Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Indonesia (1950–1959)

Era 1950-1959 adalah era di mana Presiden Soekarno memerintah menggunakan


konstitusi UUDS Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17
Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Daftar isi

 1Latar Belakang
 2Konstituante
 3Kabinet-kabinet di Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal
o 3.1Kabinet Natsir (Masyumi) (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
o 3.2Kabinet Sukiman-Suwirjo (Masyumi) (26 April 1951 - 3 April 1952)
o 3.3Kabinet Wilopo (PNI) (3 April 1952 - 3 Juni 1953)
o 3.4Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Koalisi PNI dan NU) (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
o 3.5Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
o 3.6Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Koalisi PNI, Masyumi, dan NU) (20 Maret 1956 - 4
Maret 1957)
o 3.7Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)
 4Kebijakan Ekonomi
 5Dekret Presiden 5 Juli 1959
 6Referensi

Latar Belakang
Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa
peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial,
parlementer, demokrasi liberal, dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Berikut
penjelasan sistem pemerintahan masa Ir. Soekarno:
Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai
badan legislatif.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945.
Berikut Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang
merupakan wewenang MPR.
Salah satu hasil dari KMB adalah terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat.
Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan
integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak mendapat tempat di hati
masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke
negara kesatuan.
Pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta, kemudia
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus
1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Maka, dimulailah usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang
telah susah payah diperjuangkan. Masa revolusi fisik atau masa perjuangan harus
segera ditinggalkan. Gangguan keamanan yang selama ini banyak menyita perhatian,
waktu, dan dana negara harus segera digantikan dengan langkah-langkah konkret. Hal
ini agar perbaikan berbagai bidang, seperti sistem poltik dan pemerintahan,
perekonomian, pertahanan, dan keamanan negara.
Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950, pemerintahan Republik Indonesia
masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh
seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya
berkedudukan sebagai kepala negara.
Pada kurun waktu 1950 sampai 1959, kembali terjadi silih berganti kabinet. Kabinet
jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai relawan. DIsamping itu,
terjadi perdebatan dalam konstituante yang sering menimbulkan konflik
berkepanjangan.
Pada tahun 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS, Mohammad Hatta, kemudian
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus
1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Salah satunya adalah Presiden Soekarno membubarkan parlemen sekaligus
menyatakan kembali UUD 1945. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga
MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan.
Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum
nasionalis, agama dan komunis.

Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum nasional yang
pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan
Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan
bekerja di sebuah institusi yang dikenal dengan Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November
1956 di Bandung, ibukota Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan
draf-draf undang-undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan
isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar
negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap
berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai
amanat UUDS 1950. Pada 1950, UUDS (Undang-Undang Sementara) diberlakukan di
bawah pemerintahan Soekarno. ini berdampak pada penerapan model demokrasi
parlementer murni (Demokrasi Liberal). Tetapi, Demokrasi Liberal yang didukung oleh
banyak partai seperti, MASYUMI dan PNI) justru mengarah kepada munculnya
ketidakstabilan politik. Pada 1959, munculnya Demokrasi Terpimpin dengan kabinet
yang semuanya dipimpin oleh Ir. Soekarno.
sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden
Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil
pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal
14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya
bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang
akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante
secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai
berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret
Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
Kabinet-kabinet di Indonesia Pada Masa Demokrasi
Liberal
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak
stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya
mosi tidak percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam
Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.
Kabinet Natsir (Masyumi) (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Program kerja kabinet Natsir:

1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan


umum untuk memilih Dewan Konstituante
2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan
membentuk kelengkapan negara
3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan
ketenteraman
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat
5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil:

1. Berlangsungnya perundingan antara Indonesia-


Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian
Barat
Kendala atau masalah yang dihadapi:

1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan


Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan)
2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia,
seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951
dalam usia 6.5 bulan.
Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Susunan Kabinet Natsir:

1. Perdana Menteri : Mohammad Natsir (Partai Masyumi)


2. Wakil Perdana Menteri : Hamengkubuwono IX (Non
Partai)
3. Menteri Luar negeri : Mohammad Roem (Partai
masyumi)
4. Menteri Dalam Negeri : Assaat (Non Partai)
5. Menteri Kehakiman : Wongsonegoro (Partai PIR)
6. Menteri Keamanan Rakyat : Abdul Halim (Non Partai)
7. Menteri Keuangan : Syafruddin Prawiranegara (Partai
Masyumi)
8. Menteri Penerangan : M.A. Pellaupessy (Faksi
Demokratik)
9. Menteri Pertanian : Tandiono Manu (Partai Sosialis
Indonesia)
10. Menteri Perdagangan : Sumitro Joyohadikusumo
(Partai Sosialis Indonesia)
11. Menteri Sosial : F.S. Haryadi (Partai Katolik)
12. Menteri Pekerjaan Umum : Herman Johannes (PIR)
13. Menteri Kesehatan : Johannes Leimena (Partai Kristen
Indonesia)
14. Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja (Non
Partai)
15. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Bahder Djohan
(Non Partai)
16. Menteri Agama : Wahid Hasyim (Partai Masyumi)
17. Menteri Negara : Harsono Tjokroaminoto (PSII)
18. Menteri Tenaga Kerja : Panji Suroso (Partai Parindra)
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari
oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950-1953) dengan tiga
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo (Masyumi) (26 April 1951 - 3 April 1952)

Kabinet Sukiman Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua setelah penghapusan RIS (Republik Indonesia
Serikat). Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3
April 1952 Kabinet ini telah didemosioner sejak 23 Februari 1952.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Masyumi adalah organisasi yang dibentuk Jepang dalam upaya mereka untuk
mengendalikan umat islam di Indonesia. Tujuan partai ini adalah untuk menegakkan
kedaulatan negara dan agama islam.
Properti kabinet:

 Perdana Menteri : Sukiman Wirjosandjojo


 Wakil Perdana Menteri : Suwirjo
 Menteri Luar Negeri : Achmad Subardjo
 Menteri Dalam Negeri : Iskak Tjokroadisurjo
 Menteri Pertahanan : Sewaka
 Menteri Kehakiman : Mohammad Yamin
 Menteri Penerangan : Arnold Mononutu
 Menteri Keuangan : Jusuf Wibisono
 Menteri Pertanian : Suwarto
 Menteri Perindustrian dan Perdagangan : Sujono Hadinoto
 Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja
 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga : Ukar
Bratakusumah
 Menteri Perburuhan : Iskandar Tedjasukmana
 Menteri Sosial : Sjamsuddin
 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Wongsonegoro
 Menteri Kepercayaan kepada Tuhan : Wahid Hasjim
 Menteri Kesehatan : J.Leimena
 Menteri Negara : A. Pellaupessy (urusan umum), Pandji
Suroso (urusan pegawai), dan Gondokuspmp (urusan
agraria)
Catatan:

 Sewaka ditunjuk pada 9 Mei 1951 setelah Sumitro


Kolopaking tidak menerima penunjukan.
 Yamin mengundurkan diri 14 Juni 1951 dan A. Pellaupessy
bagi sementara merangkap Menteri Kehakiman. Pada 20
November 1951, posisi Menteri Kehakiman diserahkan
kepada Mohammad Nasrun.
 Sujono Hadinoto ditukarkan Wilopo pada Juli 1951.
 Ukar Bratakusumah merangkap Menteri Perhubungan
sementara sewaktu Djuanda tidak kekurangan di luar
negeri.
 Diangkatkan pada 20 November 1951, Gondokusomo
meninggal pada tanggal 6 Maret 1952.[1]

Program kerja kabinet Sukiman:

1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai


negara hukum untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-
alat kekuasaan negara
2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran
nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan
kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta
memperbaharui hukum agraria sesuai dengan
kepentingan petani
3. Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang
dalam lapangan pembangunan
4. Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan
umum untuk membentuk dewan konstituante dan
menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang
singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi
daerah
5. Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan
serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective
arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan
penyelesaian pertikaian perburuhan
6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif
serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan
hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang
sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi
hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa,
mempercepat peninjauan kembali persetujuan
hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan
perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya
merugikan rakyat dan negara
7. Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah
Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya,
seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Adapun beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, diantaranya:

1. adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar


Negeri Indonesia Soebadjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika
Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual
Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat
pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
2. adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya
korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan
dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. masalah Irian Barat belum juga teratasi
4. hubungan Sukirman dengan militer kurang baik,
ditunjukkan dengan kurang tegasnya tindakan
pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952.
Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta
Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada
Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut
dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih
condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya
korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo (PNI) (3 April 1952 - 3 Juni 1953)
Program kerja kabinet Wilopo:

1. Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


2. Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar
kembali menjadi wilayah Republik Indonesia
3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Susunan Kabinet:

 Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri: Mr. Wilopo


(PNI)

 Wakil Perdana Menteri: Prawoto Mangkusasmito


(Masyumi)

 Menteri Dalam Negeri: Mr. Moh. Roem (Masyumi)


 Menteri Pertahanan: Sri Sultan Hamengku Bowono IX
 Menteri Kehakiman: Mr. Lukman Wiriadinata (PSI)
 Menteri Penerangan: Mr. Arnold Mononutu (PNI)
 Menteri Keuangan: Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
(PSI)
 Menteri Petanian: Moh. Sardjan (Masyumi)
 Menteri Perekonomian: Mr. Sumanang (PNI)
 Menteri Perhubungan: Ir. Djuanda
 Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Suwarta (partai Katolik)
 Menteri Perburuhan: Ir. Iskandar Tedjasukmana (partai
Buruh)
 Menteri Sosial: Anwar Tjokroaminoto (PSII)
 Menteri Pendidikan & Kebudayaan: Prof. Dr. Bader Djohan
 Menteri Agama: K.H Faqih Usman (Masyumi)
 Menteri Kesehatan: Dr. Johanes Leimena (Parkindo)
 Menteri Urusan Pegawai Negeri: R.P. Suroso (Parindra)
 Menteri Urusan Umum: M.A. Pallaupessy (Demokrat)
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu sebagai berikut:

1. Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di


berbagai daerah
2. Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh
sejumlah perwira Angkatan Darat pada tanggal 17
Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
3. Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra
Utara. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi akibat
persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar
memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat
mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia lagi.
Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena
bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada
saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq
Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri
memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan.
Tanah tersebut berhasil dikembalikan saat masa
Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret
1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang
tidak mempunyai izin. Akibat pengusiran tersebut,
banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan
5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan
sorotan yang tajam dari pihak parlemen maupun pers.
Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab jatuhnya
kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh
mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani
Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan
masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang
diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Koalisi PNI dan NU) (31 Juli 1953 - 12
Agustus 1955)
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

1. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


2. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta
melaksanakan pemilihan umum
3. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
4. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
5. Pelaksanaan politik bebas - aktif dan peninjauan
kembali persetujuan KMB
6. Penyelesaian pertikaian politik
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara
lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar
Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-
Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu,
kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan
Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih
anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-
Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia
terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan
pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf
TNI-AD.
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi
Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia
dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas
dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum
pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini,
tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.
Menteri pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo :

1. K.H Zaenul Arifin, sebagai wakil perdana menteri


2. Iwa Kusuma Sumantri, sebagai Menteri Pertahanan
3. K.H Masjkur, sebagai Menteri Agama
Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) (12 Agustus 1955 - 3
Maret 1956)
Program kerja Kabinet Burhanuddin:

1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam


hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi,
memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan
korupsi
3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat
Susunan Kabinet

N
Jabatan Nama Menteri Partai Politik
o

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap Masjumi

R. Djanu Ismadi PIR-Hazairin


1
Wakil Perdana Menteri
Harsono Tjokroaminoto
PSII
(sampai dengan 18 Januari 1956)
2 Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gde Agung Demokrat
R. Sunarjo
NU
(sampai dengan 19 Januari 1956)
3 Menteri Dalam Negeri
Pandji Suroso
Parindra
(ad-interim, sejak 19 Januari 1956)

4 Menteri Pertahanan Burhanuddin Harahap Masjumi


5 Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata PSI
6 Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur Independen
Prof. Dr. Sumitro
7 Menteri Keuangan PSI
Djojohadikusumo
8 Menteri Perdagangan IJ Kasimo PKRI
9 Menteri Pertanian Mohammad Sardjan Masjumi
Menteri Perhubungan Frits Laoh PRN
10
Menteri Muda Perhubungan Asraruddin Buruh
Pandji Suroso
11 Menteri Pekerjaan Umum Parindra
(sejak 26 Agustus 1955)

12 Menteri Perburuhan Iskandar Tedjasukmana Buruh


Sudibjo
PSII
(sampai dengan 18 Januari 1956)
13 Menteri Sosial
Sutomo
PRI
(ad-interim, sejak 18 Januari 1956)

Prof. Ir. R.M. Suwandi


14 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Parindra
(sejak 26 Agustus 1955)

K.H. Muhammad Ilyas


NU
(sampai dengan 19 Januari 1956)
15 Menteri Agama
Mohammad Sardjan
Masjumi
(ad-interim, sejak 19 Januari 1956)

16 Menteri Kesehatan dr. J. Leimena Parkindo


17 Menteri Agraria Gunawan PRN
Abdul Halim Masjumi
18 Menteri Negara Sutomo (Urusan Bekas Pejuang) PRI
Drs. Gumala Adjaib Nur PIR

Alasan Keruntuhan Kabinet :


Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk
Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden
Moh. Hatta, jadi setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR
diumumkan maka pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin
Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden
untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum.
Kabinet ini jatuh tidak dikarenakan keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan
karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari
parlemen, tetapi merasa tugasnya sudah selesai. Kabinet terus bekerja sebagai
Kabinet Domissioner selama 20 hari yaitu sampai terbentuknya kabinet baru yakni
Kabinet Ali – Rum – Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima
dengan Kabinet Burhanuddin Harahap tanggal 26 Maret 1956. Setelah itu Eks Perdana
Menteri ataupun Menteri lagi sampai kini dalam kabinet mana pun juga dan dimana pun
juga.

Prestasi dan Keberhasilan :

 Mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya


keberhasilan pengendalian harga dengan menjaga agar
tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah
ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat
dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini
cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan
pokok tidak melonjak naik akibat inflasi.
 Berhasil menyelenggarakan pemilihan umum untuk
anggota-anggota DPR.
 Berhasil mengembalikan wibawa pemerintah Republik
Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.
Kelemahan Kabinet:
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi. Sebenarnya kabinet ini masih berjalan baik,
hanya presiden kurang merestui kabinet ini, karena yang menunjuk Burhanuddin
Harahap sebagai formatir kabinet adalah drs. Muh. Hatta.
Kekuatan Kabinet :
Perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya keberhasilan pengendalian harga, menjaga
agar jangan terjadi inflasi dan sebagainya. Dapat dikatakan kehidupan rakyat semasa
kabinet cukup makmur, harga barang tidak melonjak naik akibat inflasi. Berhasil
menyelenggarakan pemilihan umum pertama tahun 1955.
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di
Indonesia. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum
terbentuk pada bulan Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Koalisi PNI, Masyumi, dan NU)
(20 Maret 1956 - 4 Maret 1957)
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini disebut rencana pembangunan 5 tahun
yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :

1. Menyelesaikan pembatasan hasil KMB


2. Menyelesaikan masalah Irian Barat
3. Pembentukan provinsi Irian Barat
4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
5. Pembentukan daerah - daerah otonomi dan
mempercepat terbentuknya anggota- anggota DPRD
6. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan
pegawai
7. Menyehatkan keseimbangan keuangan negara
8. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional
Program pokoknya adalah :

1. Pembatalan KMB
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban
3. Melaksanakan keputusan KAA
Hasil Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II :
1. Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment,
hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya
digantikan oleh Kabinet Juanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.
Kabinet ini jatuh karena Badan Konstituante tidak bisa membuat UUD yang baru
pengganti UUDS sehingga presiden mengeluarkan dekritnya tanggal 5 Juli 1959 dan
mengumumkan berlakunya Demokrasi Terpimpin.
Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)
Susunan Kabinet

N
Jabatan Nama Menteri
o

Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja

Hardi

1
Idham Chalid
Wakil Perdana Menteri

J. Leimena

(sejak 29 April 1957)

2 Menteri Luar Negeri Subandrio


3 Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata
4 Menteri Pertahanan Djuanda
5 Menteri Kehakiman G.A. Maengkom
6 Menteri Penerangan Soedibjo
7 Menteri Keuangan Sutikno Slamet
8 Menteri Pertanian Sadjarwo
Prof. Drs. Soenardjo
(sampai dengan 25 Juni 1958)
9 Menteri Perdagangan
Rachmat Muljomiseno
(sejak 25 Juni 1958)

10 Menteri Perindustrian F.J. Inkiriwang


11 Menteri Perhubungan Sukardan
12 Menteri Pelayaran Mohammad Nazir
13 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Pangeran Mohammad Nur
14 Menteri Perburuhan Samjono
J. Leimena
(sampai dengan 24 Mei 1957)
15 Menteri Sosial
Muljadi Djojomartono
(sejak 25 Mei 1957)

16 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prijono


17 Menteri Agama Muhammad Ilyas
18 Menteri Kesehatan Azis Saleh
19 Menteri Agraria R. Sunarjo
A.M. Hanafi
20 Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pembangunan
(sampai dengan 25 Juni 1958)

21 Menteri Negara Urusan Veteran Chaerul Saleh


F.L. Tobing
22 Menteri Negara Urusan Hubungan Antar Daerah
(sampai dengan 25 Juni 1958)

Suprajogi
(Urusan Stabilitasi Ekonomi)
(sejak 25 Juni 1958)

Muhammad Wahib Wahab


(Urusan Kerjasama Sipil-Militer)
(sejak 25 Juni 1958)

23 Menteri Negara Dr. F.L. Tobing


(Urusan Transmigrasi)
(sejak 25 Juni 1958)

A.M. Hanafi
(sejak 25 Juni 1958)

Prof. Mr. H. Moh. Yamin


(sejak 25 Juni 1958)

Program kerja Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya memiliki 5 program
yang disebut Pancakarya yaitu:

1. Membentuk Dewan Nasional


2. Normalisasi keadaan RI
3. Melanjutkan pembatalan KMB
4. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
5. Mempercepat pembangunan

Kebijakan Ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah
keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang
terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan
sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas
dari beberapa hal berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang


diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan
keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan
dalam Konferensi Meja Bundar.
2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh
bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan
program sehingga pemerintah harus mengeluarkan
anggaran untuk mengatasi biaya operasional
pertahanan dan keamanan negara.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin
meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil
merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki
perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April
1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan
selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan
kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada
banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas
para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh
keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha
bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan
tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha
asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda,
dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng
tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional
bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada
awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor,
maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700
perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang
menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non
bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali"
merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian
dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga
menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika
industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini
dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan
masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa
masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan)
tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno
membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja.
Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman
pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang
telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan
birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua
menterinya yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini
yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959.    

Dekret Presiden 5 Juli 1959


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau
memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah
dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan
sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang
dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan
UUDS 1950;
3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota
DPR  ditambah dengan para utusan daerah dan
golongan.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah
sebagai berikut.

1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru


meskipun sudah berkali-kali bersidang. Padahal, UUD
sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang
penting dalam melaksanakan pemerintahan.
2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam
negara semakin memburuk.
3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat
mengganggu stabilitas nasional.
4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering
bersikap membenarkan segala cara agar tujuan
kelompok/partai tercapai.
5. UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal
dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
6. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai
wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan
separatis.
Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan


negara melalui perintah untuk kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis
politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi
negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa
Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin

Anda mungkin juga menyukai