Anda di halaman 1dari 8

Filsafat Klasik; Antara Plato 

dan Aristoteles

Pendahuluan
Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut "filosofis" dihasilkan
oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan; kedua, semacam
penelitian yang biasa disebut "ilmiah" dalam pengertian yang luas. Kedua faktor ini
mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara perseorangan dalam proporsi
yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, mencirikan
filsafat. Filsafat, sebagaimana yang disampaikan Bertrand Russell, adalah sesuatu
yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Semua pengetahuan yang definitive
adalah termasuk sains, s e d a n g k a n   s e m u a   d o g m a ,   y a n g   m e l a m p a u pengetahuan
definitif termasuk ke dalam teologi. Namun, di antara keduanya terdapat sebuah
wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, wilayah tak bertuan ini adalah
filsafat. Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif tidak bisa
dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban yang meyakinkan dari parateolog tidak
lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Apakah
dunia ini terbagi menjadi dua; jiwa dan materi, dan jika "ya" ,a p a k a h   j i w a   d a n m a t e r i   i t u ?
Apakah jiwa tunduk pada materi, ataukah jiwa dikuasai oleh kekuatan-
kekuatan independen? Apakah alam semesta ini memiliki kesatuan atau
maksud tertentu? Jawaban atas pertanyaan- pertanyaan tersebut tidak dapat
ditemukan dilaboratorium. Teologi berusaha memberikan jawaban yang
sangat definitif, namun jawaban- jawaban tersebut mengundang kecurigaan
pikiran-pikiran modern.
Mempelajari pertanyaan tersebut, jika bukan menjawabnya, adalah urusan
filsafat.
 
Filsafat dimulai di Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman kuno, filsafat
kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit dan Roma jatuh. Periode
kejayaan filsafat yang kedua adalah abad ke-11 – 14 dan d i a k h i r i   d e n g a n   k e b i n g u n g a n -
k e b i n g u n g a n   y a n g   b e r p u n c a k   p a d a   r e f o r m a s i . Periode ketiga, dari abad ke-17
sampai sekarang.
Di antara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maup
u n modern, Plato danAristoteles adalah dua tokoh paling berpengaruh. Den
gandemikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah 
p e r l u membicarakan pemikiran dari Plato dan Aristoteles. Tulisan ini berusaha
untuk memberikan gambaran singkat tentang pemikiran keduanya, khususnya ketika
membicarakan tentang realitas yang sesungguhnya. Rujukan utama 
y a n g digunakan penyusun dalam penulisan makalah ini adalah buku "Histo
r y   o f   Western Philosophy and its Connection with Political and social
Circumstancesf r o m   t h e   E a r l i e s   T i m e s   t o   t h e   P r e s e n t   D a y "   k a r y a   B e r t r
and Russell, yangditerjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dalam "Sej
a r a h   F i l s a f a t   B a r a t   d a n Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang".

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004 (di terjemahkan dari
"History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances
fromthe Earlies Times to the Present Day" oleh Sigit Jatmiko, dkk), hal. xiii-xvi
Pembahasan
A. Biografi Plato dan Aristoteles
Deskripsi biografi Plato dan Aristoteles dianggap perlu dikemukakan karena sangat mustahil
untuk membicarakan pandangan seorang filsuf tanpa membicarakan biografinya.
1. Plato
Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga bangsawan kota Athena. Semenjak muda
ia sangat mengagumi Socrates (470-399), seorang filsuf yang menentang ajaran para sofis,
sehingga pemikiran Plato sangat dipengaruhi sosok yang di kemudian hari menjadi gurunya
tersebut. Plato memiliki bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti hingga saat
ini setidaknya 24 dialog Plato dianggap sebagai kesusastraan dunia. Sebagaimana Socrates, Plato
selalu mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk menuliskan pikiran- pikirannya.
Pada tahun 387 SM, Plato mendirikan sekolah filsafat yang dinamakannya Akademia.

Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya mengenai realitas.
Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia: dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia
yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya
ialah dunia jasmani. Pemikiran Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan pertentangan antara
pemikiran Heraklitus dan Parmenides. Pemikiran Plato inilah yang akan penyusun jadikan
sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.
2. Aristoteles
Aristoteles (384-322) berasal dari Stagyra di daerah Thrace, Yunani Utara. Ia belajar di sekolah
filsafat yang didirikan Plato dan tinggal di Akademi hingga Plato meninggal dunia. Dua tahun
kemudian Aristoteles diangkat sebagai guru pribadi Alexander Agung, barulah setelah Alexander
Agung dilantik sebagai raja ia mendirikan sekolah yang dinamakannya Lykeion. Sebagaimana
Plato yang sangat mengagumi gurunya, Aristoteles pun sangat mengagumi Plato sebagai pemikir
dan sastrawan meskipun dalam filsafatnya Aristoteles menempuh jalan yang berbeda. Aristoteles
pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- "Amicus
Plato, magis amica veritas" yang artinya: "Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab
bagiku" – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya
lebih mencintai kebenaran”.
Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam terhadap pandangan Plato mengenai konsep
idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang dikemudian hari dinamakan hilemorfisme
sebagai alternative bagi ajaran Plato mengenai idea-idea.

Sekalipun demikian tidak dapat disangsikan Aristoteles tetap berutang budi kepada Plato karena
dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.

B. Pemikiran Plato
Diantara pemikiran Plato yang terpenting adalah teorinya tentang ide-ide,yang merupakan upaya
permulaan yang mengkaji masalah tentang universal yang hingga kini pun belum terselesaikan.

Teori ini sebagian bersifat logis, sebagian lagi bersifat metafisis. Dengan pendapatnya tersebut,
menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Heraklitus dengan
pendapatnya Permenides, menurut Heraklitus segala sesuatu selalu berubah, hal ini dapat
dibenarkan menurut Plato, tapi hanya bagi dunia jasmani (Pancaindra), sementara menurut
Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga dapat
dibenarkan menurut Plato, tapi hanya berlaku pada dunia Idea Saja
Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu memiliki nama yang sama, mereka
tentunya juga memiliki satu "ide" atau "forma" bersama. Sebagai contoh, meskipun terdapat
banyak ranjang, sebetulnya hanya ada satu "ide" ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin
hanyalah penampakan dan tidak "real". Demikian pula pelbagai ranjang partikular pun tidak real,
dan hanya tiruan dari "ide", yang merupakan satu-satunya ranjang yang real dan diciptakan oleh
Tuhan. Mengenai ranjang yang satu ini, yakni yang diciptakan oleh Tuhan, kita bisa memperoleh
pengetahuan, tetapi mengenai pelbagai ranjang yang dibuat oleh tukang kayu, yang bisa kita
peroleh hanyalah opini.

Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato adalah, bahwa orang yang memiliki
pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang "sesuatu", yakni" sesuatu" yang eksis, sebab
yang tidak eksis berarti tidak ada. Oleh karena itu pengetahuan tidak mungkin salah, sebab
secara logis mustahil bisa keliru. Sedangkan opini bisa saja keliru, sebab opini tidak mungkin
tentang apa yang tidak eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula tentang yang eksis,
sebab ini adalah pengetahuan. Dengan begitu opini pastilah tentang apa yang eksis dan yang
tidak eksis sekaligus.

Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia yang tampil pada indera,
sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia abadi yang supra-inderawi; sebagai misal, opini
berkaitan dengan benda-benda partikular yang indah, sementara pengetahuan berkaitan dengan
keindahan itu sendiri. Dari sini Plato membawa kita pada perbedaan antara dunia intelek dengan
dunia inderawi. Plato berusaha menjelaskan perbedaan antara visi intelektual yang jelas dan visi
persepsi inderawi yang kabur dengan jalan membandingkannya dengan indera penglihatan. Kita
bisa melihat obyek dengan jelas ketika matahari menyinarinya; dalam cahaya temaram
penglihatan kita kabur; dan dalam gelap gulita kita tidak dapat melihat sama sekali. Menurutnya,
dunia ide-ide adalah apa yang kita lihat ketika obyek diterangi matahari, sedangkan dunia
dimana segala sesuatu tidak abadi adalah dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato memberikan sebuah
tamsil, yakni tamsil tentang gua.

Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki pengetahuan filsafat bisa diibaratkan sebagai
narapidana dalam gua, yang hanya bisa memandang ke satu arah karena tubuhnya terikat,
sementara di belakangnya ada api yang menyala dan di depannya ada dinding gua. Mereka hanya
dapat melihat bayang-bayang yang dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api. Mereka hanya
bisa menganggap bayang-bayang itu sebagai kenyataan dan tidak dapat memiliki pengertian
tentang benda-benda yang menjadi sumber bayang-bayang.

Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia gambarkan sebagai seorang yang
mampu keluar dari gua tersebut dan dapat melihat segala sesuatu yang nyata dan sadar bahwa
sebelumnya ia tertipu oleh bayang-bayang. Namun ketika ia kembali ke gua untuk
memberitahukan kepada teman-temannya tentang dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat
bayang-bayang secara jelas jika dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga di mata teman-
temannya ia tampak menjadi lebih bodoh daripada sebelum ia bebas.
Demikianlah pemikiran Plato mengenai realitas yang sebenarnya. Teori Plato tentang ide-ide
tersebut, menurut penyusun, mengandung sekian kesalahan yang cukup jelas. Kendati demikian,
pemikiran itu pun menyumbangkan kemajuan penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama
yang menekankan masalah universal, yang dalam pelbagai bentuknya, masih bertahan hingga
sekarang.

C. Pemikiran Aristoteles
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan
tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu
Aristoteles mengemukakan teori hilemorfisme (Hyle= Materi, Morphe = bentuk). Menurut teori
ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi. Sebagai contoh, sebuah
patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan
bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama
lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan
Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh
dimungkinkannya ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori
hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari
materi dan bentuk. Bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka
konsekuensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Lebih lanjut, Aristoteles mengajukan sebuah argumen yang sangat baik untuk menyanggah teori
idea Plato. Argumen yang paling kokoh adalah tentang "orang ketiga"; jika seorang manusia
adalah manusia karena ia menyerupai manusia ideal, maka masih harus ada manusia lainnya lagi
yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.

Kini kita sampai pada pernyataan baru, yang pada mulanya akan terkesan sulit. Dikatakan bahwa
jiwa adalah "forma" dari tubuh. Dalam sistem pemikiran Aristoteles, jiwalah yang menyebabkan
tubuh menjadi sesuatu, yang memiliki kesatuan dan tujuan. Tujuan mata adalah untuk melihat,
namun mata tidak dapat melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, yang melihat adalah
jiwa.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang
sempurna. Ini sangat berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme
tentang manusia dan memilih "hilemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu
merupakan pengejawantahan material ("hyle") sesuatu dari bentuk ("morphe") yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan.
Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin:"potentia") untuk pengejawantahan
(aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu
yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitus dan Parmendides diatasi
dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah”.

KESIMPULAN
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato dan Aristoteles di atas,dapat kita simpulkan
adanya perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki. Plato ada pada
pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri
seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum
manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman
(pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap
ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk
tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai
dalam matematika. Problem filsafat yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia
kedalam penjara dunia inderawi,yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada ("being") dan mengada
(menjadi,"becoming").
Sedangkan Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir- balikkan segalanya. Dia
setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan
bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu
kekal abadi. Tetapi idea kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat
(mengamati,mengalami) sejumlah kuda. idea kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-
kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles,
idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas
tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi
adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa manusia
memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadaran oleh
pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia. kosong sampai
ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea bawaan.
Demikian sedikit ulasan tentang pemikiran Plato dan Aristoteles, sebagai dua tokoh terbesar
dalam sejarah filsafat dunia.

Anda mungkin juga menyukai