Anda di halaman 1dari 21

FORMAT PENYUSUNAN LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

Mata Kuliah: Keperawatan Medikal Bedah 1

Dosen Pembimbing: Dr. Ns. Makkasau, M. Kes.

Kasus: Covid 19

Disusun Oleh:

Kelompok 2

 Hartati 1901014
 Ifha kharmatul ilmi 1901015
 Ika lestari 1901016
 Indrawati maulana 1901017
 Indri febrianti 1901018
 Khaerunnisa 1901019
 Magdalena hope werang 1901021
 Muhammad ilham 1901022
 Nadya elsa 1901024
 Nunung sri angraeni 1901025
 Nur aziza 1901026
 Nur indah hasman 1901027

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR PROGRAM


STUDI S1 KEPERAWATAN 2019/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Virus Corona atau (COVID-19), kasusnya dimulai dengan pneumonia atau radang
paru-paru misterius pada Desember 2019, Kasus ini diduga berkaitan dengan pasar
hewan di Wuhan yang menjual berbagai jenis daging binatang, termasuk yang tidak biasa
dikonsumsi, misalnya ular, kelelawar, dan berbagai jenis tikus. Kasus infeksi misterius
ini memang banyak ditemukan di pasar hewan tersebut, Virus Corona atau (COVID-19)
diduga dibawa kelelawar dan hewan lain yang dimakan manusia hingga terjadi penularan,
Corona Virus sebetulnya tidak asing dalam dunia kesehatan hewan, tapi hanya beberapa
jenis yang mampu menginfeksi manusia hingga menjadi penyakit radang paru.
Sebelum (COVID-19) mewabah, dunia sempat heboh dengan SARS dan MERS,
yang juga berkaitan dengan Virus Corona, dengan latar belakang tersebut, Virus Corona
bukan kali ini saja membuat warga dunia panik, memiliki gejala yang sama-sama mirip
flu, Virus Corona berkembang cepat hingga mengakibatkan infeksi lebih parah dan gagal
organ. Infeksi Virus Corona atau COVID-19 disebabkan oleh Corona Virus, yaitu
kelompok virus yang menginfeksi sistem pernapasan, pada sebagian besar kasus corona
virus hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan sampai sedang, seperti flu, akan
tetapi, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti Pneumonia,
MiddleEast Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS) Pandemi (Covid -19).
Kelelawar, ular, dan berbagai hewan eksotis lain hingga kini masih dianggap
sebagai faktor utama dari virus Corona atau COVID-19, terlepas dari benar-tidaknya
informasi tersebut, COVID-19 membuktikan diri mampu menular antar manusia,
Penularan sangat cepat hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pandemi
virus Corona atau COVID-19 pada tanggal (11/3/2020). Pandemi atau epidemi global
mengindikasikan infeksi COVID-19 yang sangat cepat hingga hampir tak ada negara atau
wilayah di dunia yang absen dari virus Corona, peningkatan jumlah kasus terjadi dalam
waktu singkat hingga butuh penanganan secepatnya, namun hingga kini belum ada obat
spesifik untuk menangani kasus infeksi virus Corona atau COVID-19.
(WHO) menyatakan saat ini Eropa telah menjadi pusat pandemi virus Corona
secara global, Eropa memilikilebih banyak kasus dan kematian akibat COVID-19
dibanding China, jumlah total kasus virus Corona, menurut WHO, sedikitnya 123 negara
dan wilayah, dari jumlah tersebut, nyaris 81 ribu kasus ada di wilayah China daratan,
Italia, yang merupakan negara Eropa yang terdampak virus Corona terparah, kini tercatat
yang dominan terbanyak dalam kasus Virus Corona ini.

B. Anatomi Fisiologi Kasus


Virus ini termasuk ke dalam family virus Corona viridae ordo Nidovirales.
Corona artinya mahkota dengan struktur berupa protein yang disebut spike pada lapisan
luar virus. Virus ini memiliki diameter 65–125 nm, dan termasuk virus RNA. Virus ini
memiliki selubung berupa envelope dan membrane glycoprotein (Gambar 1). Spike
protein(S-protein) dari 2019 -nCoV dapat menempel pada protein angiotensin-converting
enzyme 2 (ACE2) yang terdapat pada sel epitelmanusi

(Gambar 1). Struktur firus corona

BAB III
KONSEP MEDIS

A. Pengertian
COVID-19 (coronavirus disease 2019) adalah penyakit yang disebabkan oleh
jenis coronavirus baru yaitu Sars-CoV-2, yang dilaporkan pertama kali di Wuhan
Tongkok pada tanggal 31 Desember 2019.23 Apr 2020.
B. Klasifikasi 
Saat ini ada empat subkelompok utama virus Corona di lingkungan yaitu alfa,
beta, gamma, dan delta. Selain itu, ada tujuh tipe virus corona yang dapat menginfeksi
manusia.
Tujuh tipe klasifikasi virus Corona yang bisa menginfeksi manusia adalah:
1) 229E (alpha coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang pertama
adalah HCoV-229E (alpha Coronavirus). Virus ini pertama kali ditemukan pada
sekitar tahun 1960an. Gejala virus ini hampir sama seperti virus Corona yang
telah menginfeksi banyak orang saat ini, yaitu menyerupai flu biasa. Virus HCoV-
229E lebih banyak menyerang anak-anak dan orang berusia lanjut. Namun belum
ada laporan korban jiwa yang ditimbulkan akibat terinfeksi virus ini.
2) NL63 (alpha coronavirus)
Menurut jurnal yang diterbitkan pada 25 Mei 2010 oleh US National Library of
Medicine National Institutes of Health, virus ini pertama kali ditemukan pada
tahun 2004 pada bayi berusia tujuh bulan di Belanda. Virus ini kemudian
menyebar dan diidentifikasi di berbagai negara. HCoV-NL63 telah terbukti lebih
banyak menyerang anak-anak dan orang dengan kelainan imun. Gejalanya bisa
berupa masalah pernapasan ringan seperti batuk, demam dan rhinorrhoea, atau
yang lebih serius seperti bronchiolitis dan croup, yang diamati terutama pada
anak-anak yang lebih muda.
3) OC43 (beta coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang
selanjutnya adalah HCoV-OC43 (betacoronavirus). HCoV-OC43 adalah salah
satu virus Corona yang paling umum menyebabkan infeksi pada manusia. Virus
ini dapat menyebabkan pneumonia pada manusia.
4) HKU1 (beta coronavirus)
Klasifikasi virus Corona yang paling sering menginfeksi manusia yang keempat
adalah HCoV-HKU1. Gejalanya hampir sama seperti jenis virus Corona lainnya,
yaitu infeksi saluran pernapasan atas. Walaupun terkadang pneumonia,
bronchiolitis akut, dan asthmatic axacerbation juga bisa timbul sebagai akibat dari
virus ini. Durasi demam yang ditimbulkan dari virus ini cenderung lebih singkat,
yaitu hanya sekitar 1,7 hari
1. MERS-CoV (beta coronavirus yang menyebabkan Sindrom Pernafasan di
Timur Tengah, atau MERS)
2. SARS-CoV (beta coronavirus yang menyebabkan Sindrom Pernafasan
Akut Parah, atau SARS)
3. SARS-CoV-2 (CoV baru atau COVID-19). Nama SARS-CoV-2 diberikan
untuk mengidentifikasikan famili virus.
C. Etiologi
Etiologi coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah virus dengan nama spesies
severe acute respiratory syndrome virus corona 2 yang disebut SARS-CoV-2.
 Virologi
SARS-CoV-2 merupakan virus yang mengandung genom single-stranded RNA
yang positif. Morfologi virus corona mempunyai proyeksi permukaan (spikes)
glikoprotein yang menunjukkan gambaran seperti menggunakan mahkota dan
berukuran 80-160 nM dengan polaritas positif 27-32 kb. Struktur protein utama
SARS-CoV-2 adalah protein nukleokapsid (N), protein matriks (M), glikoprotein
spike (S), protein envelope (E) selubung, dan protein aksesoris lainnya.
Famili coronaviridae memiliki empat generasi coronavirus, yaitu alpha
coronavirus (alphaCoV), beta coronavirus (betaCoV), delta coronavirus (deltaCoV),
dan gamma coronavirus (gammaCoV). AlphaCoV dan betaCoV umumnya memiliki
karakteristik genomik yang dapat ditemukan pada kelelawar dan hewan pengerat,
sedangkan deltaCoV dan gammaCoV umumnya ditemukan pada spesies avian.
SARS-CoV-2 termasuk dalam kategori betaCoV dan 96,2% sekuens genom
SARS-CoV-2 identik dengan bat CoV RaTG13. Oleh sebab itu, kelelawar dicurigai
merupakan inang asal dari virus SARS-CoV-2. Virus ini memiliki diameter sebesar
60–140 nm dan dapat secara efektif diinaktivasi dengan larutan lipid, seperti ether
(75%), ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksi asetat, dan
kloroform. SARS-CoV-2 juga ditemukan dapat hidup pada aerosol selama 3 jam.
Pada permukaan solid, SARS-CoV-2 ditemukan lebih stabil dan dapat hidup pada
plastik dan besi stainless selama 72 jam, pada tembaga selama 48 jam, dan pada
karton selama 24 jam.
 Transmisi
Kasus COVID-19 pertama kali ditemukan di pasar basah di Kota Wuhan yang
menjual binatang hidup eksotis. Oleh sebab itu, transmisi binatang ke manusia
merupakan mekanisme yang paling memungkinkan. Berdasarkan hasil genom SARS-
CoV-2, kelelawar dipercayai menjadi inang asal. Akan tetapi, inang perantara karier
dari virus ini masih belum diketahui secara pasti.Transmisi antarmanusia dapat terjadi
melalui droplet yang dikeluarkan saat individu yang terinfeksi batuk atau bersin pada
jarak ± 2 meter. Droplet yang hinggap pada mulut atau hidung dapat terinhalasi ke
paru-paru dan menyebabkan infeksi. Kontak pada barang yang sudah terkontaminasi
oleh droplet pasien COVID-19, yang diikuti dengan sentuhan pada mulut, hidung,
atau mata tanpa mencuci tangan terlebih dahulu juga dapat menjadi salah satu
transmisi penyebaran virus, walaupun rute ini bukan transmisi utama penyebaran
virus.Transmisi vertikal dari ibu ke janin secara intrauterine atau saat lahir
pervaginam sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
D. Patofisiologi
Patofisiologi COVID-19 diawali dengan interaksi protein spike virus dengan sel
manusia. Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi dan memfasilitasi ekspresi
gen yang membantu adaptasi severe acute respiratory syndrome virus corona 2 pada
inang. Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen, atau delesi, akan menyebabkan
perubahan genom yang menyebabkan outbreak di kemudian hari.
Severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) menggunakan
reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) yang ditemukan pada traktus
respiratorius bawah manusia dan enterosit usus kecil sebagai reseptor masuk.
Glikoprotein spike (S) virus melekat pada reseptor ACE2 pada permukaan sel manusia.
Subunit S1 memiliki fungsi sebagai pengatur receptor binding domain (RBD). Sedangkan
subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi membran antara sel virus dan sel inang.
Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan dikeluarkan dalam sitoplasma sel
inang. RNA virus akan mentranslasikan poliprotein pp1a dan pp1ab dan membentuk
kompleks replikasi-transkripsi (RTC). Selanjutnya, RTC akan mereplikasi dan
menyintesis subgenomik RNA yang mengodekan pembentukan protein struktural dan
tambahan.
E. Tanda dan Gejala
Virus ini menular melalui percikan dahak (droplet) dari sauran pernapasan,
misalnya ketika berada diruang tertutup yang ramai dengan sirkulasi udara yang kurang
baik atau kontak langsung dengan droplet. Covid-19 memiliki eberapa perbedaan dengan
SARS dan MERS, antara lain dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala.
Gejala awal infeksi virus corona atau Covid-19 bisa menyerupi gejala flu, yaitu
demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Setelah itu, gejala dapat
hilang dan sembuh atau malah memberat. Penderita dengan gejala yang berat bisa
mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada.
Gejala-gejala tersebut muncul ketika tubuh bereakssi melawan virus Corona.
Secara umum, ada 3 gejalah umum yang bisa menandakan seseorang terinfeksi virus
Corona yaitu :
 Demam (suhu tubuh diatas 38 derajat celsius)
 Batuk kering
 Sesak napas

Ada beberapa gejala lain yang juga bisa muncul pada infeksi virus Corona meskipun
lebih jarang yaitu :

 Diare
 Sakit kepala
 Konjungtivitis
 Hilangnya kemampuan mengecap rasa
 Hilangnya kemampuan untuk mencium bau (anosmia)
 Ruam di kulit
 Mudah lelah
 Nyeri otot
 Sakit tenggorokan
 Mual atau muntah
 Nyeri dada
 Pilek atau hidung tersumbat
 Menggigil
 Bersin-bersin

Gejala-gejala Covid-19 ini umumnya muncul dalam waktu 2 hari sampai 2 minggu
setelah penderita terpapar virus Corona. Sebagian pasien yang terinfeksi virus Corona
bisa mengalami penurunan Oksigen tanpa adanya gejala apapun. Kondisi ini disebut
happy hypoxia. Pada beberapa penderita, Covid-19dapat tidak menimbulkan gejala sama
sekali. Orang yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 melalui pemeriksaan RT-PCR
namun tidak mengalami gejala disebut sebagai kasus konfirmasi asimptomatik. Penderita
ini tetap bisa menularkan Covid-19 ke orang lain.

F. Komplikasi
1. Pneumonia
Pneumonia akan menyebabkan kantung udara yang ada di paru-paru meradang dan
membuat Anda sulit bernapas. Pada sebuah riset pada pasien positif Covid-19 yang
kondisinya parah, terlihat bahwa paru-parunya terisi oleh cairan, nanah, dan sisa-sisa
atau kotoran sel. Hal ini menghambat oksigen yang seharusnya diantarkan ke seluruh
tubuh. Padahal, oksigen sangat dibutuhkan agar berbagai organ di tubuh bisa
menjalankan fungsinya. Jika tidak ada oksigen, maka organ tersebut akan rusak.
2. Gagal napas akut
Saat mengalami gagal napas, tubuh tidak bisa menerima cukup oksigen dan tidak
dapat membuang cukup banyak karbon dioksida. Kondisi gagal napas akut terjadi
pada kurang lebih 8% pasien yang positif Covid-19 dan merupakan penyebab utama
kematian pada penderita infeksi virus corona.
3. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
ARDS adalah salah satu komplikasi corona yang cukup umum terjadi. Menurut
beberapa penelitian yang dilakukan di Tiongkok, sekitar 15% - 33% pasien
mengalaminya. ARDS akan membuat paru-paru rusak parah karena penyakit ini
membuat paru-paru terisi oleh cairan. Akibatnya, oksigen akan susah masuk,
sehingga menyebabkan penderitanya kesulitan bernapas hingga perlu bantuan
ventilator atau alat bantu napas.
4. Kerusakan hati akut
Meski virus corona menyebabkan infeksi di saluran pernapasan, tapi komplikasinya
bisa menjalar hingga ke organ hati. Orang dengan infeksi corona yang parah berisiko
paling besar mengalami kerusakan hati.
5. Kerusakan jantung
Covid-19 disebut bisa menyebabkan komplikasi yang berkaitan dengan jantung.
Gangguan jantung yang berisiko muncul antara lain aritmia atau kelainan irama
jantung, dan miokarditis atau peradangan pada otot jantung.
6. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder adalah infeksi kedua yang terjadi setelah infeksi awal dan tidak
berhubungan dengan penyakit yang awalnya diderita. Misalnya, Covid-19 adalah
infeksi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Lalu, penderitanya kemudian
mengalami infeksi lain yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus atau
streptococcus. Pada pasien Covid-19, komplikasi ini jarang terjadi, tapi masih
berpotensi untuk muncul. Sebagian ada yang ringan dan bisa sembuh. Namun,
sebagian lagi mengalami infeksi sekunder yang parah hingga menyebabkan kematian.
7. Gagal ginjal akut
Komplikasi corona yang satu ini jarang terjadi. Namun saat muncul, komplikasi
tersebut bisa sangat berbahaya. Jika fungsi ginjal sampai terganggu, maka dokter
mungkin saja melakukan proses cuci darah hingga kondisi ini sembuh. Namun
terkadang, kondisi ini tidak bisa disembuhkan dan membuat penderitanya terkena
gagal ginjal kronis dan butuh perawatan jangka panjang.
8. Syok septik
Syok septik terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi malah salah sasaran. Jadi,
bukannya menghancurkan virus penyebab penyakit, zat-zat kimia yang dibuat tubuh
justru menghancurkan organ yang sehat. Jika proses ini tidak segera berhenti, tekanan
darah akan turun drastis hingga pada tahap yang berbahaya dan menyebabkan
kematian.
9. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Penyakit ini akan membuat proses pembekuan darah terganggu. Sehingga, tubuh akan
membentuk gumpalan-gumpalan darah yang tidak pada tempatnya. Hal ini bisa
menyebabkan perdarahan pada organ dalam atau gagal organ vital (gagal ginjal, gagal
hati, gagal jantung, dan lainnya). Di Tiongkok, penyakit ini umum dialami oleh
pasien yang meninggal akibat infeksi Covid-19.
10. Rhabdomyolisis
Penyakit ini sebenarnya sangat jarang terjadi. Namun, para dokter dan peneliti
menilai penyakit ini perlu dimonitor pada pasien-pasien berisiko tinggi yang positif
Covid-19. Pada rhabdomyolisis, jaringan otot akan rusak dan mati. Hal ini
menyebabkan protein dalam sel yang disebut myoglobin menjadi tumpah memenuhi
aliran darah. Jika ginjal tidak bisa menyaring myoglobin dengan baik, maka akan
terjadi kerusakan fungsi di tubuh dan mengakibatkan kematian.
G. Pemeriksaan penunjangan
Diagnosis COVID-19 didasari dengan pemeriksaan penunjang. CT scan toraks
nonkontras merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi COVID-
19. Nucleic acid amplification test (NAAT) seperti RT-PCR dengan jenis spesimen usap
nasofaring dan orofaring merupakan baku emas untuk mengonfirmasi diagnosis COVID-
19.
 Tes Diagnostik
 Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)
 Rapid Test
 Viral Sequencing
 Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah
 Analisa gas darah (AGD)
 Tes laboratorium lainnya
H. Penatalaksanaan medik dan keperawatan
Penatalaksanaan COVID-19 tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Pada
pasien dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan secara mandiri. Pada pasien dengan
penyakit berat atau risiko pemburukan, maka perawatan di fasilitas kesehatan diperlukan.
 Terapi Suportif untuk Gejala Ringan
Pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah.
Pasien disarankan untuk menggunakan masker terutama saat melakukan kontak
dengan orang lain. Beberapa terapi suportif, seperti antipiretik, antitusif, dan
ekspektoran dapat digunakan untuk meringankan gejala pasien :
 Antipiretik/Analgetik
Pemberian antipiretik/analgetik diberikan apabila pasien memiliki temperatur
≥38 °C, nyeri kepala, atau mialgia. Pilihan terapi antipiretik/analgetik yang
dapat diberikan ketika dibutuhkan adalah paracetamol 500–1.000 mg PO
setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis 4.000 mg/hari atau ibuprofen 200–
400 mg PO setiap 4–6 jam, dengan maksimum dosis 2.400 mg/hari. Pada
pasien COVID-19, penggunaan paracetamol lebih disarankan daripada
ibuprofen karena ibuprofen memiliki luaran yang lebih buruk.
 Antitusif& Ekspektoran
Pemberian antitusif dan ekspektoran berfungsi untuk menurunkan gejala batuk
pada pasien COVID-19. Apabila pasien mengalami batuk berdahak, maka
pemberian ekspektoran dapat diberikan untuk mengencerkan sputum.
Pilhanantitusif yang dapat diberikan pada pasien adalah dextromethorphan 60
mg setiap 12 jam atau 30 mg setiap 6–8 jam PO. Terapi ekspektoran yang
dapat diberikan adalah guaifenesin 200–400 mg setiap 4 jam PO, atau 600-
1.200 mg setiap 12 jam PO, atau ambroxol 30–120 mg setiap 8–12 jam PO.
[6,20]
 Terapi Suportif untuk Gejala Berat
Pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat perlu dirawat di fasilitas
kesehatan. Pengendalian infeksi dan terapi suportif merupakan prinsip utama dalam
manajemen pasien COVID-19 dengan gejala yang berat.
 Intubasi dan Ventilasi Mekanik Protektif
Intubasiendotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas hipoksemia.
Tindakan ini dapat dilakukan oleh petugas terlatih dengan memperhatikan
kemungkinan transmisi airborne. Preoksigenasi dengan fraksi oksigen (FiO2)
100% selama 5 menit dapat diberikan dengan bag-valvemask, kantong
udara, highflow nasal oxygen, dan non-invasiveventilation.
Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih rendah (4–8
ml/kg berat badan) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau<30 cmH2O).
 Ventilasi Noninvasif
Penggunaan highflow nasal oxygen (HFNO) atau non-
invasiveventilation (NIV) digunakan saat pasien mengalami gagal napas
hipoksemia tertentu. HFNO dapat diberikan dengan aliran oksigen 60 L/menit
dan FiO2 sampai 1,0. Pada anak-anak, aliran oksigen umumnya hanya
mencapai 15 L/menit. NIV tidak direkomendasikan pada pasien gagal napas
hipoksemia atau penyakit virus pandemi karena bersifat aerosol dan berisiko
mengalami keterlambatan dilakukannya intubasi dan barotrauma pada
parenkim paru.

 Medikamentosa
Sampai sekarang, belum terdapat terapi spesifik terhadap COVID-19. Beberapa studi
saat awal pandemi telah menunjukkan potensi efikasi beberapa obat terhadap
COVID-19. Akan tetapi, bukti ilmiah saat ini menunjukkan bahwa beberapa obat
yang sering dipakai sebagai terapi COVID-19, seperti remdesivir, hidroksiklorokuin,
lopinavir, dan interferon hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki
efektivitas terhadap COVID-19. Hal tersebut diindikasikan oleh angka mortalitas,
inisiasi pemasangan ventilasi mekanik, dan durasi rawat inap yang tidak berkurang
pada penggunaan obat-obat tersebut.
 Remdesivir
Beberapa studi awal telah menunjukkan efikasi remdesivir pada pasien
COVID-19 dengan gejala sedang atau berat. Obat ini juga banyak diteliti pada
uji coba klinis di berbagai negara. Dosis yang umum digunakan pada studi
adalah 200 mg pada hari pertama, diikuti 100 mg sebagai dosis pemeliharaan
pada hari kedua.
Durasi terapi pada pasien COVID-19 yang membutuhkan ventilasi mekanik
atau extracorporealmembraneoxygenation (ECMO) adalah 10 hari. Sedangkan
pada pasien yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik atau ECMO, durasi
pengobatan yang disarankan oleh studi adalah 5 hari. Apabila kondisi klinis
tidak membaik, dapat diperpanjang sampai maksimal 10 hari.
Akan tetapi, studi internasional terbaru oleh WHO, yaitu SolidarityTrial,
mengemukakan bahwa tidak ada pengurangan dalam inisiasi ventilasi
mekanik atau durasi rawat inap pada partisipan yang diberikan remdesivir.
Studi ini juga menyatakan bahwa remdesivir tidak memiliki efikasi dalam
mengurangi angka mortalitas akibat COVID-19.[35]
 Klorokuin/Hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang telah
digunakan pada beberapa kondisi autoimun karena efek imunomodulatornya.
Pada penelitian in vitro, baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin dilaporkan
dapat menginhibisi SARS-CoV-2. Akan tetapi, studi mengenai efikasi
klorokuin dan hidroksiklorokuin dan efek sampingnya masih terus
berkembang.
Klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat menyebabkan efek samping berat,
seperti gangguan irama jantung dan gangguan mata berat. Oleh sebab itu,
FDA tidak menganjurkan penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin
sebagai pengobatan darurat apabila fasilitas uji klinis tidak tersedia atau tidak
layak.
SolidarityTrial juga mengemukakan bahwa hidroksiklorokuin tidak
menunjukkan manfaat pada pasien COVID-19, baik pada pasien yang
terventilasi mekanik maupun tidak. Hidroksiklorokuin juga tidak memiliki
efek yang pasti dalam mengurangi mortalitas, baik secara keseluruhan
maupun pada subgrup yang ditentukan berdasarkan usia, pemakaian ventilasi
mekanik, ataupun kategori lainnya.
 Lopinavir-Ritonavir
Lopinavir dan ritonavir merupakan obat inhibitor protease yang digunakan
pada infeksi HIV. Beberapa studi in vitro menemukan bahwa kombinasi
kedua agen ini dapat melawan SARS-CoV2.
Akan tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang
diberikan lopinavir-ritonavir 400/100 mg 2 kali sehari selama 14 hari tidak
memiliki efek yang signifikan terhadap perbaikan klinis maupun penurunan
mortalitas, jika dibandingkan dengan terapi standar. Temuan serupa juga
dikemukakan oleh studi yang dijalankan oleh WHO.
 Tocilizumab
Tocilizumab merupakan inhibitor interleukin-6 (IL-6) yang umum digunakan
pada rheumatoidarthritis atau systemicjuvenileidiopathicarthritis. Obat ini
dilaporkan dapat menurunkan kerusakan pada jaringan paru akibat infeksi
COVID-19 yang serius. Dalam panduan penanganan COVID-19 di Cina, obat
ini dianjurkan pada pasien COVID-19 gejala berat dengan peningkatan kadar
IL.
Beberapa studi telah menunjukkan pemberian tocilizumab dapat
meningkatkan perbaikan klinis pada pasien. Studi lebih besar dibutuhkan
untuk evaluasi efikasi dan keamanan penggunaan obat ini.
 Vitamin C Dosis Tinggi
Studi meta analisis oleh Lin etal yang melibatkan 4 uji acak terkontrol dan 2
uji retrospektif menyatakan bahwa vitamin C dosis tinggi (>50 mg/kg/hari)
dapat secara signifikan mengurangi angka kematian pasien dengan sepsis
berat. Akan tetapi, penambahan vitamin C dosis tinggi sebagai terapi
sepsis berat tidak mengurangi lama perawatan di ICU. Hasil ini didukung
hasil meta analisis oleh Li etal yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi
positif antara pemberian vitamin C pada kasus sepsis dengan kesintasan yang
lebih baik dan penggunaan durasi vasopresor yang lebih pendek. Namun uji
acak terkontrol berikutnya tidak menunjukkan bahwa pasien sepsis yang
diberikan vitamin C IV mengalami penurunan mortalitas.
Saat ini, uji klinis mengenai penggunaan vitamin C pada kasus COVID-
19 sedang berlangsung di Cina. Uji klinis tersebut membandingkan antara
kelompok plasebo dan kelompok intervensi vitamin C dosis tinggi dengan
dosis 12 gram 2 kali sehari selama 7 hari secara intravena.[40,42]
 Oseltamivir
Oseltamivir merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya untuk
pengobatan influenza A dan B. Obat ini bekerja dengan menghambat
neuraminidase yang terdistribusi pada permukaan virus, sehingga mencegah
penyebaran virus pada tubuh pasien. Obat ini banyak digunakan di Cina
sebagai terapi COVID-19, tetapi belum banyak bukti yang menunjukkan
efektivitas obat ini. Oseltamivir telah direkomendasikan oleh Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) sebagai pengobatan COVID-19 untuk pasien
dengan gejala ringan sampai berat dengan dosis 75 mg/12 jam PO selama 5–7
hari.
Akan tetapi, tampaknya telah terjadi salah penafsiran pada awal pandemi
bahwa oseltamivir direkomendasikan oleh pedoman dari Amerika Serikat
sebagai terapi influenza musiman, sehingga obat ini ditujukan untuk pasien
dengan gejala influenza yang secara klinis bisa saja pasien tersebut menderita
COVID-19. Saat ini, oseltamivir sudah tidak dianjurkan dalam pedoman
tersebut.
 Umifenovir
Umifenovir merupakan agen yang telah disetujui di negara Rusia dan Cina
sebagai terapi dan profilaksis influenza. Obat ini bekerja dengan menginhibisi
fusi virus dengan sel inang. Efikasiumifenovir sebagai terapi COVID-19
sampai sekarang masih sangat terbatas. Studi Wang etal menunjukkan bahwa
pengobatan umifenovir dapat meningkatkan tingkat pemulangan pasien
dengan penurunan tingkat kematian.
Namun, studi Huang etal menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup
untuk membuktikan penggunaan umifenovir dapat memperbaiki luaran klinis.
Berdasarkan pedoman penanganan COVID-19 di Indonesia, penggunaan
umifenovir masih tidak disarankan karena membutuhkan studi lebih lanjut.
 Nitazoxanide
Nitazoxanide merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk terapi diare
infeksius yang berhubungan dengan parasit dan enteritis. Beberapa studi lain
juga telah menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek antiviral dengan
mengganggu translasi seluler virus, reproduksi, dan penyebaran virus.
Walaupun berdasarkan teori obat ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi
COVID-19, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi efikasi dan
keamanan obat ini. Obat ini juga masih belum disetujui penggunaannya di
Indonesia.
 CamostatMesylate
Camostatmesylate merupakan obat yang telah disetujui penggunaannya di
Jepang untuk pengobatan pankreatitis. Studi telah menunjukkan bahwa
camostatmesylate dapat menginhibisi infeksi SARS-CoV-2 dari sel paru
dengan cara menghambat protease TMPRSS2 pada sel inang yang dibutuhkan
virus untuk infeksi. Sampai sekarang, belum ada studi yang menunjukkan
efikasi dan keamanan obat ini untuk pasien COVID-19, sehingga
penggunaannya masih tidak disarankan.
 Interferon Tipe I (IFN-I)
Interferon tipe I (IFN-I) merupakan salah satu sitokin yang diproduksi saat
infeksi virus. IFN-I dapat mengaktivasi interferon-stimulatedgenes (ISG) yang
berperan dalam mengganggu replikasi virus dan meningkatkan imunitas
adaptif. Pada studi binatang, telah ditemukan bahwa IFN-1 lebih sensitif
terhadap SARS-CoV-2 daripada coronavirus lainnya.
Saat ini, belum banyak data tentang mortalitas pasien COVID-19 yang
berkaitan dengan interferon-β1a. Namun SolidarityTrial menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengurangan angka mortalitas pada pasien COVID-19 yang
mendapatkan interferon-β1a secara intravena atau subkutan. Farmakokinetik
obat ini berbeda-beda berdasarkan rute pemberiannya. Studi tentang efikasi
interferon-β1a yang diberikan secara subkutan dan nebulisasi sedang
berlangsung.
 Azithromycin
Azithromycin merupakan antibakteri yang memiliki efek antiviral yang
signifikan seperti pada virus ebola, Zika, respiratorysyncytial virus, influenza
H1N1, enterovirus, dan rhinovirus. Azithromycin dapat mengganggu
masuknya virus dalam sel inang dan meningkatkan respons imun terhadap
virus. Berapa studi sudah menunjukkan efikasiazithromycin pada COVID-19.
Studi lebih lanjut mengenai azithromycin sebagai monoterapi pada pasien
COVID-19 perlu dilakukan. Berdasarkan pedoman COVID-19 di Indonesia,
pemberian azithromycin dianjurkan pada pasien yang dicurigai atau
terkonfirmasi COVID-19 dengan dosis 1x500 mg PO selama 5 hari untuk
kasus ringan dan 500 mg/24 jam IV atau PO selama 5–7 hari untuk kasus
sedang sampai berat.
 Kolkisin
Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang umum digunakan sebagai
terapi gout. Obat ini bekerja dengan mengganggu migrasi neutrofil ke daerah
inflamasi dan menghentikan kompleks inflamasi dari neutrofil dan monosit.
Pada pasien COVID-19, efek ini berfungsi untuk menurunkan inflamasi
miosit kardiak. Efek kolkisin dalam menurunkan badai sitokin pada pasien
COVID-19 sampai sekarang masih diteliti lebih lanjut. Penggunaan kolkisin
pada pasien COVID-19 juga belum direkomendasikan dan menunggu studi
yang lebih besar.
 Plasma Konvalesen
Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen memiliki luaran
klinis yang lebih baik dan dapat menurunkan tingkat kematian. Studi
pemberian plasma konvalesen pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan
hingga sedang sedang diteliti pada berbagai senter uji klinis di seluruh dunia.
Dosis baku yang diperlukan sampai sekarang masih belum dapat ditentukan
dan masih menunggu kepastian dari studi di berbagai negara.
Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan plasma pasien COVID-19 yang
sudah sembuh dengan metode plasmaferesis kepada pasien COVID-19 yang
berat atau mengancam nyawa.
 Terapi Lainnya.
Penggunaan kortikosteroid, seperti dexamethasone kini telah terbukti dapat
menurunkan mortalitas pada kasus COVID-19 yang berat, yaitu pasien yang
mendapatkan intubasi dan ventilasi mekanik atau non-
invasiveventilation (NIV) atau highflow nasal oxygen (HFNO).
Dexamethasone tidak diindikasikan pada kasus COVID-19 yang ringan dan
hanya diberikan jika ada indikasi tertentu. Penggunaan antibiotik juga harus
diberikan sesuai kemungkinan etiologi. Pada keadaan sepsis, antibiotik
empiris dapat diberikan dalam waktu 1 jam. Pada pasien COVID-19 yang
diterapi menggunakan obat antiinflamasinonsteroid (OAINS), ditemukan
memiliki luaran yang buruk. Penggunaan OAINS dapat diberikan hanya jika
terdapat indikasi klinis. Saat ini penggunaan ivermectin untuk profilaksis dan
terapi COVID-19 juga sedang diteliti lebih lanjut. Protokol MATH+ untuk
manajemen COVID-19 juga saat ini sedang diteliti lebih lanjut.
 Pengendalian Infeksi
Pasien suspek COVID-19 harus dirawat di kamar isolasi dengan pintu tertutup dan
menggunakan masker bedah. Tenaga kesehatan yang merawat harus dilengkapi
dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai.
 Vaksinasi
Pengembangan vaksin COVID-19 menggunakan DNA, mRNA, protein rekombinan,
dan vektor adenovirus kini sedang banyak diteliti. Beberapa vaksin, seperti INO-
4800, mRNA-1273, Ad5-nCoV, LV-SMENP-DC, dan pathogen-
specificaAPC sedang dalam proses uji klinis manusia fase 1. Saat ini, di Indonesia
juga sedang dilakukan penelitian fase III vaksin COVID-19 oleh Universitas
Padjadjaran bersama dengan SinovacBiotech.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan pasien menurut Lyer et al (1996, dalam Setiadi,
2012).
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisanya (Manurung, 2011).
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan menurut Effendy (1995, dalam Dermawan, 2012).
1. Tujuan pengkajian menurut Dermawan (2012) adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan pasien.
b. Untuk menentukan masalah keperawatan dan kesehatan pasien.
c. Untuk menilai keadaan kesehatan pasien.
d. Untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
berikutnya.
2. Tipe data menurut Setiadi (2012) adalah sebagai berikut:
a. Data subjektif Data subjektif adalah deskripsi verbal pasien mengenai
masalah kesehatannya. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan
termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status kesehatannya.
Sumber data lain dapat diperoleh dari keluarga, konsultan dan tenaga
kesehatan lainnya.
b. Data objektif Data objektif adalah hasil observasi atau pengukuran dari
status kesehatan pasien.
3. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pengkajian Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pengkajian menurut Dermawan (2012) adalah sebagai berikut:
a. Data yang dikumpulkan harus menyeluruh meliputi aspek bio-psiko-sosial
dan spiritual.
b. Menggunakan berbagai sumber yang ada relevansinya dengan masalah
pasien dan menggunakan cara-cara pengumpulan data yang sesuai dengan
kebutuhan pasien.
c. Dilakukan secara sistematis dan terus menerus.
d. Dicatat dalam catatan keperawatan secara sistematis dan terus menerus.
e. Dikelompokkan menurut kebutuhan bio-psiko-sosial dan spiritual.
f. Dianalisis dengan dukungan pengetahuan yang relevan.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga,
atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual
atau potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan rencana
tindakan asuhan keperawatan. Diagnosis keperawatan sejalan dengan diagnosis medis
sebab dalam mengumpulkan data-data saat melakukan pengkajian keperawatan yang
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa keperawatan ditinjau dari keadaan penyakit
dalam diagnosa medis. Langkah-langkah dalam penulisan diagnosa keperawatan terdiri
dari:
1. Pengelompokan Data dan Analisa data
a) Data Subjektif Contoh: “Pasien mengeluhkan nyeri saat menelan karena ada
tumor di leher, akibatnya BB turun lebih dari 10 kg dalam 12 bulan berakhir,
karena nyeri menelan”.
b) Data Objektif Contoh: TB = 165 cm, BB = 45 kg.
2. Interpretasi Data
Contoh: Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
3. Validasi Data
Validasi data ini dilakukan untuk memastikan ke akuratan diagnosa dimana
perawat bersama pasien memvalidasi diagnosa sehingga diketahui bahwa pasien
setuju dengan masalah yang sudah dibuat dan faktor-faktor yang mendukungnya.
Contoh: Perawat mengukur BB pasien akibat tumor yang dideritanya.

4. Penyusunan Diagnosa Keperawatan (dengan rumusan P+E+S)


P = Problem
E = Etiolog
S = Symptom.
Contoh: Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat ditandai dengan klien
mengatakan BB turun lebih dari 10 kg dalam 12 bulan terakhir, TB = 165 cm,
BB = 45 kg.
Dari contoh diagnosa di atas, dapat diketahui:
o Problemnya adalah: gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
o Etiologinya adalah: intake yang tidak adekuat.
o Symptomnya adalah: klien mengatakan BB turun lebih dari 10 kg
dalam 12 bulan terakhir, klien mengeluh nyeri saat menelan,
sehinggan menghindari untuk tidak makan, TB = 170 cm, BB = 50 kg.
Tanngal Symptom (S) Etilogi (E) Problem (P)
ditemukan

C. Perencanaan Keperawatan
1) Intervensi Keperawatan dan Rasional
Menurut Nursing Interventions Classification (NIC) (2013), intervensi
keperawatan merupakan suatu perawatan yang dilakukan perawat berdasarkan
penilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk meningkatkan outcoem pasien/klien.
Intervensi keperawatan adalah panduan untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari
klien, dan atau/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi
dilakukan untuk membantuk klien mencapai hasil yang diharapkan (Deswani, 2009).
Menurut kozier, et al (2010), intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan
dengan jelas. Pengelompokkan seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan
besarnya, menunjukkan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: mandiri (dilakukan oleh perawat) dan kolaboratif
(yang dilakukan bersama dengan pemberi perawatan lainnya). Perencanaan adalah
suatu kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan berpusat pada klien dan hasil
yang di perkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai
tujuan tersebut (Potter & Perry, 2005). Tahap perencanaan berfokus pada
memprioritaskan masalah, merumuskan tujuan dan kriteria hasil, membuat instruksi
keperawatan, dan mendokumentasikan rencana asuhan keperawatan.

2) Kolaborasi dan Rasional


Dalam menjalankan tugasnya perawat tidak dapat melakukannya seorang diri,
perawat akan berkolaborasi dengan tim medis lain seperti dokter, analis kesehatan,
ahli gizi, apoteker, farmasi dan lainnya. Kolaborasi perawat dengan tim medis
lainnya sangat bermanfaat dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan asuhan
keperawatan yang baik dan benar, manfaat yang didapat dari kolaborasi antara
perawat dan tim medis lainnya adalah sebagai berikut:

- Kemampuan dari pelayanan kesehatan yang berbeda dapat terintegrasikan


sehingga terbentuk tim yang fungsional.
- Kualitas pelayanan kesehatan dan jumlah penawaran pelayanan meningkat
sehingga masyarakat mudah menjangkau pelayanan kesehatan.
- Bagi tim medis dapat saling berbagi pengetahuan dari profesi kesehatan
lainnya dan menciptakan kerjasama tim yang kompak.
- Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan manggabungkan
keahlian unik professional.
- Memaksimalkan produktivitas serta efektivitas dan efisiensi sumberdaya.
- Meningkatkan kepuasan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja.
- Peningkatan akses ke berbagai pelayanan kesehatan.
- Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan.
- Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar tenaga kesehatan
profesional sehingga dapat saling menghormati dan bekerjasama.
- Agar tim kesehatan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
3) Edukasi dan Rasional
Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui
teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta atau
kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self
direction), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru (Craven dan Hirnle,
1996 dalam Suliha, 2002). Edukasi merupakan serangkaian upaya yang ditujukan
untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan
masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (Setiawati, 2008).
Definisi di atas menunjukkan bahwa edukasi adalah suatu proses perubahan
perilaku secara terencana pada diri individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat
lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Edukasi merupakan proses belajar
dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu dan dari tidak mampu mengatasi
kesehatan sendiri menjadi mandiri (Suliha, 2002). Dalam keperawatan, edukasi
merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien
baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan
sebagai perawat pendidik.Pelaksanaan edukasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut: pengkajian
kebutuhan belajar klien, penegakan diagnosa keperawatan, perencanaan edukasi,
implementasi edukasi, evaluasi edukasi, dan dokumentasi edukasi (Suliha, 2002).
DAFTAR PUSTAKA

McCloskey, Joanne C., Bullechek, Gloria M. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC).
St. Loui: Mosby.

Budiono. 2016. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Butcher, H.K., Bulechek G.M., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. 2018. Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Ketujuh. Philadelphia: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai