Anda di halaman 1dari 7

PENGANTAR

Sebelum memulai topik bahasan dalam makalah yang akan saya buat, puji syukur
saya panjatan atas rahmat dan kesehatan serta akal yang diberikan dan dikaruniakan kepada
saya sehingga saya bisa menjalankan kewajiban saya untuk mengerjakan tugas. Berkat
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “tingginya angka
korupsi dalam lembaga legislatif”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Muhtar Haboddin pada mata kuliah legislatif.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang problematika atau
kasus yang terbilang memiliki intensitas cukup tinggi di Indonesia dalam perpolitikan
khususnya dalam lembaga legislative yang sedang saya bahas. Edukasi dan bahan baacan ini
saya harap dapat berguna bagi para pembaca makalah ini ataupun untuk saya sendiri sebagai
mahasiswi yang sedang belajar dalam ilmu pemerintahan Universitas Brawijaya.
Pada problematika yang akan saya angkat dan saya bahas kali ini sangat tinggi
intensitasnya di pemerintahan Indonesia. Bahaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang
terjadi dalam sebuah pemerintahan harus segera dibenahi. Dengan begitu, harus segera
dibenahi karena hal ini sangat merugikan bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Tindakan
tidak terpuji ini sekiranya banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab
atas amanah yang seharusnya dijalankan dalam pekerajaannya. Amanah tersebut disalah
gunakan karena segelintir orang tersebut tergiur oleh harta yang berlimpah dan jabatan yang
tinggi tanpa memikirkan apa yang ia lakukan sudah merugikan banyak orang. Tingginya
angka korupsi ini selain merugikan dari segi ekonomi namun juga segi sistem yang
berlangsung dalam praktik Indonesia, menjadi rusak dan tidak beraturan. Korupsi bisa terjadi
di dalam bidang apapun seperti bisnis dan pemerintahan. Yang kemudian kali ini saya akan
membahas korupsi dalam pemerintah khususnya lembaga legislatif.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak muhtar
haboddin yang sebesar-besarnya karena sudah membimbing dan memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
sedang saya tekuni yaitu mata kuliah legislatif khususnya dalam topik yang sangat mernarik
ini untuk dibahas. Selain itu, saya juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya ataupun informasi yang dapat saya manfaatkan untuk
menyelesaikan makalah ini. Meskipun begitu, disini saya juga menyadari bahwa makalah
yang saya tulis ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya terima dan nantikan demi kesempurnaan makalah dan
perkembangan belajar saya yang akan membaik.

A. PENGERTIAN LEGISLATIF DAN KORUPSI

Legislatif termasuk ke dalam tiga lembaga utama di Indonesia yaitu eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Lembaga-lembaga utama ini memiliki tugas dan perannya masing-masing.
Namun, dalam menjalankan roda pemerintahan di suatu negara ke tiga lembaga ini memiliki
kesatuan dan hubungan yang terikat antara satu dengan yang lainnya, tidak bisa suatu
lembaga berdiri sendiri tanpa lembaga lain yang membantu menjalankan tugasnya. Lembaga
legislatif ini dapat diartikan juga sebagai sebuah legislator. Legislatif di Indonesia dijalankan
oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan juga
DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Di samping itu, legislatif memiliki tugas dan fungsi
sebagai lembaga atau dewan yang memiliki wewenang membuat atau merumuskan Undang-
Undang dalam sebuah negara. Lembaga yang dijalankan oleh MPR, DPR, dan DPD ini
mempunyai tugasnya masing-masing. Secara garis besar tugas MPR adalah merubah serta
menetapkan UUD dan bertugas sebagai pelantik presiden dan wakil presiden. Selanjutnya,
DPR memiliki tugas untuk memegang kekuasaan dalam hal pembentukan UUD, memberi
persetujuan kepada presiden atas menyatakan perang, berdamai, pembuatan perjanjian
dengan negara lain dan memilih langsung anggota BPK. yang terakhir adalah DPD,
mempunyai tugas untuk mengajukan rancangan UUD yang memiliki kaitan dengan otonomi
daerah serta bertugas untuk mengawasi pelaksanaannya serta memeriksa hasil keuangan
negara dari pihak BPK.

B. TINGKAT KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Salah satu ciri negara maju adalah tingkat korupsi cenderung rendah. Hal ini berbeda
dengan negara sedang berkembang, yang belum memiliki sistem kelembagaan yang baik
sehingga tingkat korupsi biasanya relatif tinggi dibanding di negara maju. Korupsi adalah
kejahatan luar biasa yang merusak sendi perekonomian suatu negara. Kejahatan korupsi yang
terjadi secara masif dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut, bahkan tak
jarang mengakibatkan masyarakat jatuh ke jurang kemiskinan.
Lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International merilis laporan
bertajuk 'Global Corruption Barometer-Asia' dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga
paling korup di Asia. Posisi pertama ditempati India diikuti Kamboja di peringkat kedua.
Peneliti Political and Public Policy Studies, Jerry Massie mengatakan, ini terjadi lantaran
lemahnya hukuman di Indonesia. Selain itu, dia menambahkan, aturan terkait korupsi kerap
berubah-ubah dan partai politik menjalankan sistem 'mahar politik'.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, sebanyak 24 dari 36 provinsi


sudah terjaring kasus korupsi sepanjang tahun 2004 hingga 2020. Mengacu catatan KPK,
secara beruntun kasus korupsi terbanyak kedua ada di Jawa Timur (93) Sumatera Utara (73)
Riau dan Kepulauan Riau (64) DKI Jakarta (61) Jawa Tengah (49) Lampung (30) Sumatera
Selatan (24) Banten (24) Papua (22) Kalimantan Timur (22) Bengkulu (22) dan Aceh (14).
KPK juga mencatat kasus korupsi di Nusa Tenggara Barat (12) Jambi (12) Sulawesi Utara
(10) Kalimantan Barat (10) Sulawesi Tenggara (10) Maluku (6) Sulawesi Tengah (5)
Sulawesi Selatan (5) Nusa Tenggara Timur (5) Kalimantan Tengah (5) Bali (5) dan Sumatera
Barat (3).

Praktik- praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia hampir setiap hari
diberitakan oleh media massa. Kenyataan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia bukan
hanya melibatkan personal, tetapi juga instansi politik dan hukum. Terdapat beberapa bahaya
sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap: masyarakat dan individu, generasi muda,
politik, ekonomi bangsa dan birokrasi. Terdapat hambatan dalam melakukan pemberantasan
korupsi, antara lain berupa hambatan: struktural, kultural, instrumental, dan manajemen.

C. PELUANG PIHAK LEGISLATIF MELAKUKAN KORUPSI

Selepas dari rezim Orde Baru, lembaga legislatif mempunyai kedudukan politik yang
lebih kuat ketimbang sebelumnya. Lembaga legislatif mempunyai kekuasaan yang memadai
untuk mengimbangi kekuasaan lembaga eksekutif. Di tangan orang yang korup, perimbangan
kekuasaan itu justru tidak dipakai untuk melakukan kontrol dan pengendalian, malah menjadi
jalan untuk menerima suap. Bahkan, bisa jadi digunakan sebagai alat pemerasan.
Menurut Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, dalam rentang waktu tersebut,
kasus tindak pidana korupsi terbanyak di Indonesia justru terjadi di level pemerintah pusat.
Anggota legislatif menjadi pelaku korupsi terbanyak dalam rentang waktu 2004-2019.

Peran Lembaga legislatif ini pada sosial masyarakat itu sendiri adalah mengatur
kehidupan warga masyarakat menjaga kesejahteraan masyarakat memberi pedoman kepada
masyarat dan bagaimana bertingkah laku atau bersikap dan menghadapi masalah -masalah
dalam masyarakat dan membantu masalah yang terjadi dimasyarakat. Lalu , bagaimana jika
anggota Lembaga itu sendiri melanggar peran kemasyarakatan dan malah mencoreng nama
baik dan menghilangkan kepercayaan masyarakat pada Lembaga kemasyaratan.

D. HUKUMAN PIDANA ATAS TINDAKAN KORUPSI


Tindak pidana korupsi digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam golongan tindak pidana khusus, sehingga
memerlukan langkah-langkah yang khusus untuk memberantasnya. Tindak pidana korupsi
sendiri tidak didefinisikan secara terminologis dalam ketentuan umum Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Menurut Pasal 5 UU No 20 Tahun 2001 Dipidana dengan pidana penjara paling


singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 6 UU No 20 Tahun 2001 : (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk


mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau:
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.

Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatan nya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

E. UPAYA MENGHILANGKAN KORUPSI


Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai cara,
namun hingga saat ini masih saja terjadi korupsi dengan berbagai cara yang dilakukan oleh
berbagai lembaga. Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap:
masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa dan birokrasi. Terdapat
hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, antara lain berupa hambatan: struktural,
kultural, instrumental, dan manajemen. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah
untuk mengatasinya, antara lain: mendesain dan menata ulang pelayanan publik,memperkuat
transparansi, pengawasan dan sanksi, meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung
dalam pencegahan korupsi.

Berbagai upaya pemerintah untuk meminimalisasi penyebaran tindak pidana ini


tampaknya belum memperoleh hasil yang signifikan. Upaya pemberantasan korupsi bukanlah
hal yang mudah. Meski sudah dilakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi, masih
ada beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Operasi tangkap tangan (OTT) sudah sering
dilakukan oleh KPK, tuntutan dan putusan yang dijatuhkan oleh penegak hukum juga sudah
cukup keras, namun korupsi masih tetap saja dilakukan. 

Pemberantasan korupsi ibarat sebuah orkestrasi. Tak hanya penindakan yang penting
ditekuni, juga ada pencegahan, koordinasi serta supervisi yang perlu diakrabi. Tak hanya oleh
penegak hukum yang menggawangi, juga ada masyarakat yang bisa memberi kontribusi.
Semua perlu seni, agar membawa kebaikan bagi Pertiwi. KPK hadir sebagai mekanisme
pemicu (trigger mechanism), agar semua pihak tanpa terkecuali turut membantu. Karena itu,
agar kian padu, strategi koordinasi dan supervisi bidang pencegahan dan penindakan perlu
bersatu. Ia seolah menjadi napas yang menderu, memperbaiki sistem dan menutup celah
korupsi di semua penjuru.

Tak hanya Lembaga KPK, Polri sebagai salah satu komponen pelaksana kebijakan
pemerintahan, maka fokus penyidikan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh polri
tentunya harus sejalan dengan kebijakan pemerintah khususnya mengenai upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi, konsep pemerintahan pada saat ini terkait strategi nasional
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang tertuang dalam inpres nomor 10
tahun 2016 dengan fokus pada sektor industri ekstaktif, pengadaan barang dan jasa,
infrastruktur, dan penerimaan negara menjadi fokus penyidikan tindak pidana korupsi oleh
Polri.

Penegakan hukum menjadi cara yang harus ditempuh terus menerus untuk
menegakkan keadilan dan membuat jera para koruptor. Pada saat yang sama, mengambil
momentum Pemilu legislatif, warga negara yang mempunyai hak pilih dapat mengambil
peran dengan bersikap kritis terhadap calon-calon anggota dewan. Mereka yang sudah jelas-
jelas mempunyai rekam jejak yang buruk sama sekali tak perlu dipertimbangkan untuk dipilih
kembali. Memilih calon yang mempunyai rekam jejak yang jelas adalah salah satu cara untuk
menekan korupsi berombongan di lembaga legislatif.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut.

1. Indonesia yang merupakan negara dengan angka korupsi tinggi nomer 3 di Asia
dimana kasus tindak pidana korupsi terbanyak di Indonesia justru terjadi di
level pemerintah pusat. Anggota legislatif menjadi pelaku korupsi terbanyak dalam
rentang waktu 2004-2019.

2. Anggota legislatif dapat dengan mudah melalukan korupsi karena Lembaga legislatif
mempunyai kekuasaan yang memadai untuk mengimbangi kekuasaan lembaga
eksekutif

3. Sanksi bagi yang melakukan tindak korupsi juga sudah sangat jelas dan tentunya
berat, tetapi masih ada saja oknum yang melakukan tindak pindana korupsi tanpa ada
rasa jera.

4. Meskipun pemberantasan korupsi menghadapi berbagai kendala, namun upaya


pemberantasan korupsi harus terus-menerus dilakukan dengan melakukan berbagai
perubahan dan perbaikan.
5. Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga yang menangani
korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya pencegahan juga terus
dilakukan, kualitas SDM perlu ditingkatkan, kesejahteraan para penegak hukum
menjadi prioritas.
6. Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dipikirkan untuk
melakukan revisi secara komprehensif terhadap UndangUndang tentang
Pemberantasan Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai