sedangkan absorbsi benang jahit yang berasal dari bahan sintetik terjadi

dengan proses hidrolisis. Hidrolisis menyebabkan reaksi jaringan yang lebih rendah

bila dibandingkan dengan proses degradasi enzimatik. Pada umumnya, terdapat dua

tahap absorbsi benang jahit. Tahap pertama memiliki waktu yang linear dan

berlangsung dari beberapa hari hingga minggu. Tahap kedua dikarakteristikkan

dengan adanya kehilangan massa dari benang jahit. Kehilangan massa tersebut terjadi

sebagai respon leukositik selular yang menghilangkan debris sel dan material benang

jahit dari tepi jaringan yang berhadapan dengan benang jahit


DAFTAR PUSTAKA

1. Fossum T.W. 1997. Small Animal Surgery. Mosby-Year Book. USA.

2. Sudisma I G N, Putra Pemayun IGAG, Jaya Wardita AAG, Gorda IW. 2006. Ilmu Bedah

3. Veteriner dan Teknik Operasi. Pelawa sari. isbn:979-25-5196-6 Surgery.

http://cal.vet.upenn.edu/surgery/index.html

4. Mohan H K., Sathish B P H., Sripathi, Smitha P. 2009. Sutures and suturing techniques in

skin closure. Indian J Dermatol Venereol Leprol | July-August 2009 | Vol 75 | Issue 4

5. Pola Jahitan. 2016. http://mydokterhewan.blogspot.com/2016/05/pola-jahitan-dan-jenis-

benang-dalam.html. 6. Julian M W., Dirk, M E. 2017. Suturing Techniques

Technique.https://emedicine.medscape.com/article/1824895-technique. [19/10/2017]

6. Dolpin Suture. 2017. types-of-sutures, Suture Materials.

http://www.dolphinsutures.com:8080/types-of-sutures. [19/10/2017]

7. Jörg M. 2006. Suture Materials and Suture Techniques.

https://www.researchgate.net/publication/265667668_Suture_Materials_and_Suture_Tec

hniques. [19/10/2017]

Anda mungkin juga menyukai