Anda di halaman 1dari 36

SISTEM HUKUM NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA

Astim Riyanto1

Abstrak
Law system in South East Asia states which now consist of 10 states, that are
joinned within Association of South East Asian Nations (ASEAN), which in
this discussion to cover six states, that are Bruney Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapore, and Thailand, beside contain similarity, but
also contain difference. States of ASEAN member, that are Myanmar,
Vietnam, Kampuchea, and Laos not included in yet in this explanation.
Containing similarity, because generally in principle almost the all stales in
the world adopt Trias Politica theory from Charles Secondat Baron de
Labriede et de Montesquieu which written in his book L 'Esprit des Lois
(1748). Containing difference, because unbelievable influence from the big
law traditions that is influenced by practice execution government slates in the
world, except influence custom law and common law which grow, live, and
develop in a state, belong to in South East Asia states.

Kata kunci: sistem hukum, negara-negara Asia Tenggara.

I. Pendahuluan

Di dalam bukunya Sistem-sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN,


Sri Soemantri Martosoewignjo mengatakan:

Bagi negara atau negara-negara yang menganut ajaran tripraja,


maka sistem pemerintahan berarti suatu perbuatan pemerintah
yang dilakukan oleh organ-organ legislatif, eksekutif, dan judisiil
yang dengan bekerja bersama-sama hendak mencapai suatu
maksud atau tujuan ... bahwa di samping sistem presidensiil atau
sistem pemerintahan presidensiil dan sistem parlementer atau
sistem pemerintahan

I Dr. Drs. Astim Riyanto, SH, MH . adalah Doktor Hukum Tata Negara dan Magister
Hukum Tata Negara spesialisasi Hukum Konstitusi dati Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung,
Sarjana Pe.ndidikan Kewarganegaraan dari Institut Keguruan dan I1mu Pendidikan (lKIP) Bandung,
Sarjana Hukum Pidana Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung, serta Dosen Teori dan
Hukum Konstitusi pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Bukunya an tara lain
Teori Konstitusi (1993, 2000).
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 266

parlementer, masih dikenal adanya sistem pemerintahan yang


lain. ]

Berkenaan dengan tradisi-tradisi hukum diberbagai negara termasuk di


negara- negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara (ASEAN), kita kenaI pembagian dari John Henry Merryman dalam
bukunya The Civil Law Tradition (1969), dalam dunia kontemporer ini lahir di
hadapan kita tiga tradisi hukum yang utama, yaitu tradisi hukum kontinental (civil
law), tradisi hukum adat (common law), dan tradisi hukum sosialis (socialist
law).3
Bagir Manan memaparkan peranan hukum perundang-undangan dalam
suatu negara tergantung pad a tradisi hukum yang dianut oleh negara yang
bersangkutan . Terdapat dua kelompok tradisi hukum yang utama (pokok) di
dunia ini, yaitu tradisi hukum kontinental (civil law tradition) dan tradisi hukum
anglo-saksis (common law tradition). Ada juga yang membagi tradisi hukum itu
menjadi tiga kelompok, yaitu di samping dua tradisi hukum tadi, ada tradisi
hukum ketiga, yakni tradisi hukum sosialis (socialist law tradition).
Pengelompokan ke dalam dua atau tiga tradisi hukum tersebut, lebih bercorak
historis atau akademik. Dalam kenyataan terdapat sistem-sistem hukum (suatu
negara) yang sekaligus mengandung ciri-ciri tradisi hukum kontinental dan tradisi
hukum anglo-saksis, gabungan antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum
anglo-saksis, gabungan antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum
sosialis, atau gabungan antara tradisi hukum anglo-saksis dan tradisi hukum
sosialis. Terdapat pula sistem-sistem hukum yang tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu dari tiga kelompok di atas, misalnya negara-negara yang
mengidentifikasi-kan diri dengan tradisi hukum menurut ajaran Islam (the moslem
legal tradition).
Perbedaan antara tradisi hukum kontinental dan anglo-saksis antara
lain didasarkan pada peranan hukum perundang-undangan dan yurisprundensi.
Negara-negara yang tergabung ke dalam hukum kontinental menempatkan hukum
perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya, sedangkan negara-
negara yang menganut tradisi hukum anglo-saksis menjadikan atau menempatkan
yurisprudensi sebagai sendi utama sistem hukumnya. Agak berbeda adalah tradisi
hukum sosialis. Tradisi

2 M.Moeslim Taher, Sis/em Pemerintahan Pancasila, Nusa Bangsa, Jakarta, 1978,


hal. 3.

3 Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, "Kebijaksanaan dan Strategi


Pembangunan Hukum di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis Politik Pembinaan Hukum Nasional",
dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin, Pembangunan Hukum Da/am Perspektif Palilik
HlIkllm Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 154-155 .
267 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

hukum sosialis bukan terutama didasarkan pada peranan peraturan perundang-


undangan atau yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijakan ekonomi dan sosial.
Menurut pandangan ini, hukum adalah instrumen (alat) kebijakan dalam bidang
ekonomi dan sosial, sedangkan tradisi hukum kontinental dan anglo-saksis,
mereka pandang sebagai refleksi dari masyarakat dan perintah yang kapitalistik,
borjuis, imperialis, dan eksploatif.
Tradisi hukum kontinental menempatkan hukum perundang-undangan
sebagai sendi utama sistem hukumnya, ini tidak berarti tradisi hukum kontinental
mengabai-kan yurisprudensi. Pada negara-negara semacam ini, yurisprudensi tetap
mempunyai sumber hukum. Demikian pula pada negara-negara yang menjalankan
tradisi hukum anglo-saksis, tidaklah berarti mengabaikan hukum perundang-
undangan. Hukum perundang-undangan di negara anglo-saksis berkembang pesat
dan makin menduduki peranan penting. Baik didorong oleh perkembangan ilmu
dan teknologi maupun kebutuhan bersama dalam pergaulan antaranegara
(pergaulan internasional),
berbagai tradisi hukum dan sistem hukum berusaha untuk saling mendekatkan dan
melakukan penyesuaian-penyesuaian (harmonisasi) satu sarna lain.

Tidak pula dapat diabaikan berbagai tradisi hukum lain. Tradisi hukum
sosialis bagaimanapun juga mempunyai peranan cukup luas pada saat ini. Lebih
kurang satu setengah milyard penduduk dunia berkelompok ke dalam negara-
negara sosialis.
Dengan berbagai perbedaan di antara mereka, tetapi persamaan konsepsi
dalam tradisi hukum sosialis merupakan salah satu ciri negara-negara sosialis
tersebut. Demikian pula tradisi hukum menurut ajaran Islam. Pada saat ini terlihat
berbagai kegiatan yang menunjukkan kebangkitan kembali Islam. Kebangkitan ini
bukan hanya semata-mata karena kesadaran ummat Islam sendiri, melainkan
dirangsang pula oleh meningkatnya kegiatan-kegiatan keilmuan yang menjadikan
Islam sebagai objek penyelidikan. Kebangkitan ini tentu akan berpengaruh pada
upaya untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku positif. Atau
sekurang-kurangnya menjadikannya sebagai bahan yang tidak dapat diabaikan
dalam politik hukum, khususnya politik perundang-undangan.4

4 Lihat Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konslitusi Suatu Negara, CV.
Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 18-20.
Sis tern Hukum Negara di Asia Tenggara 268

II. Pengertian Sistem Hukum


5
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum ada di mana saja bersama
kita dan di sekitar kita. Tidak sehari pun tanpa berhubungan dengan hukum dalam
arti yang luas hukum mempengaruhi atau mengubah perilaku orang. Hukum
adalah sesuatu yang sangat besar, meskipun kadang-kadang tidak terlihat. Hukum
memiliki tujuan - apakah berhasil atau tidak - untuk menjadikan hidup ini lebih
mudah, lebih aman, lebih bahagia, atau lebih baik. Ketika norma-norma (kaidah-
kaidah) melarang sesuatu (atau menuntut sesuatu dari seseorang), biasanya
larangan itu ditujukan demi kepentingan orang lain. Hukum memberikan cara-
cara yang mudah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Hukum dan proses hukum sangat penting dalam masyarakat kita. Hukum
adalah sebuah konsep, abstraksi, konstruk sosial, bukan objek konkret di dunia
sekeIiIing kita. Dalam percapakapan sehari-hari, kata "hukum" dikaitkan dengan
"perundang-undangan", yaitu aturan dan
peraturan. Menurut Donald Black, hukum adalah kontrol sosial pemerintahan.
Yang ia maksud dengan "kontrol sosial" adalah aturan dan proses sosial yang
berusaha mendorong perilaku yang baik atau mencegah perilaku yang buruk. Ada
dua cara untuk melihat hukum, yaitu memandang hukum terbentuk oleh peraturan
perundang-undangan pemerintah yang resmi dan menggunakan pendekatan yang
lebih luas dan memandang seluruh aspek kontrol sosial.

Kata "hukum" seringkali hanya merujuk kepada aturan-aturan dan


peraturan-peraturan; tetapi sebuah garis dapat ditarik di antara aturan-aturan dan
peraturan-peraturan itu sendiri dan struktur, institusi, dan proses yang
menghidupkan aturan dan peraturan terse but. Domain yang diperluas inilah
disebut "sistem hukum". Sistem hukum mengandung lebih dari sekadar aturan,
peraturan, perintah, dan larangan. Dalam sistem hukum ada aturan tentang aturan.
Ada aturan prosedur dan aturan yang membeda kan aturan dari bukan aturan.
H.L.A.Hart menyebut aturan tentang aturan ini sebagai "aturan sekunder", ia
menyebut aturan tentang perilaku nyata sebagai "aturan

5 Lihat dan bandingkan William A. Shrode and Dan Voich, Organization and Management.
Basic Systems Concepts, Florida State University Press, TlIahassee, 1974, dalam Satjipto Rahardjo,
llmu Hukum, Cetakan Kedua (Cetakan Pertama 1982), PT. Alumni, Bandung, 1986, hal. 88,
mengatakan: "Sistem (dalam kaitan dengan hukum atau sistem hukum, penulis) ini mempunyai dua
pengertian yang penting .... Yang pcrtama adalah
pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini
menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu
rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu".
269 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

primer". Menurut H.L.A.Hart, hukum adalah kumpulan aturan primer dan aturan
sekunder.6

III. Unsur-Unsur dalam Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman mengemukakan sekarang kita memiliki satu


pemikiran dasar tentang apa yang kita maksud tatkala kita berbicara tentang
sistem hukum. Ada cara untuk menganalisis wujud dunia sosial yang rum it dan
penting ini. Sistem hukum memiliki "struktur". Sistem ini terus berubah, tetapi
bagian-bagiannya berubah dengan kecepatan yang berbeda, dan tidak setiap
bagian berubah secepat bagian-bagian lain. Ada pola-pola yang bertahan lama,
yaitu aspek-aspek sistem hukum yang telah ada dahulu dan akan tetap ada dalam
waktu yang panjang. Inilah struktur sistem hukum - rangka atau kerangkanya,
bagian yang tahan lama, yaitu bagian yang memberikan bentuk dan wujud kepada
sistem hukum secara keseluruhan. Dalam satu hal, struktur adalah gambaran
representatif dari sebuah sistem hukum.

Aspek lain dalam sistem hukum adalah "substansi"-nya, yaitu aturan-


aturan, kaidah, dan pola perilaku nyata dari orang-orang yang ada dalam sistem
hukum itu. Substansi ini adalah hukum dalam arti fakta. Atas dasar "substansi" ini
polisi bertindak terhadap pelanggar hukum. Inilah pola-pola kerja hukum hidup.
Substansi juga berarti produk yang dibuat oleh orang-
orang di dalam sistem hukum - keputusan-keputusan yang mereka keluarkan,
aturan-aturan baru yang mereka buat.
Dalam uraian ini tekanan diarahkan pada hukum yang hidup, bukan hanya
pada aturan-aturan dalam kitab-kitab hukum. Hal ini membawa kita ke komponen
ketiga dalam sistem hukum, yaitu "budaya hukum". Budaya hukum adalah sikap
masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum - keyakinan, nilai, gagasan, dan
harapan mereka. Budaya hukum adalah bagian dari budaya umum yang berkaitan
dengan sistem hukum. Budaya hukum adalah iklim pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Tanpa budaya
hukum ini, sistem hukum tak berdaya - seperti ikan mati yang mengambang di
baskom.Budaya hukum membuat proses hukum berjalan.
Cara lain untuk menjelaskan ketiga unsur hukum 1111 adalah
membayangkan "struktur" hukum sebagai sebuah mesin. Substansi adalah apa
yang dibuat atau dilakukan oleh mesin itu. "Budaya hukum"

6 Lihat dan bandingkan Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction , Revised


and Updated Ed ., W. W. Norton & Company, New York, London, 1998, hal. 15-18 .
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 270

adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan at au
mematikan mesin dan menentllkan bagaimana mesin itu digunakan.
Setiap bangsa, setiap negara, setiap masyarakat memiliki budaya hllkum.
Selalu ada sikap dan opini tentang hukum. Tentunya hal ini tidak berarti setiap
orang dalam suatu masyarakat memiliki pikiran atau gagasan yang sarna.
Terdapat banyak subkultur atau subbudaya. Salah satu subkultur yang sangat
penting adalah budaya hukum "orang dalam," yaitu para hakim dan pengacara
yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri.
Pada umumnya kita hanya mengetahui sedikit tentang dampak keputusan,
bahkan dampak yang cepat sekalipun. Pengadilan tidak memiliki tugas untuk
mengetahui apa yang terjadi kepada para pihak-pihak yang berperkara setelah
mereka meninggalkan mang sidang, atau apa yang terjadi kepada masyarakat
luas.7

IV. Sistem Hukum Negara-Negara Asia Tenggara

Dalam uraian ini membatasi ·pada enam dari sepuluh sistem hukum
negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, yaitu Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

A. Sistem Hukum Brunei Darussalam

Pada masa lalu umumnya, sistem hukum Brunei Darussalam saat itu
tanggung jawab Residen Inggris dan Sultan. Residen Inggris
bertanggungjawab atas semua urusan yang berkaitan dengan pengangkatan
hakim untuk pengadilan-pengadilan rendah dan fungsi pengadilan-
pengadilan tersebut. Sultan memegang kekuasaan
jurisdiksi untuk mempertahankan aturan-aturan dan hukum syariah, yang
berarti Sultan mengangkat semua "kathis" di daerah-daerah yang
disebutkan dalam "kuasa" atau jurisdiksi mereka untuk tujuan tadi.

Oleh karena pengadilan mempunyai jurisdiksi yang berbeda, maka


hukuman yang dijatuhkan pun berbeda-beda. Pengadilan-pengadilan pad a
masa itu: (1) Pengadilan Residen, (2) Pengadilan Hakim Tingkat Pertama,
(3) Pengadilan Hakim Tingkat Kedua, serta (4) Pengadilan Hakim Pribumi
dan Kathis.
Meskipun Pengadilan Residen merupakan pengadilan tinggi dalam
hirarki sis-tern hukum Brunei pad a saat itu, namun pengadilan

7 Lihat dan bandingkan Lawrence M. Friedman, Ibid., hal. \5-34 .


271 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

itu bukan merupakan pengadilan banding terakhir. Banding yang timbul


dari keputusan-keputusan Pengadilan Residen diajukan ke salah satu dari
dua pengadilan yang memegang jurisdiksi atas perkara yang menyangkut
salah satu negara bagian di Koloni itu, yaitu Sabah dan Sarawak serta
Brunei sebagai Negara Protektorat Inggris. Jika banding atau kasasi atas
keputusan Pengadilan Residen diajukan, Mahkamah Agung (MA) Koloni
atau Pengadilan Banding yang ada di Koloni itu bertanggungjawab untuk
mendengarkan banding menurut jurisdiksi pidana atau perdata mereka
masing-masing. Dalam situasi seperti itu, di mana banding diajukan dan
didengar oleh salah satu pengadilan
koloni yang disebutkan tadi, maka Pengadilan Residen
bertanggungjawab untuk melaksanakan atau memberlakukan keputusan
atau perintah Pengadilan Banding atau MA Koloni yang dibuat menurut
UU Pengadilan 1908.
Sebagai satu dari dua pengadilan tertinggi, MA memiliki jurisdiksi
dalam per- kara di mana pelanggaran yang dituduhkan dilakukan di
wilayah negara dan .hukuman yang ditetapkan oleh UU adalah hukuman
mati. MA juga dapat melaksanakan jurisdiksi banding pidananya dalam
situasi di mana Pengadilan Residen telah memutuskan dan menghukum
siapa saja dengan hukuman penjara atau denda.

Hukum Brunei Darussalam bergerak ke arah sistem hukum yang


sesuai untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping UU yang disebutkan di
atas, hukum adat telah menjadi salah satu sumber hukurn utarna di Brunei.

Meskipun ada beberapa amandemen perudang-undangan antara 1908


dan 1959, sistern hukurn itu tetap dalam struktur yang sarna seperti dalarn
UU Pengadilan 1908. Pada 29 September 1959, dengan pemberlakuan
UUD Brunei Darussalam, badan legislatif dan eksekutif ditetapkan dengan
jelas. Berdasarkan Pasal 3 UU MA (Hasil Perubahan 1985, yang
sebelumnya adalah UU MA No. 2/1963) dan Pasal 3 UU Pengadilan di
bawah MA yang diubah pada tahun 1985 (sebelurnnya adalah UU
PengadiJan Rendah No. ] 1/1982), MA dan pengadilan-pengadilan di
bawah ditetapkan. 8

8 Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, ASEAN Legal Systems, Butterworths
Asia, Singapore, Malaysia, Hongkong, 1995, hal. 5-7.
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 2 72

B. Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan besar,


meskipun negeri ini masih bekerja keras untuk menyelesaikan perubahan
perundang-undangan kolonialnya dan membangun sebuah sistem hukum
nasional yang terpadu, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.9

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945, ada dua jenis


pengadilan sipil, yaitu Pengadilan Eropa (Raad van Justitie) dan
Pengadilan Negeri bagi bangs a pribumi (Landraad). Selain pengadilan-
pengadilan tersebut, ada pengadilan Hukum Islam untuk perkawinan dan
perceraian (dan juga warisan) dan perkara-perkara di antara umat Islam.

Bagi bangsa pribumi, perkara terlebih dahulu dibawa ke kepala desa


untuk diputuskan menurut adat-istiadat setempat. Jika keputusan kepala
desa ditentang, maka perkara diajukan ke Pengadilan Negeri (Landraad)
dengan hakim Belanda atau hakim Indonesia yang berpendidikan Belanda.
Perkara diputuskan menurut apa yang dipandang oleh para hakim sebagai
hukum adat. Untuk perkara-perkara ini, Raad van Justitie merupakan
Pengadilan Banding dan pengadilan terakhir. Hukum acara yang
diberlakukan di Raad van Justitie berbeda dengan hukum acara yang
berlaku di Landraad.
Perkara di antara orang-orang Eropa (termasuk orang Amerika dan
Jepang) di-selesaikan oleh para hakim Belanda dari Pengadilan Eropa,
dengan banding dan kasasi ke Pengadilan Tinggi (Hooggerechtshof). Bagi
pengadilan "bangsa Eropa", Peraturan Hukum Acara Perdata (Reglement
op de Rechtsvordering) 1847 yang diganti 1849 di-berlakukan, yang
hampir sarna dengan hukum acara yang berlaku di Belanda saat itu.

Sengketa hukum yang melibatkan orang-orang Eropa atau warga


negara keturunan asing (seperti Cina dan India) sebagai satu pihak dan
bangsa pribumi sebagai pihak lain masuk ke dalam jurisdiksi Pengadilan
Negeri dan disidangkan atas dasar aturan-aturan hukum interpersonal.
Perbedaan utama antara hukum acara di kedua

9 Hubungkan Amos 1. Peaslee, Constitutions of Nations: Volume II- Asia. Australia and
Oceania, Revised Fourth Edition, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, Boston, Lancaster, 1985,
hal. 338, menggambarkan : "The Constitution of August 18, 1945, was restored on July 5; 1959. 11
declares that Indonesia is a unitary state and a republic. Sovereignty belongs to the people and is
exercised by the Majelis Permusyawaratan Rakyat (People's Assembly)".
273 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-3 7 No. 2 April-Juni 2007

pengadilan adalah di Pengadilan Negeri : (1) tuntutan lisan boleh diajukan;


(2) kehadiran pengacara atau pembela tidak diwajibkan; (3) hakim bekerja
secara aktif untuk mencari kebenaran; (4) wanita yang sudah menikah
diperbolehkan untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan atau membela diri
atas suatu tuntutan (berbeda dengan prosedur di Pengadilan Eropa, di mana
wan ita tidak memiliki hak seperti itu); serta (5) aturan dan prosedurnya
lebih sederhana.
Sistem ini didasarkan pad a dua pasal utama, yaitu Pasal 131 dan Pasal
163 Peraturan Dasar Hindia Belanda (lndische Staatsregelingl/S) 1855.
Pasal 31 menyatakan: Bagi bangsa Eropa, hukum perdata dan pidana
Belanda diberlakukan, kecuali jika ada keadaan khusus, maka
penyimpangan dari hukum Belanda di-perbolehkan. Hukum yang berlaku
bagi bangsa Eropa, dan hukum lain yang berlaku bagi semua kelompok
penduduk tidak berlaku bagi warga pribumi dan warga timur asing. Selain
itu, warga pribumi diatur oleh hukum agama dan adat mereka, kecuali jika
kepentingan umum menuntut penyimpangan dari hukum terse but. Warga
pribumi dan warga timur asing diperkenankan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi bangsa Eropa untuk diberlakukan pada mereka, dan syarat-
syarat pemberlakukan itu diatur oleh UU khusus . Pasal 163 membagi
penduduk Indonesia ke dalam tiga kelompok: Bangsa Eropa, yang meliputi
bangsa Belanda, semua orang lainnya yang berasal dari Eropa, Jepang, dan
semua penduduk lain yang hukum keluarganya

didasarkan pad a prinsip-prinsip yang sarna dengan hukum keluarga


Belanda. Yang juga dianggap sebagai bangsa Eropa adalah keturunan
Erasia Eropa yang dilahirkan di Hindia Belanda. Bangsa pribumi
(Indonesia asli), termasuk orang asing yang telah berbaur dengan
masyarakat Indonesia. Bangsa timur asing yang terdiri atas bangs a Cina
dan non-Cina, seperti India dan Arab.
Pada 1917, sebuah peraturan khusus untuk warga Cina diberlakukan,
yang menetapkan UU Perdata dan UU Perniagaan untuk bangsa Eropa
berlaku juga bagi warga Cina, kecuali dalam kaitannya dengan kongsi,
yang hanya dikenal di antara para pengusaha Cina. Pada 1924, aturan-
aturan UU Perdata yang berkaitan erat dengan harta benda dan hukum
kontrak, serta UU Perniagaan, diberlakukan kepada orang-orang non-Cina
(Arab, India, dan lain-lain).

Salah satu bentuk peraturan yang dikeluarkan setelah Proklamasi


Kemerdekaan adalah UU Penyatuan JurisdiksilKekuasaan Pengadilan, yang
menghapuskan Pengadilan Eropa dan jurisdiksi atau kekuasaan kepala desa
untuk menyelesaikan perkara hukum adat. Menurut
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 274

peraturan ini, semua perkara hukum harus diajukan ke Pengadilan Negeri


sebagai pengadilan tingkat pertama. Banding harus diajukan ke Pengadilan
Tinggi dan kasasi ke MA.IO
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana untuk Pengadilan
Negeri, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Hindia Belanda yang
Diperbaharui 1926 masih berlaku. Hukum substantif yang diberlakukan
oleh pengadilan ini sarna dengan hukum yang ditetapkan dalam Pasal 131
dan Pasal 163 IS 1855, kecuali ada perundang-undangan baru yang
dikeluarkan.
Pad a beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak
UU nasional baru yang tidak sesuai dengan perundang-undangan Belanda
disahkan, termasuk UU Agraria No. 511960, UU Penanaman Modal Asing (PMA)
No. 111967, UU Penanaman Modal Dalam Negeri No. 611968, UU Perkawinan
No. 111974, Hukum Acara Pidana No. 8/1981, dan UU Perpajakan No. 911994.
Oleh karena alasan itu, maka banyak hukum prosed ural dan substantif Indonesia
telah berubah. Hukum Indonesia saat ini tidak sarna dengan hukum Belanda.

Sebuah UU PMA yang baru diberlakukan 1967 dan bagian-bagian


dari aturan yang terkandung dalam UU Perdata dan UU Perniagaan 1848
(yang sebelum kemerdekaan hanya mengatur bangsa Eropa dan warga
timur asing) mengenai kontrak, perusahaan, perdagangan, asuransi, dan
perbankan menjadi berlaku bagi warga Indonesia asli yang terlibat dalam
kegiatan bisnis, perbankan, dan
asuransi. Pemerintah Indonesia mengusahakan penyatuan hukum bagi
seluruh warga negara Indonesia melalui modernisasi dan kodifikasi hukum.
Pemerintah memberikan prioritas kepada bagian-bagian hukum yang
"kurang sensitif' (seperti hukum kontrak, perusahaan dan perekonomian
pada umumnya) . Bidang-bidang hukum yang "Iebih sensitif' seperti
hukum keluarga dan warisan diberikan lebih banyak waktu dan
kesempatan untuk berkembang. II
Mensitir pendapat Lawrence M. Friedman, Bagir Manan memaparkan
hukum tidak hanya diartikan sebagai rangkaian as as dan kaidah. Hukum
dalam menuju Indonesia baru harus mencakup pula pelaksanaan dan
penegakan hukum serta sikap masyarakat

10 Hubungkan Amos J. Peaslee, Ibid., hal. 339: "Judicial authority is exercised by the
Supreme Court and other courts whose structure and powers are prescribed by statute".

II Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, Op. Cit., hal. 19-22.
275 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

terhadap hukum. Sebagai sebuah sistem, apalagi dalam konteks Indonesia


baru - hukum akan meliputi isi hukum (asas dan kaidah hukum), struktur
hukum (pembentuk dan pelaksana hukum), dan budaya hukum (perspesi
masyarakat terhdap hukum). Dari berbagai indikasi di atas, aspirasi
masyarakat terhadap hukum tidak hanya semata-mata dilakukan dengan
membangun kesadaran hukum. Tidak kalah penting sikap aparatur dalam
menjalankan fungsi di bidang pemerintahan atau hukum. Dalam suatu
represif, rakyat dapat didorong taat pad a hukum. Dalam hal semacam itu
tidak akan efektif, rakyat akan melakukan perlawanan, baik secara diam-
diam (seperti pembangkangan) maupun perlawanan terbuka. Budaya taat
pada hukum bukan sesuatu yang diciptakan, tetapi yang tumbuh atau
ditumbuhkan antara lain karena rakyat merasa memperoleh manfaat dari
ketaatan atas hukum. Termasuk taat pad a hukum adalah kemampuan
rakyat melakukan perlawanan secara tertib dan teratur atas aturan atau
12
tindakan hukum yang tidak adil dan sewenang-wenang.

Bagir Manan mengatakan ditinjau dari sumber sistemnya, hukum-


hukum yang ada sekarang masih beragam corak, yaitu substansi hukum
yang bersumber pada hukum yang dimasukkan oleh Belanda sebagai
panjajah (dalam literatur lazim disebut Hukum Barat), substansi hukum
yang bersumber dari agama (seperti hukum Islam), substansi hukum asli
rakyat Indonesia (hukum adat), dan berbagai substansi hukum baru yang
lahir setelah merdeka berupa peraturan perundang-undangan, putusan-
putusan hakim, kebiasaan-kebiasaan baru, dan hukum yang terbentuk
akibat hubungan internasional
(perjanjian atau persetujuan internasional). Baik karena perkembangan

maupun kebutuhan substansi hukum perundang-undangan menjadi


sumber dan tumpuan utama sistem substansi hukum nasional kini ataupun
di masa datang. Baik perkembangan maupun kebutuhan, substansi hukum
perundang-undangan menjadi sumbu dan tumpuan utama sistem hukum
nasional kini ataupun di masa datang. 13

12 Lihat dan bandingkan Bagir Manan, Peranan Hukllm Menuju dan Dalam Indonesia

Barll, Makalah. Disampaikan pada MUNAS KAHMI , di Surabaya, pada tanggal 16 Juli 2000, hal.
4·11 .

\3 Lihat dan bandingkan Bagir Manan, Reorientasi Polilik Hukum Nasional, Makalah,
Disampaikan dalam Diskusi IKAPTISI di UGM, Yogyakarta, pad a tanggal 12 September 1999, hal.
13 .
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 276

Berkaitan dengan masalah stuktur hukum di Indonesia belakangan JOI,


Bagir Manan mengatakan masalah ini bertalian dengan unsur-unsur
pembentuk hukum, pelaksana hukum, dan penegak hukum. Pelaksana
hllkllm mencakup pemberian pelayanan hukum mulai dari tingkat pusat
sampai daerah. Pemberian pelayanan hukum merupakan bagian dari sistem
birokrasi. Kecuali ketentuan yang melarang pegawai negeri menjadi
anggota partai atau menjadi aktifis partai, praktis belum ada perubahan
tatanan birokrasi. UU Pemerintahan Daerah (UU No. 2211999 diganti UU
No. 32/2004) dan UU Perimbangan Kellangan Pusat dan Daerah (UU No.
25/1999 diganti
UU No. 33/2004) belllm menunjukkan suatu perubahan birokrasi di
daerah, kecuali keinginan sebagian DPRD untuk menolak pertanggllngjawaban
BlIpati, Walikota, Gubernur menuju penggantian yang baru. Pembubaran
Departeman atall perubahan menjadi
"kementerian negara", tanpa suatu perencanaan yang matang merupakan
political arbitrary daripada satu administrative ref orm menuju ad-
ministrasi negara yang efisien dan bersih. Suatu pembaharuan birokrasi
(bureaucratic reform, administrative reform ) harus menjadi perhatian
utama di samping pembaharu-an politik. Birokrasi yang tidak sehat, bukan
saja bertalian dengan efisiensi dan efektivitas, melainkan menjadi dan
tempat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Selama reformasi, baik secara politik mauplln pemerintahan belum


nampak suatu strategi atau perencanaan integral mengenai upaya
pembaharuan birokrasi .
Di bidang penegakan hukum kita dihadapkan dengan persoalan
peradilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga-Iembaga penegak hukum dalam
lingkungan birokrasi (keimigrasian, pemasyarakatan, bea cukai, dan
perpajakan), dan peran penasihat hukum. Lembaga peradilan mendapat
sorotan luar biasa. Hampir tiada hari tanpa berita keluhan mengenai
peradilan. Praktik kelabu dan tidak terpuji itu terjadi juga pada penegak
hukum lainnya. Mulai dari praktik di pinggir jalan sampai keruang-ruang
pemeriksaan atau penahanan.
Harus diakui peradilan merupakan penentu akhir penegakan hukum.
Peradilan merupakan instansi terakhir tempat orang menemukan atau tidak
menemukan keadilan. Karena itu pembaharuan peradilan harus diletakkan
pada lini terdepan mem-perbaiki sistem penegakan hukllm. Selama ini,
salah satu sorotan umum adalah me-ngenai independensi peradilan.
Peradilan harus dipisah secara absolut dari Pemerintah (UU No. 35/1999).
Peradilan yang independen merllpakan keharusan dalam setiap negara
berdasarkan atas hukllm.
277 Jurna! Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No. 2 April-Juni 2007

PerJu dipahami tanpa mekanisme check and balances, independensi


peradilan dapat melahirkan judicial orbitrary. Hakim menjadi serba be bas
tanpa pengawasan. Tidak pula dapat diterima untuk membuat badan
peradilan bertanggung jawab pada suatu badan politik tertentu. Kalaupun
ada, bukan hubungan pertanggungjawaban, tetapi sebagai mekanisme
penindakan secara hukum. Untuk itu dalam suatu lembaga
. politik dapat dibentuk suatu judicial commission yang bertugas
mengawasi dan mengendalikan secara hukum tingkah laku hakim. Dapat
juga dibentuk suatu independent judical commission yang bertugas
mengawasi dan

mengendalikan secara hukum para hakim. Langkah-Iangkah


pembaharuan harus pula dilakukakan pada penegak hukum yang lain. Perlu
ada penataan integral mengenai fungsi penyelidikan, penyidikan sehingga
tidak terjadi tumpang tindih yang akan merugikan atau mempersulit pencari
keadilan. 14
Menyangkut masalah persepsi masyarakat terhadap hukum (budaya
hukum) di Indonesia, Bagir Manan mengemukakan :
Sikap masyarakat yang kurang hormat atau kurang menjunjung tinggi
hukum, dapat terjadi karena beberapa hal.
(i) Adanya kesenjangan antara pengertian hukum yang formal dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. ...
0) Tersedianya berbagai jalan pintas yang dapat dipakai untuk
mencapai tujuan tertentu, ...
(k) Susunan masyarakat feodalistik yang membuka kemungkinan
"prevelege" bagi golongan atau kelompok tertentu untuk mendapatkan berbagai
pengecualian di de pan hukum.
(I) Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum
atau birokrasi akibat berbagai tingkah laku tidak terpuji ....
(m) Dalam suasana "ultra be bas" sekarang, rendahnya apresiasi masyarakat
terhadap hukum juga terjadi karena aparat dihinggapi rasa was-was bahkan takut
dari berbagai ancaman seperti pelanggaran HAM dan sebagainya. 15

14 Lihat dan bandingkan Bagir Manan, Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru,
Op. Cil .. hal. 8-10.

15 Bagir Manan, Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru, Ibid. , hal. 10-
11.
SiSfem Hukum Negara di Asia Tenggara 278

C. Sistem Hukum Malaysia

Hukum yang berlaku di negara-negara Melayu (Malaya) sebelum


intervensi Inggris adalah adat Perpatih di sebagian besar wilayah Negeri
Sembilan dan beberapa bagian Malaka, serta adat Temenggong di bagian-
bagian lain Semenanjung itu, dengan keragaman lokalnya. Sebagian besar
hukum itu tak tertulis dan bahkan Perak, yang memiliki tiga kitab hukum,
harus mengakui hingga akhir 1878, sebagian besar UU di Perak masih
belum tertulis, meskipun dapat dipahami secara umum.

Hukum Islam, yang pada mulanya digunakan dalam perkara


keagamaan saja, secara perlahan menjadi kuat, dan pada masa intervensi
Inggris, hukum perkawinan dan perceraian Islam diakui secara luas oleh
adat Perpatih dan adat Temenggong, dan adat Temenggong ini pun
memperlihatkan pengaruh Islam dalam perkara pidana.

Namun, hukum harta kekayaan dan pewarisan tanah hampir tidak


menunjuk-kan pengaruh Islam, sekalipun di Perak atau Pahang di mana
pewarisan takhta atau gelar mengikuti garis bapak, tetapi pembagian
warisan tanah mengikuti hukum ad at matrilineal (garis ibu). Dalam sebuah
perkara hukum tahun 1886 misalnya, Dewan Negara Perak memerintahkan
agar tanah diwariskan menurut garis ibu.
Banyak masalah dihadapi oleh Inggris pad a masa intervensi mereka.
Masalah-masalah yang paling mendesak seperti perbudakan, kerja paksa,
dan kepemilikan tanah diselesaikan dengan Peraturan Perbudakan,
Peraturan Kerja Paksa, dan Peraturan Pertanahan. Peraturan Pertanahan
mengharuskan para pemilik tanah untuk mencatat hak atas mereka di
Kantor Pertanahan dan menetapkan prosedur untuk pewarisan tanah kepada
tunman mereka, tanpa menunjukkan apa hukum warisan itu. Merasa solusi
ini sejalan dengan hukum adat Malaya, maka para petugas pertanahan
memberlakukan hukum adat dalam perkara ini . Kadhis yang sering
diminta pendapat mengenai hak warisan telah menyatakan hukum adat ini
sebagai hukum Islam berkali-kali. Namun, dari perkara-perkara ini serta
dari keputusan Dewan Negara Perak, Pahang, dan Selangor, tampak jelas
hingga 1907, hukum kekayaan dan warisan di negara-negara bagian
Malaysia adalah hukum ad at Malayu.

Di Negeri Sembilan yang memberlakukan sistem matrilineal, perkara


ini diperumit oleh UU Kepemilikan Tanah Adat 1909. UU ini membedakan
antara "tanah adat" dan "tanah bukan adat" dan dimaksudkan untuk
membatasi jual beli tanah
279 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

leluhur. Perbedaan pendapat yang timbul di antara para pejabat daerah


dan keputusan hakim tampak memerlukan kajian komprehensif terhadap
struktur dan prinsip-prinsip hukum ad at Malayu mengenai kekayaan dan
warisan ini. Hal ini tampak berlaku bagi Negeri Sembi Ian dan Malaka di
mana hingga sekarang struktur matrilineal masih merupakan dasar hukum
adat. Hal ini juga berlaku bagi negara-negara bagian lain di mana hukum
adat masih memainkan
peranan penting dalam pelaksanaan hukum. Untuk membantu pemerintah
dalam semua perkara mengenai agama dan adat Islam, maka Dewan
Agama dan Adat Malayu telah dibentuk di semua negara bagian.

UU No. 611951 mendefinisikan adat Melayu sebagai bagian dari adat


yang memiliki kekuatan hukum yang telah diberlakukan atau berlaku di negara
bagian Perak dan yang secara umum dikenal sebagai "harta sepencarian" termasuk
praktik adat lain yang tidak mencakup "adat resam". Harta sepencarian adalah adat
mengenai kekayaan bersama suami dan istri, dan adat resam adalah etika atau
tradisi. Masalah-nya pad a saat itu adalah menetapkan hukum adat ini tanpa
dipengaruhi oleh pan-dangan Islam. Kasus-kasus yang dikutip oleh Hakim Agung
E.N. Taylor dalam buku-nya Malay Family Law, menunjukkan perbedaan
pendapat mengenai masalah ini di antara para Kadhis, yang seringkali menyatakan
aturan adat Melayu sebagai aturan hukum Islam.

Dalam berbagai penjanjian yang disepakati oleh para penguasa


Melayu dari berbagai negara bagian dan penguasa Inggris, di mana para
penguasa Melayu sepakat untuk menerima pendapat Inggris, telah
ditetapkan dengan jelas pendapat atau pandangan Inggris ini tidak berlaku
pada perkara yang menyangkut agama dan adat
Melayu. Meskipun kesepakatan ini telah tercapai, namunkita menyaksikan
di semua

negara bagian Malaysia, secara langsung atau tak langsung Inggris


telah mencampuri hukum Islam dan pelaksanaannya.
Perluasan pengaruh Inggris secara tak langsung telah mendukung
penyebaran hukum Inggris. Atas dasar nasihat dari para Residen Inggris,
para sultan di Malaysia telah memberlakukan sejumlah UU yang menganut
prinsip-prinsip hukum Inggris yang diadopsi oleh India. UU Pidana yang
meniru pola India pertama kali disahkan di Perak melalui keputusan Dewan
28 Juni 1884. UU Kontrak India pada mulanya diberlakukan di Selangor
melalui Keputusan Pengadilan Selangor 1893 dan kemudian melalui
perundang-undangan di Perak, Selangor dan Negeri Sembi Ian 1899 dan di
Pahang 1990. Hukum
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 280

Acara Pi dana India juga disahkan dan diberlakukan di berbagai negara


bagian 1897 dan kemudian 1903, dan perundang-undangan ini telah mem-
perkenalkan sistem pencatatan tanah Torrens. Dampak perundang-
undangan ini menggantikan hukum Islam Melayu dengan perundang-
undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Inggris.

Para Residen Inggris juga menganjurkan para penguasa Melayu untuk


mem-bentuk pengadilan tinggi di setiap negara bagian. Sebelum 1896,
proses banding di setiap negara bag ian Melayu diajukan kepada
Pengadilan Residen dengan banding akhir ke Sultan di Dewan. Pad a 1896,
Keputusan dan Peraturan Komisaris Hukum berlaku dan peraturan 1J11
menghapuskan Pengadilan Residen dan Sultan di Dewan serta menjadikan
Komisaris Hukum sebagai Pengadilan Banding terakhir bagi federasi. Ia
diangkat oleh para sultan dengan persetujuan residen, dan ia telah menjadi
hakim sedikitnya selama sepuluh tahun. Ia menerima banding dari para
hakim senior yang memegang jurisdiksi yang tak terbatas. Sistem Hakim
Senior 1111 diperkenalkan

pada waktu yang berbeda di empat negara bagian dan hakim ini
adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan dimutasi dari jabatan
sipillain. Pada 1905, UU Pengadilan diberlakukan dan menghapuskan
Komisaris Hukum dan Hakim Senior. Mahkamah Agung dibentuk dan
terdiri atas Ketua (Kepala Komisaris Hukum) dan dua orang komisaris
hukum yang diangkat oleh Residen lenderal dengan persetujuan Komisaris
Tinggi. Akhirnya MA ini ditambah dengan Komisaris Hukum ketiga.
Pengadilan Banding terdiri atas dua atau tiga hakim. Melalui Perintah
Banding Negara Bagian Federasi Malaya di Dewan 1906, yang disahkan
oleh Raja, sebuah ketetapan telah dibuat untuk proses banding dalam
tindakan perdata dari MA baru ke Dewan Kerajaan. Pada 1921, melalui
perundang-undangan di ketiga negara, Komisaris Hukum dijadikan hakim
ex-officio untuk daerah selat Malaka dan lohore serta para hakim di kedua
wilayah ini menjadi Komisaris Hukum ex-officio. Pada 1923 ditetapkan,
Pengadilan Banding untuk Negara-negara Federasi Malaya harus terdiri
atas tidak kurang tiga hakim. Pad a ] 925 , jabatan-jabatan itu diubah dari
Komisaris Hukum Utama dan Komisaris Hukum menjadi Hakim Ketua
dan Hakim.

Praktik yang diterapkan oleh para hakim diperkuat ketika pada 1937
Kitab UU Hukum Perdata diberlakukan di negara-negara federasi Malaya
dan menetapkan penerimaan atas hukum Inggris. Pada 1951, UU ini
diperluas ke negara-negara bagian lain, dan 1956 Kitab UU
281 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

Hukum Perdata memperkenalkan hukum Inggris ke seluruh Federasi


Malaya.
Berbagai ketentuan telah dibuat di semua negara bagian untuk
pencatatan perkawinan dan perceraian Islam, tetapi tidak ada peraturan
perundang-undangan mengenai warisan kekayaan umat Islam. Pengadilan
di negara-negara bagian Malaya dulu menerapkan hukum Islam dalam
semua perkara ini, bukan hanya pada kekayaan orang yang mati tanpa
berwasiat, tetapi juga mereka yang mati dengan berwasiat.

Di Sabah dan Sarawak, sejumlah adat setempat telah disahkan. Dalam


se-jumlah buletin, Wooley menguraikan ciri-ciri tertentu dalam hukum adat
di dusun, murut dan K wijan di Sabah. Di Sarawak, beberapa hukum adat
telah diundangkan dan dimasukkan ke dalam Kitab UU Hukum Adat Asli,
yang berlaku 1955. Kitab UU Hukum Adat asli yang telah disetujui oleh
Rajah (R~ja) Brooke ini mengkristal dalam bentuk hukum tak tertulis yang
kaku.
"Hukum tak tertulis" di negara-negara Borneo ini pada dasarnya terdiri
atas hukum dan adat suku pribumi di beberapa daerah, termasuk Hukum
Islam dan hukum dan sistem pribumi lainnya; Hakim Agung Sarawak
menyatakan bahwa semua hukum ini meliputi adat-istiadat Islam dan
Dayak serta adat lain mengenai perkawinan dan warisan serta adat tertentu
yang memberlakukan sanksi pidana, misalnya atas perzinahan dan
hubungan haram lain yang dipahami dalam adat Melayu dan Dayak.
Sarawak memberikan pengakuan resmi terhadap surat wasiat dalam agama
Islam. Baik di Sarawak maupun Sabah, ada perundang-undangan yang
mengatur peribadatan muslim dan pelaksanaan hukum Islam .

Adat-istiadat yang dianut oleh suku-suku tertentu lainnya juga


dijalankan. Misalnya, dalam kaitannya dengan hukum warisan, hukum adat
warisan Cina telah lama diakui oleh pengadilan Sarawak dan pengadilan
Sarawak mau memberlakukan hukum ini meskipun warga Cina bukan
merupakan penduduk asli Sarawak. Namun perlu dicatat bahwa di
Sarawak, hukum adat Cina diberlakukan selama hukum itu diakui oleh
perundang-undangan, tetapi tidak lebih dari itu. Misalnya, Pengadilan

Tinggi mempunyai kekuasaan untuk mengabulkan cerai bagi mereka


yang menikah menurut adat Cina, tetapi adat itu tidak mengakui perceraian
tanpa keputusan atau perintah Pengadilan Tinggi.
Ketika James Brook menjadi Rajah Sarawak, salah satu hal pertama
yang ia lakukan adalah menyiapkan delapan undang-undang. Kedelapan
UU ini ditulis dalam bahasa Melayu dan diterbitkan 1843.
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 282

Semua undang-undang menetapkan hukuman atas pembunuhan,


perarnpokan dan "kejahatan keji lainnya", rnemperbolehkan semua orang
untuk berdagang atau bekerja rnenurut kehendak mereka dan rnenikmati
keuntungan serta melindungi bangsa Dayak dari eksploitasi, tetapi tidak
rnemberikan kebebasan lalu-lintas dan perdagangan.

Negara-negara Kalimantan menganut sistern kasus Inggris, doktlin


kesetaraan Inggris serta statuta Inggris yang berlaku secara umurn.
Pemberlakukan sernua produk hukum Inggris hanya
dirnungkinkan oleh adat-istiadat setempat. Pernberlakukan ini didasarkan
pada Ordinansi Hukum Sarawak 1949 dan Ordinasi Hukum Sabah 1951.

Hukum tertulis yang khas bagi Sabah dan Sarawak pada dasarnya
bersumber dari perundang-undangan yang berlaku di negara-negara
Melayu dan Singapura, yang kemudian meminjam banyak peraturan
tertulis dari India dan Inggris. Contoh yang paling jelas dapat dilihat dalarn
Kitab UU Pidana dan UU Acara Pidana, yang pada dasamya merupakan
Kitab UU Malaya dan India.
Setelah pernbebasan Malaya pada tahun 1946, para penguasa militer
Inggris membentuk pernerintahan mil iter di Malaya. Pemerintahan 1111
rnenjalankan kekuasa-an legis latif, judikatif, eksekutif dan administratif
secara penuh.
Keputusan awal telah rnenghidupkan kern bali semua hukum yang
pernah berlaku pada masa invasi Jepang. Narnun keputusan ini harus
memenuhi berbagai ketentuan tentang setiap keputusan, dan selama pihak
militer mengijinkan serta Pejabat Urusan Sipil menilai keputusan itu dapat
dilaksanakan. Keputusan awal ini telah rnemberi Pejabat Urusan Sipil satu
ruang gerak yang sangat luas, dan dengan 77 keputusan di Federasi
Malaysia dan 61 di Singapura, masyarakat tidak merasa yakin dengan
hukurn yang berlaku.
Dengan memberikan kesernpatan untuk memulihkan hukum sipil,
Peme-rintahan Militer lnggris memberlakukan moratorium pada tuntutan-
tuntutan finansial tertentu. Pemerintahan sipil ditunda tetapi pelaksanaan
hukum segera dijalankan dan pengadilan dibentuk di seluruh wilayah.
Hukum yang dijalankan pada umumnya merupakan hukum yang berlaku
pada masa invasi Jepang, yang dilengkapi dengan
berbagai peraturan dari pernerintahan militer. Prosedur disederhanakan
tanpa melanggar prinsip-prinsip keadilan.
Pengadilan yang dibentuk untuk rnengadili para penjahat perang juga
harus memutuskan apakah tertuduh bersalah karena telah menyatakan
perang terhadap Kerajaan. Pernerintahan Militer Inggris
283 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

berakhir 3) Maret 1946, dan pemerintahan sipil berkuasa kembali 1


April.
Sejak Kemerdekaan, telah ada satu kecenderungan di Malaysia dan
Singapura untuk menerapkan model-model selain model perundang-
undangan Inggris. UU Perusahaan 1965, UU Asuransi 1963 dan UU
Pengupahan 1967 di Malaysia di-dasarkan pada model-model Australia
dan model-model ini diikuti oleh Singapura. Di Singapura, UU
Kepemilikan Tanah dan UU Industri juga didasarkan pada model
Australia. Piagam Wanita di Singapura, meskipun didasarkan pada
model Inggris, juga meminjam dari perundang-undangan Australia,
Selandia Baru, dan bahkan Cina.
Saat ini peradilan di Malaysia dan Singapura memiliki komposisi
lokal. Dalam waktu yang cukup lama, banding terhadap keputusan-
keputllsan pengadilan Malaysia yang diajukan kepada Komite Hukum
Kerajaan di Inggris pernah diperkenankan. Pada 1978, banding yang
berkaitan dengan masalah pidana dan masalah ketata-negaraan terjadap
Komite Kerajaan telah dihapuskan dan 1984 banding kepada Komite itu
dihapuskan sarna sekali.
Sejak pemisahan Singapura dari Malaysia, sistem hllkum di
Malaysia dan Singapura telah terpisah dan bahkan pengadilan tampak
berbeda. Satu hubungan penting tetap ada dalam bentuk Jurnal Hukum
Malaysia yang menerbitkan laporan-Iaporan pengadilan dari kedua
negara. 16

D. Sistem Hukum Filipina

UUD 1973 17 menetapkan bentuk pemerintahan parlementer dan


menggabung-kan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala

16 Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, Op. Cit ., hal. 84-90.

11 Hubungkan Amos J. Peaslee, Op. Cit., hal. 1214-1215: "The Constitution of January 17,
1973, was approved by referendum of January 10 to 15, 1973 and provided a parliamentary system in
the place of the presidential system of the preceding Constitution of February 8, 1935 . The
amendments of 1976 and 1981 restored the powers of the President in the Constitution itself, while
under the transitional provisions (Article XVII), which continued operative during the state of
material law, it is provised that the provisions of the 1935 Constitution concerning the President
continue to be applicable .
The Constitution provides that the Philippines is a republican State; sovereignty
resides in the people; the defense of the State is a prime duty of the government and the people.
The Philippines renounce war as an instrument of national policy will promote and strengthen
the family, youth, social justice, protection of labor, authonomy of local government units;
civilian authority is superior to military. A chapter concerning the national
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 284

pemerintahan, Perdana Menteri, dipilih oleh mayoritas anggota Majelis


Nasional di antara mereka sendiri dan dapat diberhentikan dengan memilih
penggantinya. Di lain pihak, Perdana Menteri mempunyai kekuasaan untuk
memberikan pendapat kepada Presiden untuk membubarkan Majelis
NasionaI dan mengadakan pemilihan urnum.

Bentuk pemerintahan parlementer ini tidak pernah dijalankan. Pasal-


pasal peralihan dalam UUD 1973 itu, yang rnenetapkan
peralihan dari bentuk pemerintahan presidensial ke sistem parlementer,
telah menjadikan keputusan, dekrit, dan tindakan
presiden sebagai bagian dari hukum darat dan sekaligus memberikan
kekuasaan kepada presiden untuk mengundang Majelis Nasional yang tidak
pernah diefektifkan. Narnun rnelalui sejumlah arnandernen UUD pada
bulan Oktober 1976, kekuasaan pejabat presiden dipertahankan dan
ditingkatkan serta Batasang Pambansa Sernentara (Parlemen Sementara)
dibentuk, dan memiliki kekuasaan yang sarna dengan badan legislatif biasa.
Dalam Arnandemen No.3, kekuasaan Presiden dan Perdana Menteri
digabungkan ke dalam jabatan Presiden saat itu (Ferdinand E. Marcos),
yang segera menjadi anggota Batasang Pambansa Sementara. Berkat semua
arnandemen ini, ia menduduki jabatan Presiden dan Perdana Menteri, yang
direncanakan hanya berlangsung selama masa transisi atau sampai para
anggota parlemen terpilih. Di bawah Amandemen No.6, Presiden juga
diberi wewenang untuk tetap menjalankan kekuasa-an Iegislatif sampai
"keadaan daruratlbahaya" dicabut. Jika menurut penilaiannya masih ada
keadaan bahaya atau ancaman, atau kapan saja Batasang Pembansa
Sementara atau Majelis NasionaI hasil pernilu gagaI atau tidak mampu
menjalankan tugas dengan baik karena alasan apapun yang menurut
penilaiannya memerlukan tindakan segera, maka untuk memenuhi tuntutan
itu ia dapat mengeluarkan dekrit, perintah atau instruktsi yang akan
menjadi bagian dari hukum darat.

Amandemen No. 7 juga menentapkan kelangsungan barangay


(kelompok politik terkecil) dan sanggunian (dewan) serta pelaksanaan
referendum untuk me-ngetahui kehendak rakyat mengenai masalah-
masalah penting, apakah kepentingan nasional atau daerah.

economy and patrimony of the nation provides for the regulation of monopolies, the limitation of
foreign investors, lands of the public domain, concervation, agrarian reform. The separation of church
and state is inviolable. No regiligions sect may be registered as a political party and no party seeking
its goal trough violence may be accredited" .
285 Jurnal Hukum dan Pembongunan Tahun Ke-37 No. 2 April-Juni 2007

Pada 7 April J978, 160 wakil daerah yang terbagi di antara 13 daerah
dipilih lIntllk menjadi Batasang Pam bans a Sementara, sedangkan 14
anggota yang mewakili golongan pemuda, pertanian, burllh dan bllruh
indllstri diangkat 27 April 1978. Batasang Sementara bersidang 12 Juni
1978 dengan selllruh anggota 192 orang.
UUD 1973 akhimya diamandemen pada 1980 dan 1981. Amandemen
1980 menambah batas usia pensiun hakim MA dari 65 tahun menjadi 70
tahun. Amandemen 1981 memperkenalkan bentuk sistem
presidensial/parlementer yang dimodifikasi. Presiden, sebagai kepala
negara dan pemerintahan, secara langsung dipilih oleh rakyat untuk masa
jabatan 6 talmn. Juga ada seorang Perdana Menteri yang dipilih oleh
mayoritas Batasang Pambansa atas usulan Presiden. Ia adalah ke-pada
kabinet dan mengawasi seluruh menteri. Batasang dapat menarik
kepercayaan-nya dari Perdana Menteri dan ia boleh mencari dukungan
rakyat atas persoalan penting dan meminta Presiden untuk membubarkan
parlemen. Selain itu, ada pula Komite Eksekutif yang diangkap oleh
Presiden, yang terdiri atas Perdana Menteri sebagai ketua dan tidak lebih
dari 14 anggota, dan sedikitnya setengah dari mereka adalah anggota
Batasang Pambansa. Komite Eksekutif bertugas membantu Presiden dalam
menjalankan kekuasaan, fungsi dan tugas-tugasnya. Amandemen lain 1981
menyangkut komposisi Batasang Pambansa; kualifikasi anggotanya; masa
jabatan mereka dan penetapan pemilu pertama pada tahun 1984; perubahan
sistem pemilu dengan pengakuan partai politik dan perubahan afiliasi partai
politik; serta ketentuan bahwa warga Filipina yang telah kehilangan

kewarganegaraan Filipina dapat menyerahkan tanahnya untuk kepentingan


pemukiman. Menurut seorang pakar hukum tata negara, meskipun UUD
1973 mengelompokkan kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga bidang,
eksekutif, legislatif dan jlldikatif, namun pemisahan kekuasaan tidak
ditetapkan dengan baik atau tidak dipatuhi secara ketat.

UU Darurat Perang dicabllt 17 Januari 1981, dan pengadiJan militer


dihapus-kan oleh Keputusan No. 2045. Pemilihan presiden dilaksanakan J 6 Juni
1981 dan Presiden Marcos terpilih kembali . Pad a pidato pelantikannya pada
tanggal 30 Juni 1981, ia mengumumkan lahirnya Republik Keempat di bawah
UUD baru. Pembunuhan mantan Senator Benigno S. Aqu ino 21 Agustus 1983
telah memicu demonstrasi massa dan kris is ekonomi yang membuka jalan ke arah
amandemen lain dalam UUD 1973. Amandemen 1984 terdiri atas: (1) penetapan
bentuk pergantian presiden yang berbeda dan jabatan Wakil Presiden serta
pembubaran Komite Eksekutif; (2) pengangkatan
Sis tern Hukurn Negara di Asia Tenggara 286

perwakilan di Batasang Pambansa o)eh provinsi, kota, dan oleh kotamadya


di Metropolitan Manila; (3) hi bah, sebagai bentuk lain penguasaan tanah
urn urn dan program pembaharuan agrarian dapat mencakup hibah atau
pembagian tanah pernerintah kepada penggarap, petani dan warga
rnasyarakat yang tidak memiliki tanah; dan (4) mendorong negara untuk
melaksanakan reformasi pertanahan kota dan program perumahan sosia)
bagi mereka yang tidak memiliki rurnah, tanah dan berpenghasilan rendah.

Pada 14 Mei 1984, pemilihan diselenggarakan untuk 183 kursi


di Batasang Pambansa yang beranggotakan 200 orang. Badan legislati[ ini
bersidang 23 Juli 1984. Keputusan impeachment (pemecatan) diajukan
oleh 57 anggota yang menentang Presiden Marcos, tetapi keputusan ini
ditolak oleh Komisi Hukum Batasang
karena bentuk dan substansinya tidak cukup untuk dipertimbangkan lebih
lanjut.
Pada 3 November 1985, Presiden Marcos mengumumkan pemilihan
presiden dan untuk itu, Batasang Pambansa menetapkan 7 Pebruari 1986
sebagai tanggal 'pemilihan mendadak'. Corazon C. Aquino dan Salvador H.
Laurel sebagai calon presiden dan wakil presiden bersaing melawan
Presiden Marcos dan Arturo M. Tolentino. Pemilu pada tanggal 7 Pebruari
telah muncul sebagai pemilu paling ganjil yang pernah dilaksanakan di
negeri ini karena banyak kartu suara yang sudah diisi, penuh dengan
kekerasan dan penganiyaan, dan pembelian suara dengan 10 % pemberi
suara di Metropolitan Manila tidak memberikan hak suara mereka.
Meskipun masyarakat yang peduli dan bekerja melalui NAMFREL
(National Movement for Free Election = Gerakan Nasional untuk Pemilu
Bebas) mempunyai bukti Aquino unggul dengan satu juta suara, namun
Batasang Pambansa menyatakan Marcos dan Tolentino sebagai pemenang.
Peristiwa-peristiwa selanjutnya menirnbulkan pemberontakan Angkatan
Bersenjata dan people power selama empat hari, yang membuat Presiden
Marcos angkat kaki dari Filipina 25 Februari 1986.

Ketika Corazon C. Aquino mengambil sumpah jabatan sebagai


Presiden 25 Februari 1986, Ketetapan No. I dikeluarkan di mana ia
menyatakan bahwa ia dan Wakil Presiden memegang kekuasaan atas nama
dan menurut kehendak rakyat Fi)ipina atas dasar kedaulatan rakyat yang
diungkapkan dalam pemi)u 7 Februari 1986. Pemerintahan baru berkuasa
tidak sesuai dengan prosedur yang digariskan dalam UUD 1973, tetapi
sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Ketetapan No. 3 yang
menyatakan bahwa "pemerintah baru" ini dilantik rnelalui penggunaan
langsung kekuasaan rakyat
287 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 ApriJ-Juni 200 7

Filipina yang dibantu oleh unit-unit Angkatan Bersenjata Filipina


dan tindakan heroik rakyat ini dilakukan dengan menentang ketentuan-
ketentuan UUD 1973. UUD Sementara dikenal sebagai UUD Kebebasan.
Oi bawah UUD Sementara ini, semua undang-undang, keputusan,
ketetapan, instruksi dan ketentuan eksekutif lain yang ada tetap berlaku
hingga diubah atau dicabut oleh Presiden atau hingga badan legislatif
terbentuk di bawah UUD baru. Presiden terus menjalankan kekuasaan
JegisJatif.
Menurut PasaJ V UUD Sementara, Komisi Konstitusi dibentuk menu
rut Ketetapan No.9, yang terdiri atas 48 anggota dengan tugas menyusun
UUD dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan kebutuhan untuk
mempercepat kembalinya pemerintah konstitusional yang normal. Setelah
133 hari kerja dengan suara 45 ber-banding 2, UUD baru yang diusulkan
dan terdiri atas pembukaan, 18 pasal dan 321 ayat, diserahkan kepada
Presiden 15 Oktober 1986. UUD ini disahkan oleh rakyat dalam sebuah
plebisit yang diselenggarakan 2 Februari 1987. Presiden dan Wakil
Presiden yang dipilih 7 Februari 1986 memiliki masa jabatan selama enam
tahun dan harus menyelenggarakan pemiJu 30 Juni 1992 menurut ketentuan
peralihan. Pejabat Presiden tetap menjalankan kekuasaan legislatif hingga
Kongres pertama terbentuk dan bersidang. Meskipun terjadi beberapa
kudeta, Presiden Aquino mampu me-nyelesaikan masa jabatannya di bawah
UUD 1987. Pemilu diselenggarakan 11 Mei 1992 dan Fidel V. Ramos
terpilih sebagai Presiden.18

E. Sistem Hukum Singapura

November 1993 menandai pemberlakukan sebuah perundangan-


undangan yang sangat penting, yaitu UU Pemberlakuan Hukum Inggris. S.
Jayakumar meng-gambarkan UU itu dengan benar sebagai salah satu
langkah pembaharuan hukum paling penting sejak kemerdekaan Singapura.
19
UU berusaha memperjelas penerapan atau pemberlakukan hukum
Inggris (khususnya statuta Inggris) di

18 Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, Op. Cit., hal. ]44-]49.

19 Hubungkan Amos .I. Peaslee, Op. Cit. , hal. ]299, menggambarkan: "The Constitution of

the State of Singapore of September ]6, ]963, was amended in 1965 and 1966 to provide for
Singapore ' s new status as an independent nation; it was further amended in 1968, 1969, 1970, 1971,
1972. 1973. It is a republic. The source of sovereign power is note stated. The are provisions
concerning citizenship".
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 288

Singapura, dan mengakhiri ketidakpastian yang telah lama ada dalam


bidang ini.
Hal ini mungkin tampak agak mengejutkan karen a sebelum ada
UU itu, ketidakpastian mengenai satu masalah pokok (yang
berhubungan dengan landasan sistem hukum Singapura) harns dibiarkan
begitu lama. Namun demikian, situasi ini mungkin dapat dipahami karena
fakta bahwa masalah ini tidak tampak menimbulkan masalah. Ternyata,
hingga November 1993, tidak banyak kasus yang menyangkut Pasal 5 UU
Hukum Perdata dan ketentuan-ketentuan penerimaan lain, sehingga
membuat orang bertanya-tanya apakah masalah atau kesulitan yang
disebutkan tadi barangkali lebih bersifat teoretis. Akall tetapi, sebagaimana
dikemukakan oleh Prof. Bartholomew, ketelltuall penerimaan itu tidak
memuaskan karena ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan
mernpakan "perangkap tersembunyi" sehingga mendorong pellerapall
hukum Inggris. Kepastian dalam hukum perdaganganjuga sangat penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Selain itu, karen a
penerimaan terhadap hukum Inggris merupakan landasan bagi sistem
hukum

Singapura itu selldiri, maka landasan sistem hukum itu sendiri tidak
boleh tersembunyi di dalam ketidakpastian ini karena hal itu tidak akan
mendukung perkembangan sistem hukum asli Singapura. Dengan
demikian, pemberlakukan UU Penerapan Hukum Inggris 1993 merupakan
satu perkembangan yang sangat dinanti-kan dalam sistem hukum
Singapura.
UU membahas statuta, hukum kasus dan ekuitas secara terpisah, tetapi
telah berhasil menghapuskan ketidakpastian mengenai sejauh mana hukum
Inggris dapat diberlakukan di Singapura. Hal ini dicapai melalui
pencabutan Pasal 5 UU Hukum Perdata (yang memuat ketentuan
penerimaan yang paling penting tetapi bermasalah): UU ini mencantumkan
berbagai statuta kerajaan dan perniagaan Inggris yang berlaku di Singapura
dan menentukan tingkat keberlakuannya danmemasukkan ketentuan-
ketentuan khusus dari sejumlah statuta Inggris sebelum 1826 yang
berkaitan dengan properti, dana perwalian, warisan, asuransi dan
perompakan ke dalam stat uta-stat uta lokal yang relevan. UU ini juga
menegaskan bahwa tidak ada UU Inggris yang menjadi bagian dari hukum
Singapura kecuali ditetapkan dalam UU tersebut. Meski-pun UU ini telah
menghapuskan penerimaan otomatis terhadap stat uta perdagangan Inggris
di masa mendatang, namun UU tetap menjamin penerapan sejumlah statuta
perdagangan Inggris lain yang relevan dan penting, sehingga hukum
perniagaan Singapura tetap
289 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

didasarkan pada hukum perniagaan Inggris. Akibatnya, tingkat


keberlakukan hukum stat uta Inggris di Singapura sekarang menjadi jauh
lebih jelas. Namun, dalam hal ini perlu dipertegas bahwa meskipun Pasal 5
UU Hukum Perdata telah dicabut, ketentuan-ketentuan lainnya masih
dipertahankan dalam UU Pember-Iakuan Hukum Inggris, seperti Pasal 5
UU Hllkllm Acara Pidana. Sejauh ini, masalah

ketidakpastian mengenai undang-undang atau hukum Inggris apa yang


berlaku di Singapura belum dipecahkan. Namun demikian, Menteri Hukum
dan Dalam Negeri pemah mengatakan bahwa dengan mengingat keinginan
untuk kepastian dan ke-mandirian di dalam hukum Singapura, maka
ketentuan-ketentuan penerimaan yang masih ada juga akan ditinjau kembali
di mas a mendatang.
UU Pemberlakuan Hukum Inggris juga menyangkut penerapan
hukum kasus dan ekuitas Inggris di Singapura. Pasal 3 menetapkan bahwa hukum
kasus dan ekuitas Inggris yang selama ini merupakan bagian dari hukum
Singapura sebelum UU di-keluarkan, tetapi menjadi bag ian dari hukum
Singapura; selama ini hukum tersebut berlaku pada keadaan dan penduduk
Singapura serta dapat diubah jika keadaan menghendaki. Dengan demikian, syarat
kesesuaian dan modifikasi yang ditentukan oleh pres eden hukum untuk menerima
hukum Inggris ini sekarang memiliki landasan hukum. Meskipun UU ini tidak
menyatakan hal ini dengan tegas dan jelas, namun hukum kasus dan ekuitas
Inggris disesuaikan dengan perundang-undangan lokal seperti sebelum tahun
1993 . Sebagaimana diperjelas oleh Pasal Penjelasan dan pidato menteri di
parlemen, Pasal 3 ini merupakan sebuah ketentuan deklaratif dan tidak mengubah
hukum.

Selain menghapuskan ketidakpastian mengenai keberlakuan hukum


Inggris di Singapura, tujuan penting lain dari UU Pemberlakukan Hukum
Inggris adalah mengurangi ketergantungan pad a hukum Inggris dan
membuat hukum pemiagaan Singapura bebas atau tidak bergantung pada
perubahan-perubahan legis)atif Inggris di masa mendatang. Tujuan ini
ditunjukkan dengan jelas dalam ketentuan-ketentuan seperti Pasal 3 (2),
yang menjamin bahwa penerapan hukum kasus Inggris di

Singapura harus memenuhi syarat kesesuaian dan


modifikasi/perubahan: Pasal 4 (2) yang menjamin bahwa perubahan
legis)atif Inggris di masa mendatang tidak akan lagi mempengaruhi hukum
pemiagaan Singapura; dan Pasa) 4 (3), yang menyatakan dengan tegas
bahwa ketentuan-ketentuan UU itu berlaku atas semua ketentuan UU
Inggris yang tidak konsisten.
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 290

UU Pemberlakuan Hukum Inggris adalah salah satu wujud paling


penting dari sebuah konsensus nasional bahwa ketergantungan yang berlebihan
atas hukum Inggris tidak sejalan dengan kepentingan Singapura, atau statusnya
sebagai negara yang mer-deka dan berdaulat. Pemberlakuan UU 1993 ini
menandai munculnya era sistem hu-kum Singapura dan membuka pintu bagi fase
perkembangan hukum pada abad ke-21.
Gambaran kita tentang landasan sistem hukum Singapura tidak
lengkap tanpa menyebutkan bahwa meskipun sistem hukum Singapura ini
telah meminjam banyak dari hukum Inggris, namun sistem ini juga telah
memperoleh pengaruh dari sumber-sumber lain. Misalnya, Hukum Pidana
dan Hukum Acara Singapura meminjam dari India abad ke-19. Akhir-akhir
ini, Singapura meminjam sistem pencatatan Torrens dari Australia. Hukum
perusahaan Singapura juga lebih dekat dengan model Australia daripada
dengan model Inggris . Fenomena peminjaman dari berbagai sumber ini
sarna sekali bukan merupakan fenomena unik karena setiap sistem hukum
berisi ciri-ciri atau gagasan-gagasan yang dipinjam dari sistem hukum lain
pada waktu yang berbeda.

Pada tingkat yang lebih mendasar, terpaan terhadap berbagai lapisan


pengaruh hukum dapat melahirkan pluralisme di dalam sebuah tatanan
hukum. Hal ini berarti bahwa hukum yang berbeda berlaku bagi kelompok
orang yang berbeda di suatu
negara. Pluralisme hukum ini dulu merupakan kebijaksanaan dari
banyak kekuatan kolonial dan warisan yang masih hidup di banyak bekas
koloni Eropa seperti India, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam
kasus Singapura, penjajahan Inggris telah menempatkan hukum kasus
Inggris di atas hukum adat Melayu dan hukum Islama yang telah ada
sebelumnya. Akibatnya saat ini adalah bahwa meskipun sistem hukum
Singapura pad a umumnya merupakan hukum kasus , namun hanya ada
sedikit pluralisme karen a sistem hukum Islam masih mengatur masyarakat
Muslim dalam berbagai urusan agama, perkawinan dan lain-lain.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini hanya merupakan satu
aspek dalam sistem hukum Singapura dimana hukum personal tetap
penting saat ini. Hukum personal masyarakat muslim ini dijalankan oleh
sistem pengadilan yang terpisah (Pengadilan Syariah) dan para pejabat
hukum yang sejalan dengan UU Pelaksanaan Hukum Islam .

Namun demikian, dalam semua aspek lain, selain hukum keluarga dan
masalah-masalah terkait lain, sistem hukum Singapura adalah satu
kesatuan karena ada satu hukum yang berlaku secara universal pada
291 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No. 2 April-Juni 2007

seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,


lapisan dasar dari kesatuan hukum ini adalah hukum kasus Inggris yang
20
dilimpahkan melalui warisan kolonial.

F. Sistem Hukum Thailand

Karya H.R.H. Prince Rajburi Direkrit telah melahirkan modernisasi


sistem hukum, organisasi pengadilan dan administrasi
Kementerian Kehakiman Thailand, yang semuanya sangat bermanfaat bagi
dunia kehakiman, pengacara dan masyarakat secara keseluruhan. Ia wafat 7
Agustus 1920. Untuk mengenang jasanya yang besar terhadap sistem
hukum Thailand, 7 Agustus disebut "hari Rabi" sesuai dengan nama
lamanya. Setiap tahun pada hari itu, para pakar hukum dan mahasiswa
hukum me-letakkan karangan bunga di patungnya di depan Kementerian
Kehakiman dan mem-berikan penghormatan kepadanya. Ia telah
dinyatakan sebagai "Pendiri Hukum Modern Thai."

Sejarah sistem hukum dan sistem peradilan Thai dapat ditelusuri


kembali ke masa Sukhothai di mana raja merupakan "Sumber Keadilan"
yang memutuskan sendiri berbagai sengketa atau perkara di
antara rakyatnya. Raja saat itu bukan hanya merupakan kepala negara,
tetapi juga kepala keluarga yang memandu, menasihati dan jika perlu,
mengadili.
Landasan hukum Thai kuno diyakini bersumber dari Kitab Hukum
Manu, yaitu ilmu hukum atau jurisprudensi Hindu kuno. Menurut seorang
ahli hukum, Raja Ramkhamhaeng pernah memerintahkan untuk mengukir
sebuah batu prasasti yang mencatat pemberlakukan hukum. Misalnya,
prasasti itu mencatat bahwa kekayaan orang yang mati diwariskan kepada
anak-anaknya atau orang yang telah bekerja pada sebidang tanah berhak
atas tanah itu.
Mengenai pelaksanaan hukum, dulu ada sebuah lonceng yang
tergantung di gerbang istana dan dapat dibunyikan oleh seseorang untuk
menyampaikan petisi kepada raja. Ketika lonceng itu berbunyi, raja akan
datang untuk menyelidiki perkara dan memecahkan perkara terse but.

Pada masa Phra Nakhon Si Ayutthaya, sistem hukum Thai


dikembangkan dan diwujudkan dalam satu bentuk yang bertahan hin gga
akhir abad ke-19 . Seperti Kitab Manu, Dhammasattham yang diperki
rakan berasal dari sumber supernatur yang

20 Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, Op. Cit., hal. 227-231.
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 292

mengungkapkan kebenaran dan persamaan, ditetapkan sebagai


hukum. Dhammasattham ini juga merupakan hukum dasar kebebasan dan
hak individu dalam kaitannya dengan perkara perdata dan pidana.
Konsep keadilan raja, yang dijalankan selama masa Sukhothai, juga
diterap-kan hingga masa Phra Nakhon Si Ayutthaya. Konon pada masa
kekuasaan Raja U-Thong, pelaksanaan hukum diserahkan kepada Purohita,
yaitu Hulu Balang Raja. Oleh karena itu, Purohita merupakan hakim dan
pelaksana hukum. Pad a masa Raja Barom Trailokanat (144-1488), tampak
jelas bahwa sistem pengadilan telah ada dan ditempat-kan di bawah
Kementerian Rumah Tangga Kerajaan. Dengan demikian, pelaksanaan
hukum dilakukan atas nama raja dan kekuasaan hukum tertinggi ada di
tangannya.
Hampir 40 tahun berlalu sebelum hukum itu akhirnya direvisi, karena
fakta bahwa negeri itu terus terlibat dalam peperangan. Pada tahun 1805,
Raja Rama I (1782-1806), pendiri Bangkok, mengangkat sebuah Komisi
Kerajaan untuk mengkaji hukum darat. Berbagai upaya pun dilakukan
untuk meninjau kembali seluruh hukum menurut konsep dan ajaran yang
baru. Kitab Hukum 1805 yang dikenal sebagai "Hukum Tiga Stempel" ini
dirancang dengan keterampilan dan kemampuan yang ada saat itu. Kitab
hukum 1111 sebenarnya
merupakan pengungkapan kembali hukum perdata dan pidana yang
berlaku. Hukum ini tidak hanya memuat Dhammasattham dari masa Phra
Nakhom Si Ayutthaya, tetapi juga dekrit dan maklumat kerajaan yang ada.
Selain itu, hukum ini bersifat praktis dan bagian utamanya tetap berlaku di
seluruh kerajaan selama 103 tahun.

Namun, Thailand memerlukan waktu lama untuk mencapai satu


sistem hukum modern. Pada masa kekuasaan Raja Chulalongkorn (Rama
V) Rattanakosin sebelum
reformasi sistem hukum Thai, Thailand mengalami krisis sistem
hukum yang sulit karen a alasan-alasan berikut ini :
a. Ketidaksesuaian sistem pengadilan lama
Sistem pengadilan lama telah menyebabkan masalah tumpang
tindih jurisdiksi pengadilan sehingga banyak kasus yang ditunda dan
ditangguhkan. Pengadilan terpaksa menghadapi tunggakan kasus,
yang memberikan kesempatan kepada orang yang tidak jujur untuk
memanfaatkan situasi itu. Selain itu, membiarkan pengadilan tetap
berada di bawah pemerintahan telah menyebabkan para hakim tidak
independen dalam menghadapi pemerintah dan mengambil keputusan.
293 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

b. Ketidaksesuaian prosedur hukum lama.


Secara formal, hukum menduga bahwa tertuduh dinyatakan
bersalah jika ia tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya dengan
menyelam dan berjalan di atas api. Selain itu, cara tradisional untuk
menyelidiki orang yang bersalah tidak tepat. Untuk memaksa tertuduh
mengaku, banyak cara keras seperti penyiksaan telah digunakan.
Hukuman juga didasarkan pada lex talionis : mata untuk mata, gigi
untuk gigi. Untuk beberapa pelanggaran, jika pelaku tidak dapat
ditahan, saudara-saudara dekatnya dihukum untuk menggantikannya.
Kadang-kadang, hukuman mati diberlaku-kan kepada seluruh keluarga
pelaku (tujuh generasi) yang dianggap tidak memiliki kebajikan,
kemanusiaan, dan moralitas.

c. Tekanan oleh kekuatan asing dalam sistem pengadilan.


Pengadilan Thai dulu tidak mempunyai kekuasaan independen
untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan orang asing.
Pengadilan tidak memiliki jurisdiksi atas orang asing di Kerajaan
Thailand karena mereka tidak mempercayai hukum Thai atau tidak
bersandar pada sistem hukum Thai. Orang asing juga berpikir bahwa
pengadilan Thai tidak dapat memberikan perlakuan yang adil menurut
hukum.
Menurut alasan-alasan di atas, maka pemerintah Thailand telah
sepenuhnya menyadari fakta itu dan berusaha mengatasi situasi tersebut. Namun
demikian, pemecahan masalah ini masih menggunakan cara lama, dengan
mengubah beberapa bagian dan bukan seluruh sistem.
Selain itu, tatkala negara-negara Barat menguasai lebih banyak koloni di
Asia dan membawa beberapa negara Asia ke dalam jurisdiksi mereka, mereka
juga terbebas dari pengadilan Thai. Hak-hak ekstrateritorial telah menjadi satu
masalah penting. Terdapat pergerakan di antara para putra mahkota dan pejabat
pemerintah yang berusaha memperbaharuhi sistem pemerintahan yang kuno
dengan memberikan alasan kekuatan-kekuatan kolonial mungkin memunculkan
masalah ini dalam upaya untuk menjajah Thailand, terutama jika negeri ini kacau
dan tidak memberikan kebenaran dan keadilan dalam sistem hukum. Pendapat
para putra mahkota dan pejabat pemerintah ini masuk aka I karena sistem hukum
di Thailand pada saat itu tidak memberikan keadilan kepada masyarakat.

Oleh karena itu, gagasan untuk memperbaharuhi sistem hukum Thai telah
muncul sejak BE 2428 (1885) ketika Raja Rama V menguasakan adiknya, Krom
Laung Pichitpreechakorn, untuk menampung semua pendapat ten tang sistem pe-
ngadilan. Kemudian, pangeran Sawasdisophon, adik raja,
Sistem Hukum Negara di Asia Tenggara 294

menyampaikan gagasan untuk membentuk Kementerian Kehakiman 3 Agustus


2433 BE (1890).
Akhirnya, akhir 2434 BE (1891), pemerintah Thai mengungkapkan
pembentukan Kementerian Kehakiman. Pengumuman ini tertanggal 25 Maret
2434 BE, tetapi baru diterbitkan dalam Lembaran Negara 10 April BE (1892).
Pangeran Sawasdisophon, yang kemudian diangkat sebagai Krom Phra
Sawasdivatvisit, adalah Menteri pertama; Pangeran Krom Laung
Pichitpreechakorn adalah Menteri kedua dan Pangeran Rapipatanasak (Krom
Luang Rajburi Direkrit) yang telah merombak sistem hukum Thai, adalah Menteri
ketiga (2439-2453 BE). Sebagai Menteri Kehakiman, Pengeran Rajburi Direkrit
telah memainkan peranan penting dalam membentuk sistem hukum baru.

Tujuan pendirian Kementerian Kehakiman adalah untuk membawa semua


pengadilan dari berbagai Kementerian ke dalam tanggung jawab Kementerian
baru untuk memisahkan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan
administratif/pemerintahan. Kementerian Kehakiman ini bertanggungjawab untuk
memperlancar penyidangan berbagai kasus oleh pengadilan. Para hakim tetap
memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan tanpa campur tangan menteri.

Selain menekankan kombinasi pengadilan dengan gagasan pemisahan ke-


kuasaan kehakiman dari kekuasaan administratif, Kementerian Kehakiman juga
ber-peran dalam memberikan keadilan kepada masyarakat. Perbaikan atau
peningkatan dalam sumber daya manusia, pengetahuan, kemampuan, perilaku dan
tanggung jawab telah dipertimbangkan. Prosedur pengadilan juga telah diperbaiki
untuk kemudahan dan kecepatan. Selain itu, ketidakjujuran pejabat dan hakim
telah dihapuskan dan praktek penyiksaan tertuduh untuk mengaku telah
dihentikan. Perbaikan-perbaikan ini telah membuat pengadilan dapat diterima
oleh masyarakat, bahkan hingga saat ini.

Saat ini, hukum telah menetapkan Kementerian Kehakiman


bertanggungjawab atas tugas administratif pengadilan, tetapi praktik hukum
pengadilan, prosedur dan pembuatan keputusan hanya ada dalam kebijakan
hakim.2!

21 Lihat dan bandingkan ASEAN Law Association, Ibid., hal. 383-387.


Hubungkan Amos J. Peaslee, Op. Cit., hal. 1534: "The Constitution of December 22,
1978, replacing the Constitution of 1977 and previous ones, provides that Thailand is a unified and
indivisible Kingdom with a democratic regime of government with the King as Head of State.
Soveign power is derived form the Thai people. The provisions of any law inconsistent with the
Constitution are unenforceable. Directive principles of state policies are listed and include the
promotion of friendly relations with other countries, the manner and use of the Armed Forces, the
promotion of education. security of land ownership and rights to
295 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

v. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan
Mengacu kepada uraian di atas, di bawah ini diturunkan beberapa
kesimpulan.
a. Berkenaan dengan unsur-unsur dalam sistem hukum, secara umum
semua negara yang tergabung dalam ASEAN dalam hal ini Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand memiliki persamaan,
dalam hal:
1) Stuktur (rangka atau kerangka) lembaga peradilan
tertinggi seperti MA beserta lembaga-Iembaga peradilan di bawahnya serta
lembaga-Iembaga pelaksana peraturan perundang-undangan.
2) Aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan pola perilaku
nyata dalam berbagai bidang kehidupan warga negara dari negara yang
bersangkutan.
3) Sikap terhadap hukum dan sistem hukum dari warga
negara berupa keyakinan, nilai, kesadaran, gagasan, dan harapan yang
membuat proses hukum berjalan.
b. Berhubungan dengan cara memandang hukum dalam sistem
hukum, semua negara tersebut memiliki kesamaan :
1) Perangkat peraturan perundang-undangan dari yang
tertinggi berupa UUD sampai peraturan terendah yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah bagi negara kesatuan (negara-negara non-Malaysia) atau
negara bagian (Malaysia).
2) Pendekatan-pendekatan yang luas berupa seluruh
aspek pengendalian (kontrol) sosial.
c. Berkaitan dengan jenis aturan dalam sistem hukum, semua negara
terse but secara umum memiliki kesamaan :

farmers, prevention of economic monopolies by individuals, fair protection of labor, promotion of


public health".
Hubungkan Amos 1. Peaslee, Ibid., hal. 1535: "Courts are established only by Acts.
Judges are independent in conducting trials and rendering judgements. They are appointed and
renoved by the King. The Constitution Tribunal, composed of the President of the National
Assembly, the President of the Senate, the Director of Public Procecutions and four other National
Assembly appointees gives opinions on the consistency of bills with the Constitution".
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 296

I) Aturan sekunder (aturan tentang aturan), yaitu


seperangkat peraturan bagi keperluan cara untuk membuat peraturan perundang-
undangan.
2) Aturan primer, yaitu seperangkat peraturan yang
mengatur perilaku nyata bagi setiap warga negara dari negara yang bersangkutan.
d. Berkenaan dengan unsur-unsur dalam sistem hukum, setiap negara
secara spesifik memiliki perbedaan. Hal itu disebabkan :
1) Stuktur yang didasarkan pad a tradisi hukum lokal dan
tradisi hukum domestik yang dipengaruhi tradisi-tradisi hukum besar di dunia
(tradisi hukum Eropa kontinental, tradisi hukum anglo-saksis, dan tradisi hukum
menurut ajaran Islam).
2) Aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan pola perilaku nyata
dalam berbagai bidang kehidupan warga negara dari negara yang bersangkutan
yang
dipengaruhi oleh Konstitusi danperaturan
perundang-undangan di bawahnya yang pembuatannya
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi hukum lokal/domestik
dan global.
3) Sikap terhadap hukum dan sistem hukum dari warga
negara berupa keyakinan, nilai, kesadaran, gagasan dan harapan membuat proses
hukum berjalan yang adaptif dengan situasi, kondisi dan masalah yang dihadapi
oleh negara yang bersangkutan.
e. Berhubungan dengan cara memadang hukum dalam sistem hukum,
setiap negara secara spesifik memiliki perbedaan :
1) Variatif perangkat peraturan perundang-undangan dari
yang tertinggi berupa UUD sampai peraturan terendah yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah bagi negara kesatuan (negara-negara non-Malaysia) atau
negara bagian (Malaysia) yang didasarkan pada hukum yang hidup, kebutuhan
yang ada, dan masalah atau tantangan yang dihadapi.
2) Variatif pendekatan-pendekatan yang luas berupa
seluruh aspek pengendalian (kontrol) sosial yang didasarkan pada bentuk negara
(kerajaan atau republik), bentuk pemerintahan (presidensial atau parlementer),
hukum yang hidup, kebutuhan yang ada, dan masalah atau tantangan yang
dihadapi .
297 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 Aprii-Juni 2007

f. Berkaitan dengan jenis aturan dalam sistem hukum, setiap negara


secara spesifik memiliki perbedaan :
1) Aturan sekunder (aturan tentang aturan), yaitu
seperangkat peraturan bagi keperluan cara untuk membuat peraturan
perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan dan masalah atau tantangan
yang dihadapi masing-masing.
2) Aturan primer, yaitu seperangkat peraturan yang
mengatur perilaku nyata bagi setiap warga negara dari negara yang
bersangkutan sesuai dengan kebutuhan dan masalah atau tantangan yang
dihadapi masing-masing.

B. Saran
Berdasarkan kepada kesimpulan terurai di atas, di bawah ini
diturunkan beberapa saran.
(a) Dalam rangka memantapkan organisasi regional ASEAN sebaiknya
ada upaya bersama dari setiap negara yang tergabung dalam ASEAN dalam hal
pembentukan aturan sekunder (aturan tentang aturan), yaitu seperangkat
peraturan di negara masing-masing bagi keperluan cara untuk membuat
peraturan perundang- undangan sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang
dihadapi bersama.

(b) Dalam rangka ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) sebaiknya ada
upaya bersama daTi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN terutama
dalam hal pembentukan aturan primer berupa peraturan yang mengatur perilaku
nyata warga negara dan setiap negara anggota ASEAN terutama bagi mereka yang
bergerak di bidang industri (manufaktur dan nonmanufaktur), perdagangan, dan
jasa di kawasan ini .
Sis/em Hukum Negara di Asia Tenggara 298

Daftar Pus taka

ASEAN Law Association, ASEAN Legal Systems, Butterworths Asia, Singapore,


Malaysia, Hongkong, 1995.
Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas
Pascasarjana UI, Jakarta, 1990.
Basah, Sjachran. Hukum Tata Negara Perbandingan, Bandung: PT. Alumni,
1989.
Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction, Revised and Updated
Ed., W. W. Norton & Company, New York, London, 1998.
Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Bandung: CV. Mandar Maju, 1995.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. "Kebijaksanaan dan Strategi


Pembangunan Hukum di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis Politik
Pembinaan Hukum Nasional", dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin,
Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum
Naisonai, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Martosoewignjo, Sri Soemantri. Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata
Negara, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Peaslee, Amos J., Constitutions of Nations: Volume II- Asia, Australia and
Oceania, Revised Fourth Edition, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht,
Boston, Lancaster, 1985.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Cetakan Pertama 1982),


Bandung: PT. Alumni, 1986.
Rasjidi, Lili. Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu? Bandung: Remadja Karya
1988.
Roestandi, Achmad. Pengantar Teori Hukum, Bandung: Fakultas Hukum
UNINUS, 1980.

Shrode, William A. and Dan Voich. Organization and Management, Basic


Systems Concepts, Florida State University Press, TlIahassee, 1974.
Taher, Moeslim M., Sistem Pemerintahan Pancasila, Jakarta: Nusa Bangsa, 1978.
299 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.2 April-Juni 2007

_____, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: PT.


Alumni,1987.
_____, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: PT.
Alumni, 1992.
Tikok, Sumbodo. Hukum Tata Negara, PT. Eresco, Bandung, 1988.
Witman, Shepherd L. and John J. Wuest. Visual Outline of Comparative
Government, Littlefield, Adams & Co., Paterson, New Jersey, 1963.

Makalah

Bagir Manan, Reorientasi Politik Hukum Nasional, Makalah, Disampaikan


dalam Diskusi IKAPTISI di UGM, Yogyakarta, pada tanggal 12
September 1999.
, Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru,
Makalab, Disampaikan pada MUNAS KAHMI, di Surabaya, pada tanggal16 Juli
2000.

Anda mungkin juga menyukai