Anda di halaman 1dari 4

Nama : fhadilla Monika Gunawan

Kelas : XII IPA 1

Mega Pitriani Puspita : Bawa Kerajinan Bambu Ke Pasar Global

Produk kerajinan berbahan baku bambu akrab dengan kehidupan di pedesaan. Namun siapa mengira
kerajinan bambu seperti tudung saji, tampah atau boboko (tempat nasi) bisa tampil di ajang pameran
internasional di New York dan Jerman? Itu berkat inovasi yang dilakukan sekelompok anak muda pendiri
wirausaha sosial.

Di tengah dunia yang tengah dilanda isu back to nature, Indonesia sudah dahulu memiliki berbagai
produk berbahan dasar alam. Salah satunya adalah kerajinan dari anyaman bambu. Salah satu daerah
yang memiliki pusat kerajinan bambu adalah Tasikmaalya, Jawa Barat. Sentra kerajinan bambu di
wilayah ini cukup banyak, karena bahan baku yagn melimpah. Wilayah yang menjadi pusat pengrajin
yang membuat produk kerajinan bambu Tasikmalaya yaitu di sekitar Gunung Galunggung. Antara lain
daerah Nangorak, Bungur Sari, Kampung Sambong Gunung Sari, Kampung Pasir Angin, Citerewes Cimuni
Geulis, Mangkubumi dan Cisayong.

Kegiatan membuat aneka produk kerajinan bambu, marak dilakukan setelah Gunung Galunggung
meletus pada tahun 1982. Untuk memenuhi keinginan pelanggan para perajin memproduksi berbagai
macam dan bentuk produk, yang umumnya mempunyai fungsi dan manfaat yang dapat digunakan
sehari-hari oleh pemakainya. Antara lain boboko (tempat nasi), tudung saji, berbagai tempat makanan
dengan macam bentuk dan ukuran, keranjang parsel kue, keranjang parsel buah, serta peralatan dapur
dan lainnya.

Sayang, kehidupan para pengrajin ini masih jauh dari sejahtera. Bahkan, penghasilan para pengrajin ini
jauh di bawah UMR Kabupaten Tasikmalaya, yang menurut data ada pada kisaran Rp 2 juta. Sehingga
mereka belum mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik seperti makanan yang layak,
kesehatan, apalagi pendidikan.

Terpanggil untuk menyejahterakan para pengrajin, tiga alumni ITENAS mendirikan startup bernama
Studio Dapur. Mereka adalah Alain Bunjamin (CEO), Mega Pitriani Puspita (Marketing) dan Maulana
Fariduddin (Finance).

“Studio Dapur adalah studio desain yang basisnya wirausaha sosial. Kami fokus pada upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pengrajin bambu di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya,” uncap Mega saat
ditemui youngster.id di Jakarta.
Startup ini terpilih oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk ikut pameran dagang produk kriya “New
York Now 2019” di Jacob K. Javits Convention Center, New York, AS, Amerika Serikat.

Baca juga : IKM Perlu Manfaatkan Hasil Litbang

“Ini adalah kali pertama kali diajak Bekraf. Tetapi sebelumnya kami sudah pernah ikut pameran di
Frankfrut Jerman, Singapura, dan Malaysia. Kami ingin membawa produk kerajinan bambu ini ke pasar
yang lebih luas lagi,” ungkap Mega.

Menurut perempuan bertubuh mungil ini, produk Studio Dapur bahkan sudah hadir di sejumlah gerai
pusat perbelanjaan mewah di Jakarta dan Bali. Antara lain di Alun Alun Indonesia, Grand Indonesia Mall,
Cayenne Home Kemang, Urban Quarter Plaza Indonesia, Urban Quarter Kelapa Gading, Vivere Lippo
Village Kemang, Vivere Pondok Indah Mall, Jenggala Jimbaran Showroom.

Tetapi yagn paling membuat Mega dan kedua rekannya gembira adalah kemampuan para pengrajin
yang mereka bina semakin baik dan mampu memenuhi kualitas internasional. “Kami yakin bahwa
produk yang dihasilkan para pengrajin Studio Dapur dapat diterima di pasar luar negeri dengan baik,”
ucapnya penuh percaya diri.

Alain, Mega dan Maulana ingin meningkatkan kesejahteraan pengrajin bambu dengan mendirikan
wirausaha sosial Studio Dapur Foto: Istimewa/youngster.id)

Kemitraan Sejajar

Studio Dapur ini dikembangkan sejak Desember 2016. Mega bercerita, ide ini lahir setelah mereka
melakukan riset untuk tugas akhir kuliah di Desa Padakembang, Singaparna. Di sana mereka mendapati
bahwa kerajinan bambu tidak beregenerasi. Pasalnya, nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan sangat
sedikit.

“Minimnya kesejahteraan perajin bambu membuat anak muda setempat memilih untuk bekerja ke kota,
meninggalkan desa dan memilih pekerjaan lain. Akibatnya, kerajinan bambu tidak beregenerasi. Padahal
kegiatan menganyam bambu memiliki banyak fungsi, seperti melestarikan nilai sosial, aktivitas kerajinan
bambu itu sendiri, dan juga menjaga lahan kebun bambu agar tetap ada,” ungkap Mega.

Dari kepedulian inilah mereka bertiga memutuskan untuk membangun usaha berbasis sosial dengan
nama Studio Dapur. “Nama Studio Dapur karena berbagai alasan. Pertama, produk yang kami angkat
adalah seputar masak dan makan, bahkan produk pertama kami juga dibuat di dapur. Selain itu, kami
juga mengambil filosofi bahwa dapur adalah rahim dari sebuah rumah, di mana di dalam dapur semua
proses dari kumpul keluarga berawal,” paparnya.
Menurut Mega, setelah mendirikan usaha mereka lalu kembali ke desa tempat penelitian untuk lebih
memperdalam riset. Dari sana mereka memutuskan dengan modal sekitar Rp 6 juta mereka membuat
desain, pengembangan serta produksi produk bambu dengan kualitas artisan.

Langkah ini tidak mudah. Bahkan, kata Mega, awalnya hanya dua orang pengrajin yaitu sepasang suami
istri yang tertarik bekerjasama dengan Studio Dapur. “Banyak dari pengrajin enggan untuk mengubah
desain yang sudah mereka buat bertahun-tahun. Karena itu artinya mereka harus belajar
mengembangkan teknik baru. Padahal dengan demikian maka kualitas produk mereka akan meningkat
dan mendapat nilai lebih,” kata Mega.

Seiring dengan berjalannya waktu, para pengrajin yang bekerjasama dengan Studio Dapur menunjukkan
hasil yang lebih baik. Menurut Mega, jika dulu sebelum bergabung mereka hanya memperoleh
pendapatan sekitar Rp 1,2 juta per bulan, kini mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp 1,8 juta hingga
Rp 2 juta setiap bulan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa apa yang ditawarkan oleh Studio Dapur
berhasil. Dengan begitu, akhirnya para pengrajin lain pun ikut serta. Sekarang sudah ada 16 orang
pengrajin yang bekerja di bawah binaan Studio Dapur.

Tak sekadar menerapkan posisi pemilih dan pekerja, tetapi Studio Dapur menerapkan kolaborasi dengan
konsep kemitraan yang sejajar. Oleh karena itu, selain produk para pengrajin dibeli dengan harga yang
baik, para pengrajin juga mendapatkan tunjangan BPJS.

“Sepuluh persen saham Studio Dapur kami bagi dengan kelompok pengrajin yang bekerja sama dengan
kami. Ini artinya mereka pun memiliki Studio Dapur dan berhak mendapat dividen setiap tahunnya,” ujar
Meta.

Melalui Studio Dapur, Mega, Alain dan Maulana fokus pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
pengrajin bambu di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya Foto: Stevy Widia/youngster.id)

Pasar Global

Bagi Mega, Studio Dapur adalah bagian dari cita-citanya. “Saya memang bercita-cita ingin punya brand
dan memproduksi produk sendiri, sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat,” ucap gadis kelahiran
Bandung, 31 Maret 1993 ini.

Dan lewat Studio Dapur ini cita-citanya mulai terwujud. Studio Dapur memilik 35 jenis produk, di
antaranya: Tray, Tudung Saji, Placemat, Basket, Gelas, dan Candle Holder. Produk yang paling laris
adalah tudung saji, Boana. Studio Dapur juga membuat Suka Tray, baki bulat yang dibuat dengan aksen
handle kayu jati yang melengkung. Produk ini sangat fungsional dan mudah masuk di berbagai macam
gaya interior. Satwastu Tray juga merupakan set produk masih tetap menjadi best selling.

“Desain set ini menjadi ikon desain khas Studio Dapur yang menggabungkan teknik modern laminasi
dengan anyaman tradisional. Desain heksagonal Satwastu Tray juga menonjolkan tingginya keahlian
pengrajin kami,” kata Mega.
Saat ini mereka memproduksi 200 – 250 unit produk per bulan. Selain menyasar pasar lokal kelas
menengah, Studio Dapur juga mulai masuk pasar global. Oleh karena itu, mereka aktif mengkuti kurasi
yang ditawarkan sejumlah lembaga internasional. Mereka lolos pameran Ambiente di Frankfurt Jerman,
dan kini mereka tampil di ajang pameran kriya, New York Now 2019.

Menurut Mega, produk mereka sudah mendapat pemesanan dari Finlandia, Belgia dan Jerman. Seiring
dengan itu mereka juga terus melatih para pengrajin di sejumlah daerah agar dapat meningkatkan
kapasitas produksi. “Dan itu tidak mudah. Pasalnya, membuka desa baru itu berarti mulai lagi dari awal.
Harus riset lagi, dan mendesain produk unggulan tersendiri,” ujarnya.

Namun yang paling membuat dia dan kedua rekannya senang adalah keahlian sejumlah perajin bambu
sudah bisa diwarisi ke anaknya, yang tadinya tidak tertarik. Mulai banyak orang baru yang belajar
anyaman pola sulit yang sering mereka gunakan, yaitu anyaman dadu. Memang hingga saat ini
dampaknya masih terbilang kecil, tetapi sudah mulai membuahkan hasil.

Olleh karena itu, rencananya Studio Dapur akan membuka desa binaan baru, satu masih di wilayah
Singaparna dan satu lagi di wilayah Ciamis. “Target kami bisa membuka tiga desa baru lagi di tahun
2021. Sehingga pengrajin bambu semakin produktif dan menghasilkan produk-produk berkualitas dunia
sehingga kesejateraan mereka juga semakin meningkat,” pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai