Anda di halaman 1dari 6

Perbedaan Mendasar Heer (Angkatan Darat) dan Waffen-SS

Oleh : Steve Edpin

Beberapa perbedaan mendasar antara Heer (angkatan darat) dan Waffen-SS dilihat dari
beberapa sudut pandang.

1. PEREKRUTAN & ANGGOTA

Ada beberapa faktor yang membedakan Heer dan Waffen-SS dalam memilih anggotanya,
salah satunya adalah faktor edukasi formal. Dalam Heer, yang bisa menjabat sebagai
perwira hanyalah orang-orang yang terpilih dan memiliki pendidikan formal, contohnya
sekolah tinggi dan universitas. Bagi mereka yang memiliki persyaratan tersebut, dapat
langsung mendaftarkan diri sebagai calon perwira. Untuk para petugas dalam jajaran
angkatan bersenjata (Wehrmachtbeamten) pun, anggotanya dibagi menjadi empat level
karir tergantung dari seberapa tinggi pendidikan formal yang telah ditempuh. Sebaliknya,
dalam Waffen-SS hal yang diutamakan adalah kebugaran fisik, kekuatan secara mental
dan psikologis, tanpa mementingkan pendidikan formal (kecuali anggota Allgemeine-SS
dan dinas keamanan yang membutuhkan orang-orang cerdas sebagai 'otak' dari
organisasinya). Seseorang harus berdinas dalam SS minimal satu tahun sebelum bisa
mendaftarkan diri menjadi calon perwira.
Selain itu, walaupun para prajurit Heer berasal dari latar belakang yang beraneka ragam,
para perwira di jajaran Heer cenderung terdiri dari mereka yang memiliki status, kelas,
atau kedudukan tinggi (noblemen) di kalangan masyarakat Jerman, terutama pasukan
kavaleri yang terkenal anggotanya didominasi oleh kaum bangsawan.

Hal ini sangat berlawanan dengan pandangan Waffen-SS yang lebih memilih anggota-
anggotanya dari kawasan pinggiran kota dan daerah pedesaan karena dianggap lebih
dapat menguasai medan pertempuran yang sulit dengan cepat. Pada awalnya, para calon
perwira Waffen-SS dipilih dan direkomendasikan oleh atasan-atasan mereka secara
pribadi. Di beberapa kasus, terkadang hal ini terbukti berat sebelah karena atasan-atasan
tidak merekomendasikan bawahan-bawahannya secara objektif. Pengecualian untuk
dinas keamanan dan intelijen dalam tubuh SS yang anggotanya disaring dari orang-orang
paling cerdas dari segala penjuru Jerman.

Dari segi fisik, Heer bisa dibilang agak longgar dalam menerima anggota-anggotanya.
Namun tetap saja tes kesehatan awal harus dilakukan dengan menyeluruh. Bagi mereka
yang lolos akan dicap layak dan dapat menjadi anggota aktif angkatan bersenjata. Bagi
mereka yang tidak lolos namun masih layak untuk berdinas akan dicap 'Dinas Militer
Cadangan', jika sewaktu-waktu mobilisasi dilakukan mereka akan dipanggil menjadi
anggota aktif.

Bagi Waffen-SS, tahap penyeleksian fisik lebih ketat. Terutama untuk pasukan SS awal (SS-
Verfügungstruppe), hanya yang berumur 17-22 tahun yang boleh mendaftar (demi
keperluan perang batasan umur ditingkatkan menjadi 35 tahun). Mereka harus memiliki
tinggi badan minimal 172-178 cm, tergantung dari unitnya. Mereka harus memiliki
penglihatan jelas secara normal tanpa kacamata dan gigi lengkap yang tidak ditambal.
Mereka pun harus orang Jerman asli dan dapat membuktikan kemurnian rasnya paling
sedikit dari tahun 1800.

Untuk hal pelatihan, Heer merupakan suatu struktur militer yang sudah ada sejak lama.
Mereka sudah memiliki prosedur-prosedur yang terstruktur, baik dalam tahap
perencanaan maupun operasional. Akan tetapi, pada awal terbentuknya, SS tidak
memiliki struktur pelatihan yang dapat diikuti secara pasti oleh semua unit. Waffen-SS
bukanlah suatu formasi tempur yang matang, dan baru resmi terbentuk pada tahun 1940.
Banyak materi-materi yang diadopsi dari Heer diimplementasikan di SS, termasuk teori-
teori tempur revolusioner yang berasal dari departemen penelitian Heer. Itulah salah satu
alasan mengapa SS membentuk Allgemeine-SS yang dirancang untuk melakukan segala
sesuatu dari sudut pandang SS.

2. PENDIDIKAN

Dalam Heer - umumnya pada masa sebelum perang - pendidikan dititikberatkan pada
pengetahuan dan doktrin militer tradisional seperti: sejarah militer Jerman, penguasaan
senjata, membaca peta, taktik-taktik logis, penguasaan lapangan, dan di beberapa kasus,
sedikit dasar-dasar paham nasional sosialisme. Heer juga dilatih untuk memahami hukum-
hukum perang yang sudah berlaku secara internasional, sesuatu yang tidak ada dalam SS.

Berbeda dengan kawan-kawan militer di SS, sekalipun taktik militer yang mereka
gunakan sebagian besar berasal dari Heer, pendidikan Waffen-SS dititikberatkan pada
paham nasional sosialisme yang sangat mendalam yang mengharuskan agar anggota-
anggotanya menunjukkan kefanatikannya dalam bertempur, yang seringkali menyerah
atau mundur dari pertempuran dihilangkan dari kamus mereka. Mereka pun memiliki
kelas pendidikan ideologi dan politik secara terpisah, di mana sebagian besar anggota
sama sekali tidak memahami materi yang diberikan, selain indoktrinasi yang dicekoki
secara buta.

Perbedaan yang paling mencolok, dibanding dengan Heer, kenaikan pangkat dalam SS
lebih bergantung pada komitmen pribadi dalam SS, keefektifan di lapangan, dan
pengetahuan politik. Sedangkan dalam Heer, kenaikan pangkat difokuskan pada kelas,
pendidikan, dan wawasan yang luas.

Seperti yang telah dijelaskan pada poin 1 sebelumnya, dalam Heer, jabatan perwira
disandang oleh mereka yang berasal dari kelas menengah atas dan yang memiliki
kualifikasi pendidikan formal. Namun, tidak demikian halnya dalam SS.

3. RASA PERSAUDARAAN

Waffen-SS selalu menekankan kesadaran pribadi akan kedisiplinan dan rasa saling
menghormati satu sama lain. Namun dalam jajaran Heer yang lebih menekankan militer
tradisional, terlihat lebih kaku karena kedisiplinan selalu ditekankan dari atasan dalam
kehidupan sehari-hari.

Dilihat dari segi suasana kerja secara keseluruhan, suasana di SS lebih santai daripada
Heer. Hubungan keseharian antara atasan dan bawahan juga lebih santai dalam SS.
Perwira SS disebut sebagai 'Führer' (pemimpin), sedangkan dalam Heer disebut sebagai
'Offizier' (perwira). Para anggota SS memanggil atasannya langsung dengan pangkat,
sedangkan dalam Heer yang lebih disiplin, panggilan disertai dengan kata 'Herr' (Bapak)
sebelum pangkat. Panggilan-panggilan ini dapat diikuti dengan nama belakang.
Sebaliknya, dalam suasana latihan, para prajurit Waffen-SS digembleng habis-habisan oleh
atasannya.

Semua anggota SS - tidak peduli pangkat mereka, baik SS-Schütze (prajurit SS paling
bawah) maupun Reichsführer-SS (pemimpin SS) - disebut SS-Mann, yang secara harafiah
berarti 'orang SS' atau 'anggota SS'.

Waffen-SS selalu menekankan pada para perwira agar mereka membaur dalam segala
aktivitas dengan bawahan-bawahannya. Rasa saling percaya antara atasan dan bawahan,
maupun antar sesama prajurit dibiasakan sejak di barak. Para prajurit diperintahkan
untuk tidak mengunci lemari penyimpanan mereka di barak dengan tujuan mendidik
mereka agar saling percaya satu sama lain. Jika seorang prajurit memanfaatkan rasa saling
percaya ini dan mencuri barang milik kawannya, maka hukuman yang diberikan akan
lebih berat daripada hukuman yang diberikan Heer, dan ganjarannya pun lebih keras
daripada yang bisa dibayangkan.

Moto SS "Meine Ehre heißt Treue" (kehormatanku adalah kesetiaan) merupakan sesuatu
yang didalami dalam kehidupan mereka. Loyalitas yang ditunjukkan di awal tahun
pertempuran diutamakan pada negara dan Führer mereka. Tapi seiring berjalannya
perang dan kekalahan Jerman yang bertubi-tubi, kesetiaan ini menjadi pudar dan
pasukan SS menunjukkan kesetiaan yang berbeda, yaitu rasa rela berkorban terhadap
kawan-kawan mereka yang mampu mereka terapkan dalam aksi langsung. Rasa
setiakawan SS ini tidak terdapat di semua militer Jerman, kecuali beberapa pasukan
seperti Fallschirmjäger yang memiliki moto "Treue um Treue" (kesetiaan demi kesetiaan).

Meski demikian, para anggota Waffen-SS Jerman (Jerman asli) memperlakukan anggota
Waffen-SS lainnya - baik Jermanik (keturunan Jerman) maupun non-Jermanik (bukan
keturunan Jerman) - secara berbeda. Mereka memperlakukan anggota SS lain ini dengan
kasar. Seringkali dalam pelatihan mereka diperlakukan dengan tidak hormat dan
dicacimaki. Dan tidak jarang juga Himmler harus turun tangan dengan cara memberi
teguran atau bahkan mencopot posisi para instruktur SS Jerman ini agar memperlakukan
kawan-kawan SS lainnya dengan setara.

4. KEPERCAYAAN

Dalam Heer - layaknya para prajurit di sebagian besar negara Eropa yang didominasi
agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan - kepercayaan atau agama dianggap
merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Agama memberikan
kepercayaan spiritual yang secara tidak langsung mempengaruhi aksi para prajurit di
lapangan, terutama secara mental. Heer memiliki pastor atau pendeta lapangan yang
bertugas memberikan berbagai sakramen bagi para prajuritnya.

Sebaliknya, anggota SS didorong untuk meninggalkan agama mereka. Himmler


menganjurkan agar petinggi-petinggi Allgemeine-SS mulai meninggalkan agama mereka
untuk memberikan contoh kepada bawahan-bawahannya. Himmler memiliki sebuah
tujuan untuk membangun suatu 'agama' baru yang dianut SS, di mana Mein Kampf
menjadi kitab keagamaannya. Segala proses kehidupan pun dilakukan secara SS, mulai
dari pembaptisan bayi, pernikahan, dan pemakaman orang meninggal, yang semuanya
dilakukan ala SS.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak anggota SS yang telah meninggalkan


gereja, pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya menjelang akhir perang di mana
Jerman berada di ambang kekalahan besar.
5. AKSI

Karena sebagian besar anggota Waffen-SS bukanlah orang yang memiliki standar
pendidikan formal yang memadai, mereka cenderung lebih mudah dicekoki indoktrinasi
politik dan menjalankan perintah tanpa pertimbangan. Hal ini mengakibatkan prajurit
rendahan Waffen-SS cenderung lebih fanatik dan tidak logis dalam pertempuran, karena
mereka tidak mampu berpikir secara kritis dalam menangani hal-hal yang bersifat umum.
Mereka cenderung memecahkan segala masalah dengan 'cara militer' dan hanya
melakukan apa yang diperintahkan tanpa berpikir lebih lanjut.

Di satu sisi, kefanatikan di pertempuran ini memberikan dampak positif yang membuat
musuhnya tercengang karena sifat pasukan Waffen-SS yang pantang menyerah serta
mampu bertahan meski dalam jumlah yang kecil sekalipun dibanding musuhnya. Pasukan
Waffen-SS terkenal nekat dalam mengambil resiko. Hal ini terbukti efektif di medan
tempur. Namun di sisi lain, karena hal ini juga Waffen-SS dapat dinilai tidak efisien dalam
mengalokasikan pasukannya. Begitu besar jumlah korban yang diderita selama
pertempuran hanya karena mereka mempertahankan mati-matian suatu objektif atas
nama ideologi yang bahkan tidak mereka mengerti.

Karena hal itu jugalah banyak sekali anggota Waffen-SS yang memperlakukan anggota
Waffen-SS lain dengan kasar, seperti yang telah disebut pada poin 3. Selain itu, mereka
secara terang-terangan memendam kebencian buta terhadap musuh-musuhnya. Di Front
Timur kebencian akan Yahudi-Bolshevisme secara gencar dikumandangkan. Di Front
Barat kebencian akan sekutu Anglo-Amerika juga disebarluaskan. Karena hal inilah,
pasukan SS terkenal sebagai pasukan 'rendahan' yang tidak menjunjung nilai ksatria dalam
menjalani peperangan, di mana mereka terlihat menjalani pertempuran tanpa ikut ambil
bagian dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai sebuah organisasi militer
profesional. Sebagai contoh: setelah perang usai, mantan prajurit dan perwira SS
mengakui bahwa banyak elemen pasukan Waffen-SS mengeksekusi tahanan perang
dengan alasan karena mereka tidak ingin mengurus tahanan perang yang akan
menghambat gerak maju pasukan; sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab
mereka untuk memperlakukan tahanan perangnya dengan baik.

Berbeda dengan Heer yang merupakan suatu angkatan yang masih memegang teguh
norma-norma perang secara ksatria (chivalrous warfare) seperti yang sudah dihadapi
nenek moyang mereka. Meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan anggota-anggota
Wehrmacht juga terlibat dalam kejahatan perang. Seiring berjalannya perang, dapat
dikatakan semua negara melakukan kejahatan perang.

6. JUMLAH KORBAN

Seperti yang telah dijelaskan pada poin 4, jumlah korban yang diderita Waffen-SS begitu
besar karena indoktrinasi politik dan ideologi nasional sosialis yang sudah diberikan sejak
awal mereka bergabung dengan SS. Akan tetapi masih banyak perdebatan di kalangan
sejarawan mengenai jumlah korban yang diderita Waffen-SS dibanding Heer. Selama
perang Heer kehilangan sepertiga dari jumlah keseluruhan pasukannya, sedangkan
Waffen-SS secara total kehilangan seperempat pasukannya. Salah satu faktor yang
menyebabkan Waffen-SS kehilangan lebih sedikit korban adalah karena indoktrinasi yang
diberikan menyebabkan mereka menjadi agresif saat ofensif dan tetap tegar dalam posisi
defensif.

7. KESIMPULAN

Tidak diragukan lagi bahwa Waffen-SS telah membuktikan kapasitasnya sebagai suatu
formasi tempur yang tangguh dalam sejarah perang modern. Namun, kembali lagi pada
beberapa pembahasan di atas, karena kekejian dan kebrutalan yang dilakukan, Waffen-SS
tidak dianggap oleh para musuhnya sebagai suatu formasi tempur yang terhormat. Para
tahanan perang Waffen-SS sering dihajar oleh musuh-musuhnya, dan diperlakukan lebih
kasar daripada tahanan angkatan bersenjata lainnya. Para mantan anggota SS tidak
berhak mendapatkan dana pensiun dan keuntungan-keuntungan lain seperti yang
didapat anggota Heer.

Berbeda dengan SS, Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) mampu menempatkan


dirinya setara dengan legiun Caesar dan Grande Armeé Napoleon sebagai suatu formasi
tempur teratas sepanjang sejarah, yang bukan saja dilihat dari kemampuan tempurnya
namun juga dilihat dari jiwa prajurit sebagai ksatria. Seusai perang, tahanan perang
Wehrmacht lebih bersahabat dan lebih mudah diajak berkompromi; suatu hal yang lebih
disukai Sekutu sehingga mereka diperlakukan dengan lebih baik.

Tidak dapat dipungkiri, SS berperan besar dalam melikuidasi begitu banyak populasi dan
tahanan perang. Dapat kita lihat, di mana pasukan SS beroperasi, hampir selalu ada
kejahatan perang yang mengikutinya. Perbedaan yang begitu mencolok jika kita lihat
medan tempur Afrika. Tidak ada kejahatan perang massal yang terjadi di sana, seperti
yang terjadi di medan Eropa. Salah satu alasan yang dapat diambil adalah karena tidak
ada pasukan SS yang disebar di medan Afrika untuk fungsi tempur. Ada sebuah kantor
keamanan SS yang dibuka namun hanya berfungsi untuk tugas garis belakang dan fungsi
non-tempur. Antara Jerman-Italia dan Inggris juga saling menghormati satu sama lain di
medan tempur. Terlebih lagi Jerman yang dipimpin oleh Rommel, dan Inggris yang
akhirnya dipimpin Montgomery, dua jenderal terhormat yang menjunjung tinggi 'the
rules of chivalrous warfare'.

Anda mungkin juga menyukai