Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SEMINAR PERPAJAKAN

Dosen Pengampu : Sapta Setia Darma SE., M.Ak

Disusun oleh :

1. Jumaidi
2. Guruh
3. Husni
4. Ida Arifah (161021250013)
5. Indri Apriani ( 2016120236)
6. Kholisoh (161011250468)

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa, karena berkah dan karunia-Nyalah kami
dapat menyelesaikan makalah pembelajaran Seminar Perpajakan tepat pada waktunya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Perpajakan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya.

Tangerang,14 Oktober 2020

Penulis
LATAR BELAKANG

Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas
dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis
yang dikelola dengan baik. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan
pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik
Indonesia. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat besar
pengaruhnya terhadap peningkatan pembangunan dan kelangsungan jalannya roda
pemerintah karena jumlahnya relatif stabil. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif
masyarakat dalam membiayai rumah tangga negara dan aktivitas pembangunan dapat
diwujudkan secara nyata.

PPN (Value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedrich Von
Siemens, seorang industrilalis dan konsultan pemerintah Jerman pada tahun 1919.Namun
ironisnya justru pemerintah Perancis yang pertama kali menerapkan PPN dalam 1ariff
perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan Jerman baru menerapkannya pada awal tahun
1968. Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan PPn yang
sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1951. Proses penggantian ini merupakan salah satu
rangkaian perpajakan nasional yang dikenal sebagai Tax Reform 1983, PPN menggantikan
peranan PPn di Indonesia.

Pengusaha dan PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 Undang- Undang
PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009) yang kemudian disempurnakan oleh
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Kriteria relevan yang
menentukan orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan “Pengusaha”
yaitu kegiatan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi


atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan
kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan
pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa
penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama ini pungutan Daerah yang berupa
Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk
memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis
Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk
menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-
Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis
Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-
prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun
kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan
dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci
ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut
dan menetapkan 27 (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta
menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi. Hasil penerimaan
Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan
kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal,
dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan
pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru
yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak
banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan Pengeluaran tersebut. Dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan Pajak dan
Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah.Oleh karena itu, hampir semua pungutan
baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim
investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena
tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang danjasa antardaerah.
Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang- Undang tersebut telah
memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya
kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan
penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari
pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan
pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-
Undang. Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan
kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap
setiap PeraturanDaerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undangundang
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah
yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum.

Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur
pajak dan retribusi. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut
tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidakmenyampaikan Peraturan
Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan
Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena
Undang- Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan
tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah dapat langsung
dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah.
Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung
pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti
dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam
penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluarannya.Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana
perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.
Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan
masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani
dengan Pajak dan Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi
daerah, Pemerintah daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan
dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan
memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam
penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang
baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor.
Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman
barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat
dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan
basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan
pajak pusat dan menambah jenis pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan
untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan
di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan catering. Ada 4(empat) jenis
pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkantoran dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak
Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan
Pajak baru bagi provinsi.

RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang melatar-belakangi makalah ini adalah :
1. Bagaimana Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
2. Bagaimana Mekanisme PPN secara umum
3. Bagaimana Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Apa yang disebut Jasa Kena Pajak (JKP) ?
5. Bagaimana Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

TUJUAN PROGRAM
Adapun beberapa tujuan dari makalah ini, adalah:
1. diharapkan dapat memahami dan menjelaskan pengertian pajak berganda,
penyebab pajak berganda, penghindaran pajak berganda internasional, dan implikasi
penghindaran pajak berganda.
2. diharapkan dapat mengerti dan mengetahui konsep dasar pemungutan PPN dalam
objek,tarif,perhitungannya, pembayaran dan pelaporan PPN.
3. Dapat mengetahui Jasa Kena Pajak (JKP)
4. diharapkan dapat mengerti dan menjelaskan tentang Prinsip dan Kriteria Perpajakan
Daerah, Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peningkatan
Penerimaan Pajak Daerah,Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Mendukung Pembiayaan Daerah, serta Optimalisasi Pungutan Pajak dan Retribusi
Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah.
BAB I

PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

1.1 Pengertian Pajak Berganda

A. Pengertian Umum

Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam


bukunya yang berjudul “Basic Problems in International Fiscal Law” (1979)
memberikan pembahasan secara rinci. Knechtle membedakan pajak berganda secara
luas (wider sense) dengan secara sempit (narraower sense). Dalam pengertian luas,
pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih
dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation)
atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam pengertian itu, tidak
dipertimbangkan penyebab dari pembebanan ganda atau beberapa kali tersebut
apakah berasal dari kombinasi antara pajak dengan pungutan lainnya(bea,cukai,
retribusi, dan sebagainya) atau karena kombinasi dari berbagai jenis pajak atau
disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh administrasi pajak yang
sama atau berbeda.

Di pihak lain, dalam sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua
kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam
suatu administrasi pajak yang sama. Pengertian tersebut mengesampingkan
pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan bagian administratifnya yang
diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Pajak berganda
tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power)
atau oleh berbagai (lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh
administrator tunggal, misalnya dapat terjadi pemajakan terhadap bangunan atas nilai
jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas
sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak
berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai
administrator dapat terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal
(antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan
provinsi A, atau provinsi B).
B. Beberapa Unsur Pajak Berganda Internasional
Apabila pajak berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa
administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestik dari tiap negara) maka
terdapat pajak berganda internasional (international double taxation). Baik model
konvensi OECD (1963, 1977, 1992, dan 2003) maupun UN memberikan pengertian
tentang pajak berganda internasional sebagai pengenaan beberapa pajak yang sama
atau suatu objek (hal) yang sama dan untuk masa yang identik.

Secara teoritis dan normatif, istilah Pajak Berganda Internasional (PBI) meliputi
beberapa unsur:

1. Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa kriteria


identitas,
2. Identitas subjek pajak (Wajib Pajak yang sama),
3. Indentitas objek pajak (objek yang sama),
4. Indentitas masa pajak, dan
5. Identitas (atau kesamaan) pajak, dapat terjadi apabila beberapa negara
mengenakan pajak yang sama (sejenis atau setara) terhadap satu wajib pajak
atas objek pajak yang sama.
C. Beberapa Tipe Pajak Berganda Internasional
Knechtle, dalam buka Basic Problems Internasional Fiscal Law, menyebut beberapa
tipe PBI :

1. Faktual dan potensial,


2. Yuridis dan ekonomis, dan
3. Langsung dan tidak langsung.
Sebagaimana diketahui bahwa PBI timbul karena adanya benturan (over lapping)
klaim pemajakan oleh beberapa administrasi pajak sesuai dengan yurisdiksi
pemajakan yang mereka miliki. Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar
dilaksanakan oleh beberapa negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI
faktual. PBI tersebut menyebabkan membesarnya beban pajak yang ditanggung oleh
seorang Wajib Pajak (apabila dibandingka dengan beban yang harus ditanggung
seandainya pemajakan hanya dilaksanakan oleh satu negara saja). Namun apabila dari
kedua (atau lebih) negara pemegang klaim pajak, hanya satu negara saja yang
melaksanakan klaim pemajakan tersebut maka akan terjadi apa yang disebut PBI
potensial. Berbeda dengan PBI faktual, PBI ini tidak akan menimbulkan
membesarnya beban pajak karena pemajakan yang sebenarnya dilaksanakan oleh satu
negara saja.

D. Dampak Pajak Berganda

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumberdaya (kemampuan


ekonomis) yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda
sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuaan pemajakan (dari dua negara)
memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan
usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha
dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau
tidak ada upaya mencegah atau meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI
dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan menghambat mobilitas
global sumberdaya ekonimis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah merupakan
kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan
perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut
dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.

1.2 Penyebab Pajak Berganda


PBI muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada
pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten).
Dengan demikian, benturan yurisdiksi pemajakan dalam format internasional (overlapping of
tax jurisdiction in the international sphere) menyebabkan PBI. Sementara orang akan
mempertanyakan kenapa benturan tersebut terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari
bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek
yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan
berada berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuaan domestik. Kalau
seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat
pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat
kedudukan atau berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuaan domestik.
Kalau seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut
terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat
kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PIB karena
mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain atau apabila tarif pajak di
negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak
berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama
(primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak
pemajakan sekunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang
terjangkau oleh pembayar pajak.

1.3 Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari berbagai negara, perlu
diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak.
Bila tidak diatur maka akan membebani dunia usaha, karena harus menanggung beban pajak
yang besar dan tidak seimbang dengan laba atau penghasilan yang ia peroleh, bahkan tidak
tertutup kemungkinan mereka menjadi rugi karena persentase pajak lebih besar persentase
keuntungan akibat terjadi double taxation.

Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk penghindaran pajak berganda


internasional, antara lain:

1. Metode Pemajakan Unilateral

Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan


hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan
ditetapkan sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang
bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan
negara kita. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh Pasal 26
dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau
konvensi internasional, maka Negara Indonesia memiliki hak atau kewenangan
untuk menentapkan jumlah pajak terutang dalam Pasal 24 UU PPh.

2. Metode Pemajakan Bilateral

Metode ini dalam perhitungan pemajakannya harus mempertimbangkan


perjanjian ke dua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan
jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang
telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku
bilaman terdapat tax treaty. Penerapan metode ini adalah pemajakan atas penduduk
Jepang yang memperoleh penghasilan di Negara Indonesia, negara kita harus
melihat ketentuan yang telah disepakati kedua negara apabila mau melakukan
pemajakan tersebut. Pengenaan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi
jumlah pajak yang terutang, misalnya untuk PPh Pasal 23 atas deviden yang semula
15%, dapat dikurangkan menjadi 10%, karena deviden tersebut tentu akan dikenakan
pajak lagi di negara di mana mereka berkedudukan.
3. Metode Pemajakan Multilateral
Metode ini berdasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau
ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang
ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Penerapan metode ini
adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing,
organisasi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan
penduduk asing yang bekerja ditempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia,
artinya pemajakan tetap berada di negara mana mereka berdomisili.

Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang
timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber
penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap)
(Martin Hearson, 2016). Perlu Anda ketahui, ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak
berganda :

1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha


2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri
3. Peningkatan sumber daya manusia.
4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.
BAB II
BAB III
SEMINAR KASUS PPN (KASUS PENYERAHAN JKP)

3.1 Pengertian Jasa Kena Pajak

Setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum yang
menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk
menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN.Menurut pasal 1 ayat 2 e dan f UU No.11
tahun 1994, jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan
pajak.

3.2 Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengertian pengusaha dan PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 Undang-
Undang PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009) yang kemudian disempurnakan
oleh Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Kriteria relevan yang
menentukan orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan “Pengusaha”
yaitu kegiatan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Contoh:

Sulastri, seorang koreografer, menerima kiriman note book dari relasinya yang bertempat
tinggal di Yokohama, Jepang. Berdasarkan Pasal 1 Angka 9, Sulastri mengimpor note book.
Berdasarkan Pasal 14 Sulastri bukan pengusaha di bidang impor, karena ia memasukan note
book dari luar daerah pabean dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaannya selaku
koreografer.

Bagan 4.1 Pengusaha kena pajak


Bagan 4.2 Subjek PPN

1. Batasan Penguasaha Kecil


Kriteria pengusaha kkecil yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
552/KMK.04/2000 Tanggal 22 Desember 2000 diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003 Tangga 29 Desember 2003. Dalam Keputusan
Menteri Keuangan yang baru ini diatur ketentuan baru mengenai pengusaha kecil
sebagai berikut:
a. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang menyerahkan BKP/JKP dalam satu
tahun buku memperoleh jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp. 4.800.000.000,-
b. Apabila sampai dengan suatu Masa Pajak dalam satu tahun buku jumlah
peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000,- maka pengusaha ini memenuhi
syarat sebagai pengusaha kena pajak sehingga wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP selambat-lambatnya pada akhir bulan
berikutnya.
Bagan 4.3 Pelaporan usaha
Bagan 4.4 Kewajian PKP

Bagan 4.5 Pajak terutang


Bagan 4.6 Faktur Pajak

Bagan 4.7 Faktur PPnBM

3.3 Pengecualian JKP

Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU
PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan peraturan pemerintah
didasarkan atas kelompokkelompok jasa sbb:

a. Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:

 Jasa dokter umum , dokter spesialis dan dokter gigi


 Jasa kebidanan dan dukun bayi
 Jasa paramedis dan perawat
 Jasa dokter hewan
 Jasa psikologi dan psikiater
b. Jasa dibidang pelayanan sosial meliputi:

 Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo


 Jasa pemadam kebakaran
 Jasa lembaga rehabilitasi
 Jasa pemberian pertolongan kecelakaan
 Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial
c. Jasa di bidang pengiriman surat atau perangko
d. Jasa keuangan , meliputi:

 Jasa penjaminan
 Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai
 Jasa pembiayaan , termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa
sewa guna usaha dengan hak opsi.
e. Jasa dibidang keagamaan , meliputi

 Jasa pelayanan rumah ibadah


 Jasa lain di bidang keagamaan
 Jasa pemberian khotbah atau dakwah
f. Jasa pendidikan, meliputi

 Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah


 Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah
g. Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja
seni dan hiburan h. Jasa tenaga kerja , meliputi

 Jasa tenaga kerja


 Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja
i. Jasa boga atau katering

3.4 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Dasar hukum PPN Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, Undang-
undang ini semula akan mulai berlaku sejak 1 Juli 1984. Oleh karena itu dalam pasal 20
ditentukan bahwa UU Nomor 8 Tahun 1983 ini dapat disebut dengan nama Undang-Undang
PPN 1984. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1984,
berlakunya UU ini ditunda sampai dengan selambat-lambatnya awal tahun 1985, UU ini
ditetapkan mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dalam perjalanannya, UU Nomor 8 Tahun
1983 ini telah dua kali diubah yaitu :
a. Mulai 1 Januari 1995 diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 meliputi Pasal
1 sampai dengan Pasal 17 berurutan;
b. Mulai 1 Januari 2001 diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18
Tahun 2000 meliputi Pasal 1 sampai dengan Pasal 16C namun tidak berurutan.
BAB IV

PERPAJAKAN DAERAH

4.1 Pengertian Pajak Daerah

A. Pengertian Umum

Pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang


pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia


dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten
dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan
pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa
penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.

Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang
tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4
(empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu,
kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang
memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga
mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan
Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis
Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai
objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27
(dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif
Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi.

Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan
yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya
bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi
dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan
menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk
mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan
pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak
ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah.Oleh karena
itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang
kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang.

B. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah

Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Peraturan Daerah diupayakan tidak


berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal tersebut akan
menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diubah dengan
UndangUndang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa
objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat: Prinsip-prinsip umum perpajakan
daerah yang memnuhi criteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:

a. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah naik
turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat;
b. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak;
c. c.Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi
wajib pajak;
d. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak;
e. . Nondistorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya, setiap pajak
atau pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun
produsen. Jangan samapi suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan
yang berlebihan sehingga merugikan masyarakat secara menyeluruh. Untuk
mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, perpajakan daerah harus memiliki cirri-ciri
tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya;
b. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadangkadang meningkat secara dratis dan ada kalanya merun secara tajam;
c. Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan
kemampuan untuk membayar.
C. Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak
harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemungutan pajak
kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang
di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal ini menyatakan bahwa pajak
dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara di atur dengan UndangUndang.
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 yang mulai berlaku pada tahun 1998 dianggap kurang
memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun
memberikan kewenangan kepada daerah, undang-undang tersebut harus ditetapkan dengan
peraturan pemerintahan ssehingga saat Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 berlaku,
belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru kerana menganggap hal tersebut
sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah
harus mendapat pengesahan dari pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah.
Dengan di ubahnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor
34 tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD
yang penting guna membiayai penyelenggaraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya yaitu PP Nomor 65 tahun
2001 tentang pajak daerah dan PP Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah menjelaskan
perbedaan antara jenis pajak daerah yang di pungut oleh provinsi dan jenis pajak yang
dipungut oleh kabupaten/kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak empat jenis, yaitu:

a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB dan KAA)

b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (BBNKB dan KAA)

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)

d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan (P3ABT dan
AP)

Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat memungut pajak
lain, selain yang telah di tetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan undang-undang. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat
dipungut oleh provinsi sebagai daerah otonom yang terbatas, yang hanya meliputi
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, serta
kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Sekalipun demikian, dalam pelaksanaannya
provinsi dapat memutuskan untuk tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut
jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif
untuk pajak provinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh indonesia dan diatur dalam
PP Nomor 65 tahun 2001.

Sementara itu, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk memungut


tujuh jenis pajak, yaitu:

a. pajak hotel;

b. pajak restauran;

c. pajak hiburan;

d. pajak reklame;
e. pajak penerangan jalan;

f. pajak pengambilan bahan galian golongan C;

g. pajak parkir.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan
peraturan daerah, tetap tiddak boleh lebih tinggi daripada tarif maksimum yang telah di
tentukan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang
dipungut oleh provinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya
pengenaan pajak berganda. Dalam rangka pengawasan, perda tentang pajak dan retribusi
yang di terbitkan oleh pemerintahan daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat
paling lambat lima belas hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah
pusat melalui mentri dalam negeri dengan pertimbangan mentri keuangan dapat membatalkan
perda tersebut dalam kurun waktu satu bulan sejak diterimanya peraturan tersebut.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atur dalam pasal 5A dan pasal 25A Undang-Undang Nomor
34 tahun 2000 juncto pasal 80 ayat (2) PP Nomor 65 tahun 2001 dan pasal 17 ayat (2) PP
Nomor 66 tahun 2001. Sekalipun demikian, walaupun perda-perda tersebut sudah dibatalkan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung (MA) segera setelah mengajukannya kepada pemerintah berdasarkan PP Nomor 20
tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai