Anda di halaman 1dari 4

Manajemen Berbasis Sekolah dan Kendala Pelaksanaannya

    

14 Oktober 2011   23:24 |

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56

Untuk mencari model yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, seiring dengan
reformasi politik, dilakukan reformasi pendidikan atau perubahan pengelolaan pendidikan. Upaya
perubahan tersebut telah melahirkan konsep dasar pengeloalaan pendidikan yang diberi nama
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan
tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada
sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha dan sebagainya),
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan
tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan
tuntutan sekolah dan masyarakat atau stakeholder yang ada.

Dengan demikian sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya
(menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan
rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki
fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.

MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung
jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang
dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan
beserta uraiannya termasuk kinerja sekolah.

Karaktristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikatagorikan menjadi
input, proses, dan output.Dalam tinjauan yang lebih luas, konsep dasar pola MBS memandang
sekolah sebagai sistem yang terdiri/tersusun dari komponen konteks, input,
proses, output dan outcome.

Pada tataran konsep (teori) MBS, sebagaimana telah dipaparkan di atas, memberikan harapan yang
tinggi bagi satuan pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui otonomi yang
dimilikinya. Tetapi dalam pelaksanaannya, kemandirian yang telah dihajatkan dalam teori tersebut
menuai banyak kendala, tidak semulus yang dibayangkan. Faktor penyebab tersumbatnya saluran
menuju peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah adanya kebijakan pemerintah tentang
sekolah gratis dan kebijakan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah. Kedua hal ini
menyebabkan elemen-elemen dan komponen-komponen MBS tidak mampu diterapkan secara
optimal.

Dengan adanya slogan sekolah gratis yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik, telah
menyebabkan terbangunnya konsep pada diri masyarakat (orangtua peserta didik) bahwa semua
pelaksanaan atau pengelolaan pendidikan dari A sampai Z harus gratis dan tidak boleh membebani
orangtua peserta didik dengan biaya atau pungutan apapun. Kondisi ini semakin mengakar dan
menguat dalam pikiran masyarakat, yang dipicu oleh adanya pandangan (lisan maupun tulisan) dan
kebijakan dari pemerintah daerah dengan menjadikan kebijakan sekolah gratis sebagai “konsumsi
politik”, dan penerapan kebijakan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang ternyata tidak
dapat diberikan secara merata, tidak sesuai dengan jumlah peserta didik miskin yang membutuhkan
atau siswa yang dapat dana bantuan selalu lebih kecil dari yang seharusnya. Kenyataan ini tentu saja
semakin mengaburkan makna dari sekolah gratis yang sesungguhnya. Sehingga pengelola satuan
pendidikan menjadi “takut” dan merasa “risih” untuk berbuat dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah yang dikelolanya. Seakan-akan meminta sumbangan kepada orangtua siswa
atau masyarakat menjadi suatu hal yang “tabu” dan “haram”. Oleh karena itu, menggerakkan
partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang
berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas, mengalami banyak kendala atau tantangan.
Kendala ini semakin terasa berat bagi sekolah yang berada di daerah tertinggal dan pinggiran,
dengan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat perekonomianyang rata-
rata rendah. Pada hal pengalaman sekolah-sekolah yang maju, menempatkan PSM yang tinggi
sebagai salah satu point penting dalam memajukan dan meningkatkan mutu layanan satuan
pendidikannya.

Dampak lain yang timbul dari adanya kebijakkan tersebut, sekolah tidak atau kurang mampu
melaksanakan aspek kewirausahaan yang dipersyaratkan. Karena adanya pembatasan, koperasi
sekolah tidak dapat melakukan fungsi sebagaimana mestinya, dan kondisinya berada pada tingkat
“mati suri”. Ketidak mampuan melakukan kegiatan kewirausahaan, banyak ditemukan pada satuan
pendidikan yang berada di wilayah tertinggal dan pinggiran, dimana sektor dunia usaha/dunia
industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung
peningkatan mutu pendidikan.

Kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut, tidak diikuti dengan penyediaan dana yang cukup
untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua
satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki
fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya
dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah
dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam
peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan
pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan masyarakat.

Keadaan di atas apabila dibiarkan berlangsung terus-menerus tanpa ada penyelesaian yang
semestinya, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di masa depan. Persepsi
masyarakat yang keliru dalam memaknai kebijakan tentang sekolah gratis, tidak kalah penting dan
mendesak untuk segera diluruskan, tidak dibiarkan mendarah daging dalam diri masyarakat. Tidak
akan ada dan tidak mungkin pendidikan yang bermutu diperoleh dengan biaya seadanya dan serba
gratis. Menjadi sangat tidak mungkin lagi mana kala kita menyadari bahwa kita telah hidup diera
gelobalisasi dan persaingan, yang tentu saja tantangan dan tingkatannya akan semakin besar dan
sulit di masa depan.

Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan
dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang
kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus
didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang
diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas
diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang
miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam
membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah
untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya
mendapat bantuan dana pendidikan.

Berangkat dari kerangka berpikir di atas, untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan secara
signifikan dan optimal, maka konsep tentang sekolah gratis perlu dikaji ulang, pemerintah pusat dan
daerah tidak setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan, disamping memenuhi kewajibannya
untuk memberikan dana dan fasilitas secara merata (penuh) dan berkeadilan kepada semua satuan
pendidikan. Sepangjang kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya, PSM dalam
rangka pelaksanaan MBS tetap menjadi pilihan alternatif. Pilihan ini bahkan semakin dibutuhkan,
mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan. Sehingga
untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut, terasa sulit untuk dapat dipenuhi. Oleh karena
satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam
menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha
untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan
merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS secara optimal. Tetapi satuan pendidikan
dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun
pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar
satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan.
Dengan kata lain, langkah yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan.

BAHAN BACAAN

1.Dr. E. Mulyana, M.Pd. : Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan


Implementasinya. Penerbit Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006.

2.Dr. Syaiful Sagala, M.Pd. : Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan
Persaingan Mutu. Penerbit PT. Rakastra Samasta, Jakarta, 2005.

3.Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta 2004.

4.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

5.Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2006.

6.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI :

a.Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
b.Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);

c.Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011.

7.Undang-Udang Republik Indonesia:

a. a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b. Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Anda mungkin juga menyukai