Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KINERJA

DITJEN KESEHATAN MASYARAKAT


TAHUN 2016

DIREKTORAT JENDERAL
KESEHATAN MASYARAKAT
KEMENTERAIN KESEHATAN
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu unit eselon I di


Kementerian Kesehatan memiliki kewajiban untuk melaksanakan Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Salah satu komponen SAKIP adalah membuat
Laporan Kinerja yang menggambarkan kinerja yang dicapai atas pelaksanaan program
dan kegiatan yang menggunakan APBN.
Penyusunan laporan kinerja berpedoman pada Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Permenpan) Nomor 53 tahun
2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu
atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Laporan kinerja ini merupakan informasi
kinerja yang terukur kepada pemberi mandat atas kinerja yang telah dan seharusnya
dicapai. Dalam laporan kinerja ini juga menyertakan berbagai upaya perbaikan
berkesinambungan yang telah dilakukan dalam lingkup Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat, untuk meningkatkan kinerjanya pada masa mendatang.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, telah menyelesaikan Laporan Kinerja
tahun 2016 sebagai bentuk akuntabilias perjanjian kinerja yang dibuat pada awal tahun
2016. Secara garis besar laporan berisi informasi tentang tugas dan fungsi organisasi;
rencana kinerja dan capaian kinerja sesuai dengan Rencana Stategis (Renstra)
Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019, disertai dengan faktor pendukung dan
penghambat capaian, serta upaya tindak lanjut yang dilakukan.
Peningkatan kualitas laporan kinerja ini menjadi perhatian kami, masukan dan
saran membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan
penyusunan laporan di tahun yang akan datang. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan dan pengembangan program
di masa mendatang.

Jakarta, Januari 2017


Direktur Jenderal

dr. Anung Sugihantono, M.Kes


NIP 196003201985021002

i | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


IKHTISAR EKSEKUTIF

Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden


Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan dalam Peraturan
Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi
dan dalam PermenPAN Nomor 53 tahun 2014 tentang Petunjuk
Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja
Instansi Pemerintah, maka Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menyusun laporan
kinerja sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja yang telah dilakukan pada tahun
2016.
Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia
Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat
melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan
perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan program dan
kegiatan di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat tahun 2016 mengacu
pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 yang ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015. Untuk
mencapai tujuan tersebut, dilakukan berbagai kegiatan yang dilaksanakan masing-
masing unit eselon II di lingkup Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Upaya
tersebut dilaksanakan di tiap jenjang pemerintahan mulai dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah (melalui dana dekonsentrasi) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT).
Laporan kinerja disusun berdasarkan capaian kinerja tahun 2016 sebagaimana
yang sudah ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja yang terdiri dari Indikator Kerja
Utama (IKU). Sumber data dalam laporan ini diperoleh dari unit eselon II dan UPT di
lingkup Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat tahun 2016.
Berdasarkan Perjanjian Kinerja tahun 2016 antara Menteri Kesehatan dengan
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
memiliki 6 IK (Indikator Kinerja), antara lain (1) Persentase persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan (PF) dengan capaian sebesar 77,3% (target 77%), (2)
Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) berdasarkan hasil PSG tahun
2016 di 34 Provinsi sebesar 16,2% (target 22,7%), (3) Persentase kunjungan
neonatal pertama (KN1) sebesar 78,1% (target 78%), (4) Jumlah kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan 3 (target 3), (5) Persentase kabupaten/kota yang
memiliki kebijakan PHBS 53,3% (target 50%), (6) Persentase kabupaten/kota yang
memenuhi kualitas kesehatan lingkungan 33,5% (target 25%).
Hal yang menjadi hambatan dalam pencapaian indikator ini adalah dimana perlu
dilakukan penyesuaian struktur organisasi dan tata kerja sesuai Permenkes nomor 64
tahun 2015.
Realisasi anggaran dilingkup Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat meliputi
anggaran dekonsentrasi, kantor pusat dan kantor daerah sebesar 95,5% maupun
percepatan realisasi anggaran Dekonsentrasi oleh provinsi. Serapan dana kantor pusat
sebesar 97,2% capaian kinerja penyerapan anggaran keseluruhan sebesar 96,5%, bila
dibandingkan dengan kinerja program yang di representasikan melalui 6 Indikator Kinerja
telah tercapai diatas 100%. Hal ini hal ini sebanding dengan capaian Indikator Kinerja
Masalah dalam pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran di tahun 2016
dikarenakan adanya efisiensi anggaran, revisi anggaran antar program,self blocking dan

ii | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


masuknya anggaran hibah luar negeri, sehingga pagu mengalami perubahan yang cukup
siginifikan.
Perbaikan ke depan perlu koordinasi lebih baik antar unit eselon II dalam
penyusunan rencana operasional kegiatan terutama dengan melibatkan direktur jenderal
serta eselon II sehingga rencana kegiatan yang dibuat dapat terlaksana dengan baik.
Proses pengadaan barang dan jasa perlu dipersiapkan lebih awal (tidak melewati triwulan
2) agar tidak semua pengadaan bertumpuk pada akhir tahun.

iii | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


DAFTAR ISI

IKHTISAR EKSEKUTIF ...........................................................................................ii


DAFTAR TABEL..................................................................................................... v
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... vii
BAB I ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Maksud dan Tujuan ................................................................................. 2
C. Visi, Misi dan Strategi Organisasi ............................................................ 2
D. Tugas Pokok dan Fungsi ......................................................................... 3
E. Potensi dan Permasalahan...................................................................... 4
F. Sistematika .............................................................................................. 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
A. Perjanjian Kinerja .................................................................................... 7
1. Indikator Kinerja Program Kesehatan Masyarakat .............................. 7
BAB III .................................................................................................................... 9
A. Capaian Kinerja Organisasi ..................................................................... 9
1. Indikator Kinerja Program .................................................................... 9
B. Realisasi Anggaran ............................................................................... 50
BAB IV ................................................................................................................. 55
A. Kesimpulan ............................................................................................ 55

iv | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


DAFTAR TABEL

Tabel 2 Indikator kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat ................... 8


Tabel 3 Capaian indikator kinerja Program Kesehatan Masyarakat tahun 2015-
2016 ..................................................................................................................... 10
Tabel 4 Perbandingan Target Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan ............ 25
Tabel 5 Perbandingan Target Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki
Kebijakan PHBS ................................................................................................... 33
Tabel 6 Jumlah Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
per Provinsi .......................................................................................................... 44
Tabel 7 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat tahun 2016 menurut
jenis anggaran ...................................................................................................... 51
Tabel 8 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat Berdasar Sasaran 51
Tabel 9 Realisasi Dekonsentrasi di lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat .... 52
Tabel 10 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat menurut lokasi
satuan kerja kantor daerah tahun 2016 ................................................................ 53

v | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Trend Peningkatan Cakupan Persalinan di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan ............................................................................................................ 11
Grafik 2 Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF) ................. 12
Grafik 3 Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (PF) Per Provinsi Tahun 2016 ............................................................ 13
Grafik 4 Target dan capaian persentase ibu hamil KEK tahun 2015-2019 .......... 16
Grafik 5 Cakupan Ibu Hamil KEK yang Mendapat Makanan Tambahan Tahun
2016 ..................................................................................................................... 17
Grafik 6 Perbandingan Cakupan Ibu Hamil KEK yang Mendapat Makanan
Tambahan tahun 2016 Dengan Target Jangka Menengah .................................. 18
Grafik 7 Persentase Ibu Hamil Mendapat TTD Tahun 2016 ................................. 18
Grafik 8 Perbandingan Cakupan Ibu Hamil yang Mendapat TTD Tahun 2016
dengan Target Jangka Menengah ........................................................................ 19
Grafik 9 Cakupan KN1 Tahun 2010-2016 ............................................................ 21
Grafik 10 Cakupan KN1 dan target Renstra Tahun 2015-2019 ............................ 21
Grafik 11 Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) di 34 Provinsi Tahun 2016....... 22
Grafik 12 Grafik Realisasi Kinerja Tahun 2015-2016 ........................................... 27
Grafik 13 Kabupaten/Kota yang Memiliki Kebijakan PHBS .................................. 34
Grafik 14 Perbandingan Realisasi Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki
Kebijakan PHBS Tahun 2015-2016...................................................................... 35
Grafik 15 Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2016 ..................................... 41
Grafik 16 Realisasi 2016 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2016 .. 42
Grafik 17 Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan (IKU) Per Propinsi Tahun 2016 ......................... 43
Grafik 18Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2016 ............................ 46
Grafik 19Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2016 ............................ 46
Grafik 20 Penyandingan Capaian Kinerja dan Realisasi Anggaran Indikator
Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
Tahun 2016 .......................................................................................................... 47
Grafik 21 Penyandingan Capaian Kinerja dan Realisasi Anggaran Indikator
Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
Tahun 2015-2016 ................................................................................................. 47

vi | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Indikator Kerja Utama Program Kesehatan Masyarakat........................ 9


Gambar 2 Peta Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan (IKU) Per Propinsi Tahun 2016 ......................... 43

vii | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


DAFTAR SINGKATAN

KEK : Kurang Energi Kronik


KN1 : Kunjungan Neonatal Pertama
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PF : Persalinan di Fasilitas Kesehatan
TTD : Tablet Tambah Darah
K4 : Kunjungan ke empat kali selama masa kehamilan

viii | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, senantiasa membangun akuntabilitas yang dilakukan melalui
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan
terukur. Diharapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kesehatan
dapat berlangsung dengan bijaksana, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Sasaran pokok RPJMN 2015-2019 adalah: (1) meningkatnya status kesehatan
dan gizi ibu dan anak; (2) meningkatnya pengendalian penyakit; (3) meningkatnya
akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil,
tertinggal dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal
melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5)
terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan
responsivitas sistem kesehatan. Berakhirnya pelaksanaan tugas tahun 2016 yang
merupakan awal tahun implementasi Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kesehatan Tahun 2015-2019 yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK 02.02/ Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan, yang mempunyai visi “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan
Berkeadilan”. Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program
Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu paradigma
sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional: 1) pilar
paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam
pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat; 2)
penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses
pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis
risiko. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat merupakan unit yang sangat
berperan dalam mewujudkan pilar pertama dalam “Program Indonesia Sehat”.
Pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan dan kewenangan dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuntabilitas tersebut
salah satunya diwujudkan dalam bentuk penyusunan laporan kinerja.
Laporan kinerja ini akan memberikan gambaran pencapaian kinerja Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat dalam satu tahun anggaran beserta dengan hasil
capaian indikator kinerja dari masing-masing unit satuan kerja yang ada di lingkungan
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat di tahun 2016.
Dengan perubahan Susunan Organisasi baru Permenkes Nomor 64 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan maka dilakukan perubahan
dalam penyusunan perjanjian kinerja. Perjanjian kinerja yang ditandatangani Direktur

1 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Jenderal Kesehatan Masyarakat dengan Menteri Kesehatan terdiri dari 3 sasaran atau
6 indikator kinerja, yang sebelumnya terdiri dari 1 sasaran dan 2 indikator kinerja.

B. Maksud dan Tujuan


Penyusunan laporan kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja pada tahun 2016 dalam mencapai
target dan sasaran program seperti yang tertuang dalam rencana strategis, dan
ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat oleh pejabat yang bertanggungjawab.

C. Visi, Misi dan Strategi Organisasi


1. Visi
Visi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, mendukung kepada visi
Kementerian Kesehatan RI, yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”.

2. Misi
Misi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat mendukung kepada misi
Kementerian Kesehatan yaitu:
a. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya
maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara
kepulauan;
b. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis
berlandaskan negara hokum;
c. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri
sebagai negara maritim;
d. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan
sejahtera;
e. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
f. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat
dan berbasiskan kepentingan nasional, serta;
g. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

3. Tujuan
Terlaksananya pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di
lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat dalam rangka terselenggaranya
pembangunan kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna agar
meningkatnya status kesehatan masyarakat. .

4. Nilai-nilai
Guna mewujudkan visi dan misi serta rencana strategis pembangunan
kesehatan, Ditjen Kesehatan Masyarakat menganut dan menjunjung tinggi nilai-
nilai yang telah dirumuskan dalam Renstra Kementerian Kesehatan antara lain:
a. Pro Rakyat;
b. Inklusif;
c. Responsif;
d. Efektif;

2 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


e. Bersih.

5. Strategi Pembangunan Kesehatan Masyarakat


Kebijakan pembangunan kesehatan difokuskan pada penguatan upaya
kesehatan dasar (Primary Health Care) yang berkualitas terutama melalui
peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan mutu pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan
dan peningkatan pembiayaan kesehatan.
Strategi pembangunan kesehatan masyarakat tahun 2015-2019 meliputi:
a. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan
Lanjut Usia yang Berkualitas.
b. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat.
c. Meningkatkan Penyehatan Lingkungan.
d. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

6. Sasaran Ditjen Kesehatan Masyarakat


Sasaran Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, antara lain adalah:
a. Meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang
bermutu bagi seluruh masyarakat.
b. Meningkatnya pelaksanaan pemberdayaan dan promosi kesehatan kepada
masyarakat.
c. Meningkatnya penyehatan dan pengawasan kualitas lingkungan.

7. Indikator Kinerja
Indikator kinerja Ditjen Kesehatan Masyarakat yang terdiri dari 6 Indikator kinerja
(IK) antara lain:
a. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF);
b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK).
c. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1).
d. Jumlah kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
e. Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS.
f. Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan
lingkungan.

D. Tugas Pokok dan Fungsi


Sesuai dengan Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan, tugas pokok Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat adalah menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang kesehatan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Kesehatan masyarakat
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan di bidang peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi

3 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. pembinaan gizi dan kesehatan ibu
dan anak;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. pembinaan gizi dan kesehatan ibu
dan anak;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang peningkatan
kesehatan keluarga, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi
masyarakat, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. pembinaan
gizi dan kesehatan ibu dan anak;
4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan kesehatan
keluarga, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat,
serta promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. pembinaan gizi dan
kesehatan ibu dan anak;
5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang peningkatan kesehatan keluarga,
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. pembinaan gizi dan
kesehatan ibu dan anak;
6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, dan
7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Fungsi tersebut dilaksanakan oleh organisasi dengan susunan:


a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Kesehatan Keluarga;
c. Direktorat Kesehatan Lingkungan;
d. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga;
e. Direktorat Gizi Masyarakat; dan
f. Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Disamping direktorat teknis di pusat, Direktorat Jenderal Kesehatan masyarakat


membina beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah, antara lain:
1. Balai Kesehatan Olahraga Masyarakat (BKOM) Bandung;
2. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar;
3. Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM) Palembang.

E. Potensi dan Permasalahan


Potensi dan permasalahan pembangunan kesehatan akan menjadi input dalam
menentukan arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan.
Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target
MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
mengalami peningkatan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh antara lain kualitas
pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan
faktor determinan lainnya. Penyebab utama kematian ibu yaitu hipertensi dalam
kehamilan dan perdarahan post partum. Penyebab ini dapat diminimalisir apabila
kualitas Antenatal Care dilaksanakan dengan baik.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat antara
lain adalah penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita diabetes,
hipertensi, malaria, dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu tua >35 tahun,
terlalu dekat jaraknya 2 tahun dan terlalu banyak anaknya > 3 tahun). Sebanyak 54,2

4 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


per 1000 perempuan dibawah usia 20 tahun telah melahirkan, sementara perempuan
yang melahirkan usia di atas 40 tahun sebanyak 207 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini
diperkuat oleh data yang menunjukkan masih adanya umur perkawinan pertama pada
usia yang amat muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari semua perempuan yang telah
kawin.
Potensi dan tantangan dalam penurunan kematian ibu dan anak adalah jumlah
tenaga kesehatan yang menangani kesehatan ibu khususnya bidan sudah relatif
tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun kompetensi masih belum memadai.
Demikian juga secara kuantitas, jumlah Puskesmas PONED dan RS PONEK
meningkat namun belum diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Peningkatan
kesehatan ibu sebelum hamil terutama pada masa remaja, menjadi faktor penting
dalam penurunan AKI dan AKB.
Dalam 5 tahun terakhir, Angka Kematian Neonatal (AKN) tetap sama yakni
19/1000 kelahiran, sementara untuk Angka Kematian Pasca Neonatal (AKPN) terjadi
penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup, angka kematian anak balita
juga turun dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian pada
kelompok perinatal disebabkan oleh Intra Uterine Fetal Death (IUFD) sebanyak 29,5%
dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 11,2%, ini berarti faktor kondisi ibu
sebelum dan selama kehamilan amat menentukan kondisi bayinya. Tantangan ke
depan adalah mempersiapkan calon ibu agar benar-benar siap untuk hamil dan
melahirkan dan menjaga agar terjamin kesehatan lingkungan yang mampu melindungi
bayi dari infeksi. Untuk usia di atas neonatal sampai satu tahun, penyebab utama
kematian adalah infeksi khususnya pnemonia dan diare. Ini berkaitan erat dengan
perilaku hidup sehat ibu dan juga kondisi lingkungan setempat.
Untuk status gizi remaja, hasil Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi remaja
usia 13-15 tahun yang pendek dan amat pendek adalah 35,2% dan pada usia 16-18
tahun sebesar 31,2%. Sekitar separuh remaja mengalami defisit energi dan sepertiga
remaja mengalami defisit protein dan mikronutrien.
Pelaksanaan UKS harus diwajibkan di setiap sekolah dan madrasah mulai dari
TK/RA sampai SMA/ SMK/MA, mengingat UKS merupakan wadah untuk
mempromosikan masalah kesehatan. Wadah ini menjadi penting dan strategis, karena
pelaksanaan program melalui UKS jauh lebih efektif dan efisien serta berdaya ungkit
lebih besar. UKS harus menjadi upaya kesehatan wajib Puskesmas. Peningkatan
kuantitas dan kualitas Puskesmas melaksanakan Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) yang menjangkau remaja di sekolah dan di luar sekolah. Prioritas
program UKS adalah perbaikan gizi usia sekolah, kesehatan reproduksi dan deteksi
dini penyakit tidak menular.
Selain penyakit tidak menular yang mengancam pada usia kerja, penyakit akibat
kerja dan terjadinya kecelakaan kerja juga meningkat. Jumlah yang meninggal akibat
kecelakaan kerja semakin meningkat hampir 10% selama 5 tahun terakhir. Proporsi
kecelakaan kerja paling banyak terjadi pada umur 31-45 tahun. Oleh karena itu
program kesehatan usia kerja harus menjadi prioritas, agar sejak awal faktor risiko
sudah bisa dikendalikan. Prioritas untuk kesehatan usia kerja adalah mengembangkan
pelayanan kesehatan kerja primer dan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di
tempat kerja, selain itu dikembangkan Pos Upaya Kesehatan Kerja sebagai salah satu
bentuk UKBM pada pekerja dan peningkatan kesehatan kelompok pekerja rentan
seperti Nelayan, TKI, dan pekerja perempuan.
Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih
menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi persoalan

5 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


yang harus kita tangani dengan serius. Selain itu kita dihadapi dengan masalah
stunting. Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh
kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak
berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak
dalam kemiskinan. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis
yang menentukan masa depannya, dan pada periode itu anak Indonesia menghadapi
gangguan pertumbuhan yang serius. Yang menjadi masalah, lewat dari 1000 hari,
dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit diobati. Untuk mengatasi stunting,
masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak
balita. Secara aktif turut serta dalam komitmen global (SUN-Scalling Up Nutrition)
dalam menurunkan stunting, maka Indonesia fokus kepada 1000 hari pertama
kehidupan (terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun) dalam
menyelesaikan masalah stunting secara terintergrasi karena masalah gizi tidak hanya
dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi spesifik) tetapi juga oleh
sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi.

F. Sistematika
Sistematika penulisan laporan kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
adalah sebagai berikut :
- Ringkasan Eksekutif
- Kata Pengantar
- Daftar Isi
- BAB I
Penjelasan umum organisasi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
penjelasan aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic
issued) yang sedang dihadapi organisasi.
- BAB II
Menjelaskan uraian ringkasan/ ikhtisar perjanjian kinerja Direktorat Jenderal
Kesehatan Masyarakat tahun 2016.
- BAB III
Penyajian capaian kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat untuk setiap
pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran
kinerja organisasi, dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut:
Membandingkan antara target dan realisasi kinerja tahun ini; Membandingkan
realisasi kinerja sampai dengan tahun ini dengan target jangka menengah yang
terdapat dalam dokumen perencanaan strategis organisasi; Analisis penyebab
keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi
yang telah dilakukan; Analisis atas efisiensi penggunaan sumber daya; Analisis
program/kegiatan yang menunjang keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian
pernyataan kinerja dan melakukan analisa realisasi anggaran.
- BAB IV
Penutup, Pada bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi
serta langkah di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk
meningkatkan kinerjanya.
- LAMPIRAN
 Formulir RK : Pengukuran Kinerja
 Formulir RKT : Rencana Kinerja Tahunan

6 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


BAB II
PERENCANAAN KINERJA

A. Perjanjian Kinerja
Perjanjian kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat telah ditetapkan
dalam dokumen penetapan kinerja yang merupakan suatu dokumen pernyataan
kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja
tertentu dengan didukung sumber daya yang tersedia.
Indikator dan target kinerja yang telah ditetapkan menjadi kesepakatan yang
mengikat untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebagai upaya mewujudkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indoinesia. Perjanjian
penetapan kinerja tahun 2016 yang telah ditandatangani bersama oleh Direktur
Jenderal Kesehatan Masyarakat dan Menteri Kesehatan berisi Indikator, antara lain:

1. Indikator Kinerja Program Kesehatan Masyarakat


Indikator kinerja program Kesehatan Masyarakat terdiri dari enam indikator yang
dianggap dapat merefleksikan kinerja program. Indikator tersebut meliputi:
a. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF)
b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)
c. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)
d. Jumlah kebijakan publik yang berwawasan kesehatan
e. Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS
f. Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan.
Cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan menggambarkan indikator
pelayanan kesehatan terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan. Indikator PF menjadi penting karena penyebab kematian ibu di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh karena perdarahan dan infeksi pada saat
persalinan. Menurunkan angka kematian ibu merupakan bagian dari kesepakatan
global terhadap pembangunan kesehatan berkelanjutan (SDGs).
Persentase ibu hamil Kurang energi Kronik (KEK) menggambarkan risiko yang
akan dialami ibu hamil dan bayinya dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan.
Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) menggambarkan
keberlangsungan neonatal pada 6 jam sampai dengan 48 jam. Hal ini dilakukan
sebagai antisipasi atau skreening diawal kehidupan bayi.
Jumlah kebijakan publik yang berwawasan kesehatan yang menjadi sasaran
adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak diluar kesehatan untuk mendukung
kesehatan masyarakat.
Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS, merupakan indikator
yang mempunyai daya ungkit terhadap pencegahan dan pengendalian penyakit dari sisi
perubahan perilaku di masyarakat.
Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
merupakan indikator komposit dari beberapa indikator kesehatan lingkungan.
Berdasarkan keenam indikator diatas diharapkan dapat menjadi daya ungkit
terhadap keberhasilan dalam pencapaian renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015-
2019.

7 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Tabel 1 Indikator kinerja Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
tahun 2015-2019
Target
Sasaran Indikator
2015 2016 2017 2018 2019
1.Persentase persalinan di
Meningkatnya
fasilitas pelayanan 75% 77% 79% 82% 85%
ketersediaan dan
kesehatan (PF)
Keterjangkauan
2. Persentase ibu hamil
pelayanan
Kurang Energi Kronik 24,2% 22,7% 21,2% 19,7% 18,2%
kesehatan yang
(KEK)
bermutu bagi
seluruh 3. Persentase kunjungan
masyarakat neonatal pertama (KN1) 75% 78% 81% 85% 90%

Meningkatnya 4. Jumlah kebijakan publik


pelaksanaan yang berwawasan 3 3 3 3 3
pemberdayaan kesehatan
dan promosi 5. Persentase
kesehatan kabupaten/kota yang
40% 50% 60% 70% 80%
kepada memiliki kebijakan PHBS
masyarakat
6. Persentase
Meningkatnya kabupaten/kota yang
penyehatan dan memenuhi kualitas
pengawasan kesehatan lingkungan 20% 25% 30% 35% 40%
kualitas
lingkungan

8 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA

A. Capaian Kinerja Organisasi


Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya
memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan
instrumen baru, pemerintahan yang baik (good governance) untuk memastikan bahwa
manajemen berjalan dengan baik. Selain itu, budaya organisasi turut mempengaruhi
penerapan pemerintahan yang baik di Indonesia. Pengukuran kinerja dalam penyusunan
laporan akuntabilitas kinerja dilakukan dengan cara membandingkan target kinerja
sebagaimana telah ditetapkan dalam penetapan kinerja pada awal tahun anggaran
dengan realisasi kinerja yang telah dicapai pada akhir tahun anggaran.
Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi
yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal
terpenting yang diperlukan dalam penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja
dan evaluasi serta pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap
pengukuran kinerja

1. Indikator Kinerja Program


Program Kesehatan Masyarakat adalah salah satu program Kementerian Kesehatan
dengan upaya prioritas untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian
Bayi (AKB) dan prevalensi gizi kurang. Sebagaimana telah termuat dalam dokumen
Perjanjian Kinerja (PK) tahun 2016, indikator kinerja program kesehatan masyarakat
terdiri dari:

Persentase Persentase Ibu Persentase


Persalinan di Hamil Kurang Energi kunjungan neonatal
Fasilitas Pelayanan Kronik (KEK) pertama (KN1)
Kesehatan

Jumlah kebijakan Persentase Persentase


publik yang kabupaten/kota yang kabupaten/kota yang
berwawasan memiliki kebijakan memenuhi kualitas
kesehatan PHBS kesehatan
lingkungan

Gambar 1 Indikator Kerja Utama Program Kesehatan Masyarakat

9 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Capaian kinerja program dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2 Capaian indikator kinerja Program Kesehatan Masyarakat tahun 2015-2016

Target Realisasi Capaian


Sasaran Indikator
2016 2015 2016 2016

Persentase persalinan
Meningkatnya
di fasilitas pelayanan 77% 78,4% 77,3% 100,4%
ketersediaan dan
kesehatan (PF)
Keterjangkauan
Persentase ibu hamil 13,3%
pelayanan 16,2% *
Kurang Energi Kronik 22,7% (PSG 136,74%
kesehatan yang (PSG 2016)
(KEK) * 2015)
bermutu bagi
Persentase kunjungan
seluruh 100,1%
neonatal pertama 78% 75% 78,1%
masyarakat
(KN1)
Jumlah kebijakan
Meningkatnya
publik yang 3 3 3 100%
pelaksanaan
berwawasan
pemberdayaan
kesehatan
dan promosi
Persentase
kesehatan
kabupaten/kota yang 50% 44% 53,3% 105%
kepada
memiliki kebijakan
masyarakat
PHBS
Meningkatnya Persentase
penyehatan dan kabupaten/kota yang
pengawasan memenuhi kualitas 25% 27,6% 33,5% 133,84%
kualitas kesehatan lingkungan
lingkungan
*Indikator persentase Bumil KEK merupakan indikator negatif, dimana target capaian
yang diharapkan dibawah target yang ditentukan.

Capaian indikator Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dapat dikatakan tercapai


seluruhnya, dimana semua indikator melebihi 100%.

a. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF)


Persalinan di fasilitas kesehatan merupakan indikator baru di Renstra 2015 – 2019.
Pada Renstra sebelumnya lebih dikenal dengan ”persalinan oleh nakes” (Pn). Perubahan
indikator ini dilakukan untuk menjawab kajian terkait upaya penurunan AKI dan AKB yang
ternyata dirasakan masih kurang optimal. Kondisi di Indonesia dimana masih terdapat
kepercayaan terhadap ”dukun beranak”, dan pola bersalin di rumah, menyebabkan
bahwa persalinan oleh nakes yang diasumsikan akan memenuhi standar, baik secara
kelayakan tempat, sarana prasarana, dll, ternyata menghasilkan dampak yang kurang
cukup mendongkrak penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI dan AKB).
Melihat hal diatas, maka indikator persalinan oleh nakes di tingkatkan secara
kualitasnya menjadi persalinan di fasilitas kesehatan yang merupakan upaya mendorong
ibu bersalin untuk bersalin di fasilitas kesehatan. Diharapkan setiap ibu bersalin
mendapatkan pelayanan sesuai standar yang sehingga kematian ibu dan bayi dapat
diturunkan.
Pertolongan persalinan merupakan bagian dari proses pelayanan persalinan. Proses
persalinan membutuhkan penanganan oleh tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang

10 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan
adalah meningkatnya kesehatan masyarakat, dengan salah satunya melalui
Meningkatnya persentase persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 85% pada akhir tahun
2019 sebesar 85%. Target pada tahun 2016 adalah sebanyak 77% ibu hamil melakukan
persalinan di fasilitas Pelayanan Kesehatan. Data yang diambil saat penyusunan laporan
kinerja cut off 17 Januari 2017.
Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan dihitung dengan cara Jumlah
ibu bersalin di wilayah kerja Puskesmas yang mendapatkan pertolongan sesuai standar
oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dalam kurun waktu satu tahun dibagi jumlah
sasaran ibu bersalin yang ada di wilayah kerja Puskesmas dalam kurun waktu satu tahun
yang sama) x 100 %.
Definisi Operaional dari persalinan di fasilitas kesehatan adalah persentase ibu
bersalin yang mendapat pertolongan persainan sesuai standar oleh tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Tren realisasi cakupan persalinan di fasilitas pelayanan Kesehatan (PF) berdasarkan
Riskesdas menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Riskesdas
tahun 2007 persalinan di faskes menunjukan angka sebesar 41,6%, tahun 2010 sebesar
56,8%, dan pada tahun 2013 sebesar 70,4%. Sedangkan menurut Data Rutin Direktorat
Bina Kesehatan Ibu tahun 2014, realisasi cakupan PF sebesar 73,3%. Data tersebut,
sebagimana digambarkan pada grafik dibawah dijadikan dasar dalam penentuan target
awal di tahun 2015.

Grafik 1 Trend Peningkatan Cakupan Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

70,4 73,3 78,4 77,3

56,8

41,6

2007 2010 2013 2014 2015 2016


Data Rutin Dit.Kesehatan
RISKESDAS keluarga

Pada tahun 2016, indikator Persalinan di Fasilitas Kesehatan berhasil mencapai


target 2016 sebesar 77% ibu bersalin. Dengan cakupan sebesar 77.3 % tercatat
sebanyak 3.951.232 ibu bersalin telah bersalin di fasilitas Kesehatan. Cakupan sebesar
77.3% dan target sebesar 77% maka terhitung capaian kinerja terkait indikator PF adalah
sebesar 100,4%.

11 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 2 Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF)
tahun 2015-2019

86
85
84
82 82
78,4
80 77,3 79 Target
78 77
76 75
Capaian
74
72
70
2015 2016 Target
2017 2018
2019

Sumber Data : Dit Kesehatan Ibu Tahun 2016

Pada grafik batang diatas pada tahun 2016 terlihat capaian persalinan di
fasilitas kesehatan telah memenuhi target yang diharapkan, akan tetapi bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya cakupan persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan pada tahun ini (77,3%) lebih rendah dari tahun sebelumnya
(78,4%).
Bila di lihat tren cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana ditampilkan grafik diatas, pada tahun 2015 cakupan PF sebesar
78,4% dan pada tahun 2016 sebesar 77,3%. Angka ini menunjukan kesan tren
penurunan cakupan walaupun dari sisi target maka cakupan PF masih dalam
kategori baik (tercapai). Penurunan ini di sebabkan belum masuknya seluruh data
daerah saat LAKIP disusun. Dimana belum semua provinsi (lebih dari 40%) yang
mengirimkan data hanya sampai bulan November 2016.
Bila dibandingkan dengan target jangka menengah (2017) sebesar 79%,
maka perlu kerja keras dan inovatif dalam mengupayakan peningkatan sebesar
2% dari cakupan 2016. Dengan pengalaman tren yang terus meningkat
(berdasarkan hasil Riskesdas), maka dapat dikatakan cakupan PF, “on the track”
dengan catatan sistem pelaporan satu pintu harus segera direalisasikan dan
dilakukan pendampingan.
Grafik dibawah memperlihatkan sebaran cakupan persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan per provinsi. Terlihat pada grafik dibawah hanya 10 Provinsi
yang capaian PF-nya diatas target nasional. Hal ini berarti baru 29,4% yang
memenuhi target capaian.

12 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 3 Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (PF) Per Provinsi Tahun 2016

94,1
91,1
90,3
88,5
86,3
81,1
79,0
79,0
78,3
77,3
76,9
75,7
74,3
74,0
73,9
71,1
70,9
70,0
66,8
64,9
64,6
64,4
60,2
59,1
56,0
55,8
46,7
44,2
42,7
42,1
30,8
26,5
17,8
10,3

Analisa Keberhasilan
Dalam meningkatkan cakupan persalinan di Fasyankes dilakukan kegiatan yang
akan meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi.
Kegiatan yang dilakukan dalam mendukung persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan
antara lain sebagai berikut:

1. Puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil.

Kelas Ibu Hamil ini merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi
ibu hamil, dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, persalinan, nifas, KB pasca
persalinan, pencegahan komplikasi, perawatan bayi baru lahir dan aktivitas fisik/ senam
ibu hamil.
Kelas Ibu Hamil adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan jumlah peserta
maksimal 10 orang. Di kelas ini ibu-ibu hamil akan belajar bersama, diskusi dan tukar
pengalaman tentang kesehatan Ibu dan anak (KIA) secara menyeluruh dan sistematis
serta dapat dilaksanakan secara terjadwal dan berkesinambungan. Kelas ibu hamil
difasilitasi oleh bidan/tenaga kesehatan dengan menggunakan paket Kelas Ibu Hamil
yaitu Buku KIA, Flip chart (lembar balik), Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil, dan
Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil.

2. Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan


Pencegahan Komplikasi (P4K)

Orientasi P4K menitikberatkan pada kegiatan monitoring terhadap ibu hamil dan
bersalin. Pemantauan dan pengawasan yang menjadi salah satu upaya deteksi dini,
menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil dan bersalin yang dilakukan diseluruh
Indonesia dalam ruang lingkup kerja Puskesmas setempat serta menyediakan akses dan
pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang sekaligus merupakan kegiatan
yang membangun potensi masyarakat khususnya kepedulian masyarakat untuk
persiapan dan tindakan dalam menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.
Dalam pelaksanaan P4K, bidan diharapkan berperan sebagai fasilitator dan dapat
membangun komunikasi persuasif dan setara diwilayah kerjanya agar dapat terwujud

13 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


kerjasama dengan ibu, keluarga dan masyarakat sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir dengan menyadarkan masyarakat bahwa persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan akan menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.

3. Ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4).

Indikator ini memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan
tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan
minimal 4 kali, sesuai dengan ketetapan waktu kunjungan. Disamping itu, indikator ini
menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, Melalui kegiatan ini
diharapkan ibu hamil dapat dideteksi secara dini adanya masalah atau gangguan atau
kelainan dalam kehamilannya dan dilakukan penanganan secara cepat dan tepat.
Pada saat ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan, tenaga kesehatan
memberikan pelayanan antenatal secara lengkap yang terdiri dari: timbang badan dan
ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, nilai status gizi (ukur LiLA), ukur tinggi fundus
uteri, tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin, skrining status imunisasi TT dan
bila perlu pemberian imunisasi TT, pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan),
test lab sederhana (Golongan Darah, Hb, Glukoprotein Urin) dan atau berdasarkan
indikasi (HBsAg, Sifilis, HIV, Malaria, TBC), tata laksana kasus, dan temu wicara/
konseling termasuk P4K serta KB PP.
Pada konseling yang aktif dan efektif, diharapkan ibu hamil dapat melakukan
perencanaan kehamilan dan persalinannya dengan baik serta memantapkan keputusan
ibu hamil dan keluarganya untuk melahirkan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan.

Analisa Kegagalan
Selain hal-hal yang menjadi faktor keberhasilan, beberapa yang menjadi menjadi
hambatan:
1) Bila melihat data per Provinsi maka terlihat kesenjangan antar provinsi, dimana
ada Provinsi yang cakupannya sangat rendah dan ada provinsi yang cakupannya
lebih dari target bahkan lebih dari 100%.
2) Belum meratanya jumlah tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil,
perbatasan, dan kepulauan.
3) Kondisi geografis masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, perbatasan,
dan kepulauan menyebabkan kesulitan untuk mengakses fasilitas pelayanan
kesehatan.

Alternatif solusi
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan untuk pencapaian persalinan di
fasilitas kesehatan
1) Daerah-daerah dengan kondisi geografis sulit dimana akses ke fasilitas pelayanan
kesehatan menjadi kendala. Direktorat Kesehatan Keluarga menerapkan
kebijakan melanjutkan pengembangan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta
Rumah Tunggu Kelahiran. Para Dukun diupayakan bermitra dengan Bidan dalam
hal pengaturan hak dan kewajiban sehingga terdapat kejelasan peran dan tugas
masing-masing pihak. Mendorong Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan
persalinan tidak lagi dikerjakan oleh Dukun, namun wajib dirujuk ke Bidan.

14 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


2) Ketika ibu hamil yang di daerahnya tidak terdapat Bidan atau memang memiliki
kondisi penyulit, maka pada saat menjelang hari taksiran persalinan diupayakan
sudah berada di dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu dapat tinggal di Rumah
Tunggu Kelahiran. Untuk itu pada tahun 2016 telah di gelontorkan dana dari puat
melalui mekanisme DAK yaitu jampersal dimana jampersal ini adalah upaya
mendekatkan akses ibu hamil ke faskes melalui pembiayan transportasi dan sewa
RTK.
3) Distribusi buku KIA sampai ke masyarakat.
4) Audit Maternal dan Perinatal.
5) Kerjasama lintas sektor.

b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK)


Masalah gizi kurang pada ibu hamil masih merupakan fokus perhatian, masalah
tersebut antara lain anemia dan ibu hamil kurang energi kronik (KEK). Riskesdas 2013
menunjukkan prevalensi risiko KEK pada ibu hamil (15-49 tahun) sebesar 24,2%,
khususnya prevalensi tertinggi ditemukan pada usia remaja (15-19 tahun) sebesar 38,5%
dibandingkan dengan kelompok lebih tua (20-24 tahun) sebesar 30,1%.
Proporsi ibu hamil dengan tingkat kecukupan energi kurang dari 70% angka
kecukupan energi (AKE) sedikit lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan
yaitu sebesar 52,9% dibandingkan dengan 51,5% (SDT, 2014). Sementara proporsi ibu
hamil dengan tingkat kecukupan protein kurang dari 80% angka kecukupan protein (AKP)
juga lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan yaitu sebesar 55,7%
dibandingkan 49,6% (SDT, 2014). Kurangnya asupan energi yang berasal dari zat gizi
makro (karbohidrat, protein dan lemak) maupun zat gizi mikro terutama vitamin A, vitamin
D, asam folat, zat besi, seng, kalsium dan iodium serta zat gizi miro lain pada wanita usia
subur yang berkelanjutan (remaja sampai masa kehamilan), mengakibatkan terjadinya
kurang energi kronik (KEK) pada masa kehamilan, yang diawali dengan kejadian ‘risiko’
KEK dan ditandai oleh rendahnya cadangan energi dalam jangka waktu cukup lama yang
diukur dengan lingkar lengan atas (LiLA).
Ibu hamil dengan masalah gizi dan kesehatan berdampak terhadap kesehatan dan
keselamatan ibu dan bayi serta kualitas bayi yang dilahirkan. Kondisi ibu hamil KEK
berisiko menurunkan kekuatan otot yang membantu proses persalinan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya kematian janin (keguguran), prematur, lahir cacat, bayi berat
lahir rendah (BBLR) bahkan kematian bayi, ibu hamil KEK dapat mengganggu tumbuh
kembang janin yaitu pertumbuhan fisik (stunting), otak dan metabolisme yang
menyebabkan penyakit menular di usia dewasa.
Kondisi kurang energi kronis pada ibu hamil akan terjadi jika kebutuhan akan tubuh
tidak mencukupi. Keadaan kurang energi kronis pada ibu hamil dapat dimonitor dengan
melakukan pengukuran lingkar lengan atas ibu hamil. Ibu hamil sebaiknya memiliki lingkar
lengan atas lebih dari 23,5 cm pada 3 bulan pertama kehamilan. Selain membutuhkan
energi untuk dirinya, ibu hamil juga membutuhkan energi untuk pertumbuhan janin dalam
kandungannya. Indikator ibu hamil KEK merupakan indikator untuk mengurangi risiko
persalinan, pertumbuhan dan perkembangan anak dikemudian hari. Kekurangan energi
kronik pada ibu hamil akan berdampak pada pertumbuhan janin didalam kandungan ibu.
Ibu hamil KEK memiliki risiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Kondisi KEK pada ibu hamil ini harus segera ditindaklanjuti untuk menurunkan angka
kejadian BBLR sehingga risiko kematian bayi atau neonatal yang disebabkan BBLR dapat
diturunkan.

15 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Indikator persentase ibu hamil KEK merupakan salah satu indikator baru di
Kementerian Kesehatan dan merupakan indikator output. Persentase ibu hamil KEK
diharapkan turun sebesar 1,5% setiap tahunnya. Dimulai pada tahun 2015 dengan
batasan maksimal 24,2% ibu hamil KEK, hingga pada akhir tahun 2019 diharapkan
persentase ibu hamil KEK dibawah 18,2%. Data dasar sebagai bahan penetapan
persentase bumil KEK ini didapat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013. Dengan ditetapkannya target tersebut, maka diharapkan persentase ibu hamil KEK
setiap tahunnya tidak melebihi target.
Data ibu hamil KEK diperoleh dengan membandingkan antara Jumlah ibu hamil yang
diukur lingkar lengan atasnya (LiLA) dengan menggunakan pita LiLA (hasil ukur kurang
dari 23,5 cm) dibagi jumlah ibu hamil yang diukur LiLA-nya dikali 100%.
Di tahun 2015, berdasarkan hasil survey pemantauan status gizi (PSG) tahun 2015
menunjukkan angka 13,3%, dimana angka ini berada di bawah target atau sesuai dengan
yang diharapkan.
Grafik 4 Target dan capaian persentase ibu hamil KEK tahun 2015-2019

30

25 24,2
22,7
21,2
20 19,7
16,2 18,2
Capaian
15 13,3
Target
10

0
2015 2016 2017 2018 2019

Sumber data: Pemantauan status gizi tahun 2015 dan tahun 2016

Dikarenakan indikator ini adalah indikator output maka data diperoleh melalui
survei yang dilakukan setiap tahun, dengan definisi operasional proporsi ibu hamil yang
diukur lingkar lengan atasnya (LiLA) dengan menggunakan pita LiLA dengan hasil ukur
kurang dari 23,5 cm terhadap jumlah ibu hamil yang diukur LiLA-nya pada periode
tertentu dikali 100%. Hasil survey pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016, seperti
yang terlihat pada grafik batang diatas terlihat bahwa persentase ibu hamil kurang energi
kronik pada tahun 2016 (16,2%) masih dibawah target yang ditentukan (grafik garis =
22,7%), Hasil ini menjadi gambaran status gizi ibu hamil yang sesuai dengan harapan.
Akan tetapi bila dibandingkan hasil Pemantauan Status Gizi antara tahun 2016 dan tahun
2015 terlihat adanya peningkatan persentase ibu hamil kurang energi kronik. Sedangkan
pada target yang diharapkan adalah seharusnya terjadi penurunan capaian.
Bila dibandingkan dengan target jangka menengah sebesar 21,2% (2017) ibu
hamil KEK, perlu ada strategi baru dalam menurunkan angka ibu hamil KEK.

16 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, kurangnya asupan makanan
menjadi faktor utama yang berisiko terjadinya kekurangan energi kronik pada ibu hamil.
Hasil Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) yang dilakukan bersamaan dengan
pengumpulan data PSG tahun 2016 menunjukkan, baru sebanyak 26,3% ibu hamil yang
memenuhi kecukupan energi dan 29,3% ibu hamil yang memenuhi kecukupan protein
dalam konsumsinya sehari-hari. Dengan kondisi kecukupan energi dan protein di atas,
maka hal ini berkontribusi cukup besar terhadap terjadinya kejadian ibu hamil KEK di
Indonesia.

Analisa Keberhasilan
Secara program kegiatan, keberhasilan pemerintah dalam menurunkan persentase
ibu hamil KEK dapat didukung melalui:
1) Pemberian makakan tambahan pada ibu hamil kurang energi kronis
Pada tahun 2016 secara rata-rata nasional cakupan ibu hamil KEK yang mendapat
makanan tambahan sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu 79.1%, dari target
50%. Penentuan target 50% ini didasarkan kepada besaran anggaran APBN tahun
2016 yang baru mampu mengakomodir sebanyak 50% dari total jumlah ibu hamil KEK
yang ada di Indonesia (berdasarkan hasil Riskesdas 2013).

Grafik 5 Cakupan Ibu Hamil KEK yang Mendapat Makanan Tambahan Tahun 2016

50,0%
Target

79,1%
Realisasi

Perbandingan realisasi kinerja kegiatan ibu hamil KEK yang mendapat makanan
tambahan tahun 2016 dengan target jangka menengah dapat dilihat pada gambar
berikut ini.

17 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 6 Perbandingan Cakupan Ibu Hamil KEK yang Mendapat Makanan Tambahan tahun
2016 Dengan Target Jangka Menengah

100%

90% 95%
79,10%
80%
80%
70%

60% 65%
Target
50%
36% 50% Realisasi
40%

30%

20%

10%
13%
0%
2015 2016 2017 2018 2019

2) Pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil


Secara rata-rata nasional, cakupan ibu hamil yang mendapat TTD minimal 90 tablet
selama masa kehamilannya belum mencapai target, yaitu sebesar 80.4% dari target
85%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Grafik 7 Persentase Ibu Hamil Mendapat TTD Tahun 2016

85,0%

85%

84%

83%

82%
80,4%
81%

80%

79%

78%
Target Realisasi

Perbandingan realisasi kinerja kegiatan ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah
tahun 2016 dengan target jangka menengah dapat dilihat pada gambar berikut:

18 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 8 Perbandingan Cakupan Ibu Hamil yang Mendapat TTD Tahun 2016 dengan Target
Jangka Menengah

120%

100%
83,20%
80,40%
98%
95%
80% 90%
85%
82%

60%

40%

20%

0%
2015 2016 2017 2018 2019

Target Realisasi

3) Kegiatan kelas ibu hamil


Melalui kelas ibu hamil diharapkan terjadi peningkatkan pengetahuan, perubahan
sikap dan perilaku ibu dalam hal kehamilan. Dalam kegiatan ini pengetahuan tentang
gizi dan konseling dapat diberikan untuk ibu hamil terutama ibu hamil yang berisiko.

4) Penyelenggaraan kegiatan pelayanan antenatal di puskesmas


Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih
untuk ibu selama masa kehamilannya. Kegiatan ini merupakan cara penting untuk
memonitoring dan mendukung kesehatan ibu hamil sebagai pendeteksian dini risiko
untuk mencegah adanya komplikasi dan tanda bahaya pada kehamilan, termasuk
didalamnya penemuan ibu hamil dengan risiko KEK.

Analisa Kegagalan
Meskipun secara nasional persentase ibu hamil KEK di bawah angka target
maksimal, tetapi jika dibandingkan dengan persentase tahun 2015, persentase di tahun
2016 mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan adanya trend status kesehatan ibu hamil.
Akan tetapi secara metodologi survei, fenomena yang terjadi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Metodologi pengambilan sampel.
Terdapat perbedaan dalam pengambilan sampel.
Pada survei PSG tahun 2015, sampel ibu hamil hanya yang ditemukan di rumah
tangga sampel yang mempunyai balita, dengan total sebesar kurang lebih 5.000 ibu
hamil.
Pada survei PSG tahun 2016, sampel ibu hamil merupakan sampel yang wajib dicari
di setiap klaster, tidak hanya yang ada di rumah tangga sampel yang mempunyai
balita tetapi yang berada di luar rumah tanggal sampel. Total sampel yang didapat
kurang lebih 53.000 ibu hamil.
b. Dengan jumlah dan metode pengambilan sampel yang berbeda maka standard error
(SE) yang dihasilkanpun akan berbeda. Hasil PSG tahun 2015 mempunyai SE yang
lebih tinggi dibandingkan tahun 2016, artinya hasil tahun 2016 lebih valid
dibandingkan dengan tahun 2015.

19 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


c. Kesimpulan: persentase ibu hamil KEK tahun 2015 tidak dapat dibandingkan dengan
persentase ibu hamil KEK tahun 2016.

Alternatif solusi
Dalam mengatasi hambatan pencapaian kinerja, maka Ditjen Kesehatan
Masyarakat pada tahun 2016 melakukan:
a. Masalah Survei yaitu dengan:
1) Penyempurnaan metoda survei PSG, dari semula di tahun 2015, ibu hamil yang
dikumpulkan datanya hanya ibu hamil yang ada/ditemukan di rumah tangga
sampel (yang mempunyai balita), menjadi seluruh ibu hamil yang ada di wilayah
klaster penelitian di tahun 2016.
2) Penyediaan makanan tambahan untuk ibu hamil kurang energy kronik dari semula
13% (tahun 2015) menjadi 50% di tahun 2016. Penyediaan makanan tambahan
ini untuk membantu memperbaiki asupan gizi bagi ibu hamil.
3) Penyusunan buku Pedoman Gizi Seimbang untuk kelompok khusus, yang
didalamnya termasuk ibu hamil.
4) Uji coba aplikasi untuk monitoring suplementasi gizi, untuk memantau dan
memastikan distribusi PMT bumil kurang energy kronik sudah sampai ke
puskesmas di 14 provinsi, yang meliputi 28 kabupaten dan 56 puskemas.
b. Konseling ibu tentang gizi seimbang yang terintegrasi di kelas ibu.
c. Penyediaan PMT dan tablet tambah darah bumil sesuai jumlah sasaran.
d. Meningkatkan status kesehatan remaja putri yang merupakan calon ibu melalui
pemberian tablet tambah darah dan pendidikan tentang gizi seimbang.

c. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)


Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal dengan sebutan dengan
KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan untuk
mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6 - 48 jam setelah lahir. Dalam
kunjungan pertama neonatal dilakukan kegiatan untuk mendeteksi sedini mungkin
permasalahan yang mungkin dihadapi bayi baru lahir, konseling perawatan bayi baru
lahir, penyuluhan ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan) dan
Hepatitis B 0 (nol) injeksi (bila belum diberikan).
Sepanjang renstra 2010 – 2014, indikator KN 1 selalu mencapai target. Dan di akhir
2014 indikator ini telah mencapai cakupan sebesar 97 %. Target Indikator KN 1 diawal
Renstra 2015 -2019 adalah sebesar 75 % (2015). Definisi operasional KN1 pada Renstra
2014-2015 dengan Renstra 2015-2019 adalah hal yang berbeda, yang semula berfokus
pada akses (Renstra 2014-2015) dan pada Renstra 2015-2019 difokuskan pada kualitas
pelaksanaan KN 1. Dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan hal yang ingin dicapai
melalui kegiatan KN 1.

20 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 9 Cakupan KN1 Tahun 2010-2016

Cakupan Target

90,5 92,3 92,3 97


81
84 89
86 88 90 78
84 78,1
75

Akses Kualitas

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Sumber : Data evaluasi direktorat kesehatan keluarga

Target indikator kunjungan neonatal pertama (KN 1) tahun 2016 adalah 78%, hasil
cakupan diakhir tahun 2016 sebesar 78.1% yang berarti sebanyak 3.800.136 Bayi Baru
lahir, telah dilakukan kunjungan neonatal pertama.

Grafik 10 Cakupan KN1 dan target Renstra Tahun 2015-2019

Cakupan Target Column1

90

85

81 78,1 81

75 78

Tren cakupan KN1 sejak tahun


2015 2016 2010 cenderung
2017 meningkat, namun
2018 bila melihat
2019
cakupan pada grafik diatas mengesankan terjadi penurunan pada tahun 2016. Kesan
penurunan ini disebabkan karena data yang belum masuk secara keseluruhan,
sebagaimana yang terjadi pada cakupan persalinan di fasilitas kesehatan.
Bila disandingkan dengan target di akhir tahun 2019 sebesar 90 % maka terdapat
gap sebesar 12% yang harus dicapai. Dan bila dilihat pada midterm Renstra 2015-2019
(target 2017 sebesar 81%) maka terdapat gap sebesar 3 %.

21 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Hasil capaian nasional bila di breakdown per provinsi maka masih terdapat disparitas
cakupan KN1. Disparitas terbesar (3 Provinsi dengan cakupan KN1 terkecil) antara lain
Maluku, maluku utara dan Kalimantan selatan. Terdapat 15 Provinsi yang telah mencapai
target nasional sebesar 78%, dan 19 provinsi masih belum mencapai target nasional.

Grafik 11 Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) di 34 Provinsi Tahun 2016


104,3
99,9
97,3

Cakupan target
95,5
92,9
90,6
89,9
87,4
86,6
83,3
82,6
82,5
79,8
79,2
78,7
78,1
74,7
74,2
74,1
73,7
71,4
69,1
68,4
65,1
61,5
60,2
56,6
47,4
44,8
41,6
34,9
34,1
26,7
19,2
10,7
Dari 19 provinsi yang belum mencapai target, terdapat 8 Provinsi yang perlu
mendapat perhatian di tahun 2017 yaitu Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Riau, Papua,
Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Selatan karena didalam mencapai target
nasional memiliki capaian kinerja dibawah 60%. Terkait Provinsi Sumatera Barat
terkendala didalam pengiriman laporan, adapun didalam pelaksanaannya diperkirakan
lebih tinggi cakupannya dibandingkan dengan data yang telah dikirimkan.

Analisa Keberhasilan
Kunjungan neonatal pertama didaerah terutama dilakukan oleh bidan. Kementerian
kesehatan RI (Pusat) di era desentralisasi membagi wewenangnya dengan daerah.
Kerjasama pusat dan daerah memiliki peran yang sangat besar didalam menjamin setiap
bayi yang baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Faktor
Pendukung terlaksananya kegiatan yang menunjang capaian KN1 adalah dengan adanya
pedoman Neonatal Esensial yang menjadi dasar/ standar pelayanan kesehatan bayi baru
lahir yang didalamnya termsuk adalah kunjungan neonatal.
Indikator KN 1 saat ini menjadi target RPJMN, oleh sebab itu maka perencanaan dan
anggaran untuk mendukung kegiatan ini menjadi lebih kuat
Diperolehnya dukungan dari organisasi profesi dan lintas program dalam
penggerakan anggotanya untuk melaksanakan KN 1. Dukungan ini dapat diperoleh
melalui advokasi dan sosialisasi yang dilakukan terhadap organisasi profesi, dan
pelibatan organisasi profesi terkait didalam kegiatan.
Terdapatnya pedoman di instansi pelayanan kesehatan. Di awal distribusi ini
dilakukan di pusat untuk kemudian di advokasi ke daerah untuk menyelenggarakan
secara mandiri. Dengan telah semakin tersebar dan terdistribusinya buku saku pelayanan
neonatal esensial maka cakupan dapat tercapai (menjadi faktor pendukung tercapainya

22 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


indikator KN1). Buku ini menjadi pedoman sekaligus suatu bentuk perlindungan terhadap
nakes didalam melaksanakan Kunjungan Neonatal Pertama.
Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan KN 1 di integrasikan dan
menjadi satu kesatuan dengan kegiatan upaya mendorong persalinan di fasilitas
kesehatan. Melalui persalinan di fasilitas kesehatan maka diharapkan bayi yang dilahirkan
juga akan mendapatkan pelayanan sesuai standar.
Selain kegiatan yang telah diintegrasikan beberapa kegiatan terkait kunjungan
neonatal ini antara lain:
1) Sosialisasi kepada masyarakat saat event nasional sebagai contoh adalah saat
Perayaan Hari Anak Nasional Tahun 2016
2) Evaluasi pelaksanaan kunjungan neonatal dalam kaitannya dengan penurunan AKB.
3) Untuk menambah jumlah SDM kesehatan yang memahami kunjungan neonatal maka
dilaksanakan juga orientasi tim pengkaji AMP, Orientasi Skrining Bayi Baru Lahir, dan
Orientasi Tenaga Kesehatan dalam Surveilans Kelainan Bawaan Berbasis RS di
Jakarta.

Analisa Kegagalan
Untuk mencapai keberhasilan indikator Cakupan KN 1, membutuhkan dukungan dari
berbagai sektor antara lain, pendidikan (Riskesdas 2013: Semakin rendah Pendidikan
maka kecendrungan KN1 juga rendah, kemiskinan (Riskesdas 2013: Kemiskinan
berbanding lurus dengan pencapaian Cakupan KN1), geografis (terkait akses), budaya.
Dukungan tersebut untuk saat ini masih belum optimal.
Secara nasional, hambatan ini dapat terjadi di semua kab/kota atau puskesmas.
Faktor Penghambat Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama antara lain:
1) Belum semua daerah dan lintas sektor/lintas program terkait memberikan dukungan
secara optimal.
2) Masalah jumlah distribusi dan kualitas SDM kesehatan yang masih juga belum
merata, sehingga belum semua nakes dapat memberi pelayanan Kunjungan
Neonatal sesuai standar.
3) Kurangnya kepatuhan petugas dalam menjalankan pelayanan sesuai pedoman.
4) Masih ada persalinan meski ditolong oleh nakes tetapi tetap dilakukan di rumah
(bukan di faskes).
5) Masalah koordinasi dan integrasi lintas program dan lintas sektor yang belum
harmonis.
6) Masyarakat belum sepenuhnya menggunakan buku KIA sebagai panduan untuk
kesehatan bayinya.
7) Sistem pencatatan dan pelaporan yang belum sesuai seperti yang diharapkan
misalnya penolong persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tidak mencatat
dengan benar pelayanan yang telah diberikan dan juga belum dipakainya form
Manajemen Terpadu Bayi Muda pada kunjungan neonatal merupakan kendala dalam
pencapaian KN.

Alternatif solusi
Alternatif solusi yang dilakukan dalam mengatasi hambatan antara lain:
1. Melakukan sosialisasi indikator dan definisi operasional dari tingkat pusat ke
provinsi.
2. Perluasan sosialisasi indiaktor dan definisi operasional ke kabupaten/kota dan
puskesmas menggunakan dana dekonsentrasi.

23 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


3. Mengawal kebijakan sistem informasi kesehatan dan komunikasi data (komdat)
kemenkes sebagai mekanisme 1 pintu di tingkat pusat terkait pelaporan agar
memasukkan indikator baru.
4. Refresing petugas kesehatan terhadap pedoman KIA.
5. Memasukkan indikator kunjungan neonatal 1 (KN1) dalam form pelaporan SIP.
6. Menguatkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat agar ibu hamil memanfaatkan
buku KIA.

d. Jumlah kebijakan publik yang berwawasan kesehatan

Pembangunan sektor kesehatan harus sinergis dan ditunjang oleh pembangunan


sektor lainnya. Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak semata-mata ditentukan
hasil kerja sektor kesehatan, tetapi sangat dipengaruhi oleh langkah-langkah
kebijakan pembangunan sektor lainnya.

Dukungan kebijakan berwawasan kesehatan yang dikeluarkan oleh lintas sektor


sangat mempengaruhi terwujudnya kondisi lingkungan yang ideal dalam mendukung
peningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat. Oleh sebab itu, pengarusutamaan
permasalahan kesehatan dalam agenda pengambil kebijakan (policy makers) di
semua sektor di setiap jenjang merupakan salah satu poin krusial yang harus
dilakukan. Menyadari hal tersebut, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat berupaya mendorong lintas sektor untuk mengeluarkan kebijakan
berwawasan kesehatan (Health in All Policy).

Jumlah Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan adalah jumlah kebijakan yang


dibuat sektoral (K/L) berupa Peraturan Presiden/ Peraturan Menteri/ Instruksi
Menteri/ Surat Edaran Menteri/ Surat Keputusan Bersama Menteri, yang mendukung
kesehatan khususnya dalam upaya peningkatan perilaku sehat dan kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat. Indikator Jumlah Kebijakan Publik Berwawasan
Kesehatan Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2019 bersifat konstan, dengan target
capaiannya sebanyak 3 Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan setiap tahunnya.

Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja


Capaian jumlah kebijakan publik berwawasan kesehatan yang dikeluarkan oleh lintas
sektor pada tahun 2016 adalah 3 (tiga) kebijakan. Hasil ini menunjukkan bahwa
target Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan tahun 2016 telah tercapai 100%.

24 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Tabel 3 Perbandingan Target Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan

TARGET
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
2015 2016 2017 2018 2019

Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan 3 3 3 3 3

Adapun kebijakan publik berwawasan kesehatan yang diterbitkan oleh lintas sektor
tahun ini adalah :
1. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
No. 22 Tahun 2016 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa.
Dana desa merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan kemandirian desa dalam partisipasi pembangunan nasional. Salah
satu upaya dalam pembangunan nasional adalah pembangunan kesehatan untuk
tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk adat dapat mewujudkan derajat kesehatan optimal.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Prioritas Pemanfaatan Dana
Desa digunakan untuk Bidang Pembangunan Desa dan Bidang Pemberdayaan
Masyarakat.
Bidang Pembangunan Desa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan dengan prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan untuk
pelaksanaan program dan kegiatan Pembangunan Desa. Bidang Pemberdayaan
Masyarakat digunakan untuk membiayai program dan kegiatan bidang
Pemberdayaan Masyarakat Desa yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas
dan kapabilitas masyarakat Desa dengan mendayagunakan potensi dan
sumberdayanya sendiri sehingga Desa dapat menghidupi dirinya secara mandiri.
Prioritas pemanfaatan Dana Desa untuk Kesehatan sebagai berikut:
a. Bidang Pembangunan Desa adalah Pengadaan, pembangunan,
pengembangan, dan pemeliharaan sarana prasarana pelayanan sosial dasar
untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat.
b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat adalah dukungan pengelolaan kegiatan
pelayanan sosial dasar di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
perempuan dan anak, serta pemberdayaan masyarakat marginal dan
anggota masyarakat Desa penyandang disabilitas.
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 28 Tahun 2016 Tentang Penggunaan dan
Montoring Evaluasi Dana Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
DBHCHT yang dibagikan ke daerah penghasil bersifat earmarking, dimana
penggunaan DBHCHT sudah diarahkan untuk mendanai kegiatan tertentu dalam
rangka pengendalian, pengawasan dan mitigasi dampak negatif yang ditimbulkan
dari produk hasil tembakau serta optimalisasi penerima CHT. DBHCHT adalah

25 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


bagian dari Anggaran Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada provinsi
penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau. Penggunaan DBHCHT
sebagai berikut:
 Paling sedikit 50% untuk mendanai program/kegiatan peningkatan kualitas
bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi
ketentuan di bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kena cukai
illegal.
 Paling banyak 50% untuk mendanai program/kegiatan sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas daerah.
Penggunaan DBH CHT untuk bidang kesehatan sebagai berikut pembinaan
lingkungan sosial adalah penyediaan/pemeliharaan sarana pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang terkena penyakit akibat dampak konsumsi
rokok dan penyakit lainnya antara lain :
- bagunan/gedung/ruang
- alat kesehatan
- obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia dan reagen
- sarana transportasi rujukan.
- mobile unit untuk pelayanan kuratif dan rehabilitatif penderita penyakit
akibat dampak konsumsi rokok dan penyakit lainnya.
3. Surat Edaran Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi No. 700 tahun 2016 Dukungan Dalam rangka Pekan Imunisasi
Nasional (PIN) Polio.
Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang terbukti sangat effektif untuk
pencegahan kematian dan kecatatan yang disebabkan penyakit. Berdasarkan
laporan dari provinsi, cakupan imunisasi telah melebihi 90% namun tidak merata
di seluruh provinsi. Sampai dengan tahun 1997, virus polio liar asli Indonesia
sudah tidak ditemuan lagi, tetapi tahun 2005 ditemukan kembali kasus polio
importasi. Berdasarkan hasil desk review Kementerian Kesehatan bersama WHO,
UNICEF dan melibatkan pakar dan akademisi serta organisasi profesi, maka
direkomendasikan untuk melakukan PIN Polio pada anak usia 0-59 bulan untuk
memberikan perlindungan yang optimal bagi seluruh anak terhadap virus polio.
Untuk mensukseskan pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio,
diperlukan dukungan sektoral salah satunya dukungan dari Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yaitu dengan mengeluarkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa No. 700 tahun 2016 Dukungan Dalam rangka Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) Polio. Isi dari Surat Edaran ini adalah:
 Seluruh Kepala BPMPD Provinsi untuk meneruskan Surat Edaran hingga
tingkat Desa.
 Seluruh Kepala Desa beserta perangkat desa dan masyarakat desa untuk
mendukung secara aktif PIN Polio serta agar dilakukan Imunisasi Polio
pada putra dan putri usia 0 – 59 bulan diseluruh POS PIN yang terdekat.
 Memberikan dukungan secara aktif pada panitia dan atau petugas
pelaksana di masing-masing desa sesuai kebutuhan bagi suksesnya
pelaksanaan PIN
 Penggunaan Dana Desa untuk mensukseskan pelaksanaan PIN Polio
tahun 2016.

26 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Tahun 2015
Pencapain Jumlah Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan pada 2016 mencapai 3
buah kebijakan (capaian 100%), sedangkan pada Tahun 2015 jumlah kebijakan 4
Kebijakan (133%).
Grafik 12 Grafik Realisasi Kinerja Tahun 2015-2016

4,5
4
4
3,5
3 3 3 3 3
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
2015 2016 2017 2018 2019

Target Capaian

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Target Jangka Menengah


Berdasarkan hasil capaian tahun 2015 dan tahun 2016, pada tahun 2017 Direktorat
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat optimis target jumlah
kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS yaitu sejumlah 3 kebijakan publik
100% dapat kembali tercapai.

Analisis keberhasilan pencapaian indikator Kebijakan Publik Berwawasan


Kesehatan.
Beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu
antara lain ;
 Dukungan lintas program kesehatan dalam upaya-upaya advokasi yang
dilakukan kepada lintas sektor sasaran dan identifikasi isu kebijakan
berwawasan yang diperlukan
 Pelibatan pihak luar seperti, LSM, organisasi kemasyarakatan, Akademisi
dalam untuk mendorong lintas sektor agar lebih responsif terhadap isu-isu
kesehatan dalam menentukan kebijakan.

Analisis hambatan pencapaian indikator Kebijakan Publik Berwawasan


Kesehatan
Beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu
antara lain :
 Perubahan struktur organisasi Kementerian Kesehatan sesuai Perpres No. 35
Tahun 2015 berakibat pada penyusaian dan harmonisasi tata kerja organisasi
dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya yang baru.
 Efisiensi Anggaran berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun
2016 pada tanggal 12 Mei 2016, tentang Langkah-langkah Penghematan dan
Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka

27 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Hal
tersebut berakibat kepada ruang lingkup sasaran kegiatan advokasi untuk
mendorong lintas sektor mengeluarkan kebijakan yang mendukung
pembangunan kesehatan berkurang.

Alternatif Solusi yang Dilakukan


 Meningkatkan upaya koordinasi dengan Lintas Program Kementerian
Kesehatan terkait isu-isu kesehatan yang berkaitan dengan sektor lainnya di
luar kesehatan.
 Meningkatkan upaya sosialisasi dan advokasi untuk mendorong kesadaran
Lintas Sektor terkait permasalahan kesehatan yang tidak hanya menjadi
tangggung jawab Kementerian Kesehatan saja tetapi juga terkait sektor lain
non kesehatan
 Penerapan managemen pelaksanaan kegiatan-kegiatan advokasi yang tepat
waktu dan tepat sasaran.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai target tahun 2016


 Pertemuan Tim Advokasi Pusat dengan Lintas Sektor /Lintas Program.
 Penggalangan Komitmen dalam Penggunaan Pajak/Cukai Rokok dalam
Bidang Kesehatan.
 Penggalangan Komitmen dalam Determinan Sosial Kesehatan.
 Pelaksanaan Penggalangan Komitmen dengan Pemerintah Daerah dalam
mendukung KIA.
 Pelaksanaan Advokasi Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan di daerah.
 Sosialisasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.

Analisis efisiensi terhadap capaian indikator Kebijakan Publik Berwawasan


Kesehatan terlihat dari pencapaian indikator Kebijakan Publik Berwawasan
Kesehatan sesuai dengan target walaupun terjadi efisiensi anggaran semula
anggaran sebesar Rp. 7.084.388.000,- menjadi Rp. 1.263.233.000,-. Pengurangan
anggaran yang cukup signifikan secara target tidak mengurangi, karena isu advokasi
kesehatan yang akan disasar telah ditetapkan sebelumnya, yaitu kearah
Pemanfaatan Dana Desa, Pemanfaatan DBHCHT dan mendorong dukungan
terhadap keberhasilan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio.

Penyerapan anggaran sebesar 99,76% dari alokasi anggaran sebesar Rp


1.260.320.924,- dari total anggaran sebesar 1.263.233.000,- dengan capaian
indikator Jumlah Kebijakan Publik Berwawasan Kesehatan sebanyak 3 kebijakan
(dari target 3 kebijakan)

e. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan

Pembangunan kesehatan di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh Kementerian


Kesehatan berikut jajarannya, namun memerlukan dukungan dari lintas sektor
lainnya terutama sektor swasta. Pada sector swasta dilakukan oleh pelaku dunia
usaha di mana memiliki program atau kegiatan yang disebut CSR (Corporate Social
Responsibility).

28 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


CSR merupakan tanggung jawab social dari pelaku dunia usaha terhadap seluruh
pemangku kepentingannya dan lingkungan sekitar di mana perusahaan itu berada.
Bentuk dari CSR dilakukan melalui suatu kegiatan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar dan menjaga lingkungan, memberikan beasiswa
untuk anak tidak mampu di lingkungan tersebut, pemeliharaan fasilitas umum mau
pun fasilitas masyarakat lainnya.

Kegiatan CSR akan mempengaruhi keberlanjutan dunia usaha yang dilakukan,


karena:
1. Menurunnya gangguan social yang sering terjadi akibat pencemaran lingkungan.
2. Terjaminnya pasokan bahan baku secara berkelanjutan untuk jangka panjang.
3. Tambahan keuntungan dari unit bisnis baru, yang semula merupakan kegiatan
CSR yang dirancang oleh korporat.

Adapun 5 pilar yang mencakup kegiatan CSR, yaitu:


1. Pengembangan kapasitas SDM di lingkungan internal perusahaan maupun
lingkungan masyarakat sekitarnya.
2. Penguatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan
3. Pemeliharaan hubungan relasionalantara korporasi dan lingkungan sosialnya
4. Perbaikan tata kelola perusahaan yang baik
5. Pengelolaan lingkungan, baik lingkungan fisik, social, dan budaya.

Direktorat Promkes melakukan advokasi kepada dunia usaha untuk mendorong


pemanfaatan CSR bagi program kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk MoU
mau pun perjanjian kerjasama (PKS) antara pemerintah dengan pelaku dunia usaha
tersebut.
Di tahun 2016 terdapat 81 dunia usaha/swasta (pusat dan daerah) yang
memanfaatkan CSR nya untuk program kesehatan. Di tingkat pusat ada 7 dunia
usaha yang memanfaatkan CSR nya, antara lain:
1. Peningkatan kesehatan ibu, anak usia sekolah, remaja, dan masyarakat melalui
program promotif dan preventif yang dilakukan oleh PT. Pertamina Bina Medika.
2. Promosi kesehatan, peningkatan pengetahuan dan kesadran masyarakat dalm
pencegahan penyakit ginjal dan pengendalian faktor resiko oleh PT. Fresenius
Medical Care Indonesia.
3. Peningkatan Kesadaran anak usia sekolah dan masyarakat tentang PHBS oleh
PT. Mega Sari Makmur.
4. Peningkatan upaya promotif dan preventif untuk mendukung SDGS bidang
kesehatan oleh PT. BTPN.
5. Peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat untuk hidup
sehat melalui upaya promotif oleh PT. Tempo Inti Media.
6. Upaya pencegahan dan pengendalian kasus PTM oleh PT. Boehringer Ingelheim
Indonesia.
7. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang diabetes oleh PT. Sang Hyang
Perkasa.

Di tingkat daerah ada 74 dunia usaha yang melakukan CSR nya, misalnya
penyampaian pesan kesehatan di kantong belanja oleh Chandra Superstore dan
Chandramart di Lampung; pemanfaatan TOGA oleh Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan TOGA di kota Metro Lampung; penyelenggaraan kegiatan

29 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


peningkatan program kesehatan gizi balita di DKI Jakarta oleh Yayasan Amway
Peduli; peningkatan kesehatan dan kesejahteraan oleh PT. Persada Unilever di
Yogyakarta; penyebaran informasi kesehatan pada pengunjung mall, poster,
standing banner oleh PT. Sriwijaya Propindo (pengelola Lombok Epicentrum Mall).

Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja


Capaian jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan
pada tahun 2016 adalah 7 (tujuh) dunia usaha. Hasil ini menunjukkan bahwa target
jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan tahun 2016
adalah 88%.

Tabel 4 Perbandingan Target Jumlah Dunia Usaha Yang memanfaatkan CSR Untuk
Program Kesehatan

TARGET
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
2015 2016 2017 2018 2019

4 8 12 16 20

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Tahun 2015


Pencapain jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan
pada tahun 2016 adalah 7 dunia usaha (capaian 88%), sedangkan pada Tahun 2015
jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan adalah
….(%).

30 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 13 Grafik Realisasi Kinerja Tahun 2015-2016

20 20
16
15
12 Target
10 8 7
Capaia
4 n
5

0
2015 2016 Target
2017 2018
2019

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Target Jangka Menengah


Berdasarkan hasil capaian tahun 2015 dan tahun 2016, pada tahun 2017 Direktorat
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat optimis target jumlah dunia
usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan yaitu sejumlah 12 dunia
usaha dapat tercapai.

Analisis keberhasilan pencapaian indikator jumlah dunia usaha yang


memanfaatkan CSR untuk program kesehatan
Beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi upaya pencapaian kinerja yaitu
antara lain ;
 Dukungan lintas program kesehatan dalam upaya-upaya advokasi yang
dilakukan kepada lintas sektor sasaran.
 Semakin tingginya kesadaran dunia usaha dalam memanfaatkan CSR untuk
program kesehatan.

Analisis hambatan pencapaian indicator jumlah dunia usaha yang


memanfaatkan CSR untuk program kesehatan
Beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu
antara lain :
 Perubahan struktur organisasi Kementerian Kesehatan sesuai Perpres No. 35
Tahun 2015 berakibat pada penyusaian dan harmonisasi tata kerja organisasi
dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya yang baru.

31 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


 Efisiensi Anggaran berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun
2016 pada tanggal 12 Mei 2016, tentang Langkah-langkah Penghematan dan
Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka
Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Hal
tersebut berakibat kepada ruang lingkup sasaran kegiatan advokasi untuk
mendorong lintas sektor dalam mendukung pencapaian indicator ini
berkurang.

Alternatif Solusi yang Dilakukan


 Meningkatkan upaya koordinasi dengan Lintas Program Kementerian
Kesehatan terkait isu-isu kesehatan yang berkaitan dengan sektor lainnya di
luar kesehatan.
 Meningkatkan upaya sosialisasi dan advokasi untuk mendorong kesadaran
Lintas Sektor terkait permasalahan kesehatan yang tidak hanya menjadi
tangggung jawab Kementerian Kesehatan saja tetapi juga terkait sektor lain
non kesehatan
 Penerapan managemen pelaksanaan kegiatan-kegiatan advokasi yang tepat
waktu dan tepat sasaran.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai target tahun 2016


 Pertemuan Tim Advokasi Pusat dengan Lintas Sektor /Lintas Program.
 Penggalangan Komitmen dari dunia usaha dalam pelaksanaan CSR.
 Pelaksanaan Advokasi pemanfaatan CSR di daerah.
 Sosialisasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.

Analisis efisiensi terhadap capaian indikator terlihat dari pencapaian indikator jumlah
dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan belum mencapai
target. Walaupun terjadi efisiensi anggaran semula anggaran sebesar Rp.
7.084.388.000,- menjadi Rp. 1.263.233.000,-, pengurangan anggaran yang cukup
signifikan ini secara target tidak mengurangi.
Penyerapan anggaran sebesar 99,76% dari alokasi anggaran sebesar Rp
1.260.320.924,- dari total anggaran sebesar 1.263.233.000,- dengan capaian
indikator sebanyak 7 dunia usaha (dari target 8 dunia usaha).

f. Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS

Kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya
masih rendah. Berdasarkan Riskesdas Tahun 2013 Persentase rumah tangga di
Indonesia yang mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat baru mencapai 55%.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya PHBS sangat erat kaitannya dengan
paradigma masyarakat Indonesia di mana masalah kesehatan masih dipandang dari
sudut pandang sakit dan kuratif. Paradigma Sehat yang tidak tepat ini juga masih
berkembang pada sebagaian penyelenggara pemerintahan dan stake holder
pembangunan di daerah. Hal ini dapat terlihat dalam aspek kebijakan publik dan
anggaran yang masih mengesampingkan aspek pembangunan kesehatan. Dalam rangka
mendukung pelaksanaan perilaku hidup sehat, diperlukan dukungan dari sektor

32 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


pemerintah daerah salah satunya dari sisi regulasi. Diharapkan regulasi yang dikeluarkan
menjadi dasar untuk mendorong pembangunan kesehatan khususnya di daerah tersebut.

Persentase Kab/kota yang memiliki kebijakan PHBS adalah Persentase kabupaten dan
kota yang membuat kebijakan yang mendukung PHBS minimal 1 kebijakan dalam bentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati/Walikota, Instruksi Bupati/Walikota, Surat Keputusan
Bupati/Walikota, Surat Edaran/Himbauan Bupati/Walikota pada tahun tersebut. Target
dan capaian indikator ini bersifat kumulatif dan merupakan kebijakan baru yang
dikeluarkan oleh kab./kota yang belum mengeluarkan kebijakan PHBS.

Tabel 5 Perbandingan Target Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Kebijakan


PHBS

TARGET
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
2015 2016 2017 2018 2019

Presentase Kabupaten/Kota yang Memiliki


40% 50% 60% 70% 80%
Kebijakan PHBS

Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja


Pada tahun 2016, capaian persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS
sebanyak 53.3% (Laporan dari Provinsi Berdasarkan Surat Permintaan Data B12 Dari
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat) Tanggal 14 Desember
2016 No. PR.03.01/5/7875/2016) atau sebanyak 274 kabupaten/kota (Permendagri No.56
Tahun 2015 Tentang Kode dan Data Wilayah). Persentase ini mencapai 130% dari target
yang ditetapkan yaitu 50%. Hasil ini menunjukkan bahwa target Kabupaten/Kota yang
memiliki kebijakan PHBS tahun 2016 telah tercapai.

33 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 14 Kabupaten/Kota yang Memiliki Kebijakan
PHBS

Berdasarkan grafik di atas, provinsi yang mempunyai kabupaten/kota yang memiliki


kebijakan PHBS pada tahun 2016 terbanyak adalah Jawa Tengah (34 Kabupaten/Kota),
disusul Sulawesi Selatan (19 kabupaten/kota), dan kemudian Jawa Timur (18
kabupaten/kota).

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Tahun 2015


Capain persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS pada Tahun 2016
mencapai 53,3% . Bila dibandingkan dengan hasil capaian dengan tahun 2015 sebesar
44%, trend positif capaian yang melebihi target dapat dipertahankan.

34 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 15 Perbandingan Realisasi Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki
Kebijakan PHBS Tahun 2015-2016

Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki


Kebijakan PHBS
80%
80% 70%
52.5% 60%
60% 50%
40% 44%
40%

20%

0%
2015 2016 2017 2018 2019

Target Capaian

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Target Jangka Menengah


Melihat hasil capaian tahun 2015 dan tahun 2016, pada tahun 2017 Direktorat Promosi
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat optimis trend positif pencapaian target
persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS dapat terealisasi sebesar
60%.

Analisis keberhasilan pencapaian indikator Presentase Kabupaten/Kota yang


Memiliki Kebijkan PHBS.
Beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu antara
lain :
 Paradigma pembangunan kesehatan nasional yang mengedepankan upaya promotif
preventif Peningkatan kapasitas tenaga promosi kesehatan di daerah terkait
pengelolaan advokasi.

Analisis hambatan pencapaian indikator Presentase Kabupaten/Kota yang Memiliki


Kebijkan PHBS
Beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu antara
lain :
 Belum semua Sumber Daya Tenaga Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat telah mengikuti peningkatan kapasitas terkait Pengelolaan Advokasi.
 Efisiensi Anggaran berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016
pada tanggal 12 Mei 2016, tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan
Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Hal tersebut berakibat kepada efisiensi
kegiatan penggalangan komitmen di beberapa provinsi serta berkurangnya kegiatan
pembinaan teknis dari petugas dinas kesehatan provinsi ke dinas kesehatan
kabupaten.

35 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Alternatif solusi
 Penguatan dukungan teknis dan pedampingan pelaksanaan kegiatan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di daerah.
 Peningkatan kapasitas tenaga promosi kesehatan di daerah.
 Pelaksanaan advokasi terhadap pemerintah daerah.

Upaya yang dilakukan dalam mencapai indikator Persentase Kabupaten/Kota yang


Mengeluarkan Kebijakan PHBS adalah:
 Pemetaan Kebijakan PHBS
 Kegiatan pemetaan kebijakan PHBS dilakukan dalam bentuk pertemuan di Provinsi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah tersedianya peta kebijakan yang mendukung PHBS di
Provinsi dan Kabupaten Kota. Sasaran kegiatan ini adalah LP/LS di Provinsi serta
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pelaksanaan Advokasi Kebijakan PHBS
 Kegiatan pelaksanaan advokasi dilakukan dengan melakukan pertemuan di 60%
Kabupaten/Kota sasaran. Tujuan dari kegiatan ini adalah adanya komitmen dari
pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan kebijakan PHBS. Sasaran kegiatan
ini adalah Bupati/Walikota dan Lintas Program Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pembinaan Teknis pada daerah yang telah diadvokasi.
 Pembinaan teknis pada daerah yang telah diadvokasi dilakukan oleh petugas promosi
kesehatan provinsi kepada petugas promosi kesehatan kabupaten/kota. Tujuan
kegiatan ini adalah meningkatnya pemahaman teknis petugas promosi kesehatan
kabupaten/kota tentang teknis kebijakan PHBS yang akan dikeluarkan serta teknis
pelaksanaan advokasi. Sasaran kegiatan ini adalah Petugas Promosi Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Analisis efisiensi terhadap capaian indikator Kabupaten/Kota yang mengeluarkan


Kebijakan PHBS terlihat dari pencapaian indikator Kabupaten/Kota yang mengeluarkan
Kebijakan PHBS sesuai dengan target walaupun terjadi efisiensi tetapi secara capaian
indikator masih tercapai. Hal ini dikarenakan anggaran difokuskan kepada target
kabupaten/kota yang belum mengeluarkan kebijakan PHBS.

Penyerapan anggaran sebesar 98% dari alokasi anggaran sebesar Rp 6.054.887.000,-


dari total anggaran sebesar Rp. 6.178.457.000,- dengan capaian indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Kebijakan PHBS sebesar 53,3%

g. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk


mendukung kesehatan

Organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh


masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kepentingan kegiatan dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi terca[painya tujuan NKRI yang
berdasarkan Pancasila.
Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945 , meski Ormas juga
dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas
yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Ri 1945. Hal ini tentunya berbeda
dengan kebijakan Ormas di masa silam yang mewajibkan seluruh Ormas berasaskan
Pancasila. Sementara itu untuk sifat kegiatan, Ormas tentunya harus dibedakan dengan

36 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


organisasi lainnya yang tujuannya memang memperoleh keuntungan, seperti CV, PT, dll.
Dalam melaksanakan kegiatannya Ormas bersifat sukarela, social , mandiri, nirlaba dan
demokratis.
Dalam rangka mendorong Ormas untuk memanfaatkan sumber dayanya bagi kesehatan,
Direktorat Promkes melakukan advokasi, dan koordinasi bersama organisasi
kemasyarakatan, antara lain PBNU, PP Muhammadiyah, Fatayat NU, PP Aisyiah,
KOWANI, PERDHAKI, Yayasan Jaringan Pesantren Nusantara untuk sama-sama
melakukan gerakan hidup sehat dan keluarga sehat. Selain itu di beberapa daerah juga
dilakukan advokasi kepada Ormas misalnya di Propinsi Bengkulu melalui IBI Propinsi
Bengkulu umtuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui usaha promotif dan
preventif. Selanjutnya PERSIT Chandra Kirana di Kabupaten Purworejo melakukan
pelayanan akseptor KB, pelatihan dan seminar dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.

Pada tahun 2016 untuk Ormas yang memanfaatkan sumber dayanya untuk kesehatan di
level pusat berjumlah 17 Ormas, antara lain:
1. PBNU
2. PP Muhammadiyah
3. PGI
4. PHDI
5. Fatayat NU
6. Muslimat NU
7. PP Aisyiah
8. PERSIS
9. Pengajian Al Hidayah
10. PELKESI
11. PERDHAKI
12. KOWANI
13. DWP
14. PERWANAS
15. APPI
16. Yayasan Jaringan Pesantren Nusantara
17. DMI
Dari 17 Ormas tersebut telah ditandatangani dalam bentuk MoU dan Perjanjian
Kerjasama (PKS). Sedangkan untuk ruang lingkup kerjasama adalah Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat dan Keluarga Sehat.

Tabel 6 Perbandingan Target Jumlah organisasi kemasyarakatan yang


memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan

TARGET
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
2015 2016 2017 2018 2019

Jumlah organisasi kemasyarakatan yang


memanfaatkan sumber dayanya untuk
22,1 23,2 24,4 25,6 26,9
mendukung kesehatan

37 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja
Pada tahun 2016, capaian jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan
sumber dayanya untuk mendukung kesehatan sebanyak 17 Ormas. Hasil ini
menunjukkan bahwa target jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan
sumber dayanya untuk mendukung kesehatan tahun 2016 belum tercapai.

Grafik 16 Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya


untuk mendukung kesehatan

30
24.4 25.6 26.9
25 22.1 23.2

20 17
Target
15
10 Capaian

5
0
2015 Target
2016 2017 2018 2019

organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung


kesehatan

Berdasarkan grafik di atas, Pencapain jumlah pada tahun 2016 adalah 7 dunia usaha
(capaian 88%), sedangkan pada Tahun 2015 jumlah dunia usaha yang memanfaatkan
CSR untuk program kesehatan adalah ….(%).

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Tahun 2015


Capain persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS pada Tahun 2016
mencapai 53,3% . Bila dibandingkan dengan hasil capaian dengan tahun 2015 sebesar
44%, trend positif capaian yang melebihi target dapat dipertahankan.

38 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 17 Perbandingan Realisasi Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki
Kebijakan PHBS Tahun 2015-2016

Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki


Kebijakan PHBS
80%
80% 70%
52.5% 60%
60% 50%
40% 44%
40%

20%

0%
2015 2016 2017 2018 2019

Target Capaian

Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2016 dengan Target Jangka Menengah


Melihat hasil capaian tahun 2015 dan tahun 2016, pada tahun 2017 Direktorat Promosi
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat optimis trend positif pencapaian target
persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS dapat terealisasi sebesar
60%.

Analisis keberhasilan pencapaian indikator Presentase Kabupaten/Kota yang


Memiliki Kebijkan PHBS.
Beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu antara
lain :

39 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


 Paradigma pembangunan kesehatan nasional yang mengedepankan upaya promotif
preventif Peningkatan kapasitas tenaga promosi kesehatan di daerah terkait
pengelolaan advokasi.

Analisis hambatan pencapaian indikator Presentase Kabupaten/Kota yang Memiliki


Kebijkan PHBS
Beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja yaitu antara
lain :
 Belum semua Sumber Daya Tenaga Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat telah mengikuti peningkatan kapasitas terkait Pengelolaan Advokasi.
 Efisiensi Anggaran berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016
pada tanggal 12 Mei 2016, tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan
Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Hal tersebut berakibat kepada efisiensi
kegiatan penggalangan komitmen di beberapa provinsi serta berkurangnya kegiatan
pembinaan teknis dari petugas dinas kesehatan provinsi ke dinas kesehatan
kabupaten.

Alternatif solusi
 Penguatan dukungan teknis dan pedampingan pelaksanaan kegiatan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di daerah.
 Peningkatan kapasitas tenaga promosi kesehatan di daerah.
 Pelaksanaan advokasi terhadap pemerintah daerah.

Upaya yang dilakukan dalam mencapai indikator Persentase Kabupaten/Kota yang


Mengeluarkan Kebijakan PHBS adalah:
 Pemetaan Kebijakan PHBS
 Kegiatan pemetaan kebijakan PHBS dilakukan dalam bentuk pertemuan di Provinsi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah tersedianya peta kebijakan yang mendukung PHBS di
Provinsi dan Kabupaten Kota. Sasaran kegiatan ini adalah LP/LS di Provinsi serta
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pelaksanaan Advokasi Kebijakan PHBS
 Kegiatan pelaksanaan advokasi dilakukan dengan melakukan pertemuan di 60%
Kabupaten/Kota sasaran. Tujuan dari kegiatan ini adalah adanya komitmen dari
pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan kebijakan PHBS. Sasaran kegiatan
ini adalah Bupati/Walikota dan Lintas Program Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Pembinaan Teknis pada daerah yang telah diadvokasi.
 Pembinaan teknis pada daerah yang telah diadvokasi dilakukan oleh petugas promosi
kesehatan provinsi kepada petugas promosi kesehatan kabupaten/kota. Tujuan
kegiatan ini adalah meningkatnya pemahaman teknis petugas promosi kesehatan
kabupaten/kota tentang teknis kebijakan PHBS yang akan dikeluarkan serta teknis
pelaksanaan advokasi. Sasaran kegiatan ini adalah Petugas Promosi Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Analisis efisiensi terhadap capaian indikator Kabupaten/Kota yang mengeluarkan


Kebijakan PHBS terlihat dari pencapaian indikator Kabupaten/Kota yang mengeluarkan
Kebijakan PHBS sesuai dengan target walaupun terjadi efisiensi tetapi secara capaian

40 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


indikator masih tercapai. Hal ini dikarenakan anggaran difokuskan kepada target
kabupaten/kota yang belum mengeluarkan kebijakan PHBS.

Penyerapan anggaran sebesar 98% dari alokasi anggaran sebesar Rp 6.054.887.000,-


dari total anggaran sebesar Rp. 6.178.457.000,- dengan capaian indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Kebijakan PHBS sebesar 53,3%

h. Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan


Pada tahun 2016 indikator Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas
kesehatan lingkungan. Peningkatan kualitas kesling pada kab/kota tercapai dengan
kriteria minimal 4 dari 6 kriteria yang meliputi:

1. Memiliki Desa/kel melaksanakan STBM minimal 20%


2. Menyelenggarakan kab/kota sehat
3. Melakukan pengawasan kualitas air minum minimal 30%
4. TPM memenuhi syarat kesehatan minimal 8 %
5. TTU memenuhi syarat kesehatan minimal 30%
6. RS melaksanakan pengelolaan limbah medis minimal 10%

Bahwa kab/kota terhitung menjadi 1 kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan


lingkungan jika memenuhi minimal 4 kriteria dari 6 kriteria seperti di atas. Dasar
penetapan kriteria sebanyak 4 dari 6 antara lain berdasarkan analisa data realisasi
indikator pada tahun 2013. Didapatkan hasil bahwa jika 5 dan 6 kriteria yang ditetapkan
maka hanya bisa 2 kab/kota yang memenuhi kriteria tersebut. Selanjutnya dilakukan
analisis kembali untuk mendapatkan jumlah kab/kota yang lebih besar yang dapat
memenuhi kriteria yang ditetapkan. Jika ditetapkan 2 kriteria maka 130 kab/kota yang
dapat memenuhi kriteria, jika ditetapkan 3 kriteria maka 119 kab/kota yang dapat
memenuhi kriteria, jika ditetapkan 4 kriteria maka jumlah kab/kota yang dapat memenuhi
kriteria tersebut sebesar 76 kab/kota. Oleh karena itu ditetapkanlah minimal 4 dari 6
kriteria sebagai kriteria indikator kab/kota yang memenuhi kualitas kesling.

Grafik 18 Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi


Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2016

41 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Capaian
Kinerja
133.9 %

Pada Tahun 2016, target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan sebesar 25 % (129 kab/ kota dari 514 kab/ kota). Sedangkan
realisasi indikator tersebut sebesar 33.5 % (172 kab/ kota), sehingga melebihi target
indikator dengan capaian kinerja sebesar 133.9 %.

Grafik 19 Realisasi 2016 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase


Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2016

42 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Jika menyandingkan realisasi 2016 dengan terget jangka menengah 2015-2019 maka
diketahui bahwa realisasi 2016 sudah melewati target 2016 dan 2017 namun masih di
bawah target 2018-2019.

Gambar 2 Peta Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas


Kesehatan Lingkungan (IKU) Per Propinsi Tahun 2016

Grafik 20 Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas


Kesehatan Lingkungan (IKU) Per Propinsi Tahun 2016

43 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


120
*) dalam persen

100

80 8
80 75

67 67
63
60 57 58
54 56
50 50

33.5 40 43 43
38
40
33
29

20 20 20 21
20 16
12 12
9
6 7
0 0 0 0
0

Tabel 7 Jumlah Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan


per Provinsi

JUMLAH
KAB/
KOTA YG
NO PROVINSI JUMLAH KAB/KOTA %
MEMENUHI
KUALITAS
KESLING
1 ACEH 23 0 0.00
2 SUMATERA UTARA 33 2 6.06
3 SUMATERA BARAT 19 17 89.47
4 RIAU 12 9 75.00
5 JAMBI 11 9 81.82
6 SUMATERA SELATAN 17 2 11.76
7 BENGKULU 10 5 50.00
8 LAMPUNG 15 1 6.67
KEPULAUAN BANGKA 7
9 BELITUNG 4 57.14
10 KEPULAUAN RIAU 7 3 42.86
11 DKI JAKARTA 6 3 50.00
12 JAWA BARAT 27 18 66.67
13 JAWA TENGAH 35 10 28.57
14 DI YOGYAKARTA 5 5 100.00
15 JAWA TIMUR 38 6 15.79

44 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


JUMLAH
KAB/
KOTA YG
NO PROVINSI JUMLAH KAB/KOTA %
MEMENUHI
KUALITAS
KESLING
16 BANTEN 8 5 62.50
17 BALI 9 5 55.56
18 NUSA TENGGARA BARAT 10 8 80.00
19 NUSA TENGGARA TIMUR 22 2 9.09
20 KALIMANTAN BARAT 14 3 21.43
21 KALIMANTAN TENGAH 14 6 42.86
22 KALIMANTAN SELATAN 13 5 38.46
23 KALIMANTAN TIMUR 10 2 20.00
24 KALIMANTAN UTARA 5 2 40.00
25 SULAWESI UTARA 15 5 33.33
26 SULAWESI TENGAH 13 7 53.85
27 SULAWESI SELATAN 24 14 58.33
28 SULAWESI TENGGARA 17 2 11.76
29 GORONTALO 6 6 100.00
30 SULAWESI BARAT 6 4 66.67
31 MALUKU 11 0 0.00
32 MALUKU UTARA 10 2 20.00
33 PAPUA BARAT 13 0 0.00
34 PAPUA 29 0 0.00
JUMLAH 514 172 33.5

Pada tahun 2016, dari 514 kab/kota terdapat 172 kab/kota telah memenuhi kualitas
kesling. Terdapat 5 propinsi (15 %) yang berada di zona hijau (76-100 % kab/kota di
propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Gorontalo, DIY, Sumatera Barat, Jambi
dan NTB; 8 propinsi (24 %) berada di zona kuning (51-75 % kab/kota di propinsi tersebut
memenuhi kualitas kesling) yaitu Riau, Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Banten, Bali,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat; 8 propinsi (24 %) berada di zona
oranye (26-50 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Bengkulu,
Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Utara, Sulawesi Utara; dan terakhir 13 propinsi (37 %) masih berada di zona
merah (0-25 % kab/kota di propinsi tersebut memenuhi kualitas kesling). Sumber data
diperoleh dari berbagai instrument pelaporan indikator baik secara manual maupun
elektronik (online).

1. Untuk indikator yang sudah berbasis elektronik antara E-Monev STBM untuk indikator
jumlah desa yang melaksanakan STBM, E-Monev TPM untuk indikator persentase
TPM yang memenuhi syarat, E-Monev Limbah Fasyankes untuk indikator persentase
RS yang melaksanakan pengelolaan limbah medis sesuai standar
2. Sementara 3 indikator sisanya masih berbasis manual dan pembangunan sistem
elektroniknya sudah dilaksanakan di akhir tahun 2016

45 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Grafik 21Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2016

Pada tahun 2016, target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan sebesar 25 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 33.5 %. Itu
berarti pada tahun 2016, realisasi indikator telah mencapai target indikator yang
ditetapkan. Pada tahun 2015, target indikator tersebut sebesar 20 % dan realisasi
indikator tersebut sebesar 27.6 %. Itu berarti pada tahun 2015, realisasi indikator tersebut
juga telah mencapai target indikator yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa trend
realisasi indikator tersebut senantiasa mencapai target indikator setiap tahunnya.

Grafik 22Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang


Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2016

Pada tahun 2016, capaian kinerja indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar 133.9 %. Pada tahun 2015, capaian kinerja
indikator tersebut sebesar 138.1 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa trend capaian kinerja

46 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


indikator tersebut di atas 100 % setiap tahunnya. Itu berarti setiap tahunnya capaian
kinerja sudah mencapai target capaian kinerjanya yang adalah 100 %.

Grafik 23 Penyandingan Capaian Kinerja dan Realisasi Anggaran Indikator Persentase


Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2016

Pada tahun 2016, anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar Rp
206.420.007.000,- dan realisasi anggaran untuk pelaksanaan indikator tersebut sebesar
93.3 % atau Rp 192.528.210.128,-. Target indikator yang ditetapkan sebesar 25 % dan
realisasi indikator tersebut sebesar 33.5 % sehingga capaian kinerja yang diperoleh
sebesar 133.85 %. Itu berarti terwujud efisiensi anggaran karena capaian kinerja sebesar
133.9 % dapat terwujud dengan 93.3 % anggaran.

Grafik 24 Penyandingan Capaian Kinerja dan Realisasi Anggaran Indikator Persentase


Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2016

47 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Pada tahun 2016, capaian kinerja indikator indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar 133.9 % dan realisasi anggarannya
sebesar 93.3 %. Pada tahun 2015, capaian kinerja indikator tersebut sebesar 138.1 %
dan realisasi anggarannya sebesar 81.4 %. Jika dilihat dari segi ini, itu berarti setiap
tahunnya terwujud keefisiensian anggaran karena besar capaian kinerja lebih besar
daripada realisasi anggaran.

Analisa Keberhasilan

Analisis penyebab/ program/ kegiatan yang menunjang keberhasilan meliputi :

1. Pelaksanaan review Peraturan Menteri Kesehatan menyesuaikan dengan kondisi


seperti Permenkes Nomor 736 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengawasan
Kualitas Air Minum, Revisi Kepmen No 519 Th 2014 tentang Penyelenggaraan Pasar
Sehat menjadi Permenkes.

2. Penyusunan pedoman seperti Juknis Pelaksanaan RPAM Komunal, Modul Monev


PKAM, Modul Teknis Penyehatan Air, Pedoman Standar Peralatan Kesling di
Puskesmas, Modul Pelatihan Radioland, Juknis PP, Pedoman Pengamanan Pestisida
terhadap Kesehatan, Standar Baku Mutu Biomarker, Pedoman Pengamanan Dampak
Radiasi.

3. Peningkatan kapasitas petugas untuk pelaksanaan kegiatan kesling melalui kegiatan


Orientasi Teknis Penyehatan Air, Workshop Healthy and Green Building Office (Kantor
Sehat), Pelatihan Pra Kedaruratan Bidang Kesling/ KLB, Capacity Building Bidang
Radiasi, TOT Inspektur HSP yang Kompenten.

4. Pemberian dukungan sarana dan prasarana bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota,
Puskesmas dan pokja pasar terpilih berdasarkan usulan dari daerah berupa sarana kit
sanitasi kesling sebanyak 345 paket, uji kualitas air (water test kit) sebanyak 76 paket,
uji keamanan pangan (food contamination kit dan food security vvip kit) sebanyak 39
paket, sarana supply sanitasi (cetakan jamban) sebanyak 283 paket, peralatan
radioland sebanyak 10 paket, alat pembersih pasar dan pelindung diri sebanyak 10

48 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


paket, alat kedaruratan kesling (alat penjernih air dan udara) sebanyak 11 paket,
bufferstock kedaruratan kesehatan lingkungan sebanyak 11 paket.

5. Pemberian dana dekon dan DAK untuk mendukung pelaksanaan kegiatan kesling.

6. Pengembangan jejaring/koordinasi lintas program/lintas sektor dalam bentuk


pertemuan antar stakeholder terkait untuk menyamakan persepsi dalam mewujudkan
dan mendukung pelaksanaan kegiatan kesling.

7. Bermitra dengan Pramuka, PKK, TNI dan Majelis Ulama Indonesia dalam pelaksanaan
kegiatan kesling.

8. Pengeluaran Surat Edaran Pasar Sehat dimana satu kab/kota diwajibkan mengadopsi
satu Pasar Percontohan Pasar Sehat.

9. Pelaksanaan berbagai penilaian untuk menyemangati pelaksanaan kesling seperti


penilaian kab/kota sehat, lingkungan bersih sehat, kantor sehat, sekolah sehat, kantin
sehat, pelabuhan/bandara sehat, toilet sehat dll.

10. Pembangunan sistem monitoring yang berkualitas dan akuntabel melalui sistem
monitoring berbasis Web dan SMS gateway STBM dan emonev HSP yang sudah
berjalan serta emonev pengelolaan limbah fasyankes, emonev KKS, emonev PKAM
yang baru saja dibangun.

Analisa Kegagalan
Analisis penyebab/ program/ kegiatan yang dapat menyebabkan kegagalan meliputi :

1. Adanya efisiensi anggaran sebesar Rp 87.592.373.000,- atau 43 % dari anggaran.

2. Masih kurangnya kuantitas dan kualitas petugas kesehatan lingkungan di Puskesmas


dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terkait kesling serta mutasi
petugas yang terjadi di daerah.

3. Masih kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan terkait kesling.

4. Untuk sistem pelaporan kegiatan yang sudah berbasis elektronik (internet) masih
belum optimal terkait dukungan jaringan internet yang belum stabil di seluruh lokasi.

5. Pelaksanaan kegiatan kesehatan lingkungan melibatkan multi sektor sehingga perlu


memperkuat jejaring kemitraan, dan kapasitas SDM.

6. Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara cepat,


cenderung membutuhkan waktu yang relatif lama dan kecukupan pendampingan
petugas kepada masyarakat untuk menerapkan perilaku yang lebih sehat dalam
kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan.

7. Masyarakat belum banyak memahami pentingnya kesehatan lingkungan.

Alternatif solusi
Mengatasi permasalahan dan hambatan yang ada, solusi yang dilakukan meliputi :

49 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


1. Memaksimalkan pembinaan penyelenggaraan kesehatan lingkungan secara
terintegrasi dan terfokus pada daerah sasaran yang aktif kepada seluruh pengelola
kesehatan lingkungan di daerah dalam percepatan pencapaian target indikator
kesehatan lingkungan.
2. Memasimalkan komunikasi aktif baik melalui media elektronik maupun surat menyurat
kepada seluruh pimpinan daerah dalam rangka implementasi serta monitoring evaluasi
data dan pelaporan tepat waktu.
3. Memaksimalkan advokasi kepada pejabat daerah agar diperoleh dukungan terhadap
pelaksanaan kegiatan kesling khususnya dalam hal pendanaan penyelenggaraan
kesehatan lingkungan untuk mencapai universal akses air dan sanitasi Th 2019.
4. Tahun 2017 akan dilaksanakan orientasi kesehatan lingkungan secara terintegrasi
kepada seluruh pengelola kesehatan lingkungan (sanitarian) tingkat Puskemas dan
Kabupaten/Kota untuk penyelenggaraan kesehatan lingkungan yang terstandar dan
pelaporan tepat waktu melalui sistim monitoring elektronik.
5. Pemberian sarana dan prasarana pengawasan kesehatan lingkungan sampai tingkat
Puskesmas yang menjadi sasaran prioritas Kementerian Kesehatan (sasaran lokus
Puskesmas untuk program Keluarga Sehat) dan pada puskesmas yang tersedia
tenaga sanitarian aktif.
6. Pendampingan dana dekon dan DAK yang optimal untuk percepatan capaian
kesehatan lingkungan secara menyeluruh.
7. Sosialisasi 5 pilar STBM kepada masyarakat di seluruh kab/kota.
8. Bermitra dengan Pramuka, PKK, TNI dan Majelis Ulama Indonesia dalam pelaksanaan
kegiatan kesling sampai dengan basis keluarga.
9. Melanjutkan pelaksanaan berbagai penilaian untuk menyemangati pelaksanaan
kesling seperti penilaian kab/kota sehat, lingkungan bersih sehat, kantor sehat,
sekolah sehat, kantin sehat, pelabuhan/bandara sehat, toilet sehat dll.

B. Realisasi Anggaran
Anggaran yang awalnya diperjanjikan pada Program Kesehatan Masyarakat di
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyakat sebesar Rp 3.017.856.573.000,-. Namun dalam
perjalanannya (di tahun anggaran yang sama) mengalami beberapa penyesuaian, antara
lain:
1. APBNP; dimana terjadi pengurangan pagu sebesar kurang lebih Rp. 190 Milyard
2. Refocusing; terjadi pergeseran anggaran antar program yaitu dari Ditjen Kesehatan
Masyarakat ke Ditjen Pelayanan Kesehatan sebesar lebih kurang Rp. 249 Milyard.
3. Revisi anggaran berupa penambahan pagu dari hibah Luar Negeri ke Program
Kesehatan Masyarakat sejumlah lebih kurang Rp. 40 Milyard.
Berdasarkan perubahan anggaran diatas,maka pagu Ditjen Kesmas mengalami
peribbahan menjadi Rp.2.638.754.121.000.

Sumber daya anggaran merupakan unsur utama selain SDM dalam menunjang
pencapaian indikator kinerja. Peranan pembiayaan sangat berpengaruh terhadap
penentuan arah kebijakan dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan upaya
pembangunan Program Kesehatan Masyarakat. Lebih terperinci alokasi dan realisasi
anggaran menurut jenis anggaran dapat dilihat sebagai berikut:

50 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Tabel 8 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat tahun 2016 menurut
jenis anggaran
%
No Satuan Kerja Alokasi Selfblocking Realisasi SP2D Realisasi
SP2D
1 Dekonsentrasi 1.094.560.691.000 433.597.399.000 610.896.276.977 55,81%
2 Kantor Pusat 1.505.854.973.000 463.627.604.000 1.000.234.452.493 66,42%
3 Kantor Daerah 38.338.457.000 3.270.000.000 33.348.093.622 86,98%
TOTAL 2.638.754.121.000 900.495.003.000 1.644.478.823.092 62.32%
Sumber Data: Sekretariat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat

Di tahun 2016 sesuai inpres nomor 8 tahun 2016 tentang penghematan anggaran
Ditjen Kesmas mengalami selfblocking sebesar kurang lebih 900 M (namun tidak
mempengaruhi pagu anggaran).

Sedangkan realisasi keuangan berdasarkan sasaran pada perjanjian kinerja dapat


dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat Berdasar Sasaran


tahun 2016

%
No Sasaran Alokasi Selfblocking Realisasi SP2D Realisasi
SP2D
1 Meningkatnya
ketersediaan
dan
Keterjangkauan
pelayanan 1.114.289.039.000 279.205.231.000 810.079.541.976 72,70%
kesehatan yang
bermutu bagi
seluruh
masyarakat
2 Meningkatnya
pelaksanaan
pemberdayaan
dan promosi 185.145.927.000 96.830.000.000 85.219.073.389 46,03%
kesehatan
kepada
masyarakat
3 Meningkatnya
penyehatan dan
pengawasan 206.420.007.000 87.592.373.000 104.935.837.128 50,84%
kualitas
lingkungan
Total 66,42%
1.505.854.973.000 463.627.604.000 1.463.862.056.493

51 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


Dari sisi akuntabilitas, kewenangan pemerintah pusat terkait akuntabilitas dana
dekonstrasi dan tugas pembantuan telah dilimpahkan kepada gubernur sebagai kepala
daerah tingkat I. Oleh karenanya pembiayaan melalui dekonsentrasi menjadi
tanggungjawab dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota kepada gubernur dan
bupati/wali kota. Sehingga dalam pertanggungjawaban akuntabilitas menjadi
kewenangan pemerintah daerah sesuai ketentuan peraturan perundangan.

Tabel 10 Realisasi Dekonsentrasi di lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat


No Nama Satker Alokasi Self Blocking Realisasi SP2D % realisasi
SP2D
1 Dinkes Prov DKI 16.173.812.000 6.064.740.000 7.896.293.194 48,82
2 Dinkes Prov 41.814.414.000 12.727.212.000 22.643.474.342 54,15
Jabar
3 Dinkes Prov 73.313.442.000 33.277.621.000 38.481.615.864 52,49
Jateng
4 Dinkes Prov 12.008.741.000 6.805.915.000 5.172.487.557 43,07
Yogya
5 Dinkes Prov 58.754.458.000 24.004.368.000 27.534.382.311 46,86
Jatim
6 Dinkes Prov 34.234.163.000 15.297.965.000 17.652.511.755 51,56
Aceh
7 Dinkes Prov 51.960.474.000 22.729.189.000 28.717.403.933 55,27
Sumut
8 Dinkes Prov 29.798.071.000 13.840.483.000 15.438.534.878 51,81
Sumbar
9 Dinkes Prov Riau 22.856.477.000 8.184.807.000 12.895.031.046 56,42
10 Dinkes Prov 26.660.109.000 82.65.974.000 18.032.203.722 67,64
Jambi
11 Dinkes Prov 35.948.130.000 14.820.831.000 19.817.479.936 55,13
Sumsel
12 Dinkes Prov 47.625.950.000 26.978.075.000 20.095.627.545 42,19
Lampung
13 Dinkes Prov 31.171.101.000 9.702.646.000 18.942.812.104 60,77
Kalbar
14 Dinkes Prov 25.425.786.000 9.754.936.000 14.602.129.100 57,43
Kalteng
15 Dinkes Prov 32.109.410.000 14.956.857.000 15.842.654.396 49,34
Kalsel
16 Dinkes Prov 27.476.791.000 12.795.246.000 12.905.442.402 46,97
Kaltim
17 Dinkes Prov 36.767.807.000 8.729.704.000 27.743.454.700 75,46
Sulut
18 Dinkes Prov 34.192.424.000 10.618.379.000 22.918.100.742 67,03
Sulteng
19 Dinkes Prov 57.027.026.000 15.947.042.000 40.126.455.569 70,36
Sulsel
20 Dinkes Prov 32.535.383.000 10.405.941.000 21.439.440.809 65,90
Sultra
21 Dinkes Prov 24.792.884.000 13.281.371.000 7.924.706.591 31,96
Maluku
22 Dinkes Prov Bali 23.622.172.000 8.159.167.000 14.903.371.482 63,09
23 Dinkes Prov NTB 28.034.569.000 11.234.255.000 16.275.206.977 58,05

52 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


24 Dinkes Prov NTT 49.559.222.000 18.495.315.000 30.774.900.486 62,10
25 Dinkes Prov 33.755.369.000 14.280.596.000 15.938.825.815 47,22
Papua
26 Dinkes Prov 24.513.722.000 7.413.595.000 16.918.339.966 69,02
Bengkulu
27 Dinkes Prov 28.303.353.000 14.402.643.000 12.157.212.350 42,95
Malut
28 Dinkes Prov 34.049.155.000 13.329.815.000 19.122.843.906 56,16
Banten
29 Dinkes Prov 19.098.384.000 6.729.489.000 11.650.376.745 61,00
Babel
30 Dinkes Prov 29.700.505.000 9.965.447.000 18.932.054.140 63,74
Gorontalo
31 Dinkes Prov Kep. 19.234.443.000 6.637.985.000 12.310.151.395 64,00
Riau
32 Dinkes Prov 23.884.060.000 12.589.083.000 10.159.738.923 42,54
Papbar
33 Dinkes Prov 15.840.800.000 4.475.857.000 10.201.341.715 64,40
Sulbar
34 Dinkes Prov 12.258.084.000 6.694.850.000 4.729.670.581 38,58
Kaltara

Selain sumberdaya anggaran di kantor pusat, Direktorat Jenderal Kesehatan


Masyarakat juga didukung sumberdaya anggaran yang berada di kantor daerah yaitu
pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang terdiri dari: a) BKTM Makassar, b) LKTM
Palembang dan BKOM Bandung. Secara umum serapan anggaran pada kantor daerah
sebesar 96.45%, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 11 Realisasi anggaran Program Kesehatan Masyarakat menurut lokasi satuan


kerja kantor daerah tahun 2016

No Satuan Kerja Alokasi Realisasi %


1 BKTM MAKASAR 9.552.300.000 8.880.640.597 92.97%
2 LKTM PALEMBANG 21.027.688.000 20.332.683.380 96.69%
3 BKOM BANDUNG 7.758.469.000 7.404.769.645 95.51%
Total 38.338.457.000 36.618.093.62 95.51%

Efisiensi yang telah dilakukan


1. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menerapkan kebijakan pengintegrasian
kegiatan yang hanya dilakukan ditingkat Direktorat Jenderal antara lain:
a. Rapat Koordinasi teknis yang sebelumnya diadakan setiap satker minimal 2 kali
setahun, di tahun 2016 hanya dilakukan di tingkat Ditjen Kesehatan Masyarakat.
Dengan pengintegrasian ini banyak sekali menghemat sumber daya seperti:
1) Anggaran; bila sebelumnya alokasi transport setiap pertemuan di satker ada
12 kali (6 satker) maka dengan pengintegrasian ini hanya dianggarkan 1 kali
transport.
2) Sumberdaya manusia; Bila sebelumnya pengelola program bisa diundang
berkali-kali ke pusat maka dengan pengintegrasian ini mengurangi kunjungan

53 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


petugas daerah untuk menghadiri pertemuan di pusat, sehingga waktu untuk
bekerja di daerah menjadi lebih banyak dan efektif.
b. Kebijakan Rumah Tunggu Kelahiran (RTK) yang dianggarkan melalui dana DAK
non Fisik, sehingga mendongkrak capaian persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan dan kunjungan neonatal pertama.

54 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1. Indikator kinerja (IK) Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat terdiri atas
enam indikator, yaitu:
1) Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF) dengan capaian 77,3%
dari target 72%.
2) Persentase Ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) dengan capaian
sebesar 16,6% dari target 22,7%.
3) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) dengan capaian sebesar
78,1% dari target 78%.
4) Jumlah kebijakan publik yang berwawasan kesehatan dengan capaian
sebesar 3 kebijakan dari target 3 kebijakan.
5) Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS dengan
capaian sebesar 52,5% dari target 50%.
6) Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
dengan capaian sebesar 33,5% dari target 25%.
2. Dalam pelaksanaannya, ke 6 indikator tersebut berada di level Puskesmas
dan Kabupaten/Kota, sehingga membutuhkan koordinasi dan sosialisasi
programn yang komprehensif, berkesinambungan antara pengelola program di
pusat dan di daerah.
3. Berdasarkan analisa keberhasilan didapatkan beberapa point, yaitu adanya
sosialisasi, evaluasi pelaksanaan program secara rutin dan berjenjang,
komitmen yang tinggi dari pengelola program serta lintas sektor membantu
keberhasilan program di lapangan.
4. Untuk analisa penghambat, beberapa point yang perlu digaris bawahi adalah
belum adanya sistem pencatatan dan pelaporan terintegrasi satu pintu dan
masih berjalan berdasarkan program masing-masing, selain itu adanya
perubahan perangkat organisasi dan tata kelola berakibat pengelola program
perlu belajar memahami kembali tiap indikator tersebut.
5. Alternatif solusi yang dapat diberikan, antara lain memaksimalkan pembinaan
penyelenggaraan program dan terfokus pada daerah sasaran yang aktif
kepada seluruh pengelola kesehatan di daerah dalam percepatan pencapaian
target indikator program serta memaksimalkan komunikasi aktif baik melalui
media elektronik maupun surat menyurat kepada seluruh pimpinan daerah
dalam rangka implementasi serta monitoring evaluasi data dan pelaporan
tepat waktu.
6. Pada tahun 2016, Ditjen Kesmas mengalami perubahan anggaran semula
Rp. 3,07 Trilyun menjadi Rp. 2,6 T, disebabkan adanya APBNP, Efisiensi,
Self blocking dan Refocusing, namun demikian dalam realisasi anggaran telah
mencapai diatas 90%. Hal ini dapat dikatakan sejalan dengan capaian
indikator kinerja, dimana telah mencapai target.

55 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


7. LAMPIRAN

56 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016


57 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016
58 | LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2016

Anda mungkin juga menyukai