Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KONSEP AQIDAH ISLAM

Dosen pembimbing:

Imam

Ghozali,S.Ag.,M.Pd.I

Disusun oleh :

Raynal Fira Ramadlan

(200401010024)

PROGRAM STUDY BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI KANJURUHAN MALANG

TAHUN AJARAN 2020

Kata Pengantar
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Konsep Aqidah Islam tepat waktu. Makalah ini guna
memenuhi tugas dosen pada matkul Pendidikan Agama Islam di Universitas Kanjuruhan
Malang. Selain itu, saya juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang Konsep Aqidah Islam tepat waktu
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Imam Ghozali,S.Ag.,M.Pd.I
selaku dosen pembimbing. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih sebanya-
banyaknya atas perhatiannya.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
MALANG 15-10-2020

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................... .i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUHAN ............................................................1
A. Latar Belakang..................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................1
1.Apa yang di maksud dengan aqidah ?
2.Apa landasan filosofis dan religiusnya?
3.Apa saja ruang lingkup aqidah?
4.Apa kaidah dari aqidah?
5. Apa fungsi dan peran aqidah?
C. Tujuan.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................. 2


A.Pengertian aqidah ........................................................................ 2
B.Landasan filosofis dan religiusnya .............................................. 2
C. Ruang lingkup aqidah ................................................................. 5
D.Delapan kaidah aqidah ................................................................ 6
E.Fungsi dan peran aqidah .............................................................. 7

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
B.DAFTAR PUSAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah,
dan kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita layak disebut
sebagai orang yang beriman (mu’min). Namun bukan berarti bahwa keimanan
itu ditanamkan dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan
harus disertai dalil-dalil aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka
tidak semua hal yang harus diimani dapat diindra dan dijangkau oleh akal
manusia.
Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat menghasilkan
keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan dalil-dalil naqli yang dapat
memberikan keimanan yang diharapkan hanyalah dalil-dalil yang qath’i.
Makalah kecil ini menampilkan beberapa bahasan yang bisa membantu siapa
saja yang ingin memahami aqidah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan aqidah ?
2. Apa landasan filosofis dan religiusnya?
3. Apa saja ruang lingkup aqidah?
4. Apa kaidah dari aqidah?
5. Apa fungsi dan peran aqidah?
C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan landasan filosofis dan religiusnya
3. Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah
4. Memaparkan delapan kaidah aqidah
5. Menyampaikan fungsi dan peran aqidah

1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Aqidah
ْ yang berarti ikatan, at-
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (ُ‫)ال َع ْقد‬
ْ
tautsiiqu (ُ‫ )التَّوْ ثِ ْيق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫)ا ِإلحْ َكا ُم‬
yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫ )ال َّر ْبطُ بِقُ َّو ٍة‬yang berarti
mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah  iman yang teguh dan pasti,
yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadaNya, beriman kepada para
malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin),
perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus)
dari salafush shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun
secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta
ijma' salaf as-shalih.

B.landasan filosofis dan religius


Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah
menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya
Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa.
Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-
hikmai inilah yang disebut “Hukuman” atau “Filosof”.[4]
Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:
- Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan
manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana”. “Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak
bergerak dan berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar

2
semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kakuatan
fikirNya.”
-Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan
dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah
sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur
susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana
selain manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
-Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab kalau saya
menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada diri saya itu.
Oleh sebab itu tentu saya dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu
menjadikan saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan
diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya
merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang sempurna itu
ialah Allah”[5]
Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa yang
dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an:
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air
(mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan ia membuat perumpamaan bagi
kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
[QS.36:77-79]. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang dipancarkan,yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang
dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup
sesudah mati). [QS.86:5-8]

3
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan aqidah Islam adalah Al-
Qur’an dan Sunnah.
Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang
disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib
diimani (diyakini dan diamalkan).
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-
nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba (kalau diperlukan)
membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun
harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat
ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu
menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada
peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini,
aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak
ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada
keraguan padanya. Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan
indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika
kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena
telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang
mustahil mereka sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah
timbul perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga
sekarang.Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu
satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong
manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan perbuatan keji dan
mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar serta
menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan juga menanamkan dalam
dirinya kecintaan kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya
diberikan kepada manusia yang hatinya telah dimasuki iman.[8]

4
Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . )11 ‫(التغابن‬. . . ‫ومن يؤمن باهلل يهد قلبه‬
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada
hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau cahaya yang
menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa
cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam lembah
maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan
sangat mudah terperosok ke dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang
merupakan bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu
mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi
bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.
C.RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH
ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah
adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan,
Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
2.Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3.Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4.Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur,
tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistimatika
arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1.Iman Kepada Allah SWT.
2.Iman Kepada Malaikat.
3.Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4.Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5.Iman Kepada Hari Akhir.
5
6.Iman Kepada Takdir Allah.
D.Delapan Kaidah Aqidah
1. Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin adanya, kecuali bila akal saya
mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu. Misalnya, bila saya untuk pertama
kali melihat sepotong kayu di dalam gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau melihat
genangan air di tengah jalan [fatamorgana], tentu saja saya akan membenarkan hal itu. Tapi
bila terbukti kemudian bahwa hasil penglihatan indera saya salah maka untuk kedua kalinya
bila saya melihat hal yang sama, akal saya langsung mengatakan bahwa yang saya lihat tidak
demikian adanya.
2. Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bias melalui berita
yang diyakini kejujuran si pembawa berita. Banyak hal yang memang tidak atau belum kita
saksikan sendiri tapi kita meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke Thailand, Afrika
atau Yaman, tapi anda meyakini bahwa negeri-negeri tersebut ada. Atau tentang fakta
sejarah, tentang Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan Majapahit, dan lain-lain,
anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang anda terima dari sumber yang
anda percaya.
3.Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa
menjangkaunya dengan indera anda. Kemampuan alat indera memang sangat terbatas.
Telinga tidak bisa mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa
menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memungkiri
wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikannya.
4.Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa menghayalkan sesuatu yang baru sama
sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan seseorang secara fisik, anda akan
menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari banyak orang yang sudah pernah anda saksikan.
5.Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu. Tatkala mata
mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu kita menyaksikannya lewat jendela
kereta api akal dengan cepat mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan
menjangkau segala sesuatu? Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa
menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
6.Iman adalah fithrah setiap manusia. Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya
Tuhan. Pada saat seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih ingin hidup,

6
fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya bila anda masuk
hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda kehilangan harapan untuk bisa keluar
dari lubang tiu, anda akan berbisik “Oh Tuhan!”
7.Kepuasan materil di dunia sangat terbatas. Manusia tidak akan pernah puas secara materil.
Seorang yang belum punya sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin punya
motor dan seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan tercapai maka
akan berubah menjadi sesuatu yang “biasa”, tidak ada rasa kepuasan pada keinginan itu.
Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari apa yang sudah di dapatnya secara materil.
Dan keinginan manusia akan dipuaskan secara hakiki di alam sesudah dunia ini.
8.Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya
Allah. Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan segala sifat-sifat Allah,
termasuk sifat Allah Maha Adil.
Kalau tidak ada kehidupan lain di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah
tidak semua penjahat menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah tidak semua
orang yang berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda menonton film, ceritanya
belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat “Tamat”, bagaimana komentar anda? Oleh
sebab itu, iman anda dengan Allah menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain
sesudah alam dunia ini yaitu Hari Akhir.

E.Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan
yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah
bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat,
atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek
tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang
memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak
yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah
swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah.
Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah
orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu
tidak punya landasan aqidah.

7
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya
zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang
percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu
yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa
direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa
uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke
pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah
memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga
bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata
modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka
syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

8
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di
mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip
keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-
kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah
informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad
Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk
mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang
Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi
sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran
yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa
kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai
sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka
syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.

9
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah, 1978.
Al-Banna Hasan, Majmu’atu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa tahun.
Drs. Edi Suresman, A.Md., Aqidah Islam, Malang, IKIP, 1993.

Anda mungkin juga menyukai