Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

METODE PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH

RISKAYANTI

L021181019

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
KELIMPAHAN DAN KOMPOSISI MIKROPLASTIK DAI SUNGAI JEKNEBERANG
KECAMATAN PARANGLOE, KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

1.PENDAHULUAN

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Jeneberang terletak pada 119° 23'
50" BT - 119° 56' 10" BT dan 05° 10' 00" LS - 05° 26' 00" LS dengan panjang
sungai utamanya 78.75 kilometer. Daerah Aliran Sungai Jeneberang dialiri oleh
satu sungai pendukungnya (anak sungai) yaitu Sungai Jenelata (220 km2). Kota-
kota besar yang diliputi Daerah Aliran Sungai ini selain Makassar (Ujung Pandang)
yaitu Kota Malino, Kota Bili-bili, dan Kota Sungguminasa.

Persoalan sampah plastik menjadi salah satu isu yang hangat


diperbincangkan dunia. Bank dunia bekerja sama dengan lembaga peneliti di
Indonesia 2018 menyatakan, tidak kurang dari 150 juta ton plastik telah
mencemari lautan dunia (Rosadi et al., 2019). Salah satu benua yang memiliki
pertumbuhan produksi sampah tercepat ialah benua Asia, khusunya Asia Timur.
Dari hasil penelitian Jambeck et al (2015) juga menegaskan hal serupa yakni dari
192 negara yang dikaji, penyumbang sampah terbesar ialah benua Asia yang di
dalamnya terdapat lima negara penyumbang sampah plastik terbesar di lautan.

Salah satu perairan yang berpotensi tercemar mikroplastik didaerah gowa


yakni perairan sungai jekneberang, Kabupaten Gowa. Di perairan jekneberang
sumber mikroplastik di perairan ini berasal dari aktivitas di sekitar perairan.
Aktivitas masyarakat di sekitar perairan beresiko sebagai sumber limbah seperti
aktivitas rumah tangga, aktivitas penangkapan, aktivitas tambang pasir serta
kegiatan wisata. Sehingga perairan jekneberang sangat berpotensi memiliki
kandungan mikroplastik, utamanya pada permukaan perairan. Aktivitas tambang
pasir ini sangat berpengaruh terhadap adanya sampah plastik karena banyaknya
truk yang keluar masuk ketambang dan orang yang tidak peduli dengan sampah
plastik diperairan jekneberang ini, dan apalagi sekarang sungai jekneberang
sekarang menjadi tempat wisata jadi banyak wisatawan yang berdatangan untuk
mendapatkan spot foto di pinggir perairan dan ini justru membawa sampah dari
luar dan lupa untuk membuang di tempat yang sudah disediakan,

Dampak dari mikroplastik ini sangat mempengaruhi kelangsungan hidup


ikan di sungai dijekneberang ini dan plastik ini juga mencemari air di sungai
jekneberang dan dapat mengakibatkan banjir di DAM Bili- Bili karena pencemaran
air ini.

Sebagai salah satu sungai terpanjang di daerah kabupaten gowa sungai


ini memiliki ciri khas yaitu merupakan salah satu penghasil ikan nila terbanyak
didaerah gowa, dan ini justru mengundang masyakat untuk berdatangan ke
tempat ini untuk menikmati ciri khas ikan yang berdomisili diperairan jekneberang
dan justru ini akan menambah sampah plastik diperairan jekneberang karna
banyak manusia yang masih kurang sadar dari dampak mikroplastik tersebut,
Berdasarkan uraian di atas,perlu adanya kesadaran manusia untuk menjaga alam
ini agar tetap bisa menikmati alam Indonesia.

A.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan judul penelitian yang tertera di atas dapat di rumuskan masalah


yaitu:

 Bagaimana dampak mikroplastik di Sungai Jekneberang ,Kecematan


Parangloe,Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
 Mengukur Kelimpahan dan komposisi mikroplastik di sungai jekneberang
kecamatan parangloe, kabupaten gowa, sulawesi selatan

B. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menganalisis kelimpahan dan


komposisi mikroplastik yang ada pada di Sungai Jekneberang ,Kecematan
Parangloe,Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi mengenai
kelimpahan dan komposisi mikroplastik yang ada di perairan sehingga dapat
dijadikan acuan dalam pengelolaan perairan di di Sungai Jekneberang
,Kecematan Parangloe,Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran Perairan

Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa pencemaran
lingkungan hidup merupakan masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sumber pencemaran
perairan pesisir kebanyakan berasal dari limbah industri, limbah cair pemukiman,
limbah cair perkotaan, pelayaran, pertanian serta perikanan. Pada dasarnya bahan
pencemar perairan dapat dikelompokkan menjadi bahan pencemar organik dan bahan
pencemar anorganik. Bahan pencemar anorganik yaitu bahan pencemar yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme, bahan pencemar berupa zat radioaktif, endapan /
sedimen, dan bahan pencemar berupa kondisi (misalnya panas). Salah satu bahan
pencemar yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme ialah plastik yang termasuk
dalam sampah dan oxygen depleting subtances (bahan-bahan yang menyebabkan
oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang) (Indirawati, 2017). Berbagai macam
masalah muncul akibat adanya sampah laut (marine debris) seperti berkurangnya
keindahan wilayah pesisir, menimbulkan berbagai macam penyakit, mempengaruhi
jaring- jaring makanan, serta berkurangnya produktivitas ikan yang ditangkap. Bila hal
tersebut terjadi, maka akan berpengaruh terhadap rantai makanan, perekonomian dan
kesehatan masyarakat di daerah tersebut (Citrasari et al., 2012).

Pencemaran plastik di perairan berasal dari aktivitas daratan dan aktivitas


perairan, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Plastik yang berasal dari
daratan dapat masuk ke perairan melalui beberapa jalur termasuk buang sampah
sembarangan terutama pada kegiatan besar ataupun kegiatan pariwisata (Gregory,
2009). Selain itu, pengolahan limbah umumnya tidak memiliki peralatan yang diperlukan
untuk menyaring limbah puing- puing mikroplastik seperti pellet polietilen pada
pembersih wajah, potongan plastik pada bahan pembersih atau berasal dari air hasil
pencucian pakaian (Fendall and Sewell, 2009) sehingga hal tersebut menjadi penyebab
masuknya plastik dan mikroplastik di perairan. Plastik yang berasal dari aktivitas di
perairan itu sendiri dapat berupa aktivitas penangkapan yang dapat meninggalkan
jaring nilon, pelampung, dan monofilament plastik yang tidak diperlukan lagi. Aktivitas
budidaya juga memberikan sumbangsi terhadap pencemaran dengan masuknya plastik
di perairan yakni dengan adanya penggunaan jaring dan tabung plastik industri dalam
pengoperasian budidaya berbasis laut (Gregory, 2009).

B. Plastik dan Mikroplastik

Plastik ialah suatu bahan yang banyak digunakan oleh manusia di era modern
ini. Penggunaannya sangat luas, mulai dari kegiatan sehari-hari maupun dalam hal
komersial. Produksi plastik meningkat secara signifikan sejak tahun 1950an (Tankovic,
2015). Plastik merupakan turunan minyak bumi yang diperoleh dari proses penyulingan.
Ikatan kimia plastik sangat kuat sehingga tahan di suhu tinggi ataupun suhu rendah
maka dari itu plastik banyak digunakan oleh masyarakat. Namun, plastik tidak dapat
terurai secara alami (non biodegradable) sehingga apabila material plastik ini menjadi
sampah, maka sulit diuraikan oleh mikroba tanah dan akan mencemari lingkungan
(Wahyudi et al., 2018). Plastik yang ada di daratan dapat diangkut ke perairan melalui
aliran sungai, air limbah, angin dan cuaca. Jarak perpindahan plastik di lingkungan
bervariasi berdasarkan ukuran, berat, kepadatan serta bentuk yang berbeda- beda.
Partikel plastik yang ringan dan kecil (mikroplastik) lebih mudah dibawa ke tempat yang
lebih jauh oleh angin ataupun air hujan dibandingkan plastik yang lebih padat dan besar
(Beaman et al., 2016).

Beberapa bentuk mikroplastik di perairan yang ditemukan ialah, berupa


potongan-potongan benda plastik atau fragmen, fiber, film, butiran halus, dan busa
(Virsek et al., 2016) (Gambar 1) serta pellet yang merupakan bahan baku pembuatan
plastik yang dibuat langsung oleh pabrik (Dewi et al., 2015). Mikroplastik termasuk
dalam jenis sampah plastik yang berukuran lebih kecil dari 5 mm dan dikelompokkan
menjadi 2 jenis yaitu mikroplastik primer dan sekunder. Plastik yang terbuat dari bahan-
bahan yang bersifat mikroskopik didefinisikan sebagai mikroplastik primer. Plastik ini
biasanya digunakan dalam pembersih wajah dan bahan kosmetik (cole et al., 2011).
Mikroplastik primer adalah hasil produksi plastik yang dibuat dalam bentuk mikro,
seperti microbeads pada produk perawatan kulit yang masuk ke dalam saluran air
sedangkan mikroplastik sekunder merupakan pecahan, serpihan, bagian, atau hasil
fragmentasi dari plastik yang lebih besar (Zhang et al., 2017).

Sumber mikroplastik sekunder meliputi serat atau potongan hasil pemutusan


rantai dari plastik yang lebih besar sebelum plastik tersebut masuk ke lingkungan
perairan. Potongan ini dapat berasal dari jala, bahan baku industri, alat rumah tangga,
kantong plastik yang memang dirancang untuk terdegradasi di lingkungan, serat sintetis
dari pencucian pakaian atau akibat pelapukan produk plastik. Mikroplastik sekunder
yang berupa serat yang berasal dari pakaian sebagian besar terbuat dari polyester,
akrilik, dan poliamida yang dapat mencapai lebih dari 100 serat per liter. Serat ini dapat
bertahan lama di wilayah perairan ( Zubris et al., 2005). Pembuangan air limbah
merupakan sumber penting dari mekanisme transportasi serat pakaian sintetis
(Beaman et al., 2016). Menurut Hidalgo et al., (2012), sumber sekunder ini merupakan
sumber utama mikroplastik dalam lingkungan selain wilayah laut. Penelitian
mengindikasikan antara jenis mikroplastik yang ditemukan memiliki hubungan dengan
kegiatan manusia yang hidup di sekitar daerah tersebut. Contohnya, mikroplastik yang
berasal dari pellet resin banyak ditemukan di wilayah industri di Danau Huron dan
Danau Erie (Zbyszewski et al., 2011). Film, fiber dan pellet banyak ditemukan di
perairan yang dekat dari perkotaan wuhan, sedangkan granules (butiran halus)
umumnya ditemukan pada pembersih dan bahan kosmetik (Wang et al., 2017).

C. Dampak yang Ditimbulkan Mikroplastik di Perairan

Mikroplastik yang ada di perairan akan memberikan dampak yang besar karena
akan berinteraksi secara langsung dengan lingkungan biotik dan abiotik atau interaksi
tidak langsung pada komunitas biotik atau ekosistem. Dari hasil penelitian (Bakir et al.,
2014), mengemukakan bahwa laju penyerapan dan desorpsi bahan kimia didominasi
oleh konsentrasi kontaminan dan waktu tinggal partikel lebih lama, serta potensi
tersimpannya di dalam sedimen. Selain mempengaruhi distribusi bahan kimia di
lingkungan, mikroplastik juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kualitas lingkungan abiotik. Keberadaan mikroplastik dalam habitat
pelagis dan bentik mungkin dapat mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke
dalam perairan yang akan berpengaruh pada siklus biogeokimia. Meskipun belum ada
bukti adanya efek abiotik terhadap mikroplastik di laut dan di darat, namun dengan
adanya akumulasi mikroplastik di laut diperkirakan dapat mengubah perilaku ekosistem
bentik (Veronica, 2016).

Mikroplastik yang ada di perairan akan memberikan beberapa dampak terhadap


organisme yang ada di sekitarnya. Dari hasil penelitian Rochman et al. (2013),
Mikroplastik yang tertelan oleh organisme memberikan efek pada tingkat sel. Kerang
mytilus edulis yang menelan mikroplastik yang berukuran (> 0-80 µm) menyebabkan
respon inflamasi pada jaringan dan mengurangi stabilitas membran sel dari sistem
pencernaan. Masuknya mikroplastik dalam tubuh biota dapat merusak saluran
pencernaan, mengurangi tingkat pertumbuhan, menghambat produksi, serta dapat
menyebabkan paparan aditif plastik yang sifat toksiknya lebih besar (Wright et al.,
2013). Pada ikan medaka jepang, oryzia latipes, memakan serpihan polietilen (0,5 µm)
menyebabkan bioakumulasi, gangguan hati dan pembentukan tumor awal. Selain itu,
dampak terhadap fisik juga dapat diakibatkan oleh tertelannya mikroplastik. Dampak
tersebut akan dirasakan apabila mikroplastik bertindak sebagai media dari bahan kimia
yang persisten, berkonsentrasi dan mentransfer, bioakumulatif, dan zat beracun seperti
bifenil poliklorin (PCB) bagi organisme. Mikroplastik mungkin menjadi pembawa bahan
kimia yang ditambahkan ke plastik. Hampir semua hewan laut dapat menelan
mikroplastik baik organisme bentik atau pun pelagis, yang strategi makannya berbeda
dan juga tingkat trofiknya berbeda (Rochman et al., 2013). Menurut Thompson et al.
(2004) Dari habitat bentik, invertebrata yang menelan mikroplastik diantaranya ialah
teripang, kerang, lobster, amphipods, lugworms dan teritip. Dalam habitat pelagis laut,
mikroplastik tertelan oleh zooplankton, larva ikan dan ikan
dewasa. Pada tingkat trofik yang lebih tinggi, burung laut juga menelan mikroplastik
baik secara langsung maupun secara tidak langsung yakni melalui pemangsaan
terhadap ikan yang telah menelan mikroplastik (McMahon et al,1999). Efek lain dari
keberadaan mikroplastik di perairan yaitu terkait habitat yang digunakan dalam
meletakkan telur- telur organisme laut. Mikroplastik berperan sebagai substrat untuk
organisme meletakkan telur atau sebagai habitat bagi organisme maupun komunitas.
Namun, mikroplastik juga berfungsi sebagai habitat ekologis mikroba dan dapat
memberikan substrat untuk pathogen sehingga dapat mengganggu stabilitas ekosistem
(Horvat et al., 2015).

D. Faktor Penyebab Terjadinya Kelimpahan Mikroplastik di Perairan

Terjadinya kelimpahan plastik di laut tergantung pada berbagai faktor, termasuk


kepadatan dan daya apung partikel plastik, arus dan aliran air, angin dan cuaca,
karakteristik geografis kelautan (mis. daerah dangkal vs dalam; daerah terbatas vs
samudera terbuka), adanya sungai besar, jarak perairan dengan daerah perkotaan
serta pembuangan air limbah industri dan air limbah rumah tangga, kedekatan dengan
rute perdagangan dan saluran pengiriman, serta di sekitar daerah penangkapan ikan
(Eriksen et al., 2013). Berdasarkan NOAA (2016), arus merupakan salah satu faktor
yang mendukung perpindahan sampah laut di perairan dengan jarak dilaporkan
memiliki kepadatan plastik yang tinggi dalam sedimen, khususnya di Laut Mediterania
Barat Laut, Laut Celtic, Laut Utara, Laut Baltik, Laut Adriatik, dan Korsika Timur
(Galgani et al., 2000). Proses perpindahan mikroplastik di laut dipengaruhi oleh kondisi
dinamis seperti angin, serta pergerakan air. Hal ini didukung oleh penelitian Isobe et al.
(2014) menyatakan bahwa angin merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap
perpindahan mikroplastik, dan juga penelitian Schmidt et al. (2018) yang menyatakan
bahwa penyebaran mikroplastik serta konsentrasinya dipengaruhi oleh sirkulasi air laut
seperti arus, gelombang, serta pergerakan angin. Selain itu, biofouling, salinitas dan
suhu, bentuk garis pantai.

E. Kelimpahan dan Komposisi Mikroplastik di Perairan

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik banyak


ditemukan di daerah tempat pelelangan ikan (TPI), tempat wisata, tambak, mangrove
dan muara. Dari penelitian Ayuningtyas et al. (2019) yang bertempat di perairan
Banyuurip, ditemukan rata-rata total kelimpahan mikroplastik sebesar 57,11 × 102
partikel/m3. Kelimpahan mikroplastik perairan paling tinggi yakni di kawasan mangrove
dengan rata-rata kelimpahan sebesar 22,89 x 10² partikel/m³, di kawasan TPI yakni
10,44 x 10², di kawasan tambak yakni 8,89 x 10², di muara sungai yakni 7,78 serta di
laut terbuka yakni 7,11 x 10². Dari hasil analisis yang dilakukan, ditemukan tiga jenis
mikroplastik yaitu fragmen, fiber dan film. Berbeda dengan penelitian Hiwari et al.
(2018) yang melakukan penelitian di permukaan air laut sekitar Kupang dan Rote,
mereka menemukan kelimpahan mikroplastik tertinggi terdapat pada kawasan pantai
wisata Oicina yang jauh dari area penduduk dengan kelimpahan sebesar 0,051
partikel/m3, dengan mikroplastik yang mendominasi ialah jenis fragmen. warna dari
mikroplastik yang ditemukan berbagai macam yakni abu-abu, biru, coklat, hitam, jingga,
merah, merah muda, kuning, transparan, ungu dan putih.

Pada penelitian Zhang et al. (2017) yang menyatakan mikroplastik yang terkumpul di
beberapa stasiun di laut Bohai, China yakni sebanyak 1605 partikel. Komposisi
mikroplastik terdiri atas beberapa kategori seperti polyethylene (PE), polypropylene
(PP), polystyrene (PS), dan polyethylene terephthalate (PET) masing-masing sebesar
51%, 29%, 16%, dan 3%. Bentuk mikroplastik yang ditemukan juga beragam seperti
fiber, film, fragmen, pellet dan bead. Mikroplastik tersebut bisa menjadi zat pembawa
lipophilic chemicals (POPs) dan menjadi sumber polutan (Collignen et al., 2012). yang
cukup jauh. Pergerakan massa air laut ini disebabkan oleh adanya hembusan atau
tiupan angin di permukaan air atau juga disebabkan oleh gelombang yang panjang
akibat pasang surut yang terjadi. Puing-puing plastik dapat terakumulasi di daerah
teluk yang memiliki sirkulasi air yang relatif rendah dibandingkan dengan laut terbuka
(Collignon et al., 2012), Kedekatan wilayah perkotaan mempengaruhi kelimpahan
plastik yang ditemukan di suatu wilayah. Misalnya, sekitar 90% plastik yang ditemukan
selama ekspedisi di beberapa danau besar ditemukan di Danau Erie, yang merupakan
populasi paling padat dari tiga danau yang dijadikan sampel (Eriksen et al., 2013).
Sungai-sungai besar biasanya membawa puing-puing plastik lebih banyak ke lautan,
dengan demikian mengarah pada konsentrasi puing-puing plastik yang umumnya lebih
rendah di dasar perairan (Moore & Allen, 2000).

Daerah laut dalam yang terbatas, seperti ngarai pantai, telah Di kawasan barat
laut perairan Mediterania, dari 40 stasiun sekitar 90% mengandung mikroplastik (0,333-
5 mm) Jumlah mikroplastik yang dihitung yakni 4371 partikel dengan rata-rata sebesar
0,1116 partikel/m2 dari berbagai bentuk seperti filamen, polystyrene dan film (Collignon
et al., 2012). Berbeda dengan perairan Kuwait, yang juga dilakukan penelitian tentang
mikroplastik menggunakan neuston net. Dari 40 stasiun, hanya terdapat lima lokasi
atau sekitar 25% yang ditemukan kandungan mikroplastiknya dengan total 12
mikroplastik yang ditemukan , walaupun aktivitas antropogenik di sekitar perairan
Kuwait cukup padat (pantai, pelabuhan, etc) ( Saeed et al., 2020). Hal ini hampir sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Castillo et al. (2016) di perairan Qatar yang
hanya menemukan sedikit mikroplastik di Perairan dan juga penelitiaan Aliabad et al.
(2019), hanya menemukan sedikit mikroplastik di perairan Oman. Mikropastik yang
dominan di perairan Qatar dan Oman ialah jenis filamen. Pada perairan Wuhan juga
terkontaminasi mikroplastik. Konsentrasi mikroplastik tertinggi yakni pada danau yang
berdekatan dengan pusat kota, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa faktor
antropogenik berperan penting dalam keberadaan dan distribusi mikroplastik.
Kebanyakan konsentrasi mikroplastik di danau yang berada disekitar kota dengan
tingkat populasi masyarakat yang tinggi seperti danau Bei dan dan danau Huanzi yang
memiliki kelimpahan mikroplastik diatas 5000 n/m3 sedangkan danau yang jauh dari
perkotaan seperti danau Hou, danau Wu, danau Yandong, danau Yanxi, danau Zhusan
memiliki konsentrasi mikroplastik yang paling rendah seperti pada danau Wu yakni
hanya ±1660 n/m3. Jenis mikroplastik yang ditemukan ialah fiber, film, butiran halus
dan pellet. Warna plastic yang ditemukan umumnya transparan, biru, ungu, merah dan
lain- lain (Wang et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Aliabad, M.K., M. Nassiri, K. Kor. 2019. Microplastics in the surface sea water of
Chahbahar Bay, Gulf of man (Makrancoast). Marine Pollution Bulletin. No. 143:
125-133. Aripin, Samsul, B. Saing, E. Kustiyah. 2017. Studi pembuatan
bahan alternative plastic biodegradable dari pati ubi jalar dengan plasticizer
gliserol dengan metode melt intercalation.Jurnal Teknik Mesin. Vol. 06,
ISSN 2549-2888.

Ayuningtyas, W. C., D. Yona, S. H. Julianda, F. Iranawati. 2019. Kelimpahan


mikroplastik pada perairan di Banyuurip, Gresik, Jawa Timur. Journal of
Fisheries and Marine Research. Vol. 3, No. 1: 41-45.

Barasarathi, J., P. Agamuthu, C. U. Emenike, and S. H. Fauziah. 2014. Microplastic


abundance in selected mangrove forest in Malaysia. Proceeding of The ASEAN
Conference on Science and Technology. ISBN. XX (20XX) XX-XX :1–5. \

Beaman, J., C. Bergeron, R. Benson, A-M. Cook, K. Gallagher, K. Ho, D. Hoff, S.


Laessig. 2016. State of the science white paper. United States
Environmental Protection Agency. 6-009 : 1-30.

Castillo,A.B., I. Al-Maslamani, J. P. Obbard. 2016. Prevalence of microplastics in the


marine waters of Qatar. Marine Pollution Bulletin. No. 111: 260–267.

Citrasari, N., N.I. Oktavitri, A. Nuril, Aniwindira. 2012. Analisis laju timbunan dan
komposisi sampah di permukiman pesisir Kenjeran Surabaya. Journal of
Biological Research, No. 18: 83–85.

Cole, Matthew, P. Lindeque, C. Halsband, T. S. Galloway. 2011. Microplastics as


contaminantsin the marine environment: A review. Marine Pollution Bulletin. No.
62, 2588-2597

Collignon, A., J-H. Hecq, F. Glagani, P. Voisin, F. Collard, A. Goffart. 2012.


Neustonicmicroplastics and zooplankton in the North Western Mediterranean
Sea.Marine Pollution Bulletin, No. 64 : 861-864.
Dewi IS, A.A. Budiarsa., I. R. Ritonga . 2015. Distribusi mikroplastik pada sedimen di
Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Depik 4 (3): 121-131.

Eriksen, M., S. Mason, S. Wilson, C. Box, A. Zellers, W. Edwards, H. Farley and S.


Amato.201 . Microplastic pollution in the surface waters of the Laurentian Great
Lakes. Marine Pollution Bulletin Vol. 77, No. 1-2: 177-182

Fendall, L.S. dan M.A. Sewell. 2009. Contributing to marine pollution by washing your
face: microplastics in facial cleansers. Marine Pollution Bulletin 58: 1225-1228.

Galgani, F., J.P. Leaute, P. Moguedet, A. Souplet, Y. Verin, A. Carpentier, H. Goraguer,


D.Latrouite, B. Andral, Y. Cadiou, J.C. Mahe, J.C. Poulard and P. Nerisson.
2000. Litter on the sea floor along European coasts. Marine Pollution
Bulletin, Vol.40, No.6: 516-527.

Gewert. Berit., A. Barth, M. Ogonowski, M. Macleod. 2017. Abundance and composition


of near surface microplastics and plastic debris in the Stockholm
Archipelago, Baltic Sea. Marine Pollution Bulletin. Xxx (xxxx) xxx-xxx.

Gregory, M.R. 2009. Environmental implications of plastic debris in marine settings


entanglement, ingestion, smothering, hangers-on, hitch-hiking and alien
invasions. Philosophical Transactions of the Royal Society B 364(1526): 2013
2025.

Hidalgo-Ruz, V., L. Gutow, R.C. Thompson, M.Thiel. 2012. Microplastics in the marine
environment: a review of the methods used for identification and quantification.
Environ. ci. Technol. Vol. 46, No. 6, 3060-3075.

Hiwari, H., N.P. Purba, Y.N. Ihsan, L. P. S. Yuliadi, P. G. Mulyani. 2018. Kondisi
sampah mikroplastik di permukaan air laut sekitar Kupang dan Rote,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia. Vol. 5, No. 2 : 165-171, ISSN 2407-8050.

Indirawati, S. M. 2017. Pencemaran Logam Berat Pb dan Cd Dan Keluhan Kesehatan


pada \ Masyarakat di Kawasan Pesisir Belawan. Jurnal Jumantik , Vol. 2(2): 54
55. Isobe, A., \ K. Kubo, Y. Tamura, S. Kako, E. Nakashima. 2014.
Selective transport of microplastics \ and mesoplastics by drifting in coastal
waters. Marine Pollution Bulletin. No. 89: 324 –\ 330. Jambeck, Jenna R.,
R. Geyer, C. Wileox. 2015. Plastic waste inputs from land into the ocean.
Science. Vol. 347, 768-770.

Moore, C.J. and M.J. Allen. 2000. Distribution of anthropogenic and natural debris on
the mainland shelf of the southern California bight. Marine Pollution Bulletin
Vol. 40, No.1: 83-88.

Nuelle, M-T., J. H. Dekiff, D. Remy, E. Fries. 2014. A new analytical approach for
monitoring microplastics in marine sediment. Environment Pollution, No. 184 :
161169

Anda mungkin juga menyukai