Pendahuluan
A. Latar Belakang
Islam, di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama
yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umumnya
menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam
menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin.
Sebagai manusia biasa mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam
menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran
ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan
amal salehnya. Dalam suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam ditantang
untuk bisa survive, dan membangun kembali tatanan kehidupannya–moral, ekonomi,
sosial, politik dan sebagainya, untuk membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada
umat Islam sebagai khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat. Dalam makalah
ini, penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang dianggap penting untuk
didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana Prinsip-prinsip bermuamalah dan
prinsip bekerja dalam islam.
Bab II
PEMBAHASAN
B. Prinsip-Prinsip Muamalah
Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum
untuk kegiatan mumalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Muamalah adalah Urusan Duniawi Muamalat berbeda dengan ibadah.
Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh
karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntuna
yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya, dalam muamalat, semua
boleh kecuali yang dilarang. Muamalat atau hubungan dan pergaulan
antara sesama manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi,
dan pengaturannya diserahkan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
semua bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia
hukumnya sah dan dibolehkan. Asal tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan umum yang ada dalam syara‘.
2. Muamalat harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua
Belah Pihak. Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap
akad. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-nisa. (4): 29:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu33; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu
3. Adat kebiasaan dijadikan dasar hukum Dalam masalah Muamalat, adat
kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut diakui
dan tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan umum yang ada dalam
syara'. Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah
juga dianggap baik.
4. Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain Setiap transaksi dan
hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak boleh menimbulkan
kerugian kepada diri sendiri dan orang lain hal ini didasarkan pada hadis
Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
addaruquthni dan lain-lain dari Abi Sa'id al-khudri bahwa Rasulullah
bersabda: ال ضر ر و ال ضرار
“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain”
Dari hadits ini kemudian dibuatlah kaidah kuliah yang berbunyi:
أضر ر يزال
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES,
1982).
Al-Faruqi, Ismail, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Herndon,
Virginia: IIIT, 1995).
Caco, Rahmawati, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi Jurnal
Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006).
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (terbitan Gramedia,
1977). Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989).
Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1995).