Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Jalan Raya


Jalan raya adalah jalur – jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuatoleh
manusia dengan bentuk, ukuran – ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat
digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan, dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ketempat lainnya dengan mudah dan cepat
(Silvia, 1994).

Secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat


mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu
(Arthur,1999)

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang ada di permukaan tanah di bawah permukaan tanah dan atau air, serta di
atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan kabel (UU No. 38 Tahun
2004).

2.2. Macam Perkerasan Jalan


Silvia, (1994), menyatakan bahwa berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi
jalan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

2.2.1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) adalah lapisan perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan ikat antar material. Lapisan – lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan meneruskan serta menyebarkan beban lalu
lintas ke tanah dasar. Perkerasan lentur (Flexible Pavement) merupakan
perkerasan yang terdiri dari atas beberapa lapis perkerasan. Bagian yang ada
pada perkerasan lentur, terdiri dari :
- Lapisan Permukaan (Surface Course)
- Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
- Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
- Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade)

12
2.2.2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) adalah lapisan perkerasan yang
menggunakan semen sebagai bahan ikat antar materialnya. Plat beton dengan
atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis
pondasi bawah. Beban lalu lintas dilimpahkan ke plat beton. Bagian yang ada
pada perkerasan Kaku, terdiri dari :

- Lapisan Perkerasan Beton PC (Concrete Slab)


- Lapisan Pondasi (Sub Base Course)
- Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade)

2.2.3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)


Perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan pererasan lentur dapat
berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku. Perkerasan komposit
merupakan gabungan lapisan perkerasan kaku (Rigid Pavement) dan lapisan
perkerasan lentur (Flexible Pavement) di atasnya, dimana kedua jenis
perkerasan ini bekerja sama dalam memikul beban lalu lintas. Untuk ini maka
perlu ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai kekakuan
yang cukup serta dapat mencegah retak refleksi dari perkerasan beton di
bawahnya. Bagian yang ada pada perkerasan komposit, terdiri dari :

- Lapisan Permukaan Aspal (Bituminous Surfacing)


- Lapisan Perkerasan Beton PC (Concrete Slab)
- Lapisan Pondasi Bawah raya / Sub (Sub Base Course)
- Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade)
2.3. Klasifikasi Jalan
Sesuai dengan Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 bahwa suatu jalan dikelompokkan berdasarkan
sistem jaringan, fungsi, kelas dan statusnya. Tiap-tiap kondisi memiliki klasifikasi
yang berbeda-beda. Berdasarkan fungsinya jalan dibedakan menjadi :

a. Jalan Arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien (Undang – undang RI No. 13 Tahun 1980).
b. Jalan Kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul / pembagi dengan
ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata – rata sedang dan jumlah jarak
masuk dibatasi (Undang – undang RI No. 13 Tahun 1980).

c. Jalan Lokal yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata – rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi (Undang – undang RI No. 13 Tahun 1980).

Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara


Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No 038/T/BM/1997, disusun
pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Ketentuan klasifikasi : Fungsi, Kelas Beban, Medan


FUNGSI
ARTERI KOLEKTOR LOKAL
JALAN
KELAS I II IIIA IIIA IIIB IIIC
JALAN
Muatan Sumbu >10 10 8 8 8 Tidak ditentukan
Terberat, (ton)
D B G D B G D B G
TIPE MEDAN
Kemiringan <3 3-25 >25 <3 3-25 >25 <3 3-25 >25
Medan, (%)
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997
Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Administratif) sesuai PP. No.
26/1985 : Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa
dan Jalan Khusus Keterangan : Datar (D), Perbukitan (B) dan Pegunungan (G).

2.4. Penampang Melintang Jalan


Pada penampang melintang jalan akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa
kelandaian, mendaki, ataupun menurun. Pada perencanaan ini yang dipertimbangkan
adalah bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan dengan
memperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan, jarak pandang, dan fungsi jalan.
Penampang melintang berkaitan pula dengan pekerjaan tanah yang mungkin
menimbulkan galian dan timbunan. Penampang melintang jalan merupakan potongan
melintang tegak lurus jalan. Potongan melintang jalan merupakan potongan
melintang tegak lurus sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat
bagian - bagian jalan.

Bagian – bagian jalan yang utama dapat dikelompokkan sebagai berikut :


a. Bagian langsung yang berguna untuk lalu lintas
1. Jalur lalu lintas
Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan
untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane)
kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian beroda empat atau lebih
dalam satu arah. Jadi jumlah lajur minimal untuk jalan 2 arah adalah 2 dan pada
umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk 1 arah
minimal terdiri dari 1 lajur lalu lintas (Silvia, 1999).

2. Lebar Lajur lalu lintas


Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar
melintang jalan secara keseluruhan. Besarnya lebar lalu lintas hanya dapat
ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena :

a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin dapat diikuti oleh lintasan
kendaraan lain dengan tepat.
b. Lajur lalu lintas tak mungkin tepat sama dengan lebar kendaraan maksimum.
Untuk keamanaan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang
gerak antara kendaraan.

c. Lintasan kendaraan tidak mungkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas,
karena selama bergerak kendaraan akan mengalami gaya – gaya samping
seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentrifugal ditikungan, dan gaya angin
akibat kendaraan lain yang menyiap.

3. Bahu Jalan
Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang
berfungsi sebagai berikut :

a. Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok atau sekedar
berhenti untuk beristirahat.

b. Ruangan untuk menghindarkan diri dari saat – saat darurat, sehingga dapat
mencegah terjadinya kecelakaan.
c. Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan
kapasitas jalan yang bersangkutan.

d. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.


e. Ruang Pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau
pemeliharaan jalan (tempat penempatan alat – alat dan penimbunan material)

f. Ruang untuk lalu lintas kendaraan – kendaraan patroli, yang sangat dibutuhkan
pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan.

4. Trotoar ( Jalur pejalan kaki/ side walk).


Trotoar adalah yang terletak berdampingan pada jalur lalu lintas yang khusus
dipergunakan untuk pejalan kaki (pendestrian). Untuk keamanan pejalan kaki
maka trotoar harus dibuat terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik
berupa kereb. Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur
lalu lintas yang khusus dipergunakan untuk pejalan kaki yan diinginkan, dan
fungsi jalan. Untuk itu lebar 1,5 – 2,0 m merupakan nilai umum yang
digunakan.
5. Median
Pada arus lalu lintas yang tinggi sering kali dibutuhkan median guna
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah. Jadi median adalah jalur
yang terletak ditengah jalan yang membagi jalan dalam masing – masing arah.
Lebar median bervariasi 1,0 – 1,2 m. Median dengan panjang sampai 5 m
sebaiknya ditinggikan dengan kereb atau dilengkapi dengan pembatas agar
tidak dilanggar kendaraan.

b. Bagian yang berguna untuk drainase jalan


1. Saluran samping
Saluran samping berbentuk trapesium atau persegi panjang. Untuk daerah
perkotaan dimana daerah pembebasan jalan sudah terbatas, maka saluran
samping dapat dibuat persegi panjang dari konstruksi beton dan ditempatkan
dibawah trotoar. Saluran samping berguna untuk :

a. Mengalirkan air dari permukaan perkerasan jalan atau pun dari bagian luar
jalan.

b. Menjaga supaya konstruksi jalan selalu berada dalam keadaan kering tidak
terendam air.
2. Kemiringan Melintang jalur lalu lintas
Talud jalan umumnya dibuat 2 H : 1 V, tetapi untuk tanah – tanah yang mudah
longsor talud jalan harus dibuat sesuai dengan besarnya landai yang aman.
Berdasarkan keadaan tanah lokasi tersebut, mungkin saja dibuat beronjong,
tembok penahan tanah, bertingkat (brem) atau pun hanya ditutupi rumput saja.

Keterangan :
H = Tinggi Talud
V = Kemiringan Talud
3. Kemiringan melintang bahu.
4. Kemiringan tegak.
c. Bagian pelengkap jalan
1. Kereb
Kereb adalah penonjolan atau peninggian tepi perkerasan atau bahu jalan, yang
terutama dimaksudkan untuk keperluan – keperluan dranenase, mencegah
keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan, dan memberikan ketegasan tepi
perkerasan.

2. Pengaman tepi
Pengaman tepi bertujuan untuk memberikan ketegasan tepi badan jalan. Jika
terjadi kecelakaan, dapat mencegah kendaraan keluar dari badan jalan.
Umumnya dipergunakan di sepanjang jalan yang menyusur jurang, pada tanah
timbunan dengan tikungan yang tajam, pada tepi – tepi jalan dengan tinggi
timbunan lebih besar dari 2,5 meter, dan pada jalan – jalan dengan kecepatan
tinggi (Silvia, 1999).

d. Bagian konstruksi jalan


1. Lapisan perkerasan jalan
2. Lapisan pondasi atas
3. Lapisan pondasi bawah
4. Lapisan tanah dasar
e. Daerah manfaat jalan (DAMAJA)
Daerah Manfaat Jalan adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi
dan kedalaman ruang bebas yang diperuntukan bagi median, perkerasan jalan,
jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman,
dan bangunan pelengkap jalan, antara lain :
a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan
b. Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan
c. Kedalaman ruang bebas 1,5 m dibawah muka jalan
f. Daerah milik jalan (DAMIJA)
Daerah Milik Jalan adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan
tinggi tertentu yang diperuntunkan bagi DAMAJA dan pelebaran jalan maupun
penambahan jalur lalu lintas dikemudian hari.

g. Daerah pengawasan jalan ( DAWASJA)


Daerah Pengawasan Jalan adalah ruang sepanjang jalan di luar jalan DAMIJA
yang dibatasi oleh tinggi dan lebarutertent
dan diperuntunkan bagi pandangan
bebas pengemudi dan pengaman konstruksi jalan, diukur dari sumbu jalan sesuai
dengan fungsi jalan :
1. Jalan Arteri minimum 20 meter
2. Jalan Kolektor minimum 15 meter
3. Jalan Lokal minimum 10 meter

-3% -3%

Gambar 2.1
. DAMAJA, DAMIJA, DAWASJA, di lingkungan jalan antar kota
( TPGJAK )
2.5. Kapasitas Jalan
Dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997), Kapasitas
Jalan adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan pada suatu bagian
jalan pada kondisi tertentu dinyatakan dalam satuan mobil penumpang per jam.

Sedangkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), Kapasitas Jalan


didefinisikan sebagai arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (tetap)
pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (biasanya dinyatakan dalam kend/jam
atau smp/jam). Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua
arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisah per
arah dan kapasitas ditentukan per lajur.

Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas lalu lintas adalah :


1. Faktor lalu lintas yang meliputi sifat – sifat lalu lintas, antara lain :
a. Persentase kendaraan Bus dan Truk
b. Pembagian jalur lalu lintas
c. Variasi dalam arus lalu lintas.
2. Faktor fisik jalan meliputi :
a. Lebar jalan perkerasan
b. Lebar bahu jalan
c. Kebebasan samping
d. Tikungan dan kelandaian jalan
e. Kondisi permukaan perkerasan jalan.
Persamaan dasar untuk menghitung kapasitas ruas jalan dalam (MKJI, (1997))
adalah sebagai berikut :

1. Jalan Perkotaan
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs
2. Jalan Luar Kota
C = Co x FCw x FCsp x FCsf
3. Jalan Bebas Hambatan C
= Co x FCw x FCsp

Keterangan : C = Kapasitas ruas jalan (smp/jam)


Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah
FCsf = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
2.6. Perencanaan Geometrik
Kontrol geometrik jalan secara umum menyangkut aspek-aspek bagian jalan,
lebar jalan tipe alinyemen, kebebasan samping, jarak pandang serta kemiringan
melintang. Tujuan dari geometrik jalan adalah untuk mengetahui tipe alinyemen pada
jalan tersebut.Tipe alinyemen dapat ditentukan dengan menghitung lengkung vertikal
dan lengkung horizontal.

Tabel 2.2. Pembagian Tipe Alinyemen


Tipe Alinyemen Lengkung Vertikal Lengkun Horizontal
(m/kg) (rad/kg)
Alinyemen Data < 10 < 1.0
Alinyemen Bukit 10 – 30 1.0 -2.5
Alinyemen Gunung > 30 <21.5
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 1997

Adapun fungsi kontrol geometrik jalan adalah untuk penentuan kapasitas dasar
pada jalan tersebut.Tujuan secara umum yaitu tercapainya syarat-syarat yang ada pada
konstruksi jalan tersebut seperti keamanan dan kenyamanan.
2.6.1. Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Untuk perencanaan
geometrik jalan, ukuran kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar lajur
yang dibutuhkan. Kendaraan rencana dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Kendaraan Ringan / Kecil (LV)


Kendaraan ringan / kecil adalah kendaraan bermotor ber as dua dengan
empat roda dan dengan jarak as 2,0 – 3,0 m ( meliputi : mobil penumpang,
oplet, microbus, pick up, dan truck kecil sesuai sistem klasifikasi Bina
Marga).

2. Kendaraan Sedang (MHV)


Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 -5,0 m (termasuk
bus kecil, truck 2 as dengan enam roda, sesuai dengan klasifikasi Bina
Marga).

3. Kendaraan Berat / Besar (LB – LT)


a. Bus Besar (LB)
Bus dengan dua tiga gandar dengan jarak as 5,0 - 6,0 m
b. Truk Besar (LT)
Truck tiga gandar dan truk kombinasi tiga, jarak gandar (gandar pertama
kedua) < 3,5 m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

4. Sepeda Motor (MC)


Kendaraan bermotor dengan beroda 2 atau 3 (meliputi : sepeda motor, dan
kendaraan roda tiga sesuai klasifikasi Bina Marga).

5. Kendaraan Tak Bermotor


Kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan ( meliputi :
sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai klasifikasi Bina
Marga).

Catatan : Kendaran tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu
lintas tetapi unsur hambatan samping.

Tabel 2.3. Dimensi Kendaraan Rencana


DIMENSI
KATEGORI KENDARAAN TONJOLAN RADIUS PUTAR RADIUS
KENDARAAN (cm) (cm) (cm) TONJOLAN

RENCANA
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum

( cm )
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

2.6.2. Satuan Mobil Penumpang (smp)


Satuan Mobil Penumpang (smp) adalah Satuan arus lalu lintas, dimanan
arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan
(termasuk mobil penumpang) menggunakan emp.

Tabel 2.4. Ekivalen Mobil Penumpang (emp)


No. Jenis Kendaraan Datar/ Pegunungan
Perbukitan

1. Sedan, Jeep, Station Wagon. 1,0 1,0

2. Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil. 1,2-2,4 1,9-3,5


3. Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0

Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

2.6.3. Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR)


Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah perkiraan volume
lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam
smp/hari. Sedangkan Volume Jam Rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu
lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam smp/hari.

di mana K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan
F(disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam
dalam satu jam.VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan
fasilitas lalu lintas lainnya yang diperlukan.

Tabel 2.5.
Penentuan VLHR FAKTOR-K FAKTOR-F
faktor – K (%) (%)
dan faktor-
F > 50.000 4-6 0,9 - 1
berdasarkan
Volume 30.000- 50.000 6-8 0,8 - 1
Lalu Lintas 10.000 - 30.000 6-8 0,8 - 1
Harian
Rata-rata. 5.000 - 10.000 8-10 01,6-0,8

1.000- 5.000 10 – 12 0,6-0,8


< 1.000 12 – 16 < 0,6
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

2.6.4. Kecepatan Rencana (Vr)


Kecepatan rencana (Vr) pada ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan –
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lenggang, dan tanpa pengaruh samping jalan yang berarti.
Kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan geometrik pada setiap
bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang,.

Tabel 2.6. Kecepatan Rencana (Vr) sesuai

Jalur 1alu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu
lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Jalur lalu lintas
dapat terdiri atas beberapa lajur. Lebar jalur sangat ditetukan oleh jumlah
dan lebar lajur peruntukannya. Lebar jalur minimum adalah 4,5 meter,
memungkinkan 2 kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua
kendaraan besar yang terjadi sewaktu – waktu dapat menggunakan bahu
jalan.

Batas jalur lalu lintas dapat berupa:

a. Median;

b. Bahu;
c. Trotoar;
d. Pulau jalan; dan
e. Separator.
Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa tipe, yaitu :

a. 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)

b. I jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)


c. 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
d. 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 B), di
mana n = jumlah lajur.
Keterangan: TB
= tidak terbagi.
B
= terbagi

Tabel 2.7. Penentuan


Kelas Lebar jalur (m) Lebar bahu sebelah luar (m)
Jalan Disarankan Minimun Tanpa trotoar Ada trotoar
Disarankan Minimun Disarankan Minimum
I 3,60 3,50 2,50 2,00 1,00 0,50
II 3,60 3,00 2,00 2,00 0,50 0,25
IIIA 3,60 2,75 2,00 2,00 0,50 0,25
IIIB 3,60 2,75 2,00 2,00 0,50 0,25
IIIC 3,60 *) 1,50 0,50 0,50 0,25

lebar jalur dan bahu


Sumber: TPGJAK no.038/T/BM/1997
Keterangan : *) jalan 1-jalur-2 arah, lebar 4,50 m

VLHR ARTERI KOLEKTOR LOKAL


(smp/hari) Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
<3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3.000-
7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10.000
10.001-
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -
25.000
>25.000 2n 2,5 2×7,0*) 20 2n 2,0 **) **) - - - -
3,5*) 3,5*)

Tabel 2.8. Penentuan lebar jalur dan bahu pada kelas jalan
Sumber: TPGJAK no.038/T/BM/1997
Keterangan: ** ) = Mengacu pada persyaratan ideal
*) = 2 jalur terbagi, masing – masing n × 3, 5m, di mana

n= Jumlah lajur per jalur

- = Tidak ditentukan

2.6.6. Lajur Lalu Lintas


Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu
kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada
kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan
fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 2.9.

Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan


tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya
tidak lebih dari 0.80.
Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut

:
a. 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
b. 4-5% untuk perkerasan kerikil

Tabel 2.9. Lebar Lajur Jalan Ideal.

FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR

IDEAL (m)

Arteri I 3,75
II, III A
3,50

Kolektor III A. III B 3,00

Lokal III C 3,00

Sumber: TPGJAK no.038/T/BM/1997

Gambar 2.2.Kemiringan Melintang Jalan Normal

2.6.7. Jarak Pandangan


Jarak Pandanganadalah suatu jarak yang diperlukan oleh pengemudi
pada saat mengemudi, sehingga jikapengemudi melihat uatu
s halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi) untuk
menghindari bahaya tersebut dengan aman.
Dilihat dari kegunaanya Jarak Pandangan terdiri dari :
a. Jarak Pandangan Henti (Jh)
1. Jarak Pandangan Henti Minimum
Jarak pandangan henti minimum (Jh) adalah Jarak minimum yang
ditempuh pengemudi untuk menghentikan kendaraanya dengan aman
begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap tiitk di sepanjang jalan
harus memenuhi ketentuan Jh.

2. Asumsi Tinggi
Jarak Pandang Henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata
pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari
permukaan jalan.
3. Elemen Jarak Pandang Henti
Jarak Pandangan Henti terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
1. Jarak Tangkap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus
berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.

2. Jarak Pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk


menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.

Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:

Dimana :
VR = Kecepatan rencana (km/jam) T = Waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = Percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det 2 f = Koefisien gesek
memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-0,55.

Persamaan di atas disederhanakan menjadi:

Tabel 2.10. berisi Jh minimum yang dihitung berdasarkan persamaan di


atas dengan pembulatan - pembulatan untuk berbagai VR.
Tabel 2.10. Jarak Pandang Henti (Jh) minimum

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 2


0

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 1


6

Sumber: TPGJAK no.038/T/BM/1997

b. Jarak Pandangan Mendahului (Jd)


Jarang Pandangan Mendahului (Jd) adalah jarak pandangan yang dibutuhkan
untuk dapat mengetahui kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya
dengan menggunakan lajur untuk arah yang berlawanan . Jarak Pandangan
Mendahului diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.
Keterangan :
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari lingkaran (m)
Maka: E = R’ ( 1 – )

2. Jarak pandangan lebih besar dari panjang tikungan (Jh > Lt)

Gambar 2.4
. Jarak pandangan pada lengkung horizontal

m = R’( )+( in )
Keterangan:
Jh = Jarak pandang henti
Lt = Panjang lengkung total
R = Jari-jari tikungan
R’ = Jari-jari sumbu lajur

2.6.9. Alinyemen Horizontal


Alinyemen Horizontal adalah Proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Biasanya alinyemen horizontal dikenal dengan situasi jalan atau
trase jalan. Dalam perencanaan geometrik pada bagian lengkung jalan ini
dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh
kendaraan yang berjalan pada kecepatan (Vr), sehingga untuk keselamatan
pemakai jalan jarak pandangan dan daerah bebas samping jalan harus
dipertimbangkan. Gaya yang dapat mengimbangi gaya sentrifugal tersebut
dapat berasal dari gaya gesekan melintang antara ban dan kendaraan dengan
permukaan jalan atau dari komponen berat kendaraan akibat kemiringan
melintang permukaan jalan.

Pada perencanaan alinemen horisontal,umumnya akan ditemui dua bagian


jalan, yaitu : bagian lurus dan bagian lengkung atau umum disebut tikungan
yang terdiri dari 3 jenis tikungan yang digunakan, yaitu : a. Lingkaran ( Full
Circle = F-C)

b. Spiral – Lingkaran - Spiral ( Spiral- Circle- Spiral = S-C-S )


c. Spiral-Spiral ( S-S )
2.6.9.1. Panjang Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam
waktu ≤ 2,5 menit (Sesuai Vr), dengan pertimbangan keselamatan
pengemudi akibat dari kelelahan.

Tabel 2.12. Panjang Bagian Lurus Maksimum


Sumber : TPGJAK Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum ( m ) No 038/T/BM/1997
Datar Bukit Gunung
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolekto 2.000 1.750 1.500
r

2.6.9.2. Tikungan
a. Jari – Jari Tikungan Minimum
Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut
superelevasi (e). Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi,
akan terjadi gesekan a rah melintang jalan antara ban dan kendaraan
dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan
melintang. Perbandingan gaya gesekan dengan gaya normal disebut
koefisien gesekan melintang.

Rumus penghitungan lengkung horizontal dari buku TPGJAK :


Rmin =

Dd =
Keterangan : Rd : Jari-jari lengkung (m)
Dd : Derajat lengkung (o)
Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan
tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi
maksimum dan koefisien gesekan maksimum.

fmak = 0,192 – ( 0.00065 × Vr )

Rmin =

Dmaks =
Keterangan : Rmin : Jari-jari tikungan minimum, (m)
Vr : Kecepatan kendaraan rencana, (km/jam)

Emaks : Superelevasi maksimum, (%)

Fmaks : Koefisien gesekan melintang maksimum

Dd : Derajat lengkung (°)


Dmaks : Derajat maksimum
Untuk perhitungan, digunakan emaks = 10 % sesuai
Tabel.

Tabel 2.13. Panjang jari-jari minimum (dibulatkan) untuk emaks = 10%

VR (km/jam) 120 100 80 50 40 30 20 Sumber :


60
TPGJAK
No Jari jari Minimum Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

038/T/BM/1997
Untuk kecepatan rencana < 80 km/jam berlaku fmaks = - 0,00065
V + 0,192
80 – 112 km/jam berlaku fmaks = - 0,00125 V + 0,24
b. Lengkung Peralihan (Ls)
Lengkung peralihan adalah lengkung yang berfungsi untuk
menstabilkan kendaraan ketika melewati suatu tikungan simpangan
yang tajam, sehingga kendaraan masih dapat tetap berada pada lajur
jalannya ketika melalui tikungan yang tajam. Bentuk lengkung
peralihan dapat berupa parabola atau spiral. Panjang lengkung
peralihan (Ls) ditetapkan atas pertimbangan sebagai berikut :

1. Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi


untuk menghindari kesan perubahan Alinemen yang mendadak,
ditetapkan 3 detik.

2. Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi


berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman.

3. Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan dari bentuk


kelandaian normal kelandaian superelevasi penuh tidak boleh
melampaui re-max.

Di sisi lain dengan adanya lengkung peralihan, pengemudi dapat


dengan mudah mengkuti lajur yang telah disediakan untuknya,
tanpa melintasi jalur lain yang berdampingan.

Beberapa keunggulan dari penggunaan lengkung peralihan pada


Alinemen horisontal :

a. Memungkinkan mengadakan perubahan dari lereng jalan normal


kemiringan sebesar superelevasi secara berangsur-angsur, sesuai
dengan gaya sentrifugal yang timbul.

b. Memungkinkan mengadakan peralihan pelebaran perkerasan


yang diperlukan jalan lurus kebutuha lebar perkerasan pada
tikungan tikungan yang tajam.

c. Menambah keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi karena


sedikit kemungkinan pengemudi keluar dari lajur.
d. Menambah keindahan bentuk dari jalan tersebut, menghindari
kesan patahnya jalan dari batasan bagian lurus dan busur
lingkaran.
Dengan adanya lengkung peralihan, maka tikungan menggunakan
jenis S-C-S. Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai yang
terbesar dari 3 persamaan di bawah ini :

1) Berdasar waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi


lengkung peralihan, maka panjang lengkung :

Ls = ×T
2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus
Modifikasi Shortt:

Ls = 0,022 × 2,727 ×
3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

Ls = × Vr
4) Sedangkan Rumus Bina Marga

Ls = × (en + e tjd) × m
Keterangan :T = Waktu tempuh = 3 detik
Rd= Jari-jari busur lingkaran (m)
C = Perubahan percepatan 0,3-1,0 disarankan 0,4 m/det2

re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian


melintang jalan, sebagai berikut:

Untuk Vr ≤70 km/jam Untuk Vr ≥80 km/jam r e


mak = 0,035 m/m/det re mak = 0,025 m/m/det e
= Superelevasi em = Superelevasi Maksimum en
= Superelevasi Normal

c. Jenis Tikungan dan Diagram Superelevasi


1. Bentuk busur lingkaran Full Circle (F-C)
FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari
bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan
untuk R (jari-jari) yang besar agar tidak terjadi patahan,
karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang

Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

Tc = Rc tan ½ ∆
Ec = Tc tan ¼ ∆

Lc =

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin 2500 1500 900 500 350 250 130 60

besar.
Gambar 2. 5. LengkungFull Circle
2. TikunganSpiral-Circle-Spiral(S-C-S)
Keterangan :
∆ = Sudut Tikungan
O = Titik Pusat Tikungan
TC = Tangento Circle
CT = Circle toTangen
Rd = Jari-jari busur lingkaran
Tt = Panjang tangen (jarak dari TC ke PI atau PI ke TC)
Lc = Panjang Busur
Lingkaran
Ec = Jarak Luar dari PI ke busur lingkaran

Tabel 2.14. Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan


Gambar 6.
2.LengkungSpiral-Circle-Spiral
Keterangan gambar :
Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik ST ke
SC
Ys = Jarak tegak lurus ketitik SClengkung
pada
Ls = Panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST
Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
TS = Titik dari tangen ke spiral
SC = Titik dari spiral ke lingkaran
Es = Jara
k dari PI ke busur lingkaran
θs = Sudut lengkung spiral
Rd = Jari-jari lingkaran p = Pergeseran
tangen terhadap spiral k = Absis dari p
pada garis tangen spiral Rumus-rumus
yang digunakan :

-
- Δc = ΔPI – (2 × θs)
- Xs = Ls ×
- Ys =
- P = Ys – Rd x ( 1 – cos θs )
- K = Xs – Rd × sin θs

- Et = – Rr
- Tt = ( Rd + p ) × tan ( ½ ΔPI ) + K

- Lc =
- Ltot = Lc + (2 × Ls)
Jika P yang dihitung dengan rumus di bawah, maka ketentuan
tikungan yang digunakan bentuk -C
S -S.
P= < 0,25 m

Untuk L = 1,0 m maka p = p’ dan k = k’


Untuk L = L maka P = p’ × L dan k = k’ × L
3. Tikungan Spiral-Spiral (S-S)

Gambar 2.7. Lengkung Spiral-Spiral


Untuk bentuk spiral-spiral berlaku rumus sebagai berikut:
Lc = 0 dan θ = ½ ΔPI
Ltot = 2 × Ls
Untuk menentukan θs rumus sama dengan lengkung peralihan.
Gambar 2.8. Superelevasi
Lc =
d. Diagram Superelevasi
Super elevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah
tikungan. Untuk bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan
melintang yang biasa disebut lereng normal atau Normal Crown
yaitu diambil minimum 2 % baik sebelah kiri maupun sebelah
kanan AS jalan. Hal ini dipergunakan untuk system drainase
aktif. Harga elevasi (e) yang menyebabkan kenaikan elevasi
terhadap sumbu jalan di beri tanda (+) dan yang menyebabkan
penurunan elevasi terhadap jalan di beri

Sedangkan yang dimaksud diagram super elevasi adalah suatu


cara untuk menggambarkan pencapaian kemiringan dari lereng
normal ke kemiringan melintang maksimum (Super Elevasi).
Diagram super elevasi pada ketinggian bentuknya tergantung
dari bentuk lengkung yang bersangkutan.

Metode untuk melakukan super elevasi yaitu merubah lerang


potongan melintang, dilakukan dengan bentuk profil dari tipe
perkerasan yang dibundarkan, tetapi disarankan untuk cukup
mengambil garis lurus saja, ada 3 cara untuk mendapatkan super
elevasi :

a. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.


b. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.
c. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar. Pada
kecepatan tertentu super elevasi maksimum dan asumsi dari
faktor gesekan maksimum bersama – sama menirukan jari – jari
minimum yang diperoleh beberapa faktor yaitu : a. Kondisi
cuaca

b. Kondisi lapangan, datar atau pegunungan


c. Tipe dari daerah pedalaman atau kota
d. Sering terhadap kendaraan yang berjalan lambat
Super elevasi maksimumuntuk jalan raya terbukapada
umumnya0,12 dimanapenggunaanya
terbatasyang tidak
bersalju. Jadi, super elevasi diperlukan untuk menjaga kestabilan
kendaraan saat melewati tikungan.
a. Diagam super elevasi-Circle
Full menurut Bina Marga

Gambar 9.
2.Diagram Superelevasi
Full Circle
Ls pada tikungan Full-Cirle ini sebagai Ls bayangan yaitu untuk
perubahan kemiringan secara berangsur-angsur dari kemiringan
normal ke maksimum atau minimum.

Ls =
Keterangan :
Ls = Lengkung peralihan.
W = Lebar perkerasan.

m = Jarak pandang.

en = Kemiringan normal.
ed = Kemiringan maksimum.
Kemiringan lengkung di role, pada daerah tangen tidak
mengalami kemiringan
- Jarak kemiringan = 2/3 Ls

- Jarak kemiringan awal perubahan =1/3 Ls

b. Diagram super elevasi padaSpiral -Cricle -Spiral.

Gambar 2.10. Diagram super elevasi Spiral -Cirle -Spiral


c. Diagram superelevasi Tikungan berbentuk
Spiral– Spiral.

Gambar11.
2. Diagram Superelevasi
Spiral-Spiral

2.6.10.Alinyemen Vertikal
Alinemen
Vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada
setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada peencanaan
alinemenvertikal terdapatkelandaianpositif (Tanjakan)dan
kelandaiannegatif (Turunan),sehinggakombinasinyaberupa
lengkung cembu
ng dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung
tersebut terdapat pula kelandaian = 0
(Datar).
Rumus-rumus yang digunakan untuk alinemen vertikal :

g=
A = g2 – g1

Ev =

y=
Panjang Lengkung Vertikal (PLV)
1. Berdasarkan syarat keluwesan
Lv =0,6 ×Vr
2. Berdasarkan syarat drainase
Lv =40 ×A
3. Berdasarkan syarat kenyamanan
Lv =Vr ×t
4. Berdasarkan syarat goncangan

Lv=

1. Lengkung Vertikal Cembung


Lengkungan Vertikal Cembung Adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangent beradapermukaan
di atas jalan

Gambar. 2.12
. Lengkung Vertikal Cembung
Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian
g dan
1 2g
g = Kemiringan tangen : (+) naik,
(-) turun
A = Perbedaan aljabar landai g( -12 g ) %
EV = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran–(PV1
m)
meter
Jh = Jarak pandang

h1 = Tinggi mata pengaruh


h2 = Tinggi halangan
2. Lengkung Vertikal Cekung
Lengkung Vertikal Cekung Adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangent berada di bawah permukaan
jalan.

Gambar 2.13. Lengkung Vertikal Cekung

Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian 1 g dan 2 g

g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun

A = Perbedaan aljabar landai ( 1 g - 2 g ) %


EV = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m)
meter

Lv = Panjang lengkung vertikal


V = Kecepatan rencana ( km/jam)
Rumus-rumus yang digunakan pada lengkung parabola cekung sama
dengan rumus-rumus yang digunakan pada lengkung vertikal
cembung. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
Alinemen Vertikal.

a. Kelandaian maksimum.
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang
bermuatan penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang
dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
Tabel 2.15. Kelandaian Maksimum yang diijinkan
Landai maksimum % 3 3 4 5 8 9 10 10
Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

b. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu
dibuat kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan
saluran samping, karena kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup
untuk mengalirkan air kesamping.

c. Panjang kritis suatu kelandaian


Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian
maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari
separuh Vr.
Rumus yang digunakan :
B = n (b’ + c) + (n + 1) Td + Z

b’ = b + b”

b” = Rd2 –

Td = – Rd
ε=B-W
Keterangan:

B = Lebar perkerasan pada tikungan

n = Jumlah jalur lalu lintas

b = Lebar lintasan truk pada jalur lurus

b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan

p = Jarak As roda depan dengan roda belakang truk

A = Tonjolan depan sampai bumper


W = Lebar perkerasan
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan

Z = Lebar tambahan akibat kelelahan pengamudi


c = Kebebasan samping

ε = Pelebaran perkerasan

Rd = Jari-jari rencana

Tabel 2.17. Pelebaran Lajur Pada Tikungan


Sumber : Jari – Jari Tikungan (m) Pelebaran Per Lajur
Standar Tipe I, Tipe II Kelas 1 Jalan – Jalan Lainnya (m)
Perencanaan
Geometrik 280 – 150 160 – 90 0,25
Untuk Jalan 150 – 100 90 – 60 0,50
Perkotaan
Januari 1988 100 – 70 60 – 45 0,75
Untuk jalan – 70 – 50 45 – 32 1,00
jalan tipe II,
jika pelebaran 32 – 26 1,25
secara normal 26 – 21 1,50
seperti pada
tabel 2.17 Sulit 21 – 19 1,70
dilaksanakan 19 – 16 2,00
karena keadaan
topografi dan 16 - 15 2,25
arna kondisi –
kondisi khusus, maka lebar lajur pada tikungan dapat disamakan dengan lebar lajur yang ada
pada daerah tangen tikungan atau selebar yang tercantum pada tabel 2. Ditambah 2,50 m.
2.8. Kontrol Overlapping
Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan, maka jangan sampai terjadi Over
Lapping. Karena kalau hal ini terjadi maka tikungan tersebut menjadi tidak aman
untuk digunakan sesuai kecepatan rencana. Syarat supaya tidak terjadi Over Lapping

: λn > 3d etik × Vr
Dimana : λn = Daerah tangen (meter)
Vr = Kecepatan rencana

Contoh :

Gambar 2.15. Kontrol Overl apping


Vr = 40 km/jam = 11,11 m/det.

Syarat over lapping a’ ≥a, dimana a


= 3 × V detik
= 3 × 11,11 =33,33 m bila, d1 = d A-1 – TS
1 ≥33,33 m (aman) d2 = ST1 – Jembatan 1
≥33,33 m (aman) d3 = Jembatan 1- TS 2 ≥
33,33 m (aman) d4 = ST 2 – Jembatan 2 ≥
33,33 m (aman) d5 = Jembatan 2 – TS 3 ≥
33,33 m (aman) d6 = ST 3 – TS 4 ≥ 33,33 m
(aman) d7 = ST 4 – B ≥ 33,33 m (aman)

2.9. Perhitungan Stationing


Stasioning adalah dimulai dari awal proyek dengan nomor station angka
sebelah kiri tanda (+) menunjukkan (meter). Angka stasioning bergerak kekanan dari
titik awal proyek menuju titik akhir proyek.
Contoh :

Gambar 2.16
. Stasioning
Contoh perhitungan stationing :

STA A = Sta 0+000m


STA PI1 = Sta A + d A - 1
STA TS1 = Sta PI1 – Tt1

STA SC1 = Sta TS1 + Ls1


STA Cs1 = Sta SC1 + Lc1
STA ST1 = Sta CS + Ls1
STA PI2 = Sta ST1 + d 1-2 – Tt1
STA TS2 = Sta PI2 – Ts2
STA SS2 = Sta TS2 + Ls2
STA ST2 = Sta SS2 + Ls2
STA PI3 = Sta ST2 + d 2-3 – Ts2
STA TS3 = Sta PI3 – Tt3
STA SC3 = Sta TS3 + Ls3
STA CS3 = Sta SC3 + Lc3
STA ST3 = Sta CS3 + Ls3
STA PI4 = Sta ST3 + d
-43– Tt3
STA TS4 = Sta PI4
– Tt4
STA SC4 = Sta TS4
– Ls4
STA CS4 = Sta SC4
– Lc4
STA ST4 = Sta CS4
– Ls4
STA B = Sta ST4 + d-B4– Tt4

2.10.Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


Perencanaan
konstruksilapisanperkerasan
lenturdisini untukjalan baru
dengan Metoda Analisa Komponen, yaitu dengan metoda analisa–komponen SKBI
2.3.26. 1987.

Gambar17
2.. Susunan Lapis
Konstruksi Perkerasan Lentur

2.10.1. Lalu Lintas


1. Lalu lintas harian rata-rata (LHR)
Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada
awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median
atau masing masing arah pada jalan dengan median.

- Lalu lintas harian rata-rata permulaan (LHRP)


LHRp = LHRs × (1 + i1)n1
- Lalu lintas harian rata-rata akhir (LHRA)
LHRA = LHRp × (1+i2)n2

2. Rumus -rumus Lintas ekivalen


- Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

- Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

- Lintas Ekivalen Tengah (LET)


LET =
- Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER =LET ×Fp
Fp =

Dimana:
i1 = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi
i2 = Pertumbuhan lulu lintas masa layanan

J = jenis kendaraan

n1 = masa konstruksi

n2 = umur rencana

C = koefisien distribusi kendaraan


E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan
2.10.2. Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar di bawah ini:

Tabel 2.18. Koefisien Distribusi Kendaraan


Jumlah Kendaraan ringan Kendaraan
berat
Lajur *)
**)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 Lajur - 0,30 - 0,45
5 Lajur - 0,25 - 0,425
6 Lajur - 0,20 - 0,40

Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997

Ket:
*) Berat total < 5 ton, misalnya : Mobil Penumpang, Pick Up, Mobil Hantaran.
**) Berat total ≥ 5 ton, misalnya : Bus, Truk, Traktor, Semi Trailer, Trailer.
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metode Analisa
Komponen SKBI 2.3.26.1987, Halaman 9
2.10.3. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban umum (Setiap
kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar sebagai berikut:

E Sumbu Tunggal =

E Sumbu Ganda =
Tabel 2.19. Angka Ekivalen (E) Sumbu Kendaraan
Beban sumbu Angka ekivalen

Kg Lb Sumbu Tunggal Sumb


u
Ganda
1000 2205 0.0002 -

2000 4409 0.0036 0.000


3
3000 6614 0.0183 0.001
6
4000 8818 0.0577 0.005
0
5000 1102 0.1410 0.012
3 1
6000 1322 0.2923 0.025
8 1
7000 1543 0.5415 0.046
2 6
8000 1763 0.9238 0.079
7 4
8160 1800 1.0000 0.086
0 0
9000 1984 1.4798 0.127
1 3
1000 2204 0.194
0 6 0

2.2555

1100 2425 3.3022 0.284


0 1 0
1200 2645 4.6770 0.402
0 5 2
1300 2866 6.4419 0.554
0 0 0
1400 3086 8.6647 0.745
0 4 2
1500 3306 11.4184 0.982
0 9 0
1600 3527 14.7815 1.271
0 6 2
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan
Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987,
Halaman 10
2.10.4. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi
DDT danCBR.

Gambar 2.1
8. Korelasi DDT dan CBR
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987, Halaman 13

Catatan: Hubungannilai CBR dengangaris mendatar


kesebelahkiri
diperoleh nilai DDT
2.10.5. Faktor Regional (FR)
Faktor regional bias juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan
perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan
lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya
dukung tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal
perkerasan ini Faktor Regional hanya dipengaruhi bentuk alinemen
( Kelandaian dan Tikungan).
Tabel 2.20. Prosentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30% >30% ≤ 30% >30% ≤ 30% >30%
Iklim I
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
< 900 mm/tahun
Iklim II
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
≥ 900 mm/tahun
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987

2.10.6. Indeks Permukaan (IP)


Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan / kehalusan
serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu
– lintas yang lewat.

Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut :

IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat


sehingga sangat menggangu lalu lintas kendaraan.

IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus ).

IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang mantap


IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.

Tabel 2.21. Indeks permukaan pada akhir umur rencana ( IPt)


LER= Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan
Rencana *) Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987, Halaman 15

*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan ( kerataan / kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana menurut daftar di bawah ini:

Tabel 2.22. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)


Jenis Lapis IPo Rougne
Perkerasan s *)
mm/km
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
G 3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 < 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBU -
M

2,9 – 2,5

BURAS 2,9 – 2,5 -


LATASIR 2,9 – 2,5 -
JALAN ≤ 2,4 -
TANAH
JALAN ≤ 2,4 -
KERIKIL
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987

2.10.7. Koefisien kekuatan relative (a)


Koefisien kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaan
sebagai lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai
Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan untuk (bahan yang
distabilisasikan dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi
atau pondasi bawah).
Tabel 2.23. Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien Kekuatan Jenis
Kekuatan Bahan Bahan
Relatif
a1 a2 a3 Ms Kt kg/cm2 CB
(kg R
) %
0,4 - - 74 - - LASTON
4
0,3 - - 59 - -
5 0
0,3 - - 45 - -
2 4
0,3 - - 34 - -
0 0
0,3 - - 74 - - LASBUTA
5 4 G
0,3 - - 59 - -
1 0
0,2 - - 45 - -
8 4
0,2 - - 34 - -
6 0
0,3 - - 34 - - HRA
0 0
0,2 - - 34 - - Aspal
6 0 Macadam
0,2 - - - - - LAPEN
5 (mekanis)
0,2 - - - - LAPEN
0 (manual)

- 0,2 - 59 - - LASTON
8 0 ATAS
- 0,2 - 45 - -
6 4
- 0,2 - 34 - -
4 0
- 0,2 - - - - LAPEN
3 (mekanis)
- 0,1 - - - - LAPEN
9 (manual)
- 0,1 - - 22 - Stab.
5 Tanah
- 0,1 - - 18 - dengan
3 semen
- 0,1 - - 22 - Stab.
5 Tanah
- 0,1 - - 18 - dengan
3 kapur
- 0,1 - - - 100 Pondasi
4 Macadam
(basah)
- 0,1 - - - 60 Pondasi
2 Macadam
- 0,1 - - - 100 Batu pecah
4 (A)
- 0,1- - - 80 Batu pecah
3 (B)
- 0,1- - - 60 Batu pecah
2 (C)
- - 0,1 - - 70 Sirtu/pitrun
3 (A)
- - 0,1 - - 50 Sirtu/pitrun
2 (B)
- - 0,1 - - 30 Sirtu/pitrun
1 (C)
- - 0,1 - - 20 Tanah /
0 lempung
kepasiran
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987

2.10.8. Batas – batas Minimum Tebal Perkerasan

1. Lapis permukaan

Tabel 2.24. Lapis permukaan

ITP Tebal Minimum(cm) Bahan

< 3,00 5 Lapis pelindung : (Buras/Burtu/Burda)

3,00 – 6,70 5 Lapen /Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston

6,71 – 7,49 7,5 Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston

7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston

10 Laston
≥ 10,00

ITP Tebal Minimum( Cm ) Bahan

< 15 Batu pecah,stabilisasi tanah dengan semen,


3,00 stabilisasi tanah dengan kapur.

3,00 – 20 *) Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen,


7,49 stabilisasi tanah dengan kapur.

10 Laston atas
7,50 – 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen,
9,99 stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi
macadam.

15 Laston atas
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen,
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
stabilisasi

tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen,


2. Lapis Pondasi Atas
Laston atas.
Tabel 2.2
5. Lapis Pondasi atas

≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen,


stabilisasi

tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen,


Laston atas.

Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah
digunakan material berbutir kasar.

3. Lapis pondasi bawah


Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah
10cm.

Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan


Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987

2.10.9. Analisa Komponen Perkerasan


Penghitungan ini didstribusikan pada kekuatan relatif masing-masing
lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penetuan tebal
perkerasan dinyatakan oleh Indeks Tebal Perkerasan (ITP).

Rumus:
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
Keterangan : D1,D2,D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm) Angka
1,2,3 masing-masing lapis permukaan, lapis pondasi atas dan pondasi bawah.

2.11. Rencana Anggaran Biaya (RAB)


Rencana Anggaran Biaya merupakan perencanaan besarnya biaya yang
diperlukan untuk melaksanakan suatu konstruksi bangunan. Perkiraan biaya tersebut
didapatkan dengan menjumlahkan hasil perkalian antara harga satuan masing-masing
pekerjaan dengan volume masing-masing pekerjaan. Perhitungan volume pekerjaan
didasarkan pada perencanaan potongan melintang, potongan memanjang dan detail
gambar pada lampiran.

Anda mungkin juga menyukai