Anda di halaman 1dari 12

1.

Sejarah Kemunculan Aliran Khawarij

Secara etimologis kata khawri’j berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul,
timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi khawarij berarti setiap muslim yang ingin
keluar dari kesatuan umat islam. Kelompok ini bisa disebut khawarij atau kharijiyah.

Sedangkan yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran
pengikut Ali bin Abi Thalib RA yang keluar meninggalkan barisan karena ketida ksepakatan terhadap
keputusan Ali bin Abi Thalib RA yang menerima arbitrase (tahkim, dalam perang Siffin pada tahun 37 H/
648 M, dengan kelompok bughat(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sofyan perihal persengketaan
khilafah.[ ]

Adanya nama Khawari’j didasarkan pada surat An-Nisa ayat 100: [ ]

* `tBur öÅ_$pkç‰ ’Îû È@‹Î6y™ «!$# ô ÇÊÉÉÈ

Artinya:

“Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.”

(QS. An-Nisa:100)

Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali bin Abi Thalib RA dan pasukannya berada di pihak
yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara
Mu’awiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan
estimasi Khawri’j pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali
menerima tipu daya licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hamper diraih itu menjadi raib. [ ]

Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah sehingga ia
bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli
qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid Asytar (komandan pasukannya)
untuk menghentikan peperangan. [ ]

Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru
damai (hakam) nya, tetapi orang-orang Khawari’j menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin
Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa
Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni
Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Mu’awiyah menjadi
khalifah pengganti Ali. Mereka membelot dengan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum pada
manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah. “Imam Ali menjawab, “Itu adalah
ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru. “Pada saat itu juga orang-orang khawari’j
keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Itulah sebabnya Khawari’j disebut juga dengan
nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah. Di Harura, kelompok
Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga kepada Ali.[ ] Abdullah bin Wahb ar-
Rasibi sebagai pemimpin mereka

2. Doktrin-doktrin Aliran Khawarij

Khawarij memimiliki doktrin-doktrin pokok, yaitu:

a. Pandangan politik

1) Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam

2) Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.

3) halifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.

4) Khalifah sebelum Ali (Abu Bkar, Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah tahun ketujuh
dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah meyeleweng.

5) Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.

6) Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah
menjadi kafir.

7) Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir

b. Doktrin Teologi dan Sosial

1) Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Mereka juga
menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain
yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula

2) Adanya Wa’ad dan Wa’id (orang yang baik harus masuk surge, sedangkan orang yang jelek
harus masuk neraka)

3) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka

4) Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng

5) Amar ma’ruf nahi munkar


6) Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat (samar)

7) Qur’an adalah makhluk

8) Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

B. ALIRAN MURJI’AH

1. Sejarah Kemunculan Aliran Murjiah

Nama Murji’ah diambil dari Al-Irjo’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penanggungan dan
pengharapan. Dengan demikian, mereka berdiri di seberang yang berlawanan dengan Khawarij dan
aqidah mereka kebalikan yang sempurna dari aqidah Khawarij, Mazhab mereka ini dapat diungkapkan
dengan bahasa kekinian sebagai Mazhab Tasamu (toleransi), yakni toleransi agama antara kelompok
orang mukmin dalam batas-batas Islam. Tidak ada saling mengkafirkan dan tidak ada pula saling
mengutuk. [ ]

Kelahiran Firqah Murji’ah tidak begitu jelas,tetapi dapat dibatasi waktu munculnya yaitu pada dekade-
dekade terakhir dari abad pertama. Firqah ini lahir ini sebagai efek antitesis atau reaksi terhadap
kehiperbolisan khawarij dalam aqidah mereka dari segi pengafiran dan keberkerasan bahwa amal adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari iman. Menurut Khawarij pelaku dosa besar bukanlah seorang
mukmin. Orang-orang Murji’ah mengatakan pendapat yang sebaliknya, iman adalah ma’rifatullah
(mengenal Allah) tunduk, dan cinta kepada-Nya dengan hati. Adapun ketaaatan-ketaaatan lain selain itu
bukanlah dari iman dan meninggalkannya tidak merusak hakikat iman,tidak disiksa apabila iman
tersebut murni dan keyakinan benar.Pendapat ini diriwayatkan dari Yunus bin Aun an Numairi, yaitu
salah seorang pelopor pendiri mazhab ini dan kepadanya dinisbatkan Firqah Yunusiyah dari Murji’ah.[ ]

Diantara pendapat-pendapat mereka yang mahsyur sebagai peribahasa dari mereka adalah maksiat atau
kedurhakaan tidak merusak selama beriman, sebagaimana ketaatan tidak berguna selama beriman,
sebagaimana ketaatan tidak berguna bersama kekafiran. Muqatil bin Sulaiman berkata, dia termasuk
golongan ini, “Bahwasanya kemaksiatan tidak akan merusak neraka, “Ghassan al Kufi mengatakan,
“Iman itu bertambah dan tidak berkurang”.[ ]

2. Doktrin Aliran Murjiah


Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang
diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin
irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan
dengan sikap diam.[ ] Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi
persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-
persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar
dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir Al-Qur’an, ekskatologi, pengampunan atas dosa
besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the profhet), hukuman atas dosa (punishment of sins),
ada yang kafir hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination).[ ]

Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua golongan besar:

a. Golongan Moderat

Teolog muslim mendasarkan iman pada 3 faktor utama,yaitu:

1) Tasdiq (membenarkan dengan hati)

2) Iqrar (pengakuan lisan)

3) Amal (perbuatan patuh atau baik)

Murjiah telah mengangkat masalan pertam dan kedua tersebut secara positif yakni dengan menekankan
pentingnya kedua factor tersebut, sedangkan mereka mengangkat masalah ketiga secara negatif yakni
dengan menolak kepentingan esensialnya menurut konsep iman.[ ] tetapi golongan moderat tidak
menolak secara mutlak nilai amal.Tetapi paling tidak mereka tidak menganggapnya sebagai salah satu
dari yang iman. Mereka lebih menganggapnya sebagai hal yang sekunder. Sementara dalam hal
pelabelan kafir, golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya.

3. Sekte-sekte Aliran Murjiah

Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan penadapat di
kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar
ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.

Golongan Murji’ah dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu golongan moderat dan ekstrim

a. Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam
Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai
dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni
dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Menurut golongan ini, bahwa orang
islam yang berdosa besar masih tetap mukmin.

b. Golongan ekstrim

Golongan yang ekstrim dipelopori oleh Jahm Ibn Shafwan. Menurut Jahm, orang islam yang percaya
kepada Tuhan kemudian mengatakan kafir secara islam, belumlah menjadi kafir karena iman dan kufur
terletak dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia bahkan orang itu tidak menjadi kafir,
walaupun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran agama lain, menyembah salib dan kemudian
meninggal. Orang-orang itu bagi Allah tetap mukmin yang sempurna karena iman bagi golongan
Murji’ah terletak dalam hati, hanya Tuhan yang mengetahui, timbullah dalam pendapat mereka
bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidak merusak iman. Jika seseorang mati dalam keadaan
beriman, dosa-dosa dan pekerjaan jahat yang dilakukannya tidak akan merugikan orang itu

Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah,
Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.
Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:

1) Kelompok Jahamiyah

2) Kelompok ash-shalihiah

3) Kelompok al-ubaidiyah

4) Kelompok al-hasaniyah

5) Kelompok al-ghailiniyah

6) Kelompok as-saubaniyah

7) Kelompok al-mansyiyah

8) Kelompok al-karamiyah

https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ilmu-kalam-khawarij-dan-murjiah/

Jabariyah
1. Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah

Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, menjelaskan bahwa
nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris,
Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah, perlu
dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham al-jabar dan dalam situasi apa
saja faham ini muncul. Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham, kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin
Dirrar.

Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan
geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa
kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka. Kerasnya keadaan gurun pasir inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalism.

Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya
diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama
Kristen yang bermazhab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di
kalangan umat Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham
ini, misalnya:

Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-
Shaffat/37: 96)

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”. (QS. Al-Hadid/57: 22)
Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Insan/76: 30)

Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang
menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun
anjurannya telah tiada.

2. Para Tokoh Jabariyah dan Doktin-Doktrinnya

Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara tokoh Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:

Ja’d bin Dirham

Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan
orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah
menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Al-Ghuraby sebagaimana yang dikutib oleh Abdul Rozak menjelaskan doktrin pokok Ja’d sebagai
berikut:

1) Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.

2) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan
mendengar.
3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya.

Jahm bin Shafwan

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di
Khuffah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais,
seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh
secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham
Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan
Balk.

Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:

1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.

2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.

3) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.

4) Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat.

Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia
tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.

Adapun tokoh-tokoh dari faham Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:


An-Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-
Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya:

1) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.

2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

Adh-Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhihar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan
Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang.
Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya. Secara tegas Dhihar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan,
tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya.

Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhihar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui
indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad.
Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

Qadariyah

1. Asal-Usul Kemunculan Qadariyah


Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun
menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.

Golongan Qadariyah ini beri’tikad bahwa pekerjaan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan
Tuhan Allah. Apa yang diperbuat manusia, tidak diketahui oleh Allah swt. sebelumnya; dan baru Allah
swt. mengetahuinya setelah diperbuat oleh manusia. Allah sekarang tidak bekerja lagi, karena kodrat-
Nya telah diberikan kepada manusia, dan Dia hanya melihat dan memperhatikan saja.

Kalau manusia mengerjakan perbuatan yang baik, maka ia akan diberi pahala oleh Allah, karena ia telah
memakai kodrat yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Tetapi ia dihukum kalau kodrat yang
diberikan oleh Allah kepadanya tidak dipakai menurut semestinya.

Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pda qadar Tuhan. Sebutan ini diberikan kepada para
pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negative
bagi nama Qadariyah. Hadits itu berbunyi:

‫َريَّةُ َمجُوْ سُ ه ِذ ِه ْاألُ َّم ِة‬


ِ ‫اَ ْلقَد‬

Artinya: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini”.

2. Para Tokoh Qadariyah dan Doktrin-Doktrinnya

Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Sedangkan menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-
Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasal Al-
Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman
bin Affan. Kedua tokoh Qadariyah di atas mati dibunuh, Ghailan dibunuh pada masa Hisyam ibn Abdul
Malik dan Ma’bad dibunuh karena dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan
Abdurrahman Al-Asy’ats.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti yang dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain
bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama
Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan
mengambil faham ini.

Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang
mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena
masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab
ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka merasa irinya lemah dan tak mampu
menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut
kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka
tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.

Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat
pemerintahan menganut paham Jabariyah. Selain itu, pemerintah menganggap gerakan faham
Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada gilirannya
mampu mengkritik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dan
bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kekuasaan.

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qadariyah, bahwa manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak
maupun kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-
perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah, yaitu An-Nazzam
mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya atau kekuatan sendiri. Selagi hidup manusia
mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatan yang ia lakukan.

Dari penjelasan yang ada dapat dipahami bahwa doktrin atau ajaran Qadariyah pada intinya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan atau kehendak untuk melakukan segala perbuatan atas kemauannya sendiri,
baim perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Oleh sebab itu, manusia berhak mendapat pahala atas
kebaikannya dan berhak pula memperoleh hukuman atau dosa atas kejahatan yang diperbuatnya.

Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta
beserta seluruh isinya sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah,
bukan takdir secara mutlak bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dengan pemahaman seperti itu, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Gejala-gejala dari faham Qadariyah
sekarang banyak kelihatan di Indonesia, umpamanya ada orang yang berkata:

Bagaimanapun juga yang menentukan berhasil tidaknya suatu pekerjaan, pada akhirnya toh manusia itu
sendiri.

Tuhan Allah tidak bisa merubah nasib manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merubah nasibnya.

Perbuatan manusia itu dijadikan oleh manusia itu sendiri. Ini adalah faham dan I’tikad dari golongan
Qadariyah.

Anda mungkin juga menyukai