Anda di halaman 1dari 10

Amebiasis

Amebiasis merupakan suatu infeksi Entamuba histolytica pada manusia, dapat


terjadi secara akut dan kronik. Manusia merupakan pejamu dari beberapa spesies amuba,
yaitu Entamuba histolytica, E. coli, E. ginggivalis, Dientamuba frigilis, Endolimax nana,
Iodamuba butclii. Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu spesies yaitu E. histolytica
yang merupakan parasit patogen pada manusia. E. histolytica tersebar di seluruh dunia,
endemik terutama terjadi di daerah dengan sosio-ekonomi rendah dan sanitasi lingkungan
yang kurang baik.

Entamuba histolytica terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai kista dan trofozoit.
Infeksi terjadi karena tertelannya kista dari makanan atau minuman yang terkontaminasi,
sedangkan tertelannya bentuk trofozoit tidak menimbulkan infeksi karena tidak tahan
terhadap lingkungan asam dalam lambung.

Infeksi biasanya didapatkan per-oral melalui kontaminasi feses pada air atau
makanan. Pada manusia, E. histolytica mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat
menyebar ke dalam traktus intestinalis, misalnya ke duodenum, gaster, esofagus atau
ekstraintestinal, yaitu hati (terutama), paru, perikardium, peritonium, kulit, dan otak.

Gejala yang biasa ditemukan adalah diare, muntah, dan demam. Tinja lembek atau
cair disertai lendir dan darah. Pada infeksi akut kadang-kadang ditemukan kolik abdomen,
kembung, tenesmus dan bising usus yang hiperaktif. Invasi pada jaringan terjadi 2-8% kasus
yang terinfeksi.

Diagnosis pasti amebiasis ditentukan dengan adanya trofozoit atau kista di dalam
feses atau trofozoit di dalam pus hasil aspirasi atau dalam spesimen jaringan. Semua
penderita terduga amebiasis sebaiknya dilakukan pemeriksaan feses 3-6 kali untuk
menemukan trofozoit atau kista.

Terapi

1. Infeksi usus asimtomatik


Diloksanid furoat 7-10 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, atau iodokuinol 10
mg/kgBB/hari selama 3 dosis atau Paromomisin 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis. Obat-
obat tersebut diberikan selama 7-10 hari.
2. Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol 15 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, selama 10 hari. Efek samping
kebanyakan ringan, berupa ruam, kadang-kadang ataksia atau parestesia. Pada
percobaan binatang bila diberikan dalam dosis tinggi/lama bersifat karsinogenik.
3. Infeksi usus berat dan abses amuba hati
Metronidazol 50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, peroral atau intravena, selama 10 hari,
atau dehidroemetin 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis intramuskular selama 5 hari,
maksimal 90 mg/hari.
Filariasis
Filariasis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi parasit
nematoda yaitu sejenis cacing darah, jaringan dari Genus Filaria.

Filariasis ditemukan dinegara-negara tropis dimana jenis cacing tersebut pernah


ditemukan. Cacing jenis W. Brancofti ditemukan di Amerika Latin, Afrika, Asia dan Pulau-
pulau Pasifik. Cacing jenis B. Malayi ditemukan di Malaysia, Filipina, dan Thailand dan cacing
jenis B. Timori ditemukan di Indonesia. Penduduk yang berada di daerah endemis filariasis
mempunyai risiko 80% terinfeksi mikrofilaria, namun hanya sekitar 10-20% yang
menunjukkan gejala klinis filariasis.

Penyakit filariasis dsebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di dalam saluran
kelenjar getah bening (limfatik) dan mikrofilaria hidup di dalam darah. ada 3 jenis spesies
cacing filariasis di Indonesia yaitu Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori.

1) Wuchereria Bancrofti
Pada spesies ini cacing dewasa menyebabkan filariasis brancrofti, dan
mikrofilaria dapat menimbulkan occult filariasis. Parasit ini tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis yaitu di Afrika, Amerika, Eropa dan Asia termasuk
di Indonesia. Filariasis bancrofti umumnya bersifat periodik nokturnal,
sehingga mikrofilaria hanya ditemukan dalam darah perifer pada malam hari.
Pada spesies Wuchereria Bancrofti, manusia merupakan satu-satunya host
defenitif dan nyamuk yang bertindak sebagai vektor dalah dari genus Culex,
Aedes, dan Anopheles.
2) Brugia Malayi
Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada
brugia yang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat
bertindak sebagai hospes defenitifnya (hospes cadangan, reservoir host).
Periodisitas Brugia Malayi bermacam-macam, ada yang nokturnal periodik,
nokturnal subperiodik atau non periodik. Nyamuk yang menjadi vektor
penularnya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau Mansonia
(vektor brugiasis zoonotik)
3) Brugia Timori
Pada spesies Brugia Timori hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur, Maluku
Tenggara dan beberapa daerah lain. Umumnya bersifat periodik nokturnal
dan nyamuk yang menularkannya adalah Anopheles Barbirostis.

Cara Penularan Filariasis

Penularan parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan
manusia atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Pada saat nyamuk menghisap
darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke
dalam lambung nyamuk dan menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria
akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1). Lalu Larva tumbuh menjadi
larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif. Pada stadium L II, larva menunjukkan adanya
gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang disebut sebagai larva
infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko
tertular filariasis.

Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, kemudian menuju sistem
limfe. Larva L3 Brugia Malayi dan Brugia Timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria Bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan.

Patogenesis

Cacing dewasa yaitu jantan dan betina hidup dalam saluran limfatik atau dalam
sinus-sinus limfe yang dapat menyebabkan dilatasi limfe dan mengakibatkan penebalan
pembuluh darah, sehingga terjadi infiltrasi sel plasma, eosinofil dan makrofag disekitar
pembuluh darah yang terinfeksi bersama dengan poliferasi endotel serta jaringan ikat
menjadikan saluran limfatik berkelok-kelok dan katup limfatik menjadi rusak. Hal ini
mengakibatkan limfedema dan perubahan statis yang kronik pada kulit. Cacing dewasa yang
hidup di dalam saluran limfatik menghasilkan mikrofilaria yang secara periodik berada pada
darah perifer atau darah tepi, namun tidak membangkitkan respon inflammatori pada
setiap infeksi.

Tanda dan Gejala Penyakit


Penderita filariasis ada yang asimtomatis, suatu keadaan yang terjadi apabila
seseorang yang terinfeksi mengandung cacing dewasa, namun tidak ditemukan mikrofilaria
di dalam darah, atau karena mikrofilaria sangat rendah sehingga tidak terdeteksi dengan
prosedur laboratorium yang biasa. Gejala awal (akut) yang timbul yaitu demam secara
berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari. Apabila penderita bekerja berat,
timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipatan paha atau ketiak tanpa adanya
luka pada badan, serta teraba tali urat yang berwarna merah. nyeri dimulai dari pangkal
paha atau ketiak ke arah ujung dari kaki atau tangan.

Gejala terjadi berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dari gejala yang ringan sampai
timbul gejala yang berat. Tanda klinis yang sering timbul yaitu pembengkakan pada skrotum
(hidrokel) dan pembengkakan tangan dan kaki (elephantiasis).

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan


laboratorium yaitu ditemukannya mikrofilaria. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah,
cairan hidrokel atau cairan tubuh lainnya. Cairan tersebut dapat diperiksa secara
mikroskopik. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai
1-30%.

Pengobatan Filariasis

DEC (Diethylcarbamazine Citrate) ialah obat utama baik pengobatan massal maupun
perorangan. DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan
jangka panjang.
Schistosomiasis
Schistosomiasis merupakan penyakit  zoonosis yang disebabkan oleh cacing darah
kelas Trematoda dari genus Schistosoma yang tinggal dalam pembuluh darah vena. Penyakit
ini merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penularan tidak hanya pada penderita manusia
saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi.

Pada manusia ditemukan tiga spesies penting yaitu: Schistosoma japonicum, Schistosoma
mansoni dan Schistosoma haematobium. Di antara ke tiga spesies tersebut di atas hanya
Schistosoma japonicum yang dilaporkan ada di Negara Indonesia.

Siklus Hidup

Siklus hidup dari Schistosoma japonicum dimulai dari telur yang keluar bersama tinja dan
masuk kedalam air, akan menetas menjadi larva mirasidium yang kemudian mencari hospes
perantara (siput Oncomelania hupensis). Didalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi
sporakista, dan akhirnya menjadi serkaria yang infektif. Serkaria meninggalkan tubuh sibut masuk ke
dalam air. Serkaria menembus kulit hospes yang tak terlindung, memasuki aliran darah dan
mencapai jantung dan paru. Sesudah itu parasit masuk ke sistem sirkulasi sistemik akhirnya sampai
di hati dan berkembang menjadi cacing dewasa akan kembali ke vena-vena habitatnya (Soedarto,
2012)

Stadium

 Stadium akut
Stadium ini dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan di dalam pembuluh
darah dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan akhirnya
dapat mencapai lumen dengan cara menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek
patologis maupun gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah telur yang
dikeluarkan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian
keluhan/gejala yang terjadi pada stadium ini adalah demam, malaise, berat badan menurun.
Sindroma disentri biasanya ditemukan pada infeksi berat dan pada kasus yang ringan hanya
ditemukan diare. Hepatomegali timbul lebih dini dan disusul dengan splenomegali, ini dapat
terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi.
 Stadium menahun
Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau
fibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengalami pengecilan
karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis pada Schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah
sirosis periportal, yang mengakibatkan hipertensi portal karena bendungan di dalam jaringan
hati. Gejala yang timbul adalah splenomegali, edema biasanya ditemukan pada tungkai
bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut
sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan pecahnya varises pada esofagus.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsy misalnya
biopsyrectum dan biopsyhati. Selain itu reaksi serologi dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Reaksi serologi yang bisa dipakai adalah Circumoval Precipitin Test (COPT), Indirect
Haemagglutination Test (IHT), Complement Fixation Test, Flourescent Antibody Test (FAT) dan Enzim
Linked Immuno Surbent Assay.

Pengobatan

Obat pilihan Schistosomiasis japonicum saat ini adalah Praziquantel diberikan dengan dosis 60 mg/kg
berat badan diberikan dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 kali pemberian dengan waktu minum
obat 4-6 jam

Vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular
penyakit baik pada manusia maupun hewan. Jika tidak ada vektor maka penyakit juga tidak
akan menyebar.
Arthropoda sebagai vektor yang mampu menularkan penyakit dapat berperan
sebagai vektor penular dan sebagai intermediate host (Slamet, 1994).

a. Arthropoda Sebagai Vektor Penular


Arthropoda sebagai penular berarti arthropoda sebagai media yang
membawa agent penyakit dan menularkannya kepada inang (host). Vektor
dikategorikan atas 2 yaitu :

 Vektor Mekanik
Vektor mekanik merupakan vektor yang membawa agent penyakit
dan menularkannya kepada inang melalui kaki-kakinya ataupun seluruh
bagian luar tubuhnya dimana agent penyakitnya tidak mengalami
perubahan bentuk maupun jumlah dalam tubuh vektor. Arthropoda yang
termasuk ke dalam vektor mekanik antara lain kecoa dan lalat.

 Vektor Biologi
Vektor biologi merupakan vektor yang membawa agent penyakit dimana
agent penyakitnya mengalami perubahan bentuk dan jumlah dalam
tubuh vektor. Vektor Biologi terbagi atas 3 berdasarkan perubahan agent
dalam tubuh vektor, yaitu :
a) Cyclo Propagative
Cyclo propagative yaitu dimana infeksius agent mengalami perubahan
bentuk dan pertambahan jumlah dalam tubuh vektor maupun dalam
tubuh host. Misalnya, plasmodium dalam tubuh nyamuk anopheles
betina.
b) Cyclo Development
Cyclo development yaitu dimana infeksius agent mengalami
perubahan bentuk namun tidak terjadi pertambahan jumlah dalam
tubuh vektor maupun dalam tubuh host. Misalnya, microfilaria dalam
tubuh manusia.
c) Propagative
Propagative yaitu dimana infeksius agent tidak mengalami perubahan
bentuk namun terjadi pertambahan jumlah dalam tubuh vektor
maupun dalam tubuh host. Misalnya, Pasteurella pestis dalam tubuh
xenopsila cheopis.
b. Arthropoda Sebagai Intemediate Host
Arthropoda sebagai intermediate host artinya arthropoda berperan hanya
sebagai tuan rumah ataupun tempat perantara agent infeksius tanpa
memindahkan ataupun menularkan agent infeksius tersebut ke tubuh inang (host).
Dampak Kesehatan
Penggunaan pestisida bisa mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga
mengakibatkan keracunan terhadap pengguna. Keracunan dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu, keracunan ringan, keracunan berat dan keracunan kronis.
o Keracunan ringan dari pestisida menimbulkan efek pusing, sakit kepala, iritasi kulit
ringan, badan terasa sakit, dan diare.
o Keracunan berat dapat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit
bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut nadi meningkat.
o Keracunan kronis untuk dideteksi lebih sulit karena efek yang ditimbulkan tidak
segera dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan
kronis dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan ganguan kesehatan,
diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf,
hati, ginjal dan pernafasan.
Dampak bagi Lingkungan
Dampak negatif bagi lingkungan meliputi: Pencemaran lingkungan (air, tanah, dan udara),
terbunuhnya organisme non target karena terpapar secara langung oleh pestisida,
terbunuhnya organisme non-target karena pestisida memasuki rantai makanan,
menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai makanan
(bioakumulasi), pada kasus pestisda yang persisten (bertahan lama), konsentrasi pestisida
dalam tingkat trofik rantai makanan semakin ke atas akan semakin tinggi (biomagnifikasi),
dan menimbulkan efek negative terhadap manusia secara tidak langsung melalui rantai
makanan.
Dampak bagi Konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak segera
terasa. Namun, dalam jangka waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam
hal konsumen mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu pestisida dalam
jumlah besar.

Anda mungkin juga menyukai