Anda di halaman 1dari 22

Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Prinsip Bekerja Dalam Islam

Disusun oleh Kelompok 5:


1. Dana Krismonika (G2A220055)
2. Tri Edi Gunawan (G2A220058)
3. Vita Syofiana (G2A220044)
4. Ari Kurnia ( G2A220099)

PRODI STUDI ILMU KEPERAWATAN LINTAS JALUR


FIKKES UNIMUS
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................ 1


DAFTAR ISI ................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 4
A. Latar Belakang ........................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN …….…………………………………….……….. 6
A. Pengertian Muamalah…………................................................................... 6
B. Prinsip-prinsip Muamalah......................................................................... 6
C. Penegetian Etos Kerja ………………......................................................... 6
D. Prinsip-prinsip Bekerja dalam Islam
BAB III PENUTUP…………………………………………………….....… 15
A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Islam, di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama
yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umumnya
menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam
menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin.
Sebagai manusia biasa mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam
menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran
ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan
amal salehnya. Dalam suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam ditantang
untuk bisa survive, dan membangun kembali tatanan kehidupannya–moral, ekonomi,
sosial, politik dan sebagainya, untuk membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada
umat Islam sebagai khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat. Dalam makalah
ini, penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang dianggap penting untuk
didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana Prinsip-prinsip bermuamalah dan
prinsip bekerja dalam islam.
Bab II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muamalah dan Fiqh Muamalah


Dalam kehidupan sosial antara manusia, Islam sudah menata secara
sempurna sebuah aturan (hukum) yang di dalamnya terdapat adab/ etika
dalam hidup bermasyarakat yang semuanya terangkum dalam hukum
muamalah. Secara etimologi kata Muamalat yang kata tunggalnya
muamalah (almu’amalah) yang berakar pada kata aamala secara arti kata
mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara timbal balik. Lebih
sederhana lagi berarti hubungan antara orang dan orang.
Muamalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah
yaitu saling berbuat. Kata ini, menggambarkan suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang falam
memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau muamalah secara etimologi
artinya saling bertinfak, atau saling mengamalkan. Secara terminologi,
muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pengertian muamalah dalam arti
luas menghasilkan duniawi supaya menjadi sebab suksesnya masalah
ukhrawy. Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Madjid.
Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati
dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Jadi,
pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukumhukum)
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi
dalam pergaulan sosial

Adapun pengertian dalam arti sempit (khas), didefinisikan oleh


para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hudhari yang dikutip Hendi Suhendi
Muamalah adalah semua manfaat yang membolehkan manusia saling
menukar manfaatnya.
2. Menurut Rasyid Ridha
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari definisi diatas daapt dipahami bahwa pengertian muamalah
dalam arti sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah
ditrentukan Allah dan manusia wajib menaati-Nya. Adapaun pengertian
muamalah yang sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah al-Sattar
Fathullah Sa‘ad yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu hukum-hukum
yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan jual-beli, utang
piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan
tanah, dan sewa menyewanya. Manusia dalam definisi diatas adalah
seseorang yang mukalaf, yang telah dikenai beban taklif, yaitu yang telah
berakal balig dan cerdas

B. Prinsip-Prinsip Muamalah
Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum
untuk kegiatan mumalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Muamalah adalah Urusan Duniawi Muamalat berbeda dengan ibadah.
Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh
karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntuna
yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya, dalam muamalat, semua
boleh kecuali yang dilarang. Muamalat atau hubungan dan pergaulan
antara sesama manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi,
dan pengaturannya diserahkan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
semua bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia
hukumnya sah dan dibolehkan. Asal tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan umum yang ada dalam syara‘.
2. Muamalat harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua
Belah Pihak. Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap
akad. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-nisa. (4): 29:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu33; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu
3. Adat kebiasaan dijadikan dasar hukum Dalam masalah Muamalat, adat
kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut diakui
dan tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan umum yang ada dalam
syara'. Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah
juga dianggap baik.
4. Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain Setiap transaksi dan
hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak boleh menimbulkan
kerugian kepada diri sendiri dan orang lain hal ini didasarkan pada hadis
Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
addaruquthni dan lain-lain dari Abi Sa'id al-khudri bahwa Rasulullah
bersabda: ‫ال ضر ر و ال ضرار‬
“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain”
Dari hadits ini kemudian dibuatlah kaidah kuliah yang berbunyi:

‫أضر ر يزال‬

“Kemudhorotan harus dihilangkan”


Mohammad Daud Ali mengemukakan 18 Prinsip yang
menjadi asas-asas hukum Islam di bidang muamalah asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut.

1. Asas kebolehan atau mubah Azas ini menunjukkan kebolehan


melakukan semua hubungan perdata, sepanjang hubungan itu tidak
dilarang oleh Alquran dan as-sunnah. Dengan demikian, pada
dasarnya segala bentuk hubungan perdata boleh dilakukan, selama
tidak ditentukan lain dalam Alquran dan as-sunnah. Ini berarti
bahwa Islam membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak-pihak
yang berkepentingan untuk mengembangkan dan menciptakan
bentuk dan macam hubungan perdata baru, Sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
2. Asas kemaslahatan hidup Kemaslahatan hidup adalah segala
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi
kehidupan. Asas kemaslahatan hidup adalah suatu asas yang
mengandung makna bahwa hubungan perdata apapun dapat
dilakukan, asal hubungan itu mendatangkan kebaikan, berguna dan
berfaedah bagi kehidupan pribadi dan masyarakat, meskipun tidak
ada ketentuannya dalam Alquran dan as-sunnah. Asas ini sangat
berguna untuk mengembangkan berbagai lembaga hubungan
perdata, dan dalam menilai lembaga-lembaga hukum non Islam
yang ada dalam suatu masyarakat.
3. Asas kebebasan dan kesukarelaan Asas ini mengandung makna
bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan
sukarela. Kebebasan kehendak para pihak yang melahirkan
kesukarelaan dalam persetujuan harus selalu diperhatikan. Asas ini
juga mengandung arti bahwa selama Alquran dan as-sunnah tidak
mengatur secara rinci suatu hubungan perdata, maka selama itu
pula para pihak yang bertransaksi mempunyai kebebasan untuk
mengaturnya atas dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini
Sebagaimana telah penulis Kemukakan dibuka, bersumber dari
AlQuran surat annisa (4) ayat 29.
4. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat Asas ini
mengandung makna bahwa segala bentuk hubungan perdata yang
mendatangkan kerugian atau mudharat harus dihindari, sedangkan
hubungan perdata yang mendatangkan manfaat bagi diri sendiri
dan masyarakat harus dikembangkan. Dalam asas ini juga
terkandung pengertian bahwa dalam melakukan suatu transaksi,
menghindari kerusakan harus didahulukan daripada meraih
keuntungan. Contohnya perdagangan narkotika, prostitusi, dan
perjudian.
5. Asas kebajikan (kebaikan) Asas Ini mengandung arti bahwa setiap
hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan atau
kebaikan kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam
masyarakat. kebajikan yang akan diperoleh seseorang haruslah
didasarkan pada kesadaran pengembangan kebaikan dan kerangka
kekeluargaan.
6. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat. Asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah asas
hubungan perdata yang disandarkan pada Sikap saling
menghormati, mengasihi, dan tolong-menolong dalam mencapai
tujuan bersama. Asas ini menunjukkan suatu hubungan perdata
antara para pihak yang menganggap diri masing-masing sebagai
anggota keluarga, meskipun pada hakekatnya bukan keluarga.
Asas ini diambil dari Al Quran surat Al Maidah (5) ayat 5 dan
Hadis yang menyatakan bahwa umat manusia berasal dari satu
keluarga.
7. Asas adil dan berimbang Asas keadilan mengandung makna bahwa
hubungan perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan,
penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain
sedang berada dalam kesempitan. Asas ini juga mengandung arti
bahwa hasil yang diperoleh harus berimbang dengan usaha atau
ikhtiar yang dilakukan oleh seseorang.
8. Asas mendahulukan kewajiban dari hak Asas Ini mengandung arti
bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata. Para pihak harus
mengutamakan penunaian kewajiban terlebih dahulu daripada
menuntut hak. Dalam ajaran islam, seseorang baru memperoleh
haknya misalnya mendapat imbalan (pahala) setelah ia
menunaikan kewajibannya terlebih dahulu.
9. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain Asas ini
mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan hubungan
perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam
hubungan perdata nya. Merusak harta Meskipun tidak merugikan
diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan dalam
hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan atau
memusnahkan barang untuk mencapai kemantapan harga atau
keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
10. Asas kemampuan berbuat atau bertindak Pada dasarnya setiap
manusia dapat menjadi subjek hukum dalam setiap hubungan
perdata, jika memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum.
Dalam hukum Islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau
bertindak melakukan hubungan perdata adalah orang yang
mukallaf, yaitu orang yang mampu memikul kewajiban dan hak,
sehat rohani dan jasmani. Hubungan perdata yang dibuat oleh
orang yang tidak mampu memikul kewajiban dan hak dianggap
melanggar asas ini. Oleh karena itu, hubungan perdatanya batal
karena dipandang bertentangan dengan salah satu asas hukum
Islam
11. Asas kebebasan berusaha Asas ini mengandung makna bahwa
pada prinsipnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan
sesuatu yang baik bagi dirinya dan keluarganya. Asas ini juga
mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang
sama untuk berusaha tanpa batasan, kecuali yang telah ditentukan
batasannya (dilarang) oleh hukum Islam
12. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa Asas ini
mengandung makna bahwa seseorang akan memperoleh suatu hak,
misalnya berdasarkan usaha dan jasa baik yang dilakukannya
sendiri maupun yang diusahakannya bersama-sama dengan orang
lain. Usaha dan jasa yang dilakukan haruslah usaha dan jasa yang
baik, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan keji
dan kotor. Usaha dan jasa yang dilakukan melalui kejahatan,
kekejian, dan kekotoran tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
13. Asas perlindungan hak Asas Ini mengandung arti bahwa semua
hak yang diperoleh seseorang dengan jalan yang halal dan sah
harus dilindungi. Apabila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak
dalam hubungan perdata, maka pihak yang dirugikan berhak untuk
menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian kepada
pihak yang merugikannya. 1
14. Asas hak milik berfungsi sosial Asas ini menyangkut pemanfaatan
hak milik yang dimiliki oleh seseorang menurut hukum, Islam hak
milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi
pemiliknya, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial. Agama Islam mengajarkan bahwa harta yang
telah dikumpulkan oleh seseorang dalam jumlah yang cukup
mencapai nisab, wajib dikeluarkan zakatnya untuk menyantuni
golongan masyarakat, antara lain fakir miskin, yang disebut
mustahik zakat, sebagaimana yang tercantum dalam surat at-
taubah (9) ayat 60:
Artinya :Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
15. Asas yang beritikad baik harus dilindungi Asas ini berkaitan erat
dengan asas lain yang menyatakan bahwa orang yang melakukan
perbuatan tertentu bertanggung jawab atas risiko perbuatannya.
namun, jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata
tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mau punya itikad
baik dalam hubungan perdata, maka kepentingannya harus
dilindungi, dan ia berhak menuntut sesuatu Jika dia dirugikan
karena itikad baiknya itu.
16. Asas resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja Asas ini
mengandung penilaian yang sangat tinggi terhadap kejadian
pekerjaan, yang berlaku terutama di perusahaan-perusahaan yang
merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik
tenaga (kerja). Jika perusahaan merugi Maka menurut asas ini,
kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja,
tidak pada pekerjaannya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin
haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk
jangka waktu tertentu setelah ternyata perusahaan menderita
kerugian.
17. Asas mengatur dan memberi petunjuk Sesuai dengan sifat hukum
keperdataan pada umumnya dalam hukum Islam berlaku asas yang
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum.Yang berhak
menerima zakat Ialah: (a) orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. (b) orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. (c) Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. (d) Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah. (e) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk
melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. (f)
Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan
yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam
dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya. (g) Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara
mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup
juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah,
rumah sakit dan lain-lain. (h) orang yang sedang dalam perjalanan
yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya
perdata kecuali yang bersifat ijbari karena ketentuannya telah kota
hanyalah bersifat mengatur dan memberi petunjuk kepada orang-
orang yang akan memanfaatkannya telah mengadakan hubungan
perdata para pihak dapat memilih ketentuan lain berdasarkan
kesukarelaan asal ketentuan itu tidak bertentangan dengan
ketentuan yang ada dalam hukum Islam (syara')
18. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi Asas ini mengandug
makna bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam
perjanjian tertulis dihadapan para saksi hal ini sesuai dengan
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah 2 ayat 282 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah35tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,
Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksisaksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada A

C. Pengertian Etos Kerja dalam Islam


Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar
pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya
mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos
kerja.Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang
bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang
lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan
makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan
sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak
bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang
lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah
hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan
dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan
dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah
agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba
mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal
saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan
bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-
sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah
yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya

D. Prinsip-prinsip Bekerja dalam Islam


Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam
mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa
prinsip berikut:
1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana
dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
mengenainya.”(QS, 17: 36).
2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat
dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada
bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih
riwayat al-Bukhari).
3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat
dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati
dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan
amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang
Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan
kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mulk: 67: 2).
Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh
sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu
sesuai dengan standar mutu.
4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat
dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah,
Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9: 105).
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi.
Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis
sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan
kiamat.
6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini
adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku
untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk
pekerjaanpekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an
ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu
yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada
orangorang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. 53: 31). Dalam
hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil
imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi, menerima
imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa
mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian
terhadapnya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam
agama.
7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat
terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat
yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai
ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan
jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati
sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya
tersebut. Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia
tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai
kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen
yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan
keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya.
Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber
dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan
tertentu.
8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk
keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah
yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis,
Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada”
(Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia–
maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya
berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.” Pandangan ini sentral sekali
dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan
mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri:
“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam
lembaranlembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia?
Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang
lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia
usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya),
kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa
kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan”. Itulah yang dimaksudkan
dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu
bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal
perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan
amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-
tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan. “Barang siapa
benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat
baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak
melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada
Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam
pekerjaan manusia). Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh
pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan
taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai
khalifatullah fi alArdl. Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan
hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni
anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental
dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau
sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok
hidupnya
9. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan
sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih
disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini: “Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari pada orang mukmin
yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah
hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada
Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu,
maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya
akan begini dan begitu”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah,
dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab
sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.
Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti
dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif,
sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja
sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” Juga firman-Nya, “Dan
jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada
Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.Karena perintah agama untuk aktif
bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan
suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam
Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan
mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah). Maka adalah baik sekali
direnungkan firman Allah dalam surah alJumu‟ah: “Maka bila
sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah
kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar
kamu berjaya”.
Dari prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan
ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu
akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada
suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan
bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan
dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan
(khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim,
sebagai berikut:
1) Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership);
2) Selalu berhitung;
3) Menghargai waktu;
4) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements);
5) Hidup berhemat dan efisien;
6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship);
7) Memiliki insting bersaing dan bertanding;
8) Keinginan untuk mandiri (independent);
9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan;
10) Berwawasan makro (universal);
11) Memperhatikan kesehatan dan gizi;
12) Ulet, pantang menyerah;
13) Berorientasi pada produktivitas;
14) Memperkaya jaringan silaturrahim.
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES,
1982).

Al-Faruqi, Ismail, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Herndon,
Virginia: IIIT, 1995).

Caco, Rahmawati, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi Jurnal
Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2, 2006).

Echols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (terbitan Gramedia,
1977). Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989).

Madjid, Nurcholish, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:


Paramadina, 1999). Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun
Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992).

Manshur, Fadlil Munawwar, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,” dalam Edy


Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme Muhammadiyah,
(Yogyakarta: LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press, 2003).
Mohammad Irham: Etos Kerja Dalam Perspektif Islam Rakhmat, Jalaluddin,
“Kemiskinan di Negara-negara Muslim,” dalam Islam Alternatif, (Bandung: Mizan,
1998).

Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1995).

Anda mungkin juga menyukai