SKRIPSI
Oleh :
MAY IYASYA SARUMPAET
160100182
Oleh :
MAY IYASYA SARUMPAET
160100182
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Profil Dermatofita pada Penderita
Dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU Dr. Ferdinand Lumbantobing
Sibolga Tahun 2019”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
kelulusan Sarjana Kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Dian Dwi Wahyuni, Sp.MK(K) selaku dosen pembimbing penulis yang
telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
memberikan arahan, bimbingan serta masukan sehingga skripsi ini dapat
penulis selesaikan dengan baik.
3. dr. R. Lia Kesumawati, MS, Sp.MK (K), PhD selaku Ketua Penguji dan dr.
Yuki Yunanda, M.Kes selaku Anggota Penguji yang telah banyak
memberikan kritikan dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Direksi, manajemen beserta staff di poliklinik kulit dan kelamin serta
laboratorium RSU Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staff pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari
mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
ii
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat
menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skirpsi ini dapat
bermanfaat kedepannya.
iii
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.2. Kerangka Teori ............................................................................... 21
2.3. Kerangka Konsep ................................................................ 22
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.2 Distribusi Frekuensi Dermatofitosis Berdasarkan Jenis
Kelamin ........................................................................................ 32
4.3 Distribusi Frekuensi Dermatofitosis Berdasarkan Usia........... 33
4.4 Distribusi Frekuensi Dermatofitosis Berdasarkan Pekerjaan ... 35
4.5 Distribusi Dermatofitosis Berdasarkan Pemeriksaan KOH ..... 36
4.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Kultur ......................... 37
4.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Hasil Pemeriksaan KOH
dan Kultur ............................................................................... 38
4.8 Prevalensi Dermatofita pada Penderita Dermatofitosis di
poliklinik kulit dan kelamin RSU Dr. Ferdinand
Lumbantobing Sibolga ........................................................... 39
4.9 Distribusi Frekuensi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi
Lesi ................................................................................................ 40
4.10 Distribusi Sampel Berdasarkan Spesies Dermatofita .............. 41
4.11 Sebaran Dermatofita Terhadap Kejadian Dermatofitosis ...... 42
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.6 Distribusi Hasil Pemeriksaan KOH dan Hasil Kultur ....................... 38
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR SINGKATAN
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Latar belakang. Dermatofitosis adalah infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yang menyerang jaringan kulit yang mengandung keratin, dermatofita ini membentuk
molekul yang berikatan dengan keratin sebagai sumber nutrisi dalam pembentukan kolonisasinya.
Dermatofitosis diberi nama dan diklasifikasikan sesuai dengan lokasi anatomisnya seperti tinea
kapitis, tinea barbae, tinea korporis, tinea kruris, tinea unguium dan tinea pedis. Prevalensi
dermatofitosis di dunia bervariasi pada tiap negara, diperkirakan menyerang 20-25% populasi
dunia, namun infeksi jamur ini banyak ditemukan di negara berkembang maupun negara yang
beriklim tropis dan memiliki suhu serta kelembaban tinggi, termasuk Indonesia. Tujuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dermatofita pada penderita dermatofitosis di
poliklinik kulit dan kelamin RSU Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga pada tahun 2019. Metode.
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien dermatofitosis di poliklinik kulit dan kelamin RSU Dr.
Ferdinand Lumbantobing Sibolga dengan sampel berjumlah 75 pasien yang merupakan pasien
baru dan belum menggunakan obat anti jamur. Sampel kemudian diperiksa dengan pemeriksaan
KOH dan dilakukan kultur jamur lalu diidentifikasi dengan metode Scotch-tape Preparation di
mikroskop. Hasil. Mayoritas pasien dermatofitosis adalah perempuan (52%), kelompok usia
terbanyak 46-65 tahun (30,7%) dan paling banyak dijumpai pada ibu rumah tangga (24%).
Spesies dermatofita pada penderita dermatofitosis yang ditemukan adalah Trichophyton rubrum,
Trichophyton mentagrophytes dan Microsporum canis dengan spesies terbanyak Trichophyton
rubrum (37,3%) yang kemudian diikuti Trichophyton mentagrophytes (16%). Tinea korporis, tinea
kruris, tinea kapitis, tinea pedis dan tinea unguinum merupakan kasus dermatofitosis yang ditemui
pada penelitian ini. Pada pemeriksaan KOH dijumpai 35 kasus dengan hasil positif. Kesimpulan.
Trichophyton rubrum merupakan penyebab terbanyak dermatofitosis di RSU Dr. Ferdinand
Lumbantobing Sibolga dengan tinea korporis yang menjadi klasifikasi dermatofitosis terbanyak.
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACK
xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
kapitis dengan presentase 48,1 % dan paling banyak terjadi pada kelompok usia 1-
14 tahun (Bitew, A., 2018).
Dari data Profil Kesehatan Indonesia 2010 didapat bahwa penyakit kulit
dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 besar penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah
kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan dan 122.076 kunjungan
diantaranya merupakan kasus baru (Kementrian Kesehatan, R.I., 2011). Sampai
saat ini angka kejadian dermatofitosis di Indonesia dilaporkan masih cukup
tinggi. Di Jawa Barat Bramono dan kawan kawan melaporkan dermatofitosis
banyak tersebar di daerah pedesaan dengan penyebab utama Trichophyton
rubrum, sedangkan di Samarinda Kalimantan Timur (2009-2010), dijumpai
bahwa dermatomikosis menduduki tempat ke-2 dari 10 besar penyakit kulit dan
kelamin, dan dermatofitosis merupakan infeksi terbanyak. Tipe klinis
dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris (41,46%),
umumnya pada laki-laki (54,88%) dengan penyebab utama Trichophyton
rubrum (Kardhani et al, 2009). Di laporkan pada penelitian yang dilakukan pada
petugas kebersihan di Tasikmalaya, didapati dari 20 orang, 8 orang didiagnosis
tinea pedis dengan 15% diantaranya disebabkan oleh Trichophyton rubrum
(Khusnul et al, 2018). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapati dari total 4.099 kasus penyakit kulit di
tahun 2013, terdapat 153 (3,7%) kasus dermatofitosis dengan persentase
tertingggi ialah tinea kruris (35,3%) dengan golongan usia 45-64 tahun (32,7%)
dan jenis kelamin perempuan (60,8%) (Cyndi, E. et al., 2016). Pada tahun 2017
dilakukan penelitian oleh Yosie Anra et al mengenai profil dermatofitosis pada
Lapas Tanjung Gusta Medan, didapati dari 90 orang yang menjadi sampel untuk
studi kasus ini, 23,3 % kasus terjadi pada kelompok usia 41-45 tahun dengan
spesies dermatofita terbanyak adalah Trichophyton rubrum (Anra, Y et al.,
2017).
Di Sumatera Utara sendiri, data mengenai profil Dermatofitosis masih
sangat minim dan sulit untuk ditemukan, khususnya di Sibolga yang merupakan
daerah dengan faktor risiko tinggi untuk terkena dermatofitosis. Sibolga
2.1. DERMATOFITOSIS
5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
tumbuh menginvasi keratin pada kulit, rambut, dan kuku, sehingga dapat dilihat
langsung dilihat pada pemeriksaan mikroskop. Spora vegetatif (konidia) akan
tumbuh pada kultur, dan bentuknya yang khas akan mempermudah identifikasi
dari kelompok jamur lain (Hay, R.J., 2004).
Terdapat 3 genus penyebab dermatofitosis antara lain Trichophyton sp,
Epidermophyton sp dan Microsporum sp. Dari ketiga genus tersebut hingga saat
ini telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies
Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton (Rosita, C., 2008).
Trichophyton
violaceum Makroskopis : Pertumbuhan koloni
lambat, permukaan menonjol dan
verrucous , berwarna violet
Mikroskopis : Makronidia atau
mikronidia jarang. Terlihat hifa irregular
dan klamidospora.
Microsporum
gallinae Makroskopis : Pertumbuhan koloni
menyebar, warna putih bercampur merah
muda, menunjukkan radial lipat.
Mikroskopis : Makrokonidia jamur 5-6
sel, berdinding tipis menjadi tebal, silinder
untuk clavate biasanya sempit dan
ujungnya tumpul.
kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah
oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofita
melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.
Penetrasi Dermatofita Melewati dan di antara Sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur.
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum
setelah spora melekat pada keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
1). Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1 dan dengan membentuk biofilamen,
jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2). Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe
pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding
makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses
invasi oleh jamur dan memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat
besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan
aerobik. Kemampuan spesies dermatofita menginvasi stratum korneum bervariasi
dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofita dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.
Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini bergantung pada
spesies penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang terkena dan sistem imun
penjamu. Untuk memudahkan diagnosis dan tatalaksana, maka demratofitosis dibagi
menjadi beberapa bentuk, yaitu :
1). Tinea Kruris
Tinea kruris sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur
superfisial yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar
anus dan daerah perineum. Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh
Species Tricophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum, dimana
Epidermophyton floccosum merupakan spesies penyebab yang paling
sering terjadi. Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal yang
meningkat saat berkeringat atau terbakar pada daerah lipat paha, genital,
sekitar anus dan daerah perineum. Berupa lesi yang berbentuk
polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik dan tepi lebih aktif
(Yossela, T., 2015).
bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang
menyerupai kapur.
o Leukonikia trikofita
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau
keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk
dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan
dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.
o Bentuk subungual proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama
menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu
terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan bagian
proksimal rusak (Menaldi, S.L.S., 2015).
2.1.8. Penatalaksanaan
Ada dua metode pengobatan yaitu terdiri dari agen anti jamur topikal dan
sistemik untuk infeksi dermatofita (Rengasamy et al., 2017)
Jenis golongan obat anti jamur topikal yang paling sering digunakan untuk
infeksi dermatofita yaitu :
1. Poliene : Nystatin
2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol,
Sulkonazol, Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol
3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin
4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin
Jenis golongan obat anti jamur sistemik yang biasa digunakan yaitu :
1. Griseovulfin : pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu setelah sembuh
klinis dan diberikan dengan makanan yang banyak mengandung lemak,
dengan dosis : Dewasa : 0,5 – 1 g/hari dibagi untuk 4 kali pemberian dan
Anak : 0,25- 0,5 g/ hari atau 10-25 mg/KgBB.
2. Ketokonazol : untuk kasus yang resisten griseovulfin, dengan dosis 200
mg/hari selama 10-14 hari pada pagi hari setelah makan. Penyerapan
ketokonazol akan lebih baik pada pH asam sehingga pemberiannya dapat
dikombinasikan dengan vitamin C.
3. Itrakonazol : untuk pengganti ketokonazol, diberikan dosis 100 - 200 mg
2 kali/hari selama 3 hari.
4. Terbinafin : juga dapat diberikan sebagai pengganti griseovulfin,
dosis 62,5 mg - 250 mg/hari selama 2-3 minggu.
2.1.9. Pencegahan
Dermatofita :
- Trichophyton sp
- Microsporum sp
- Epidermophyton sp
Patogenesis
Faktor Risiko:
- Usia Dermatofitosis :
- Jenis - Tinea Kruris
kelamin - Tinea Kapitis
- Ras - Tinea Korporis
- Kebersihan - Tinea Pedis
Perorangan - Tinea Unguinum
- Lingkungan - Tinea Barbae
- Status sosial
ekonomi
Penegakan Diagnosa :
- Pemeriksaan KOH
- Kultur Jamur
- Lampu Wood
Penatalaksanaan
Pencegahan
23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode
observasi partisipatif, yaitu peneliti terlibat secara langsung dalam proses pengambilan
sampel dan kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan.
Sesuai dengan jenis penelitian, maka analisa data yang terkumpul dilakukan
secara deskriptif, yaitu penyajian data hasil penelitian dalam bentuk tabel dan kalimat,
kemudian diambil kesimpulan tentang profil dermatofitosis.
(BSC), scalpel, gunting kuku alat-alat gelas berupa (piring petri, tabung reaksi,
kaca objek, dan kaca penutup), mikroskop cahaya, kertas label, penggaris, ose,
bunsen atau pembakar spiritus, lakban, kertas, korek api, dan kertas origami
berwarna gelap.
aquadest, larutan KOH 10-20%, media biakan mycobiotic agar yang terdiri
serta bacterial agar, zat warna Lactophenol Cotton Blue (LPCB), larutan lysol,
dan sampel kerokan kulit, kuku atau rambut yang diambil dari pasien
Lumbantobing Sibolga.
Pasien Dermatofitosis di
RSU Dr. Ferdinand
Lumbantobing Sibolga
KOH 10 - 20%
Kultur Jamur
Identifikasi
Spesies
Makroskopis Mikroskopis
gelap.
ditetesi dengan 1-2 larutan KOH 10 - 20%, kemudian ditutup dengan kaca
penutup (cover glass). Setelah itu sediaan dibiarkan selama 15-20 menit,
pelarutan, sedian dapat dipanaskan diatas api bunsen, namun dijaga jangan
sampai cairan mendidih, jika keluar uap dari sediaan tersebut, maka
dan ditanam satu per satu di permukaan media mycobiotic agar dengan
Media diberi label nama dan nomor sampel, inkubasi pada suhu kamar (25-
lain.
koloni jamur dan ditarik ke atas. Hifa dari koloni akan melekat kuat
telah ditetesi satu tetes LPCB dan dilihat dengan mikroskop cahaya
mikrokonidia).
Penelitian ini dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSU Dr. Ferdinand
Lumbantobing Sibolga yang berlokasi di Jalan Dr. Ferdinand Lumbantobing No. 35,
Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. HK. 02. 03/I/0652/2015, RSU Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga ditetapkan
sebagai rumah sakit Kelas B dan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi
standar. Proses pengambilan sampel untuk penelitian dimulai pada bulan Juni sampai
Oktober 2019 di RSU Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga dengan mengumpulkan
sebanyak 75 sampel lesi dermatofitosis. Semua sampel dibawa ke Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk kemudian
dilakukan pemeriksaan KOH, kultur dan diidentifikasi.
32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa terdapat 36 pasien (48%) yang berjenis kelamin
laki-laki dan 39 pasien (52%) yang berjenis kelamin perempuan. Dari distribusi
frekuensi ini diketahui bahwa perempuan lebih banyak didiagnosis dermatofitosis. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RS Islam Aisiyah Malang dimana juga
terdapat hasil yang sama yaitu sebanyak 12 sampel (63,16%) berjenis kelamin
perempuan yang didiagnosis dermatofitosis (Hidayatullah et al., 2019). Begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktavia di RSUD Tangerang pada tahun 2011
didapati angka kejadian dermatofitosis pada perempuan lebih tinggi yaitu 99 sampel
(55%) (Oktavia, A., 2012). Hasil ini dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya
adalah terganggunya keseimbangan flora normal pada wanita yang dikarenakan
pemakaian antibiotik ataupun hormonal dalam jangka panjang karena penggunaan
kontrasepsi (Riani, R., 2017). Hal ini berbeda pula dengan penelitian yang di lakukan
oleh Qadim dkk di Tabriz, Iran yang melaporkan terdapat hasil laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan, yaitu 46 sampel (63,1 %) (Qadim et al., 2012), ini dapat terjadi
karena pada umumnya laki-laki memiliki lebih banyak aktifitas fisik diluar ruangan
dan pekerjaan yang mengeluarkan banyak keringat (Janagond et al., 2016).
Berdasarkan hasil yang didapat dari tabel 4.3 diketahui bahwa dermatofitosis
paling banyak didiagnosis pada Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebanyak 18 orang
(24%), lalu diikuti oleh pedagang/wiraswasta 16 orang (21,3%), pelajar 16 orang
(21,3%), Pegawai Negeri Sipil (PNS) 5 orang (6,7%), Nelayan 5 orang (6,7%),
Mahasiswa 4 orang (5,3%), Supir 3 orang (4%), Tukang becak 2 orang (2,7%), Asisten
Rumah Tangga (ART) 2 orang (2,7%), 2 orang (2,7%) pra-sekolah, 1 orang (1,3%)
pensiunan dan 1 orang (1,3%) yang tidak bekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sondakh dkk di RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado dimana
didapati pekerjaan terbanyak pada kasus dermatofitosis adalah IRT sebanyak 35 kasus
(22,9%). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulan di RSUD Ciamis
Jawa Barat dimana didapati juga IRT merupakan pekerjaan terbanyak pada kasus
dermatofitosis yaitu sebanyak 10 orang dari total sampel (Yuwita et al, 2016).
Pekerjaan domestik ibu rumah tangga banyak melibatkan panas dan lembab, dimana
dua hal ini merupakan suasana yang baik bagi jamur untuk tumbuh dan berkembang
biak dengan baik (Budimulya, 2015). Jika tidak membersihkan diri dengan baik
sebelum dan terutama setelah melakukan pekerjaan maka kemungkinan terkena
dermatofitosis meningkat. Pekerjaan ibu rumah tangga juga merupakan kegiatan rutin
atau berulang setiap hari, sehingga jika ada kebiasaan yang tidak higenis dan terus
diulang akan memperbesar risiko untuk terkena dermatofitosis (Sondakh et al., 2016).
s
Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui dari 75 sampel yang dilakukan
pemeriksaan KOH didapati 35 (46,7%) hasil positif dan 40 (53,3%) hasil KOH negatif.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Goffar di RSUD Pirngadi
Medan pada tahun 2015 dimana juga dijumpai lebih banyak hasil negatif pada
pemeriksaan KOH (Saragih, G.D. et al., 2015). Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode Tahun 2009 dimana dari 271
kasus terdapat 229 hasil dengan KOH positif (Citrashanty, I., 2011). Perbedaan pada
hasil ini dapat terjadi karena kemungkinan pengambilan bahan pemeriksaan yang tidak
tepat atau kurang sempurna pada daerah yang mengandung elemen jamur ketika
hendak dilakukan pemeriksaan KOH (Putri, A.I., 2017). Pemeriksaan langsung sediaan
KOH memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga sering menunjukkan
hasil palsu. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan KOH adalah
pengalaman pemeriksa dalam pemeriksaan KOH, cara pengambilan sampel yang tidak
tepat berupa pemilihan area, jumlah spesimen dan kebersihan area sampel (Hifzil, H.,
2018).
Dari tabel 4.5 diketahui bahwa dari 75 sampel didapati 41 hasil kultur positif
dan 34 hasil kultur negatif. Hasil kultur yang positif kemudian di identifikasi dengan
metode scotch-tape preparation menggunakan pewarna Lactophenol-Cotton Blue
(LPCB) untuk melihat struktur jamur berupa makrokonidia dan mikrokonidia serta hifa
dari jamur untuk membedakan spesies dermatofita. Pada penelitian ini juga ditemukan
banyak hasil kultur negatif, suatu isolat dikatakan negatif ketika tidak terjadi
pertumbuhan setelah 4 minggu penanaman. Banyaknya hasil yang negatif ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena spesimen yang diambil
mengandung jumlah mikroorganisme jamur yang tidak adekuat (Noviandini, A., 2016)
serta kondisi lingkungan atau tempat penyimpanan biakan jamur karena sebaiknya
isolat dimasukkan ke dalam inkubator khusus dengan suhu antara 25-28℃ agar dapat
tumbuh dengan baik dan terhindar dari pertumbuhan jamur kontaminan seperti
Aspergillus sp dan Penicilium sp dimana merupakan kontaminan yang lazim
ditemukan di rumah sakit dan laboratorium (Hasanah, U., 2017).
Perbedaan hasil dari pemeriksaan KOH dan kultur pada sampel penelitian ini
dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui pada penelitian ini terdapat dari 35 hasil
pemeriksaan KOH positif, 20 (54,1%) hasil kultur positif dan 15 (42,9%) hasil kultur
negatif serta dari 40 hasil pemeriksaan KOH negatif, 21 (52,5%) hasil kultur positif dan
19 (47,5%) hasil kultur negatif. Dari tabel tersebut diketahui terdapat perbedaan hasil
dari pemeriksaan KOH dan kultur. Hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Jacob dkk, yaitu dari 187 sampel yang diteliti ditemukan 137 sampel negatif pada
pemeriksaan KOH, sedangkan pada kultur ditemukan 109 kultur positif dari seluruh
sampel penelitian. Terlihat bahwa lebih banyak ditemukan hasil negatif pada
pemeriksaan KOH dan pada kultur ditemukan lebih banyak hasil positif (Levitt, J.O et
al., 2010). Gejala klinis saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis dermatofitsis,
untuk itu dibutuhkan pemeriksaan KOH dan kultur. Pada beberapa penelitian didapati
hasil yang beragam, hal ini dikarenakan tingkat sensitifitas dan spesifisitas
pemeriksaan KOH dan kultur yang beragam. Beberapa peneliti mengatakan
pemeriksaan KOH merupakan gold standard dari penyakit ini, namun ada juga peneliti
yang mengatakan kultur merupakan gold standard untuk penegakan diagnosis
(Ardakani, M. E et al., 2016). Berdasarkan referensi yang telah dijelaskan diatas, dapat
ditarik bahwa dari 75 sampel penelitian ini, sebanyak 56 sampel terbukti didiagnosis
dermatofitosis berdasarkan kedua gold standard tersebut.
Pada penelitian yang dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSU Dr.
Ferdinand Lumbantobing Sibolga, didapatkan prevalensi dermatofita pada penderita
dermatofitosis adalah sebanyak 54,7% dari total keseluruhan 75 sampel penelitian.
Tingginya angka prevalensi dermatofita yang didapat pada penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyam dkk di India, dimana dari 433
sampel penelitian terdapat 59,8% hasil positif pada kultur. Prevalensi dermatofita pada
penelitian tersebut adalah 59,8% (Basak, P et al., 2019). Tingginya hasil angka
prevalensi dermatofits juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sharma yang
mendapatkan bahwa prevalensi dermatofita pada penelitiannya adalah sebanyak 64,3%
(Sharma, M & Sharma, R. 2012).
Klasifikasi pada penelitian ini didapat dari penegakan diagnosa oleh dokter
spesialis kulit dan kelamin yang distribusinya dapat dilihat sebagai berikut :
Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui pada tinea korporis sebanyak 10 sampel
disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan 9 sampel oleh Trichophyton
mentagrophytes; pada tinea kapitis sebanyak 1 sampel yang disebabkan oleh
Microsporum canis; pada tinea kruris sebanyak 11 sampel disebabkan oleh
Trichophyton rubrum dan 2 sampel oleh Trichophyton mentagrophytes; pada tinea
pedis sebanyak 6 sampel disebabkan oleh Trichophyton rubrum; pada tinea unguinum
sebanyak 1 sampel disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan 1 sampel lainnya oleh
Trichophyton mentagrophytes. Hasil ini menunjukkan pada tinea korporis, dermatofita
penyebab terbanyak adalah Trichophyton rubrum yaitu sebanyak 10 sampel dan pada
tinea kruris, dermatofita penyebab terbanyak juga Trichophyton rubrum sebanyak 11
sampel. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulan dan kawan-
kawan di RSUD Ciamis Jawa Barat yang menunjukkan hasil serupa, yaitu
Trichophyton rubrum merupakan dermatofita terbanyak yang menyebabkan tinea
korporis dan kruris (95,8%) (Yuwita, W., 2016). Ini disebabkan oleh Trichophyton
5.1. KESIMPULAN
44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
5.3. SARAN
Abbas KA, Mohammed AZ, Mahmoud SI. 2012. Superficial Fungal infections.
Mustansiriya Medical Journal. 11:75-7. Available at
https://www.iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=52145.
Amanah, A., Sutisna, A. and Alibasjah, R.W., 2015. Isolasi dan Identifikasi
Mikrofungi Dermatofita Pada Penderita Tinea Pedis. Tunas Medika Jurnal
Kedokteran & Kesehatan, 2(1).
Anra, Y., Putra, I.B. and Lubis, I.A., Profil dermatofitosis pada narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan. Majalah Kedokteran
Nusantara The Journal Of Medical School, 50(2), pp.90-94.
Anwar, A.A., 2017. Karakteristik Penderita Dermatofitosis pada Pasien Rawat Jalan
di Rsud Daya Makassar Periode Januari-Desember 2016. Online Public
Access Catalog Perpustakaan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ardakani, M.E., Ghaderi, N. and Kafaei, P., 2016. The Diagnostic Accuracy of
Potassium Hydroxide Test in Dermatophytosis. Journal of Basic and
Clinical Medicine, 5(2).
Baran, W., Szepietowski, J.C. and Schwartz, R., 2004. Tinea barbae. Acta
Dermatovenerologica Alpina, Pannonica et Adriatica, 13(3), pp.91-94.
Basak, P., Mallick, B. and Pattanaik, S., 2019. Prevalence of dermatophytic infections
including antifungal susceptibility pattern of dermatophytes in a tertiary care
hospital. International Journal of Research in Medical Sciences, 7(3), p.699.
Boel, T., 2003. Mikosis superfisial. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.
46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
Carrol, K.C., Butel, J.S., ... Mietzner, T., 2015. Jawetz Melnick & Adelbergs Medical
Microbiology 27th Edition, McGraw Hill Professional.
Citrashanty, I. and Suyoso, S., 2011. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit
Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode
Tahun 2008–2010.
Coulibaly, O., L’Ollivier, C., Piarroux, R. and Ranque, S., 2017. Epidemiology of
human dermatophytoses in Africa. Medical mycology, 56(2), pp.145-161.
Hakim, M.B.I., Budiastuti, A. and Farida, H., 2014. Prevalensi Dan Faktor Resiko
Terjadinya Tinea Pedis Pada Pekerja Pabrik Tekstil (Doctoral dissertation,
Faculty of Medicine Diponegoro University).
Hasanah, U., 2017. Mengenal Aspergillosis, infeksi jamur genus Aspergillus. Jurnal
Keluarga Sehat Sejahtera Vol, 15, p.2
Hidayati, A.N., Suyoso, S., Hinda, D. and Sandra, E., 2009. Mikosis superfisialis di
divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin rsud dr. Soetomo
surabaya tahun 2003–2005. Surabaya: Department Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 21(1), pp.1-8.
Hidayatullah, T.A., Nuzula, A.F. and Puspita, R., 2019. Profil Dermatofitosis
Superfisialis Periode Januari–Desember 2017 Di Rumah Sakit Islam
Aisiyah Malang. Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran
Keluarga, 15(1), pp.25-32.
Hifzil, H., 2018. Identifikasi Dermatofita Pada Sisir Tukang Pangkas di Kelurahan
Jati Kota Padang (Doctoral dissertation, Universitas Andalas).
Janagond, A. B., Rajendran T., Surjeet A., Vithiya G., Ramesh A., Jhansi Charles.,
2016. Spectrum of Dermatophytes Causing Tinea Corporis and Possible
Risk Factors in Rural Patients of Madurai Region, South India.
Kannan, P., Janaki, C. and Selvi, G.S., 2006. Prevalence of dermatophytes and other
fungal agents isolated from clinical samples. Indian journal of medical
microbiology, 24(3), p.212.
Kanti, E.A.A., Rahmanisa, S., 2014. Tinea Corporis With Grade I Obesity In Women
Domestic Workers Age 34 Years. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung Medula.
Kardhani, A., Rachmi, E., Nurjanti, L, 2009. Pola distribusi penderita Dermatofitosis
berdasarkan unur, jenis kelamin, dan tipe klinis di bagian/SMF Ilmi
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unmul/RSUDAWS Samarinda, Tugas
akhir skripsi hal 50-56.
Kementrian Kesehatan, R.I., 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kemenkes RI.
Jakarta.
Khusnul, Kurniawati, I., Hidana, R., 2018. Isolasi dan Identifikasi Jamur
Dermatophyta Pada Sela- sela Jari Kaki Petugas Kebersihan di Tasikmalaya.
Kesehatan Bakti Tunas Husada 18, 45–50.
Koksal, F., Er, E., Samasti, M., 2009. Causative agents of superficial mycoses in
Istanbul, Turkey: Retrospective study. Mycopathologia 168, 117–123.
doi:10.1007/s11046009-9210-z.
Lakshmanan, A., Ganeshkumar, P., Mohan, S.R., Hemamalini, M. and Madhavan, R.,
2015. Epidemiological and clinical pattern of dermatomycoses in rural
India. Indian journal of medical microbiology, 33(5), p.134.
Levitt, J.O., Levitt, B.H., Akhavan, A. and Yanofsky, H., 2010. The sensitivity and
specificity of potassium hydroxide smear and fungal culture relative to
clinical assessment in the evaluation of tinea pedis: a pooled analysis.
Dermatology research and practice, 2010.
Menaldi, S.L.S., 2015. Atlas tentang Penyakit Kulit dan Kelamin, penyakit kulit dan
kelamin.
Nussipov, Y., Markabayeva, A., ... Lotti, T., 2017. Clinical and Epidemiological
Features of Dermatophyte Infections in Almaty, Kazakhstan. Open Access
Macedonian Journal of Medical Sciences 5, 409.
doi:10.3889/oamjms.2017.124.
Oktavia, A., 2012. Prvalensi Dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
Tangerang Periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011.
Putri, A.I. and Astari, L., 2017. Profil dan Evaluasi Pasien Dermatofitosis. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulitdan Kelamin –Periodical of Dermatology and
Venereology,29(2), p. 135-41
Qadim, H.H., Golforoushan, F., Azimi, H. and Goldust, M., 2013. Factors leading to
dermatophytosis. Ann Parasitol, 59(2), pp.99-102.
Raditra, G.A., 2013. Gambaran Dermatofita Pada Kaki Pemain Sepak Bola
Mahasiswa Angkatan 2010 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Riani, R., 2017. Hubungan Pengetahuan Dan Personal Hygiene Dengan Kejadian
Tinea Corporis Di Desa Kuapan Wilayah Kerja Puskesmas Xiii Koto
Kampar Tahun 2016. Jurnal Ners, 1(2).
Saragih, G.D., Depary, A.A. and Hutabarat, G.F., 2015. Karakteristik Penderita Tinea
Korporis Dengan Diagnosa Penunjang Koh 10% Di Dr. Pirngadi Medan
Tahun 2014. Jurnal Kedokteran Methodist, 8(2), pp.24-28.
Sharma, M. and Sharma, R., 2012. Profile of dermatophytic and other fungal
infections in Jaipur. Indian journal of microbiology, 52(2), pp.270-274.
Sheilaadji, M.U., Zulkarnain, I., 2016. Profil Mikosis Superfisialis Pada Pasien
Dermatologi Anak (Profile of Superficial Mycoses in Pediatric Dermatology
Patient). Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 28, 1–12.
Sibolga, D.K.K., 2017. Profil Kesehatan Kota Sibolga Tahun 2016. Dinas Kesehatan
Kota Sibolga.
Sondakh, C.E., Pandaleke, T.A. and Mawu, F.O., 2016. Profil dermatofitosis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado periode
Januari–Desember 2013. e-CliniC, 4(1).
Sudha, M., Ramani, C.P. and Anandan, H., 2016. Prevalence of dermatophytosis in
patients in a tertiary care centre. Int J Contemp Med Res, 3(8), pp.2399-401.
Vejnovic, I., Huonder, C., Betz, G., 2010. Permeation studies of novel terbinafine
formulations containing hydrophobins through human nails in vitro.
International Journal of Pharmaceutics 397, 67–76.
Yossela, T., 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea cruris. Jurnal Majority, 4(2).
Yuwita, W. and Ramali, L.M., 2016. Karakteristik Tinea Kruris dan/atau Tinea
Korporis di RSUD Ciamis Jawa Barat (Characteristic of Tinea Cruris and/or
Tinea Corporis in Ciamis District Hospital, West Java.
51
Riwayat Organisasi :
Riwayat Kepanitiaan :
52
53
54
55
57
Medan, 2019
58
Medan, 2019
( )
59
60
61
JK
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
62
Dermatofitosis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
KOH
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
63
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Hasil_Kultur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Positif (+) 41 54,7 54,7 54,7
Negatif (-) 34 45,3 45,3 100,0
Total 75 100,0 100,0
Crosstabs
Count
KOH
Negatif (-) 15 19 34
Total 35 40 75
64
65
66
67
68