Anda di halaman 1dari 5

Cinta yang Bermutasi

“Sayang…sayang…bangun yuk.” Suara sayup-sayup merdu membuatku terjaga dari


tidur pulasku. Sesosok bidadari tanpa sayap hadir dihadapanku kala itu. Wajahnya berseri
dengan senyuman manis, serta suara lemah nan lembutnya, Aisyah membangunkanku untuk
menunaikan shalat malam. “Bersyukurnya aku mendapatkan istri sholehah nan manis ini” ujarku
dalam hati sambil tersenyum mengelus kepalanya. Namun sayang seribu sayang, kami tidak bisa
melakukannya secara berjamaah dikarenakan ia sedang datang bulan. Memang sudah menjadi
kebiasaan keluarga kecil kami melaksanakan sembahyang tahajud bersama yang luar biasa
faedahnya. 4 rakaat beserta dzikir dan doa telah kutunaikan mengaharapkan ridhonya. Selepas
shalat, kami sudah harus mempersiapkan berbagai perlengkapan APD dan berbagai macam alat
kesehatan. Hari ini terhitung sebulan kami berada dirumah sakit sebagai petugas medis. Atasan
sudah menugaskan kami bersama beberapa petugas medis lainnya untuk menetap sementara
dirumah sakit. Hal ini sangat penting, mengingat persiapan sebelum diberlakukanya Karantina
Total di wilayah kami.

Tak terasa sudah 5 tahun lebih semenjak virus ini mengubah tatanan dunia. Hari ini
adalah hari H diberlakukan Karantina Total diberbagai wilayah di Indonesia. Karena menurut
para ahli dan pakar virus, COVID-19 ini beresiko besar dapat bermutasi menjadi jauh lebih
berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Apabila kasus COVID-19 semakin lebih
merajalela, maka akan menyebabkan virus ini semakin kuat. Sehingga, vaksin yang sudah
ditemukan untuk mencegahnya tidak akan berpengaruh. Efek yang diderita pengidap virus ini
juga akan semakin beragam. Hal ini membuat para dokter terpaksa mempelajari COVID-19 dan
menemukan ulang vaksinnya. Pandemic kedua yang jauh lebih besar dan berbahaya daripada
sebelumnya sudah didepan mata. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka Karantina Total
diberbagai wilayah di Indonesia menjadi langkah yang harus diambil.

Bulan ini merupakan bulan yang cukup berat bagi kami petugas medis. Memang berat
rasanya, bekerja sebagai petugas medis yang harus selalu sedia 24 jam dan menggunakan APD
yang sangat pengap dan panas. Namun, dengan inilah bentuk jihad kami demi mencapai
ridhonya Allah. Dengan niat tulus karena Allah, tak terasa sudah hampir 7 tahun aku dan istriku
mengabdi sebagai petugas medis. Mungkin inilah minggu-minggu terakhir kami berada dirumah
sakit. Sebelumnya memang, kami sudah berkali-kali mengajukan untuk mengambil pasien dini.
Namun, kondisi pandemi ini tidak mendukung hajat kami untuk berhenti. Mungkin, rencana
Allah jauh lebih baik daripada rencana hambanya.

Pada hari ini, kami juga didatangkan banyak pasien penderita COVID-19 yang berasal
dari daerah lain. Dikarenakan kapasitas rumah sakit yang ada di daerah tersebut tidak mencukupi
dan berlakunya Karantina Total, mau atau tidak mau pasien tersebut dipindahkan ke rumah sakit
tempat aku bekerja. Kami pun turut menyambut kedatangan dan menyiapkan segala kebutuhan
bagi pasien baru. Tidak kusangka, aku ditugaskan di gedung yang berbeda dengan istriku.
Biasanya kami selalu ditugaskan bersama. Tugas sehari-hari yang seberat gaban, tak terasa
terselesaikan apabila Aisyah disampingku. Sebagai profesional, aku menerima tanggung jawab
yang diberikan atasan. Dengan langkah tertatih-tatih, satu persatu kamar pasien aku kunjungi
untuk mengecek kondisi berbagai pasien baru. Tak terasa adzan dzuhur sudah berkumandang
bersamaan dengan bel yang berbunyi menunjukkan waktu istirahat siang. Dengan penuh
semangat, aku mengunjungi musholla dilantai bawah untuk menunaikan kewajiban seorang
muslim. Hari itu terasa sangat berat, karena aku harus mengecek kondisi berbagai pasien baru.
Aku sendirian pergi kemusholla masjid untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim. Setelah
shalat, aku menuju keruanganku untuk istirahat sambil menikmati makan siang.

Tak lama setelah itu, terdengar Aisyah memanggilku dari luar “Assalamualaikum, aku
masuk yaa.” “Waalaikumussalam, silahkan masuk!” Ujarku dengan mulut yang penuh dengan
nasi. “Habisin dulu tuh nasi, haha.” Sindirnya. “Tumben kamu siang-siang kesini, biasanya kamu
sibuk tuh ngurusi pasien, mana ada kepikiran sama aku.” Candaku. “Ih kamu bisa aja ya. Jadi
gini, barusan ada pasien baru nih, sebaiknya kamu harus lihat deh.” Jawabnya dengan penuh
semangat tanpa menghiraukan candaanku. “Okey, tapi kamu harus makan siang bareng dulu
sama aku sini!” Ujarku dengan mulut yang masih penuh dengan nasi. “Haha, kamu tau aja aku
lapar.” Sambil mulai melepas APD nya. Pagi yang kuhadapi tanpanya, akhirnya terbalaskan
dengan kami makan siang bersama.

Kami pun bersama-sama menuju keruangan pasien tersebut. Dipertengahan jalan, aku
mulai mengkhayal dimasa pension kami. Secara spontan, aku memulai pembicaraan “Aisyah
setelah ini berlalu ayo kita makan-makan seperti dulu lagi.” “Okey, nanti aku bikinin rendang
kesukaanmu sayang.” Jawabnya dengan girang. Sontak jantung ini berdegup kencang mendengar
perkataannya itu. “Hmm, yang banyak ya.” Jawabku sambil tersipu malu. “Ntar perutnya jadi
gentong dong haha.” Candanya dengan penuh gelak tawa. “Makasih selama ini sayang, udah
mau menemani dirumah sakit ini, padahal kamu bisa mengambil S2 dan mengejar karirmu, tapi
ini menjadi pilihanmu, dan aku sangat menghargai itu.” Ujarku. “Kita kan suami istri, harus
berjuang bersama dong.” Jawabnya untuk menyemangatiku lagi. Aku hanya tersenyum
mendengarnya, tidak ada sepatah kata lagi keluar dari mulutku saat itu. Tanganku tiba-tiba sudah
memeluk istriku secara respon. “Terimakasih…” Kata itu keluar lagi dari bibirku. “Justru, aku
yang seharusnya berterimakasih sudah mengizinkan aku bekerja disini bersamamu. Memang
berat ya sayang, tapikan rencana Allah lebih baik daripada rencana hambanya. .” Ujarnya sambil
membalas pelukan kepadaku juga. Tak terasa air mataku mulai membasahi APD yang
kukenakan. “Ya Allah, betapa beruntungnya aku, kau turunkan bidadari tanpa sayap ini untuk
selalu mengingatkanku padamu ya Rabb.” Bisikku dalam hati. “Kamu boleh kok nangis terus,
tapi tunggu sebentar lagi yak.” Guraunya dengan senyuman tertempel di bibirnya. Perasaanku
saat itu campur aduk, sehingga kami memutuskan untuk segera ke kamar pasien yang dituju.

Sesampainya kami dikamar pasien tersebut, kami diharuskan menggunakan APD yang
paling aman dan juga kamar pasien tersebut sudah ditutupi dengan berbagai gorden plastik. Aku
pun bertanya kepada istriku. “Mengapa kamar pasien ini begitu berbeda dengan kamar pasien
yang lain dan juga kenapa kita tidak menggunakan APD yang biasa aja?” “Udah kamu masuk aja
dulu, ntar tau sendiri kok.” Balasnya. Betapa terkejutnya aku melihat tubuh pasien tersebut sudah
seperti karet. “Oh karena ada kemungkinan COVID-19 yang didalam tubuhnya bermutasi,
makanya harus diperlukan penjagaan ekstra.” Simpulku. “Iya, coba kamu ambil dulu beberapa
sel tubuh pasien ini untuk diteliti, dan aku akan mengecek kondisinya!” “Okey, siap bu negara.”
Gurauku. Aku pun mengambil sel tubuh pasien tersebut dengan jarum suntik, lalu membawanya
ke laboratorium. Disana aku meletakkannya di atas kaca, lalu melihat bentuknya melalui
mikrokop. Aku mulai memasukkan beberapa sel lain untuk melihat reaksi sel tubuh pasien
tersebut. Tak disangka, dengan mudahnya sel tersebut menyatu dengan sel tubuh pasien tersebut.
Aku langsung berlari mengecek istriku ke kamar pasien tersebut. Setibanya aku disana, aku
hanya bisa terpaku melihat istriku sudah mulai menyatu dengan pasien tersebut. Tanpa kusadari
tanganku juga sudah mulai menyatu dengan monster tersebut. Aku mengambil pisau bedah lalu
secara spontan memotong tanganku yang sudah menempel dengan monster tersebut. Aku
langsung mengambil langkah seribu dan teriak minta tolong di sekitar lorong rumah sakit. Saat
aku meminta tolong, aku malah mendengar teriakan minta tolong beriringan dengan suara
senjata api yang ilih berganti. Saat aku menoleh kebelakang, ternyata monster itu sudah keluar
dari sarangnya dan menyatukan diri dengan orang-orang yang ada disana. Bentuk monster itu,
seperti kumpulan mayat yang terjebak didalam permen karet yang besar. Melihat serangan secara
langsung ke fisik monster itu tidak berpengaruh, aku langsung menuju ke laboratorium untuk
mengamankan diri. Sesampainya disana, aku masih tidak percaya dengn apa yang sedang terjadi.
Tanpa aku sadari tangan yang hanya tinggal lengan itu mulai mengucurkan darah segar.
Penglihatanku sekarang hanya bisa melihat bayangan. Dalam bayangan itu aku melihat ada
seseorang, lalu tiba-tiba semua menjadi gelap.

“Hah, dimana ini?” Ucapku secara spontan. “Kita sekarang berada di ruang perawatan,
tadi saya menemui anda di depan labortorium, dan lengan anda mengalami pendarahan dan
kehilangan kesadaran, lalu saya berinisiatif untuk mengobati pendarahan dan menemani anda
hingga sadar kembali.” Balas dokter muda yang aku sendiri belum pernah melihatnya dirumah
sakit ini. “Apakah monster tersebut masih berkeliaran dirumah sakit ini?” Tanyaku lagi. “Suara
teriakan masih terdengar jelas sampai kesini, monster tersebut masih meneror setiap penghuni
rumah sakit.” Balasnya. “Apakah…” belum sempat aku bertanya, tiba-tiba terdengar langkah
kaki besar telah menginjakkan kakinya di lantai tempat ruangan kami berada. “Ayo tidak ada
waktu lagi, kita harus kembali menuju laboratorium. Karena serangan secara fisik tidak berefek,
aku akan mencoba membuat vaksin, yang mungkin berhasil membunuhya.” Jelasku. “Baiklah
kita tidak punya waktu lagi sekarang, aku akan membantumu.” Balasnya. Kamipun mengenakan
APD, lalu melihat gerak-gerik monster tersebut. Terkejutnya kami melihat monster tersebut
dengan ukuran yang sangat besar dan mampu mendobrak pintu. Rekan kami yang juga ikut
bersembunyi diruang perawatan lainnya terpaksa kami tinggalkan. Kamipun mengambil langkah
seribu, hingga mencapai laboratorium. Tanpa kami sadari monster tersebut tidak menghiraukan
orang yang ada diruangan lain. Sepertinya dia hanya mengincar objek yang bergerak. Monster
tersebut tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Terpaksa aku mendorong dan
mengorbankan Alex agar bisa menghambat monster tersebut. “Maafkan aku Alex, hiks…”
Ujarku dalam hati yang penuh sesak ini. “Akhhhhhhh…” Itulah teriakan terakhir dari Alex
setelah aku berlari meninggalkannya. Sesampainya di laboratorium, aku melakukan berbagai uji
coba pada sample tubuh pasien tersebut sebelumnya. Vaksin COVID-19 yang sudah ditemukan
tidak mempan membunuh virus yang sudah bermutasi ini.
Kemudian aku melakukan berbagai percobaan untuk membuat racun yang dapat
membunuh monster tersebut. Tanganku sudah terlanjur kotor dan perasaan yang campur aduk ini
tidak sempat kupikirkan lagi. Pada satu titik, setelah berbagai perhitungan dan percampuran
bahan-bahan yang ada dilaboratorium aku menemukan titik terang. Tanpa ragu aku langsung
menyuntikkan racun tersebut ke tubuhku. Kemudian, aku berlari menuju monster yang sudah
meneror rumah sakit dengan kemampuan anehnya yang bisa menyatukan berbagai inangnya.
Sesampainya dihadapan monster tersebut, masih terlihat jelas kilas ingatan, aku yang
meninggalkan istriku yang sedang berusaha untuk tetap tersenyum kepadaku dihadapan ajalnya.
“Sudah puas? Sudah puas kau meneror kami dasar binatang tak beradab?” Monster tersebut
langsung mengejarku dan tanpa rasa gentar sedikitpun aku juga berlari untuk menjadi santapan
terakhirnya. Tak sengaja aku melihat wajah istriku yang sudah mulai meleleh dan air mata ku
menetes sambil mengingat kenangan kami bersama. “Seandainya…Seandainya tidak jadi begini.
Akhhhhh…” Tanpa aku sadari aku sudah menjadi bagian monster tersebut dan kamipun mulai
meleleh bersama.

TAMAT…

Anda mungkin juga menyukai