BAB I
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani &
Setiowulan, 2007).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab
kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2005).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan
pembatasan aliran urinarius
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2009).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2008).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat
Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan
pengangkatan kelenjar psostat.
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen
(Mansjoer, 2005).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo,
2009).
C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya
usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi
Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya
sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat ( Poernomo, 2009).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan
lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2005).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi
gagal ginjal.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda
dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
I. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut
GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat
hipertrophy.
a. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi
kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya
dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan
pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai
nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun
penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB,
TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1) pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan alat-alat bantu
3) penggunaan obat-obatan.
d. Pola Aktivitas
1) pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan gerak
3) alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
1) Pola tidur dan istirahat
2) Persepsi, kualitas, kuantitas
3) Penggunaan obat-obatan.
f. Pola Kognitif – Perseptual
1) Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan bahasa
3) Kemampuan membuat keputusan
4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1) Body image
2) Identitas diri
3) Harga diri
4) Peran diri
5) Ideal diri.
h. Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1) Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah keluarga dan masyarakat
3) Peran tanggung jawab.
i. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1) Penyebab stress
2) Kemampuan mengendalikan stress
3) Pengetahuan tentang toleransi stress
4) Tingkat toleransi stress
5) Strategi menghadapi stress.
j. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1) Masalah seksual
2) Pendidikan seksual.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1) Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi dalam kesehariannya.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah;
kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680).
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, menunjukkan
tidak ada perdarahan aktif.
intervensi:
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau
pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2) Awasi pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi
kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji
haluaran urine.
3) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut.
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu
pendekatan perineal. Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi warna dan konsistensi urine.
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi
cepat.
5) Inspeksi balutan atau luka drain.
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan
perineum.
6) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah,
diaporesis, membran mukosa kering dan pucat.
Rasional : Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk
mencegah terjadinya syok.
7) Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat
mengakibatkan intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode
pemasangan dan pengendoran traksi.
Rasional : Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan
membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol
perdarahan.
9) Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi.
Rasional : Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko
perdarahan rectal perineal.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma
jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682).
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Intervensi:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah.
Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah
sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.
3) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal).
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk
pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi,
yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan
resiko pada prostatektomi.
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi)
(Doengoes, 2000, hal 683).
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan relaksasi,
pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Intervensi
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10).
Rasional : Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung
kemih.
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan dan
lekukan.
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko
distensi dan spasme kandung kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik relaksasi.
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
4) Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik.
Rasional : Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan
masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diet (Capernito, 2000, hal 485).
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat, protein,
vitamin dan mineral.
Intervensi:
1) Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal.
Rasional : Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses
penyembuhan luka.
2) Pantau status hipermetabolisme.
Rasional : Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses
penyembuhan luka.
3) Evaluasi kemungkinan penyebab mual.
Rasional : Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4) Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung.
Rasional : Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat
meningkatkan nafsu makan yang baik.
5) Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien.
Rasional : Variasi jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang
mengakibatkan ketidakcukupan masukan peroral.
6) Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan.
Rasional : Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan
perasaan penuh dan mual.
7) Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan.
Rasional : Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi
dan penyebab lainnya.
6. Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik
sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485).
Kriteria hasil: Eliminasi efektif pasca operasi
Intervensi:
1) Kaji bising usus.
Rasional : Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2) Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi.
Rasional : Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3) Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan
adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus
akibat kurang residu.
4) Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan pemberian
laxatif.
Rasional : Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya
resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
7. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis,
inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital
(Doengoes, 2000, hal 683).
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1) Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual.
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat
menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk
menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional : Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien.
Rasional : Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada
prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi
konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan hipertropi
dapat berulang.
4) Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.