Anda di halaman 1dari 6

ALUR DIAGNOSIS

Langkah pertama proses diagnosis adalah identifikasi inkontinensia urin melalui


observasi langsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan
diagnosis dilakukan pendekatan yang komprehensif beberapa aspek: riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik terarah, urinalisir, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan
penunjang khusus. Melalui anamnesis dapat diperkirakan karakteristik inkontinensia, problem
medik dan medikasi yang sedang dijalani, gejala-gejala lain yang sangat mengganggu, dan
dampak inkontinensia urin terhadap kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya.
Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum, genital dan evaluasi
persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk menemukan beberapa
kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status
mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang holistic.
Pencatatan aktivitas berkemih (bladder record atau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta
evaluasi respon terapi.

Pengambilan sampel urin untuk dianalisis degan cara yang benar dapat memberikan
informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan
residu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun USG dapat membantu menentukan ada
tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin sekitar 50ml menunjukan gambaran
inkontinensia tipe stres, sedangkan volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan kelemahan
detrusor atau obtruksi.
Pemeriksaan-pemeriksaan diatas, hanya dilakukan pada kasus-kasus dengan riwayat dan
pemeriksaan fisik sebagai berikut : operasi atau radiasi daerah urogenital bawah, infeksi saluran
kemih berulang, prolaps (cystocele) berat, hipertrofi prostat atau kanker, gagalnya kateterisasi
nomor 14, volume residu urin pasca miksi > 200ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran
kemih, dan gagal terapi yang diberikan.
TATALAKSANA INKONTINENSIA URIN

Telah diketahui beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan


inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis, maupun
pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia
urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas terapi bersama-
sama.

Sprektum modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif
non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu), intervensi tingkah laku
(latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan),
terapi medikamentoda, operasi dan pemakaian kateter.

Intervensi perilaku yag merupakan tatalaksana non-farmakologis memiliki risiko yang


rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama yang baik dari
pasien (caregiver). Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted
voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik
behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi.

Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non
farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari
atau 3-4 jam sekali. Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk
inkontinensia urin tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan 3-5 kali sehari
dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Latihan ini dilakukan dengan membuat
kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Habbit
training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai
dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebenarnya digunakan pada inkontinensia urin
tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.
Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status
inkontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan ganguan fungsi kognitif. Terapi
biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan kontraksi involunter otot
detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena penderita perlu
mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara
pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu yang
diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama. Stimulasi
elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan
menggunakan alat-alat bantu pada vagina dan rectum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien,
karena pasien harus menggunakan alat sehingga kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.
Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sacral. Mekanisme yang
pasti untuk teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron
tulang belakang atau neuron adrenegik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih.
Penggunaan kateter yang menetap sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan
inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan
batu, abses dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama
sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal.
Terapi farmakologis atau mendikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik
terhadap inkontinensia tipe urge dan stress. Obat-obata yang diperlukan dapat digolongkan
menjadi : antikolinergik, antispasmodic, agonis adrenergic α, estrogen topical, antagonis
adrenegik α.

Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urin tipe stress karena
meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Penggunaannya
harus amat hati-hati pada pasien dengan hiertensi, aritmia jantung dan angina. Antikolinergik
dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek
antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif blocker reseptor
M3. Uji klinik menunjukan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan penurunan frekuensi
inkontinensia urgensi dibandingkan dengan placebo.

Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan
evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolapse pelvik yang signifikan dan inkontinensia
tipe stress yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif.
Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan
operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow.

Anda mungkin juga menyukai