Antropologi Kesehatan Pada Budaya Sunda
Antropologi Kesehatan Pada Budaya Sunda
Oleh :
Ferina
131020140512
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Antropologi Kesehatan pada Budaya Sunda” dengan lancar dan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dari Mata Kuliah
Pengembangan Asuhan Kebidanan Komunitas. Dalam pembuatan makalah ini
penulis banyak mendapatkan tambahan pengetahuan budaya Sunda dan analisis
dalam antropologi kesehatan. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Kuswandewi Mulyana, dr, M.Sc selaku Dosen Mata Kuliah Pengembangan Asuhan
Kebidanan Komunitas.
Demikianlah, besar harapan kami semoga hasil makalah ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan selanjutnya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN ADAT ISTIADAT SUNDA................................................................................2
A. Suku Sunda......................................................................................................................2
B. Kebudayaan Sunda..........................................................................................................2
C. Upacara Adat Sunda........................................................................................................3
D. Tabu Selama Kehamilan, Persalinan dan Nifas................................................................8
BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................11
BAB IV PENUTUP...................................................................................................................13
BAB V DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya.
Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber
kekayaan bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang
sangat bernilai, karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi
lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Sunda merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki
kekayaan budaya yang beraneka ragam. Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya
pada masyarakat sunda masih dipelihara dan dihormati. Tidak terkecuali adat istiadat
yang dilakukan berkaitan dalam periode reproduksi manusia, karena periode ini
dianggap sakral dan penting sebagai periode menyambut generasi penerus keturunan
sebuah keluarga dalam masyarakat. Adat istiadat selama periode reproduksi dikenal
memiliki upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti: upacara adat masa
kehamilan, masa kelahiran, masa nifas, masa bayi. Upacara adat tersebut dilakukan
sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir batin,
dunia dan akhirat kepada Tuhan YME. Disamping upacara adat, banyak juga
tabu/larangan dari pendahulu masyarakat sunda yang diwariskan untuk tidak
dilakukann selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Berbagai upacara adat dan
kebiasaan/ritual masyarakat sunda tersebut dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan
anak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis merasa perlu
membahas dalam makalah tinjauan aspek antropologi kesehatan dalam budaya sunda
yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah agar menambah pemahaman
mengenai aspek budaya daerah sunda yang berhubungan dengan kehamilan,
persalinan dan nifas serta bayi baru lahir dalam mengembangkan dan meningkatkan
kualitas pelayanan kebidanan komunitas.
1
BAB II TINJAUAN ADAT ISTIADAT SUNDA
A. Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi
provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah
(Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-
kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Jika Suku Banten
dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8% penduduk Indonesia merupakan
orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian
kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan (Jati Sunda). Agama Sunda
Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di
Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan
dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.3
B. Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara dan
merupakan salah satu sumber kekayaan bangsa Indonesia yang dalam
perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda
adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini,
hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada beberapa yang
tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di
tujukan untuk kebaikan di alam semesta.4
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari
kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar
Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual.
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih
asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan
atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi
(saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai
lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
2
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan
magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan
keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk
mempertahankannya.4
3
dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara
bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian
setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran
ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini
dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin
seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah
digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini
dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik
lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah
airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang
dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat. Sesudah selesai
dimandikan biasanya ibu hamil didandani kemudian di bawa menuju ke
tempat rujak kanistren yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual
rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara tersebut,
kemudian anak-anak dan tamu yang hadir membelinya dengan menggunakan
talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin.
Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan
mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dan sebagainya.
Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga.
Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat
tingkeban.
c. Upacara Mengandung Sembilan Bulan. Upacara sembuilan bulan
dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara
ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir
dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur
lolos, sebagai simbol dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan
waktu melahirkan. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng
atau makanan lainnya.
d. Upacara Reuneuh Mundingeun. Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan
apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan, bahkan ada
yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil
4
itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting.
Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera
melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan
dituntun oleh indung beurang/paraji sambil membaca doa kemudian dibawa
ke kandang kerbau. Jika tidak ada kandang kerbau, cukup dengan
mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus
berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan
diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi
kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan
disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.
5
indung beurang/paraji menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi.
Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang
tidak lekas terkejut atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan
menakutkan.
c. Upacara Puput Puseur. Setelah bayi terlepas tali pusatnya, biasanya diadakan
selamatan. Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung beurang/paraji
dimasukkan ke dalam kanjut kundang (tempat tali pusat kering yang terbuat
dari kain). Seterusnya pusar bayi ditutup dengan uang logam/benggol yang
telah dibungkus kasa atau kapas dan diikatkan pada perut bayi, maksudnya
agar pusat bayi tidak dosol/menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara ini
dilaksanakan sekaligus dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini
dibacakan doa selamat, dan disediakan bubur merah bubur putih. Ada
kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang
harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga
lagi ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni,
pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu
empat bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya
itu harus dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat
hidup rukun dengan saudara-saudaranya (kakak dan adiknya) sehingga
tercapailah kebahagiaan.
d. Upacara Ekah. Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata
aqiqatun “anak kandung”. Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak
sebagai pemberian Tuhan, atau ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mengharapkan anak itu kelak menjadi
orang yang saleh yang dapat menolong kedua orang tuanya nanti di alam
akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi
berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari. Perlengkapan yang
harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak
laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup seekor),
dan jika anak perempuan hanya seekor saja. Domba yang akan disembelih
untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang memenuhi syarat untuk kurban.
6
Selanjutnya domba itu disembelih oleh ahlinya atau Ajengan dengan
pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan kepada saudara
dan tetangga.
e. Upacara Nurunkeun. Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi
dibawa ke halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai
pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat di gendong, di
bawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurunkeun dilaksanakan
setelah tujuh hari upacara puput puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan
pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu
atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak
yang diletakan di ruang tamu untuk diperebutkan oleh para tamu terutama
oleh anak-anak.
f. Upacara Cukuran/Marhaban. Upacara cukuran dimaksudkan untuk
membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala macam najis.
Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan ungkapan syukuran atau
terima kasih kepada Tuhan YME yang telah mengkaruniakan seorang anak
yang telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi
berumur 40 hari. Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah
para undangan disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan
gunting yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang
untuk mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a
dan berjanji atau disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat
nabi Muhammad saw. dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat
lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhaban itulah rambut bayi digunting
sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
g. Upacara Turun Taneuh. Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali
bayi menjejakkan kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak
besar, setelah dapat merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini
dimaksudkan agar si anak mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui
akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang,
atau akan menjadi orang yang berpangkat. Perlengkapan yang disediakan
7
harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain aneka makanan juga
disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak putih, padi
segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang terdiri dari
uang lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan. Jalannya upacara, apabila
para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi
digendong dan dibawa ke luar rumah. Di halaman rumah telah dipersiapkan
aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih,
selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal
ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu
dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para
undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika
anak itu memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani.
Jika yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi
saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang dipegangnya emas,
menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau
mempunyai kedudukan yang terhormat.
8
g. Tidak boleh mandi memakai pakaian basah sebab bisa mendatangkan
penyakit yang mengeluarkan air saat melahirkan.
h. Tidak boleh memakan telur rebus agar anak yang dilahirkan tidak bisul di
kepalanya
i. Tidak boleh memakan buah nanas sebab akan mendatangkan penyakit gatal di
pipinya
j. Tidak boleh memakan buah salak sebab bisa mendatangkan penyakit koreng
di kepalanya
k. Tidak boleh mencoba sayuran dengan sendok sebab akan mengakibatkan
anaknya buruk rupa
l. Tidak boleh memakan buah waluh (labu) agar perutnya tidak gendut.
m. Tidak boleh memakan belut sebab akan mengakibatkan anaknya suka
bermain
n. Tidak boleh memakan tutut (siput) agar tidak mengantuk saat melahirkan
o. Tidak boleh memakan kepiting dan lele karena akan mengakibatkan anak
yang dilahirkan bertabiat galak, suka mengganggu temannya.
p. Tidak boleh memakan udang sebab akan mengakibatkan kesulitan saat
melahirkan.
q. Tidak boleh makan yang pedas - pedas sebab akan mengakibatkan penyakit
susah membuang kotoran.
r. Tidak boleh menyimpan gulungan tikar sebab akan didekati kuntilanak,
s. Tidak boleh membawa botol dengan cara di jinjing sebab akan
mengakibatkan kepala sang bayi kecil saat dilahirkan.
t. Tidak boleh melihat orang yang meninggal sebab akan mengakibatkan anak
yang dilahirkan mempunyai rupa yang pucat seperti bangkai.
u. Tidak boleh membawa bayi keluar rumah setelah magrib karena bayi yang
baru lahir masih sangat berbau darah sehingga dapat menarik perhatian
kuntilanak untuk mencolek si bayi yang dapat mengakibatkan bayi rewel dan
sakit-sakitan.
v. Bayi jangan pernah ditinggal atau tidur sendirian karena bayi dapat diajak
bermain oleh roh-roh jahat. Bahkan, di sebagian tempat banyak orang sengaja
9
menunggui bayi dan ibunya. Jika ada yang mendengar suara manuk koreak,
bayi harus segera digendong. Burung koreak dipercaya sebagai representasi
hantu yang hendak menculik atau mengganggu bayi. Tidak hanya bayi yang
diperlakukan khusus, pakaiannya pun diperlakukan khusus, yaitu jangan
menyimpan cucian baju bayi di kamar mandi atau tidak boleh menyimpan
pakaian bayi di luar rumah selepas magrib. Jika hal ini dilakukan maka bayi
akan sering mengamuk. Kemudian, ibu-ibu yang ingin anaknya amis budi
atau murah senyum biasanya mengusapkan cincin emasnya ke mulut bayi.
w. Ibu yang baru melahirkan dianjurkan juga melakukan beberapa hal di
antaranya agar tubuhnya segera pulih kembali seperti sedia kala dan agar
peranakannya cepat kering. Ibu bayi dianjurkan memotong ayam. Darah ayam
yang baru dipotong dicoretkan di jidat si ibu dan bayinya. Hal ini dipercaya
dapat mengganti darah yang dikorbankan selama proses melahirkan sehingga
sang ibu bugar kembali dan si bayi pun dapat cepat menjadi bayi yang kuat.
Memakan cabe rawit (cengek) dan memakan nasi kuning dipercaya pula dapat
memulihkan tenaga, menguatkan lambung, dan memulihkan usus atau
menurut istilah paraji “ngolotkeun peujit”. Untuk mengeringkan peranakan
ibu yang baru melahirkan dianjurkan memakan bawang putih yang sudah
direbus. Bawang putih yang direbus pun dipercaya dapat menjarangkan
kelahiran. Supaya teu tarorek atau khawatir terhadap cerita-cerita negatif
tetangga sekitar, ibu yang baru melahirkan dianjurkan memakan biji-bijian
yang sudah digarang api.
10
BAB III PEMBAHASAN
11
jika dianggap memiliki nilai guna. Jika sebuah mitos sudah dianggap tidak lagi
memiliki nilai guna, mitos tersebut dengan sendirinya ditinggalkan.
Demikian juga dalam aspek kesehatan, perilaku maupun
mitos/tabu/pantangan yang dikerjakan harus diperhatikan agar tidak membahayakan
atau mengganggu kesehatan ibu dan janinnya atau bayi yang akan dilahirkannya.
Bidan sebagai seorang care provider di masyarakat, harus mampu membangun
kepercayaan yang positif terhadap kesehatan khususnya ibu dan bayi. Membangun
kekuatan wanita agar mampu mandiri dan paham adalah kunci penting dalam
menguatkan kemampuan wanita terhadap kemampuan mereka membuat keputusan
untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Seorang wanita yang memiliki
kesempatan membuat keputusan tentang pilihan kesehatan bagi mereka, merasakan
dirinya memiliki kemampuan pengetahuan yang lebih dan mampu membuat
keputusan kesehatan yang baik dan logis.3 Dialog untuk bertukar informasi antara
wanita dan bidan merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan untuk
memahami apa yang wanita yakini dan dapat menjadi peluang bagi bidan untuk
memberi informasi kesehatan yang baik dilakukan untuk kesehatan dirinya maupun
keluarganya.3
Bidan desa penting mempertimbangkan pemahaman tradisional dan
keyakinan ditengah masyarakat dan menemukan cara agar dapat diterima lebih baik
dan mampu membangun hubungan saling percaya ditengah masyarakat. Kepercayaan
merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk meningkatkan penggunaan tenaga
kesehatan oleh masyarakat. Dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat, seorang
bidan akan mampu melakukan pendidikan kesehatan lebih efektif kepada
masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih sehat dan sejahtera dengan tetap
menjaga kelestarian budaya yang positif dan tidak merugikan bagi kesehatan
khususnya ibu dan bayinya.3
12
BAB IV PENUTUP
13
BAB V DAFTAR PUSTAKA
1. Adriana I. Neloni, mitoni atau tingkeban (perpaduan tradisi jawa dan ritualitas
masyarakat muslim. Karsa. 2011; 19(2):239-47.
2. Kaphle S, Hancock H, Newman LA. Childbirth traditions and cultural
perceptions of safety in Nepal: critical spaces to ensure the survival of mothers
and newborns in remote mountain villages. Midwifery. 2013:1173-81.
3. Agus Y, Horiuchi S, Porter SE. Rural Indonesia women’s traditional beliefs about
antenatal care. Biomedcen. 2012. 5:589
4. Suku Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17
Juni 2015
5. Budaya Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17
Juni 2015
6. Mitos-mitos kelahiran Bayi dalam Budaya Sunda.htm diakses 17 Juni 2015
7. Larangan/Tabu Pada Masa Kehamilan.htm diakses 17 Juni 2015
14