INTERFERENS! FONOLOGI BAHASA INDONESIA
DALAM BAHASA PRANCIS
Phonologic Interference of Indonesian in French
Sri Ekodoso Noworini’ dan Soepomo Poedjosoedarmo*
Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The study entitled Phonologic Interference of Indonesian in French ex-
amines the interference related to,the details of the pronunciation of phonetic
features and their alteration. In the pronunciation of French, the speaker of
Indonesian tends to absorb Indonesian phones. It results from the presence
of the predominant difference between the principles of French and that of
Indonesian.
The objectives of the study are to describe the difference in the phono-
logic principles of French and that of Indonesian, to determine the French
phoneme which is affected by the interference of Indonesian and to identify
the causal factor of the phonologic interference of Indonesian in French.
The data of the study is collected from the oral speech of French by
Indonesian speakers by considering that the oral speech represents the basic
ability underlying other abilities in learning foreign language.
‘0 meet the objectives, the following study steps are made: 1) to deter-
mine the respondents, 2) to collect the data in the form of French word ant
sentences, 3) toidentify the phonologic difference of French and Indonesian,
4) to observe the kinds of the phonemic interference pronounced by the re-
spondents, 5) to Lae sae the observation results.
The results of the study show that each language has its own unique-
ness. The phonological principles of French differ from that of Indonesian. It
can be clearly observed in their phonologic system, syllable structure, and
orthographic and pronunciation system. "fhe honemes which are not found
in Indonesian, as nasal phonemes results in the interference of French.
The underlying factor of the interference is of linguistic one, i.e. the
effect of the principles of Indonesian that is essentially different from that of
French. In socio-linguistic factor, it is caused by the lack of the attention of
Indonesian speakers to the principles of French they are learning. The use of
French in the communication activities taking place only in certain situation
and circumstance, also underlies the interference.
Keywords: Interference — phonology — oral speech — obseroation result.
1. ABA YIPK Yogyakarta.
2. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
295296 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
PENGANTAR
Latar Belakang
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif dan efisien
dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana ini, manusia dapat
mengadakan komunikasi secara timbal balik , dalam bentuk lambang-
jambang bunyi, yaitu bunyi-bunyi ujar berdasarkan kaidah konvensi
masyarakat bahasa tertentu.
Sebagai sebuah sistem, bahasa memiliki norma-norma yang harus
ditaati oleh pemakainya. Norma-norma tersebut berbeda antara bahasa
yang satu dengan yang lain. Bahasa Prancis (BP) yang termasuk dalam
rumpun Indo Eropa misalnya, merupakan bahasa fleksi yang mengenal
perubahan bentuk kata, seperti klasifikasi kata kerja (verba) menurut
bentuk infleksinya atas kala, persona, jenis dan jumlah subjek dalam
kalimat (Crystal, 1992:297), sedangkan bahasa Indonesia (BI) yang
termasuk ke dalam rumpun Austronesia tidak mengenal perubahan
bentuk dalam setiap morfemnya (Keraf, 1990:57).
Dalam sistem fonetisnya, BP mengenal pelafalan yang berbeda
dengan tulisannya, sedangkan pada BI pelafalan dan tulisan cenderung
sama sebagaimana terlihat pada contoh berikut ini.
BP BI
(1) Ils entrent dans la classe - * Mereka memasuki ruang kelas‘
[ilz atR dé@ la klas} - (mareka mamasuki ruan kalas]
Bunyi [s] pada kata / Ils / harus dilafalkan dan berubah menjadi bunyi
[z], karena diikuti oleh kata yang diawali bunyi vokal [4], yaitu [atR].
Bunyi akhir [n] dan [t] pada kata /entrent / tidak dilafalkan, sedangkan
bunyi-bunyi [s]. [s]. [a] pada kata / classe / harus dilafalkan [s] saja.
BP juga memiliki bunyi-bunyi tertentu yang tidak dimiliki oleh BI
seperti; [e], [2] , [y], [@1, [6], f€], [f1, [3] (Loiseau,1980:8-10).
Kenyataan di atas sering menimbulkan permasalahan bagi penutur
Bi apabila mempelajari BP. Mereka sering melakukan interferensi dengan
mencampur kaidah bahasa pertama yang sudah dikuasainya, dengan
kaidah bahasa kedua yang sedang dipelajarinya secara tidak sadar.
Seperti yang terjadi pada penutur berbahasa pertama bahasa Ingegris
(Bing), bila berkomunikasi dengan menggunakan BP, dapat dipastikan
bahwa ucapan dan strukturnya dipengaruhi oleh ucapan dan struktur
bahasa pertamanya. Begitu juga kenyataannya jika penutur BP meng-
makan BIng akan muncul pengaruh bahasa pertamanya, yaitu BP.
bagaimana dikatakan oleh Elice (1985:13), bahwa penutur BP yang
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 297
menggunakan Bing , tuturannya akan beraksen B P.
Perbedaan mencolok kaidah BP dan Bl akan mendorong terjadinya
interferensi BI ke dalam BP. Interferensi tersebut dapat terjadi dalam
bidang fonologi, gramatikal dan leksikon.
Pembahasan akan dibatasi pada permasalahan yang berkenaan
dengan interferensi fonologi dengan dilandasi pemikiran bahwa besarnya
perbedaan kaidah fonologis BI dan BP akan menyebabkan terjadinya
berbagai transfer negatif BI ke dalam BP. Selain itu, aspek fonologi
merupakan salah satu elemen esensi bagi pembelajar untuk dapat
menguasai bahasa tertentu dengan baik. Penguasaan kaidah fonologis
merupakan aspek penguasaan kebahasaan yang menggambarkan
kemampuan mendasar pemakai bahasa.
Pada pembahasan interferensi fonologi berikut ini, dibicarakan
interferensi yang berhubungan dengan seluk-beluk pengucapan bunyi-
bunyi segmental serta perubahannya. Dapat dikatakan bahwa interfe-
rensi fonologi terjadi apabila dalam proses pengucapan kata BP, penutur/
pembelajar menyerap atau mengucapkan bunyi/fonem BI. Salah satu
contoh, bunyi ty] pada kata /une/ ‘sebuah’ dalam BP, dilafalkan [u] oleh
pembelajar; karena dalam Bl tidak mengenal bunyi [y}.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan penuturan lisan BP oleh
pembelajar, dengan pemikiran bahwa penuturan lisan merupakan
kemampuan dasar yang sangat menentukan kemampuan lain dalam
belajar berbahasa asing. Berdasar hal tersebut, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Seberapa jauhkah perbedaan kaidah fonologis BI] dan BP?
b. Fonem BP apa sajakah yang sering mendapat interferensi dari BI?
c. Faktor apa yang menyebabkan timbulnya interferensi fonologi BL
dalam BP?
Tujuan Penelitian
Berpijak pada permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
a. mendeskripsikan perbedaan kaidah fonologis BI dan BP;
b. menentukan fonem-fonem BP yang sering mendapatkan interferensi
dari BI;
c. mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya interferensi fonologi BI
dalam BP.
Landasan Teori
Penelitian suatu bahasa lazimnya dimulai dari tataran lingual yang298 SOSICHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
paling rendah, yaitu tataran bunyi. Hal ini disebabkan karena yang
menjadi objek primer linguistik adalah bahasa lisan (Verhaar, 1989:3).
Tidak semua jenis bunyi yang keluar dari alat ucap manusia dapat
menjadi objek kajian linguistik. Hanya bunyi-bunyi bahasalah yang
menjadi perhatian dalam kajian fonetik fonologi.
Bunyi bahasa sebagai media penyampai pesan ini penting dikaji lebih
dahulu karena dapat menjadi dasar bagi penelitian linguistik pada tataran
morfem, leksikon, dan satuan gramatikal bahkan semantis. Di sinilah
letak pentingnya fonologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang bunyi
bahasa.
Bunyi bahasa dapat dikaji dari dua perspektif yang berbeda, yaitu
secara fonetis dan fonologis. Kedua sudut pandang ini mempunyai
perbedaan yang mendasar. Menurut Verhaar (dalam Marsono, 1999:1)
fonetik adalah ilmu yang menyelidiki bunyi bahasa tanpa melihat bunyi
itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa. Dengan kata lain,
fonetik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut perbedaan di antaranya
tanpa memperhatikan segi “fungsional” dari perbedaan tersebut. Selain
itu, menurut Hyman (1975:2) “phonetics study tells how the sounds of lan-
uage are made and what their acoustic properties are”. Dapat dikatakan
Bahwa fonetik adalah ilmu tentang bunyi bahasa yang meliputi cara bunyi
itu diucapkan dan alat-alat ucap yang digunakan tanpa mempertimbang-
kan segi maknanya.
Adapun fonologi adalah sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau
linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi,
fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi
bunyi sebagai unsur-unsur linguistik (Lass, 1988:1). Hyman (1975:2)
menambahkan bahwa fonologi merupakan studi tentang sistem bunyi
yang meliputi bagaimana bunyi tersebut terstruktur dan berfungsi dalam
suatu bahasa, yaitu bagaimana bunyi-bunyi bahasa ini digunakan untuk
menyampaikan makna.
Adapun tujuan fonologi adalah untuk mempelajari perangkat-
perangkat sistem bunyi yang harus dipahami oleh penutur agar dapat
menggunakan bahasanya untuk tujuan berkomunikasi (Hyman, 1975:1)
Melalui kajian yang berbeda tentang bunyi bahasa, yaitu fonetik dan
fonologi, dapat diperoleh dua satuan bunyi bahasa yang berbeda pula.
Kedua satuan bunyi yang dimaksud adalah fon dan fonem. Satuan
bunyi bahasa dalam fonetik disebut fon. Sedangkan fonem adalah satuan
bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna (Kridalaksana,
1993:55).
Untuk menentukan fonem-fonem suatu bahasa, ada beberapa cara
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 299
yang dapat dipergunakan. Hockett (dalam Hyman, 1975:66) menyatakan
ada enam krteria yang dapat menentukan fonem. Keenam kriteria
tersebut adalah (1) similarity, (2) nonintersection no phonemic overlapping,
(3) contrastive and complementary distribution, (4) completeness, (5) pattern
congruity, dan (6) economy.
Cara yang paling umum dipakai dalam penentuan fonem adalah
dengan pasangan minimal. Menurut Verhaar (1989:36) pasangan mini-
mal adalah seperangkat bunyi yang sama kecuali dalam hal satu bunyi
saja. Yang dipperbandingkan dalam pasangan minimal biasanya berupa
bunyi yang mirip. Misalnya bunyi /d/ dan /t/ yang tergolong bunyi-
bunyi apiko dental mempunyai pasangan minimal /dua/ dan /tua/.
Lebih lanjut Verhaar (1989:37) menyatakan bahwa perbedaan
antara dua fonem menyangkut oposisi di antaranya; jadi masing-masing
kata dalam pasangan minimal dioposisikan secara fonemis. Dalam satu
pasangan minimal oposisi tersebut adalah suatu oposisi langsung (direct
position) atau kontras. Akan tetapi, bisa saja terjadi bahwa dua fonem
yang berbeda tidak pernah terdapat dalam pasangan minimal. Dalam
perbedaan fonemis semacam itu lazim dikatakan bahwa memang ada
suatu oposisi di antaranya, tetapi oposisi tidak langsung (indirect oposition)
atau pasangan yang tidak kontras.
Selain pasangan minimal, penentuan fonem dapat juga dilakukan
dengan near minimal pair atau pasangan minimal yang lingkungannya
mirip. Maksudmya, dalam pasangan minimal tersebut ditemukan lebih
dari satu bunyi yang tidak sama. Hal ini terpaksa dilakukan jika dalam
bahasa tersebut benar-benar tidak ditemukan pasangan minimalnya.
Telah disebutkan di atas, fonem merupakan satuan bunyi yang
distingtif. Selain satuan bunyi yang distingtif tersebut, ada juga satuan
bunyi yang sifatnya redundant ‘melimpah’ (Hyman, 1975:8). Bunyi-bunyi
ini dapat diprediksi kemunculannya dalam lingkungan tertentu dan tidak
membawa ciri-ciri distingtif. Istilah yang dipakai untuk menyebut bunyi-
bunyi seperti ini adalah contextual variants atau alofon. Yang membedakan
fonem dan alofon adalah distribusinya. Fonem mempunyai distribusi yang
paralel, sedangkan alofon mempunyai distribusi yang komplementer.
Selain teori yang berkaitan dengan linguistik, penelitian ini akan
dilaksanakan dengan menggunakan teori-teori yang berhubungan
dengan kontak bahasa, interferensi maupun kesalahan berbahasa, serta
analisis kontranstif.
Penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang akan mengakibat-
kan terjadinya saling pengaruh atau saling kontak antara bahasa-bahasa
tersebut. Peristiwa persentuhan dua bahasa ini terjadi karena adanya300 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
kemungkinan pergantian pemakaian bahasa-bahasa yang dipergunakan
oleh penutur dalam konteks sosialnya (Kridalaksana, 1980:25; Suwito,
1983:39; Rusyana, 1988:4-5).
Secara teoretis, dalam suatu kontak bahasa, seorang dwibahasawan
akan dapat menghindari adanya identifikasi bahasa, yaitu menyamakan
hal-hal tertentu antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Hal ini dapat
dilakukan jika dwibahasawan tersebut telah cukup menguasai bahasa
keduanya. Namun dalam kenyataannya para dwibahasawan juga dapat
melakukan interferensi.
Interferensi adalah proses terjadinya dua sistem bahasa secara
serempak ke dalam suatu unsur bahasa. Hal ini merupakan akibat dari
adanya kontak dua bahasa atau lebih. Dengan kata lain, interferensi
adalah pengalihan bahasa dari bahasa ibu ke dalam bahasa asing lain
yang bersifat mengganggu. Interferensi merupakan penyimpangan dari
suatu kaidah bahasa yang dilakukan oleh dwibahasawan sebagai akibat
dari kurangnya penguasaan dwibahasawan tersebut terhadap salah satu
bahasa yang digunakan (Valdman, 1966:289; Kridalaksana, 1980:27;
Ridjin, 1981:62; dan Rusyana, 1988:6).
Interferensi dapat dibedakan menjadi 4 jenis (Alwasillah, 1985-131;
Suwito 1983:5), yaitu: (a) interferensi tatabahasa yang terjadi karena
dwibahasawan terpengaruh tata bahasa ibu pada saat menggunakan
bahasa kedua; (b) interferensi kosa kata, dimana dwibahasawan
cenderung menggunakan atau memanfaatkan kosa kata bahasa
pertamanya; (c) interferensi pengucapan, yang terjadi ketika dwibahasa-
wan cenderung menggunakan lafal bahasa ibu pada saat mengucapkan
bahasa keduanya; dan (d) interferensi makna, yaitu pada saat memahami
makna bahasa keduanya, dwibahasawan berpikir dalam bahasa ibunya.
Sehingga seringkali makna kalimat yang digunakannya tidak sesuai
dengan makna yang dimaksudkan oleh bahasa tersebut.
Kesalahan berbahasa terjadi karena adanya penyimpangan-
penyimpangan kebahasaan yang sistematis dan penutur tidak menguasai
secara sempurna kaidah-kaidah bahasa yang digunakannya. Kesalahan
juga ditentukan berdasarkan aturan keterimaan, yaitu apakah suatu
ujaran itu diterima atau tidak oleh penutur asli. Hal ini sejalan dengan
pendapat Pateda (1989:32) yang mengatakan bahwa kesalahan
berbahasa itu muncul jika kata atau kalimat yang diutarakan oleh
seseorang, salah menurut penutur aslinya.
Selanjutnya, untuk mengetahui adanya kesalahan terlebih dahulu
diadakan analisis dengan mengidentifikasi kesalahan dan mendeskripsi-
kan bentuk-bentuk kesalahan tersebut. Demikian pula pendapat Tarigan
Sri Ekodoso Noworini, et al,, Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 301
(1988:300) yang mengatakan bahwa analisis kesalahan berbahasa adalah
suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti yang mencakup
pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan dari sampel tersebut,
kemudian mendeskripsikannya berdasarkan sebab-sebab kesalahan.
Analisis kesalahan berbahasa, khususnya pada pembelajar bahasa
asing dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, menginterpretasi
kesalahan dengan dasar teori-teori linguistik (Pateda, 1989:32).
Untuk mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, akan
lebih baik pula jika dilaksanakan suatu analisis kontrastif antara bahasa
yang dipelajari dan bahasa sehari-hari yang digunakan pembelajar,
khususnya dalam komponen-komponen fonologi, morfologi, kosa kata
dan sintaksis (Lado, 1957 dan Fries, 1945, dalam Nababan, 1994).
Dalam analisis kontrastif fonologi antara bahasa sumber dan bahasa
target, fonem-fonem kedua bahasa tersebut dibandingkan untuk melihat
bunyi-bunyi mana yang mudah dikuasai oleh pembelajar bahasa target,
dan mana yang berbeda atau tidak terdapat dalam bahasa sumber.
Fonem-fonem tersebut terbagi dalam fonem-fonem segmental (bunyi vokal
dan konsonan) dan fonem-fonem suprasegmental (yang terdiri dari
tekanan/stresses, nada/pitches,dan jeda/jonctures). Bunyi vokal dan
konsonan dapat lagi dibandingkan menurut komponen fonetik untuk
tujuan pelafalan yang tepat, dan juga distribusi: posisi bunyi fonetik pada
awal (initial), tengah (medial), dan akhir (final) (Nababan, 1994:11).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai interferensi fonologi BI
ke dalam BP, yang berkaitan dengan fonem-fonem segmental, terlebih
dahulu akan disampaikan secara ringkas perbedaan mendasar kaidah
kedua bahasa tersebut.
Dalam BI terdapat 6 fonem vokal, yaitu: /i/, /e/, /o!, fa/, fu/, dan /o/.
Fonem /i/ mempunyai alofon (variasi menurut asal daerah penutur
aslinya, dan menurut distribusi vokalnya) [I], misalnya pada /kirlm/, /
parit/, dsb. Fonem /e/ mempunyai 2 alofon, yaitu /e/ dan /aY. Fonem /
e/ dilafalkan [e] jika terdapat pada suku kata buka, seperti pada /seron,
/sore/, /besok/; dan jika suku kata itu tidak diikuti oleh suku kata yang
mengandung alofon [e]. Jika suku kata yang mengikutinya ee
[e], maka /e/ pada suku kata buka itu juga menjadi [e], contoh: nenek
{nenek], bebek [bebek], tokek [tokek]. Dalam lafal penutur asli yang
berlatar belakang bahasa-bahasa daerah, banyak variasi pada alofon-
alofon: [e], [e], dan [a] yang tidak selalu ada dalam bahasa-bahasa daerah
tertentu. Fonem /u/ mempunyai dua alofon, yaitu [u] pada kata [upah],
[tukan], [bantu]; dan [U] pada kata [warUn], [simpUI], Tkerudin},
Sementara dalamBP tidak dijumpai adanya alofon.302 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
Dalam bl terdapat 3 buah diftong, yakni [ai], [au], dan [oi], yan,
masing-masing dapat dituliskan secara fonemis /ay/, /aw/ dan /oy/,
contoh kata cukai /cukay/, ramai_ /ramay/; harimau /harimaw/, kalau
/kalaw/; amboi /amboy/, asoi /asoy/. Sedangkan fonem konsonan
dalam bl ada 22 buah, yaitu: p, b, t, d, c, j,k, g, f,s, z, 8, x,h, m,n, ii, Nr,
1, w, dan y (Moeliono,1988:48-51 dalam Nababan, 1994:14-19).
Sementara itu bP mempunyai 12 buah_ bunyi vokal oral, yaitu [a],
fel fe}, [4], {ce}, 9}, fy}, 11], [9] ,[0], {u}, (4, { 5],[€], dan 17 buah Konsonan,
ie {b}, Uk], tks}, (AL Ie), (gz), [4], [3] 0) Em), fn), fp), (RD Es), (t), [v),
z].
Perbedaan kaidah kedua bahasa tersebut cenderung menimbulkan
interferensi bagi pembelajar. Menurut Weinreich (1970:18) ada 4 macam
interferensi fonemis, yaitu: (1) Under differentiation of phonemes, yang
terjadi jika dalam bahasa kedua terdapat 2 bunyi yang dibedakan ttp
dalam bahasa pertama kedua bunyi tersebut tidak dibedakan “occurs
when two sounds of the secondary system whose counter parts are not distin-
Suished in the primary system are confused”. Contoh: kata sit /I/ dan seat
/i/ akan diucapkan /i/ oleh penutur Prancis, karena dalam BP hanya
ada /i/ saja. (2) “involves the imposition of phonemic distinctions from the
primary system on the sounds of the secondary system, where they are not
required”. Terjadi apabila sistem bahasa pertama yang berupa pembedaan
bunyi diterapkan pada bahasa kedua, meskipun hal itu tidak diperlukan.
Misalnya: penutur Romantsch (bahasa Roman) menerapkan
pemanjangan vokal pada kata /lada/ ‘luas’, dalam bahasa
Schwyzertutsch (Jerman Swiss) menjadi / lada / padahal ini tidak perlu.
(3) “occurs when the bilingual distinguishes phonemes of the secondary
system by fetures which are relevant in his primaty sistem”. Terjadi apabila
penutur membedakan fonem pada bahasa kedua berdasarkan sifat-sifat
yang ada pada bahasa Ipertama. Misalnya: kata patty dalam bahasa
Inggris diucapkan /patti/ dengan konsonan ganda karena sesuai dengan
sistem bahasa Itali. (4) “applies to phonemes that are identically difined in
two languages but whose normal pronounciation differs” Terjadi pada fonem-
fonem yang terdapat pada dua bahasa yang pengucapannya secara nor-
mal berbeda. Misalnya penutur Norwegia mengganti fonem [z] dalam
bahasa Inggris menjadi /s/ karena tidak ada /z/ dalam bahasa
Norwegia.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari hasil rekaman
penuturan lisan beberapa mahasiswa program studi bahasa Prancis sem.
IV yang telah mengikuti mata kuliah expression orale’ pengungkapan lisan’
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 303
dan dialogue ‘percakapan’. Penentuan informan seperti ini didasarkan
atas asumsi bahwa para mahasiswa tersebut telah memiliki ketrampilan_
berbahasa dan telah menggunakan bahasa tersebut selama paling sedikit
satu tahun. Secara relatif mereka dianggap telah dapat menggunakan
BP dalam kegiatan komunikasi sederhana.
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode simak.
Penulis mengambil data yang berupa kata BP yang mengandung bunyi-
bunyi vokal, semi vokal, dan konsonan yang berposisi diawal, tengah,
maupun akhir suatu kata, yang mengandung baik suku kata terbuka
maupun suku kata tertutup. Sedangkan data yeng berupa kalimat
mencakup kalimat deklaratif, interogatif dan imperatif. Data-data tersebut
direkam dalam sebuah pita kaset dengan bantuan penutur asli BP,
kemudian hasilnya diperdengarkan pada para pembahan. Satu-persatu
para pembahan ‘diminta untuk mendengarkan, menangkap dan
menirukan semua data sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sementara itu penulis berusaha menyimak dan merekam apa yang
diucapkan para pembahan.
Setelah perolehan data, dilakukan analisis sesuai dengan permasa-
lahan dan tujuan penelitian dengan menggunakan analisis kontrastif dan
deskriptif komparatif. Analisis kontrastif dalam. penelitian ini dilakukan
dengan cara membandingkan fonem-fonem BI dan BP, baik fonem vokal
maupun konsonan, kemudian dicari perbedaannya serta hal-hal yang
menyulitkan/menimbulkan kesalahan pengucapan pada pembelajar
dengan para meter ucapan penutur asli (Native speaker) BP yang telah
direkam.
Istilah deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
mengidentifikasi bunyi-bunyi yang menimbulkan kesalahan tersebut
untuk lebih lanjut ditentukan jenis-jenis kesalahan/inteferensi
pengucapannya, baik pada bunyi, kluster maupun penggabungan suku
kata. Jenis-jenis kesalahan tersebut dispesifikasikan dengan cara
membandingkan dengan ucapan aslinya maupun dengan kaidah-kaidah
fonologis bahasa yang berkontak, dalam hal ini BP dan BI.
Analisis penyebab terjadinya interferensi akan dilakukan dengan
analisis sosiolinguistis, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk
kesalahan akibat adanya interferensi berdasar pada kelaziman pengucap-
an dalam masyarakat pemakainya. Dari kenyataan tersebut akan dapat
diidentifikasi layak tidaknya pengucapan tersebut, dan selanjutnya
kenyataan ini akan dipakai sebagai dasar penentuan kesalahan dan
penyebabnya.304 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
HASIL DAN PEMBAHASAN
Padanan Kaidah Fonologi BI dan BP
Melalui bunyi vokalnya, terlihat adanya persamaan antara BP
dan BI, yaitu bahwa keduanya mempunyai bunyi-bunyi: [i ], [e ], [e], [
a], [24, [0], [0 ], dan [u). Beberapa bunyi yang sama ini akan membantu
para penutur BI dalam mempelajari BP, khususnya dalam pengungka
secara lisan. Beberapa perbedaan bunyi vokal BI dan BP terletak pada
beberapa bunyi tertentu dalam BP yang tidak dimiliki oleh BI, seperti
bunyi-bunyi:
ly] misalnya pada kata _fumer [fyme] ‘merokok’
[a], misalnya pada kata ‘pas [pa] ‘Iangkah’
[ Q], misalnya pada kata deux [d@] ‘dua’
[ce], misalnya pada kata fleur [floeR] ‘bunga’
[é], misalnya pada kata ‘vin [vé]_ ‘anggur’
[é], misalnya pada kata lundi [Idi] ‘senin’
[5], misainya pada kata onze [Sz] ‘sebelas’
[4]. misalnya pada kata entrer [atRe] ‘masuk’
Bunyi-bunyi vokal ini sebaiknya mendapat banyak perhatian dari
penutur BI yang sedang belajar BP, tanpa mengesampingkan bunyi-bunyi
yang lainnya.
Ada beberapa bunyi tertentu di antara bunyi BP tersebut yang
sebenarnya hampir mirip dengan bunyi BI, misalnya bunyi [a] mirip
dengan bunyi [a] BI. Bagi penutur BP kedua bunyi [a] dan [a] tersebut
jelas sekali perbedaannya, yaitu bahwa bunyi [a] merupakan bunyi vokal
belakang (postérieur) dan [a] merupakan bunyi vokal depan (aniérieur).
Dalam BI perbedaan seperti itu tidak ada.
Bunyi-bunyi yang lain adalah bunyi [cz] dan [9]. Kedua bunyi tersebut
hampir mirip dengan bunyi dalam BI [2], yang tidak pernah
berdistribusi pada posisi akhir suatu kata. Sebaliknya dalam BP bunyi
[2] tidak pernah berdistribusi pada posisi awal suatu kata.
Bunyi-bunyi vokal BP yang sama sekali tidak dimiliki oleh BI adalah
bunyi [y] dan beberapa bunyi vokal nasal: [6], [é], [5], [4]. Bunyi-bunyi
ini sebaiknya mendapat perhatian, baik oleh para pengajar , maupun
pembelajar BP.
BI dan BP memiliki bunyi [iJ, tetapi bunyi [i] dalam BI agak berbeda
dengan bunyi [i] dalam BP. Dalam sistem fonetik BI, bunyi [i] akan
berubah menjadi bunyi [I] jika berada pada posisi tengah dan terdapat
pada suku kata tertutup, contoh: kata kerikil diucapkan [kariklIl] ‘batu
kecil’. Dalam BP bunyi [i] tersebut tidak pernah berubah pada posisi
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 305
manapun, baik pada suku kata terbuka maupun pada suku kata tertutup.
Demikian pula halnya dengan bunyi [u], akan berubah menjadi
bunyi [U] jika berada pada posisi tengah dan pada suku kata tertutup,
seperti pada contoh berikut: kata ukur diucapkn [ukUr] . Memperhatikan
perubahan bunyi [i] dan (u] dalam BI tersebut, dapat dikatakan bahwa
bunyi [i] dan [uj dalam BI mempunyai alofon, sedang dalam BP tidak.
Dalam BP bunyi tersebut tidak pernah berubah pada posisi mana pun.
Bunyi [€] dalam BI tidak pernah berdistribusi pada akhir suatu kata,
tetapi dalam BP dapat berdistribusi pada semua posisi, baik di awal,
tengah, maupun akhir suatu kata. Sebaliknya pula bunyi [9] dalam BI
dapat berdistribusi pada semua posisi, sedang dalam BP hanya dapat
berdistribusi pada awal dan tengah suatu kata.
Pada bunyi konsonan, secara fonetis BP dan BI mempunyai
maan, yaitu keduanya memiliki bunyi - bunyi [pl], [b], [ml], [4]. [t],
4}, (nf), (1), [s), (2), fe], fx), [ge], dan [A].
Adapun perbedaannya yaitu , BI tidak memiliki bunyi-bunyi
konsonan [f] seperti pada kata chercher [JeRJe ] ‘mencari’ dan [3] i
pada kata jaune [3on] ‘kuning’. Bunyi-bunyi ini cukup membuat kesulitan
bagi penutur BI dalam megucapkan kata-kata BP dengan benar, khusus-
nya yang mengandung kedua bunyi tersebut.
Perbedaan lain dapat dilihat melalui adanya bermacam-macam
pengucapan bunyi [r] dalam BP. Bunyi [r] dapat merupakan bunyi
frikatif (geseran) uvular tanpa getaran (dévibré), bunyi frikatif uvular
dengan getaran (grasseyé) [R], dan dapat juga berupa bunyi frikatif apiko-
alveolar dengan getaran [r]. .
Bunyi-bunyi konsonan lain yang cukup menambah kesulitan bagi
penutur BI adalah bunyi [b], [dJ, dan [g]. Dalam BP ketiga bunyi tersebut
dapat berdistribusi di awal, di tengah, dan di akhir suatu kata, sedangkan
di dalam BI bunyi [g] tidak pernah berdistribusi di akhir suatu kata. Dalam
BI, apabila bunyi [b] berada pada posisi akhir, maka bunyi tersebut akan
berubah menjadi bunyi [ p J. Demikian pula, bunyi [ d ] akan berubah
menjadi bunyi [ t ], dan bunyi [ g.] akan-berubah menjadi bunyi [k].
Perbedaan lain yang ditemukan adalah bahwa pada umumnya BI
tidak membedakan antara bunyi [f] dan [v], tetapi dalam BP kedua bunyi
tersebut dapat dibedakan dengan jelas, baik itu berposisi di awal, tengah,
maupun akhir suatu kata. Demikian juga, bunyi [s], dan [z], dalam sistem
fonetik BI bunyi [z] tidak berdistribusi di akhir suatu kata, tetapi
dalam BP bunyi [z] dapat berdistribusi di awal, tengah, dan akhir.
Perbedaan itulah yang membuat penutur BI selalu menemui306 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
kesulitan dalam belajar mengucapkan bunyi-bunyi BP dengan benar.
BI memiliki dua buah bunyi semi vokal , yaitu bunyi [w] dan bunyi
{j], sedangkan BP memiliki tiga buah bunyi semi vokal, yaitu: [w], [j], [q].
Secara fonetis BI dan BP mempunyai persamaan bunyi semi vokal, yaitu
bunyi [w], dan [j]. Walaupun kedua bunyi tersebut sama, namun dalam
pemakaiannya ada sedikit perbedaan. Perbedaan tersebut adalah bahwa
bunyi [j] dalam BP dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir pada
suatu kata, sedangkan dalam BI hanya dapat berdistribusi di awal dan
di tengah suatu kata. Di samping itu, BI tidak memiliki bunyi semi vokal
(u).
Persamaan dan perbedaan bunyi semi vokal BJ dengan BP tersebut
hendaknya dapat disadari dan dipelajari (dengan memperbanyak latihan)
sehingga tidak banyak timbul kesalahan dalam pengucapannya.
Perbedaan lain terlihat sebagai berikut.
1. Bahasa Indonesia mempunyai 10 bunyi vokal (termasuk didalamnya
alofon [I] dan [U]), sedangkan bahasa Prancis mempunyai 12 bunyi
vokal oral serta 4 bunyi vokal nasal. Bahasa Prancis tidak mengenal
alofon.
2. Bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan, sedang bahasa
Prancis mempunyai 33 bunyi konsonan.
3. Bahasa Indonesia mempunyai 3 diftong naik [ai], [oi], dan [au], sedang
bahasa Prancis tidak mengenal diftong, tetapi mempunyai 3 bunyi
semi vokal [w], [j], [u]-
Interferensi Fonologi BI dalam BP
Interferensi Bunyi Vokal 7
Pada tataran kata, data yang diambil berupa kata-kata yang mengan-
dung baik suku kata terbuka, yaitu yang diakhiri dengan bunyi vokal,
maupun suku kata tertutup, yaitu yang diakhiri dengan bunyi konsonan.
Melalui hasil rekaman terlihat bahwa bunyi bunyi vokal oral depan,
tertutup, bulat [y] yang tidak dimiliki olen BI, mempunyai beberapa
kecenderungan, misalnya: jika [y] tersebut didahului dengan bunyi
konsonan hambat letup, bilabial, bersuara [b], dan diikuti oleh bunyi
konsonan geseran (frikatif, uvular/grasseyé), bersuara [R] , maka bunyi
[y] tersebut cenderung diucapkan sebagai bunyi vokal oral depan,
tertutup , tak bulat [i]. Contoh:
(1) kata bureau yang seharusnya diucapkan [byRo] ‘kantor’,
diucapkan [DIRO}
Apabila bunyi [y] berada pada posisi lain, selain yang tersebut di atas,
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 307
maka bunyi tersebut cenderung diucapkan sebagai bunyi vokal belakang,
tertutup, bulat [u]. Contoh:
(2) kata fume yang seharusnya diucapkan [fym] ‘merokok’,
diucapkan {fum]
(3) kata une yang seharusnya diucapkan [yn] ‘sebuah’ diucapkan
{un].
Para. pembahan juga tidak mampu mengenali ciri-ciri bunyi vokal oral,
depan, setengah tertutup, bulat [0]. Hal ini dapat dilihat pada contoh
berikut ini.
(4) kata bleu yang seharusnya diucapkan [blQ] ‘biru’, diucapkan
[bl@] bahkan kadang-kadang diucapkan [blo].
Demikian pula dalam mengidentifikasikan bunyi vokal oral belakang,
terbuka tak bulat [a], para pembahan selalu mengidentifikasikannya
sebagai bunyi vokal oral depan, terbuka, tak bulat [a]. Hal ini dapat dilihat
pada contoh berikut ini.
(5) kata bras yang seharusnya diucapkan [bRa] ‘lengan’ cenderung
diucapkan [bra].
Pada bunyi vokal nasal, para pembahan tidak mampu mengenali ciri-
ciri fonetis bunyi vokal nasal depan, setengah terbuka, bulat [J; sebagian
besar bunyi tersebut diidentifikasikan sebagai bunyi [€] yang tidak dikenal
dalam BP, dan kadang-kadang bahkan diidentifikasikan sebagai bunyi
vokal nasal belakang, terbuka, tak bulat [@. Contoh:
(6) kata lundi yang seharusnya diucapkan [Idi] ‘senin’, cenderung
diucapkan {\édi] , bahkan kadang-kadang diucapkan [lddi].
Bunyi vokal nasal belakang, terbuka, tak bulat [@] cenderung diucapkan
sebagai bunyi nasal vokal belakang, setengah terbuka, bulat [5] karena
bunyi tersebut sulit dibedakan jika sudah berada pada suatu rangkaian
dengan bunyi yang lain. Contoh:
(7) kata comment yang seharusnya diucapkan [komd] ‘bagaimana’,
cenderung diucapkan [komo].
Pengidentifikasian bunyi nasal [@] yang cenderung diucapkan
sebagai bunyi [4], lebih sering terjadi apabila bunyi [4] tersebut diawali
dengan bunyi konsonan sampingan (lateral), alveolar, tak bersuara [1]
dan diikuti oleh bunyi konsonan hambat letup, dental, tak bersuara [t].
Sebagai contohnya:
(8) kata lente yang seharusnya diucapkan [lat] ‘lamban’, cenderung
diucapkan [lot];308 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
(9) kata lanterne yang seharusnya diucapkan [léteRn] ‘lentera’,
cenderung diucapkan [loteRn].
Bunyi vokal nasal lain, seperti bunyi vokal depan setengah terbuka,
bulat [€] cenderung diucapkan sebagai bunyi vokal oral, depan, setengah
terbuka, tak bulat [e] diikuti bunyi konsonan nasal [m] atau [n], sesuai
grafem pada kata tersebut. Hal ini lebih sering terjadi apabila bunyi na-
sal tersebut diawali oleh bunyi geseran, dental, tak bersuara [s] dan diikuti
bunyi konsonan nasal hambat, letup, bilabial, bersuara [m] atau konsonan
hambat, Jetup, dental, bersuara [n] pada grafemnya. Contoh:
(10)kata sympathique yang seharusnya diucapkan [s€patik], cen-
derung diucapkan [sempatik],
(11)kata syndicat yang seharusnya diucapkan [s&dika], cenderung
diucapkan [sendika].
Demikian pula pada bunyi vokal nasal [5], juga ditemui adanya
kecenderungan mengucapkannya sebagai bunyi [om] bahkan bunyi [on].
Contoh:
(12)kata pompier yang seharusnya diucapkan [p3pje] ‘pemadam
kebakaran’, cenderung diucapkan [pompie]; :
(13)kata monde yang seharusnya diucapkan [mdd], cenderung
diucapkan [mond].
Hal ini cenderung terjadi karena pembahan kurang menguasai
kaidah fonologi BP yang berhubungan dengan ejaan.
Pada tataran kalimat, terlihat pula bahwa pembahan cenderung meng-
ucapkan bunyi yang sama yaitu [a] untuk bunyi-bunyi [a] dan [a] yang
berbeda dalam BP. Hal ini terjadi karena kedua bunyi tersebut tidak
dibedakan dalam BI. Demikian pula bunyi [ce] diidentifikasikan sebagai
bunyi [2]. Hal ini membuktikan bahwa para pembahan tidak mampu
mengenali ciri-ciri fonetis bunyi [a] dan [ce].
Bunyi {e] cenderung diucapkan sebagai bunyi [e], terutama jika bunyi
tersebut didahului oleh bunyi konsonan frikatif, labio dental, bersuara
[v], misalnya:
(14)kalimat je vais yang seharusnya diucapkan [3ave] ‘saya pergi’
cenderung diucapkan [3eve].
Di samping itu, bunyi[e] yang terdapat pada konjugasi kata kerja
kopula Zire, khususnya untuk subjek orang kedua tunggal tu [ty] ‘kamu’
dalam tu es [tye] dan untuk subjek orang ketiga tunggal il [il] dan elle [el]
dalam il est [ile] dan elle est [ele], cenderung diucapkan sebagai bunyi [e]
sehingga menjadi [ile] dan [ele].
Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 309
Bunyi vokal [y] adalah bunyi vokal yang paling sulit diidentifikasikan
dengan benar. Para pembahan tidak mampu mengenali semua ciri-ciri
fonetis dari bunyi bunyi [y] tersebut, mereka cenderung mengucapkan
bunyi tersebut dengan {ul Ada beberapa bunyi [y] yang mempunyai
kecenderungan untuk diucapkan sebagai bunyi iD jika bunyi tersebut
berada di antara bunyi konsonan hambat letup, bilabial, bersuara [b]
dan bunyi konsonan frikatif, uvular, bersuara [R], contoh kata bureaucratie
ang seharusnya diucapkan [byRokRasi] ‘birokrasi’ cenderung diucapkan
biRokRasi).
Pada suku kata tertutup, bunyi vokal [y] cenderung diucapkan [u]
pila didahului oleh bunyi konsonan hambat letup, dental, tak bersuara
[d] atau bunyi konsonan sampingan (lateral), alveolar, tak bersuara [1],
dan diikuti oleh bunyi konsonan nasal, hambat letup, dental, bersuara
[n]. Contoh:
(15)kata dune yang seharusnya diucapkan [dyn] ‘bukit pasir’
cenderung diucapkan [dun],
(16)kata lune yang seharusnya diucapkan [lyn] ‘bulan’, cenderung
diucapkan [lun].
Demikian pula apabila berada di antara bunyi konsonan geseran
(frikatif), dental, tak bersuara [z] dan bunyi konsonan geseran (frikatif),
uvular, bersuara [R]
Interferensi bunyi konsonan
Bunyi konsonan dalam pembahasan ini dikelompokkan menjadi 2
aitu:
t kelompok konsonan oklusif, yang terdiri atas bunyi konsonan
bersuara dan tak bersuara, baik yang berposisi di awal, di tengah, di
akhir suatu kata. Konsonan okKlusif tersebut adalah: [p], [b], [t],
{d], [, (g], [ml, [n], dan [fi]; -
2. bunyi konsonanan frikatif, yang terdiri atas bunyi konsonan bersuara
dan tak bersuara, baik yang berposisi di awal, di tengah, mupun di
akhir suatu kata. Bunyi bunyi berikut termasuk konsonan frikatif:
(4, (v1 [s], [2], (1, (3), [1], dan [R).
Pertama-tama pengelompokan itu difokuskan pada tataran kata
kemudian pada tataran kalimat.
Pada tataran kata, pengidentifikasian bunyi konsonan letup rata-
rata menunjukkan hasil yang baik. Hampir semua bunyi konsonan letup
dapat diucapkan dengan benar. Hanya saja, pada saat mengucapkan
bunyi [g] pada posisi akhir, cenderung diucapkan sebgai bunyi [k]. Hal310 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
ini wajar, karena dalam BI tidak pernah ditemukan bunyi [g] pada posisi
akhir. Demikian pula, bunyi [b] dan [d] pada posisi akhir cenderung
diucapkan sebagai bunyi [p] dan [t]. Hasil ini menunjukkan bahwa ciri-
ciri fonetis bunyi konsonan letup dapat dengan mudah dikenali oleh para
pembahan, kecuali bunyi-bunyi [b], [d], dan [g] tersebut.
Melalui hasil rekaman, terlihat bahwa penutur BI sulit mengidenti-
fikasi bunyi [f] dan [v]. Dalam hal ini bunyi [v] cenderung diucapkan
sebagai bunyi [f], terutama jika bunyi tersebut berada pada posisi akhir
suatu kata. Kecenderungan semacam inidisebut sebagai peristiwa
desonorisasi, yaitu berubahnya bunyi bersuara menjadi tak bersuara.
Bunyi [z] juga.cenderung diucapkan sebagai bunyi [s], terutama jika
bunyi tersebut berada pada posisi akhir suatu kata. Bunyi [R] pada posisi
akhir cenderung hilang atau tak teridentifikasikan, apabila bunyi tersebut
didahului oleh bunyi konsonan lain, terutama bunyi konsonan hambat
letup, dental, tak bersuara.
Bunyi [b] pada posisi akhir cenderung diucapkan sebagai bunyi [p],
demikian pula bunyi [d] cenderung diucapkan sebagai bunyi [t], dan
bunyi [g] cenderung diucapkan sebagai bunyi [k]. Hatin terjadi karena
adanya pengaruh dari BI.’ Adapun bunyi-bunyi konsonan letup yang
lain pada umumya dapat diidentifikasi dengan benar.
Pengidentifikasian bunyi konsonan frikatif [v] cenderung diucapkan
sebagai bunyi [f], terutama jika bunyi tersebut diikuti oleh bunyi vokal
depan, setengah terbuka, tak bulat. Hal ini terjadi , karena dalam
Ppengucapannya terjadi peristiwa desonorisasi, yaitu berubahnya bunyi
bersuara menjadi tak: bersuara.
Bunyi konsonan [z] juga merupakan bunyi konsonan BP yang tidak
mudah diidentifikasikan oleh penutur BI. Hal ini terbukti dengan
seringnya timbul kecend mengucapkan bunyi [z] sebagai bunyi
[s]. Apabila bunyi [z] berada pada posisi tengah, terutama jika bunyi
tersebut merupakan bunyi gabung ucap atau liaison, cenderung hilang
atau tidak teridentifikasikan.
Bunyi konsonan frikatif [{] yang tidak dimiliki oleh BI, juga cenderung
diucapkan sebagai bunyi [s], terutama jika bunyi tersebut berada pada
posisi akhir suatu kata. Demikian pula, pengidentifikasian bunyi [3] yang
berada pada posisi akhir cenderung diucapkan sebagai bunyi [s].
Sedangkan bunyi [3] pada posisi awal cenderung. diucapkan sebagai
bunyi BI [j] atau bahkan [y], yang tidak dikenal dalam BP.
Sri Ekodoso Noworini, et al,, Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia ... 311
Interferensi Bunyi Semi Vokal
Pengidentifikasian bunyi semi vokal ini juga dikelompokkan menjadi
dua, yaitu: bunyi semi vokal yang terdapat pada tataran kata dan bunyi
semi vokal yang terdapat pada tataran kalimat:
Pengidentifikasian bunyi semi vokal pada tataran kata rata-rata
menunjukkan hasil yang baik. Pada waktu mengidentifikasikan bunyi
[j], khususnya yang terdapat pada posisi akhir suatu kata, cenderung
hilang atau tak teridentifikasikan. Bunyi [y] baik pada awal maupun
tengah, cenderung diucapkan sebagai bunyi [u]. Bunyi semi vokal [w]
dapat diidentifikasikan dengan baik. \
Pada tataran kalimat, bunyi [j], terutama pada posisi akhir,
cenderung hilang atau tak teridentifikasikan. Bunyi [y] pada tataran
kalimat juga cenderung diucapkan sebagai bunyi [u], sedangkan bunyi
semi vokal [w] sebagian besar dapat diidentifikasikan dengan benar.
KESIMPULAN
Melalui hasil penelitian dan pembahasan, yarig dipaparkan dalam
bab-bab sebelumnya, tujuan kajian interferensi fonologi bahasa Indone-
sia ke dalam bahasa Prancis yang terpapar pada bab I telah terjawab,
sehingga hipotesis yang tertuang di dalamnya pun dapat diakui
kebenarannya. Jawaban itu menyangkut perbedaan kaidah fonologis
bahasa Indonesia dan bahasa Prancis, jenis-jenis fonem BP yang sering
mendapatkan interferensi dari bahasa Indonesia, serta penyebab
terjadinya interferensi fonologi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Prancis.
Mengenai kaidah fonologis bahasa Indonesia dan bahasa Prancis,
telah ditemukan beberapa macam perbedaan mendasar yang
memungkinkan timbulnya interferensi fonologi bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Prancis. Perbedaan tersebut cenderung terdapat pada
sistem bunyinya, baik vokal maupun konsonan; sistem pemenggalan suku
katanya, serta ejaannya. Terdapatnya beberapa bunyi BP yang tidak
dijumpai dalam BI cenderung menyulitkan pembelajar dalam
pengucapan bunyi BP. Hal itu menyebabkan munculnya beberapa bunyi
BI ke dalam ucapan bunyi BP. Berdasarkan analisis di atas, dapat
disimpulkan adanya tiga kelompok bunyi, yaitu:
(1) Bunyi yang dapat dikenali semua atau hampir semua ciri fonetisnya,
adalah sebagai berikut.
a. Bunyi [9] pada suku kata buka, bunyi [e] pada suku kata tertutup,
bunyi [9] pada suku kata tertutup tataran kalimat, bunyi [i] pada
suku kata terbuka, bunyi [2] pada suku kata terbuka tataran
kata, bunyi [e] pada suku kata tertutup, dan [0] pada suku kata312 SOSIOHUMANIKA, 16B(2), MEI 2003
terbuka.
b. Bunyi [t], [k], Im], fn, (4, [3], [s], pada tataran kata dan bunyi-
bunyi [n], [m], [t], [I], pada tataran kalimat.
¢. Bunyi semi vokal [w] dan [j] pada tataran kata.
(2) Bunyi yang hanya dapat dikenali sebagian ciri-ciri fonetisnya, antara
lain sebagai berikut.
a. Bunyi [€], bunyi [y], bunyi [&], pada suku kata terbuka, bunyi
[9] dan bunyi [€] pada suku kata tertutup; bunyi [e] pada suku
kata terbuka dan [4] pada suku kata tertutup pada tataran
kalimat.
b. Bunyi-bunyi [p], [b], [d], [v] dan [z] pada tataran kata; dan bunyi-
bunyi [t], [v], [S], dan [Z] pada tataran kalimat
c. Bunyi-bunyi [j] dan [y] pada tataran kata serta bunyi [j] pada
tataran kalimat.
(3) Bunyi yang tidak dikenali semua atau hampir semua ciri-ciri
fonetisnya seperti berikut.
a. Bunyi [6] pada suku kata terbuka, bunyi [4] pada suku kata tertutup,
bunyi [y] pada suku kata tertutup dan suku kata terbuka tataran
kalimat.
b. Bunyi [g] pada tataran kata, serta bunyi-bunyi [b], [g], [d], [v],
{z], [3], pada tataran kalimat.
c. Bunyi [q} pada tataran kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhayi. 1989. Interferensi Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Bahasa.
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa (ed. 1). Bandung: Angkasa.
Carton, F. 1974. Introduction ala Phonétique du Francais. Paris: Bordas.
Chaer, Abdul. 1995. Sosio Linguistik: Perkenalan awal. Jakarta: PT. Rineka.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (3 ed,), Cambridge:
Basil Blackwell.
Dubois, Jean, etal. 1973. Dictionaire de Linguistique. Paris: Larousse.
Duchet, Jean-Louis. 1986. La Phonology. Paris: Presses Universitaires de France.
Blice Rod. 1985. Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford Uni-
versity Press.
Hockett, Charles F.1959. A Course in Modern Linguistics. New York: The Macmillan
‘Company.
Hyman, Larry M. 1975. Phonology: Theory and Analysis. New York : Holt, Rinehart
and Winston.
‘Sri Ekodoso Noworini, et al., Interferensi Fonologi Bahasa Indonesia... 313
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT.Gramedia.
Lass, Roger. 1984. Phonology: An Introduction To Basic Concepts. Cambrige: Univer-
sity Press.
Léon, Pierre R. dan Monique Léon. 1964. Introduction ala Phonétique Corrective. Paris:
Hachette/ Larousse.
___. 1966. Prononciation du Francais Standard, Paris: Marcel Didier.
Loiseau, Raymond. 1980. Orthographe Francaise. Paris: Hachette.
Marsono. 1998. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Martinet, Andre. 1970, Elément de Linguistique Générale. Paris: Armand Colin.
Moeliono, Anton M. 1988. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Monnerie, Anne. 1987. Le Francais au Présent. Paris: Alliance Francaise, Didier/Hatier.
Mounin, Georges. 1987. La Linguistique. Paris: Edition Seghers.
Nababan, P.W.J. 1988. Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Gramedia.
dan Sri Utari. S. 1994. Analisis Kontrastif Dan Kesalahan: Suatu Kajian dari
Sudut Pandang Guru Bahasa. Jakarta: PPS, PPB IKIP.
Nod, Marie. 1985, De la Grammaire A la Linguistique: L' étude De la Phrase. Paris:
Armand Colin Editeur.
Nurgiantoro, Burhan, 1984. Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Pengajaran Bahasa.
Yogyakarta: jurnal Kependidikan No.1 Vol. 14.
Pateda, Mansur. 1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah
Poedjosoedarmo, Supomo.1976. Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa
Jawa, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Richards, Jack. C, 1977. Error Analysis. London: Longman Group Limited.
Rindjin, Ketut.1981. Interferensi Gramatikal Bahasa Bali dalam pemakaian Bahasa Indo-
nesia Murid SD di Bali. Jakarta :Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud.
Sudarmaningtyas, A.E.R. 1995. Interferensi Pemakaian Bahasa Madura dalam Bahasa
Indonesia oleh masyarakat Suku Madura di Kab. Jember. Yogyakarta: tesis.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Dutawacana
Press
Suwito, 1983. Pengantar awal linguistik, (ed2). Solo: Herari Ofset.
Tarigan, Henry Guntur, 1988. Pengajaran Analisis Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tobing Roswita, L. 2000. Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa Prancis:
studi Kasus Mahasiswa Prodi Bahasa Prancis UNY. Yogyakarta: tesis.
Vaidman, Albert. 1966. Trends in Language Teaching. New York: Mc. Grawill.
Verhaar, J.W.M. 19965. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-
versity Press.
Weinreich, Uriel. 1970. Language in Contact: Findings and Problems. The Hague:
Mouton,