Disusun oleh :
1. Jumaidi
2. Guruh
3. Husni
4. Ida Arifah (161021250013)
5. Indri Apriani ( 2016120236)
6. Kholisoh (161011250468)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa, karena berkah dan karunia-Nyalah kami
dapat menyelesaikan makalah pembelajaran Seminar Perpajakan tepat pada waktunya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Perpajakan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya.
Penulis
LATAR BELAKANG
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas
dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis
yang dikelola dengan baik. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan
pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik
Indonesia. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat besar
pengaruhnya terhadap peningkatan pembangunan dan kelangsungan jalannya roda
pemerintah karena jumlahnya relatif stabil. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif
masyarakat dalam membiayai rumah tangga negara dan aktivitas pembangunan dapat
diwujudkan secara nyata.
PPN (Value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedrich Von
Siemens, seorang industrilalis dan konsultan pemerintah Jerman pada tahun 1919.Namun
ironisnya justru pemerintah Perancis yang pertama kali menerapkan PPN dalam 1ariff
perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan Jerman baru menerapkannya pada awal tahun
1968. Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan PPn yang
sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1951. Proses penggantian ini merupakan salah satu
rangkaian perpajakan nasional yang dikenal sebagai Tax Reform 1983, PPN menggantikan
peranan PPn di Indonesia.
Pengusaha dan PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 Undang- Undang
PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009) yang kemudian disempurnakan oleh
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Kriteria relevan yang
menentukan orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan “Pengusaha”
yaitu kegiatan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur
pajak dan retribusi. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut
tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidakmenyampaikan Peraturan
Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan
Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena
Undang- Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan
tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah dapat langsung
dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah.
Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung
pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti
dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam
penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluarannya.Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana
perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.
Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan
masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani
dengan Pajak dan Retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi
daerah, Pemerintah daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan
dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan
memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam
penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang
baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor.
Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman
barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat
dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan
basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan
pajak pusat dan menambah jenis pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan
untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan
di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan catering. Ada 4(empat) jenis
pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkantoran dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak
Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan
Pajak baru bagi provinsi.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang melatar-belakangi makalah ini adalah :
1. Bagaimana Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
2. Bagaimana Mekanisme PPN secara umum
3. Bagaimana Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Apa yang disebut Jasa Kena Pajak (JKP) ?
5. Bagaimana Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
TUJUAN PROGRAM
Adapun beberapa tujuan dari makalah ini, adalah:
1. diharapkan dapat memahami dan menjelaskan pengertian pajak berganda,
penyebab pajak berganda, penghindaran pajak berganda internasional, dan implikasi
penghindaran pajak berganda.
2. diharapkan dapat mengerti dan mengetahui konsep dasar pemungutan PPN dalam
objek,tarif,perhitungannya, pembayaran dan pelaporan PPN.
3. Dapat mengetahui Jasa Kena Pajak (JKP)
4. diharapkan dapat mengerti dan menjelaskan tentang Prinsip dan Kriteria Perpajakan
Daerah, Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peningkatan
Penerimaan Pajak Daerah,Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Mendukung Pembiayaan Daerah, serta Optimalisasi Pungutan Pajak dan Retribusi
Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah.
BAB I
A. Pengertian Umum
Di pihak lain, dalam sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua
kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam
suatu administrasi pajak yang sama. Pengertian tersebut mengesampingkan
pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan bagian administratifnya yang
diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Pajak berganda
tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal (singular power)
atau oleh berbagai (lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda oleh
administrator tunggal, misalnya dapat terjadi pemajakan terhadap bangunan atas nilai
jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas
sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak
berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai
administrator dapat terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal
(antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan
provinsi A, atau provinsi B).
B. Beberapa Unsur Pajak Berganda Internasional
Apabila pajak berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa
administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestik dari tiap negara) maka
terdapat pajak berganda internasional (international double taxation). Baik model
konvensi OECD (1963, 1977, 1992, dan 2003) maupun UN memberikan pengertian
tentang pajak berganda internasional sebagai pengenaan beberapa pajak yang sama
atau suatu objek (hal) yang sama dan untuk masa yang identik.
Secara teoritis dan normatif, istilah Pajak Berganda Internasional (PBI) meliputi
beberapa unsur:
Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari berbagai negara, perlu
diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak.
Bila tidak diatur maka akan membebani dunia usaha, karena harus menanggung beban pajak
yang besar dan tidak seimbang dengan laba atau penghasilan yang ia peroleh, bahkan tidak
tertutup kemungkinan mereka menjadi rugi karena persentase pajak lebih besar persentase
keuntungan akibat terjadi double taxation.
Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang
timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber
penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap)
(Martin Hearson, 2016). Perlu Anda ketahui, ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak
berganda :
Setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum yang
menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk
menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN.Menurut pasal 1 ayat 2 e dan f UU No.11
tahun 1994, jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan
pajak.
Pengertian pengusaha dan PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 Undang-
Undang PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009) yang kemudian disempurnakan
oleh Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Kriteria relevan yang
menentukan orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut dinamakan “Pengusaha”
yaitu kegiatan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Contoh:
Sulastri, seorang koreografer, menerima kiriman note book dari relasinya yang bertempat
tinggal di Yokohama, Jepang. Berdasarkan Pasal 1 Angka 9, Sulastri mengimpor note book.
Berdasarkan Pasal 14 Sulastri bukan pengusaha di bidang impor, karena ia memasukan note
book dari luar daerah pabean dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaannya selaku
koreografer.
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU
PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan peraturan pemerintah
didasarkan atas kelompokkelompok jasa sbb:
Jasa penjaminan
Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai
Jasa pembiayaan , termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa
sewa guna usaha dengan hak opsi.
e. Jasa dibidang keagamaan , meliputi
PERPAJAKAN DAERAH
A. Pengertian Umum
Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang
tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4
(empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu,
kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang
memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga
mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan
Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis
Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai
objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27
(dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif
Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi.
Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan
yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya
bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi
dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan
menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk
mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan
pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak
ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah.Oleh karena
itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang
kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang.
a. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah naik
turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat;
b. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak;
c. c.Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi
wajib pajak;
d. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak;
e. . Nondistorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya, setiap pajak
atau pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun
produsen. Jangan samapi suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan
yang berlebihan sehingga merugikan masyarakat secara menyeluruh. Untuk
mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, perpajakan daerah harus memiliki cirri-ciri
tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya;
b. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadangkadang meningkat secara dratis dan ada kalanya merun secara tajam;
c. Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan
kemampuan untuk membayar.
C. Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak
harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemungutan pajak
kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang
di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal ini menyatakan bahwa pajak
dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara di atur dengan UndangUndang.
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 yang mulai berlaku pada tahun 1998 dianggap kurang
memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun
memberikan kewenangan kepada daerah, undang-undang tersebut harus ditetapkan dengan
peraturan pemerintahan ssehingga saat Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 berlaku,
belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru kerana menganggap hal tersebut
sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah
harus mendapat pengesahan dari pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah.
Dengan di ubahnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor
34 tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD
yang penting guna membiayai penyelenggaraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya yaitu PP Nomor 65 tahun
2001 tentang pajak daerah dan PP Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah menjelaskan
perbedaan antara jenis pajak daerah yang di pungut oleh provinsi dan jenis pajak yang
dipungut oleh kabupaten/kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak empat jenis, yaitu:
a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB dan KAA)
b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (BBNKB dan KAA)
d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan (P3ABT dan
AP)
Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat memungut pajak
lain, selain yang telah di tetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan undang-undang. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat
dipungut oleh provinsi sebagai daerah otonom yang terbatas, yang hanya meliputi
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, serta
kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Sekalipun demikian, dalam pelaksanaannya
provinsi dapat memutuskan untuk tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut
jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif
untuk pajak provinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh indonesia dan diatur dalam
PP Nomor 65 tahun 2001.
a. pajak hotel;
b. pajak restauran;
c. pajak hiburan;
d. pajak reklame;
e. pajak penerangan jalan;
g. pajak parkir.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan
peraturan daerah, tetap tiddak boleh lebih tinggi daripada tarif maksimum yang telah di
tentukan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang
dipungut oleh provinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya
pengenaan pajak berganda. Dalam rangka pengawasan, perda tentang pajak dan retribusi
yang di terbitkan oleh pemerintahan daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat
paling lambat lima belas hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah
pusat melalui mentri dalam negeri dengan pertimbangan mentri keuangan dapat membatalkan
perda tersebut dalam kurun waktu satu bulan sejak diterimanya peraturan tersebut.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atur dalam pasal 5A dan pasal 25A Undang-Undang Nomor
34 tahun 2000 juncto pasal 80 ayat (2) PP Nomor 65 tahun 2001 dan pasal 17 ayat (2) PP
Nomor 66 tahun 2001. Sekalipun demikian, walaupun perda-perda tersebut sudah dibatalkan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung (MA) segera setelah mengajukannya kepada pemerintah berdasarkan PP Nomor 20
tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
KESIMPULAN