Anda di halaman 1dari 2

Model Pengupahan Terhadap Pekerjaan Dalam Islam

Kajian Mengenai Istilah


al-Ajru (Upah), al-Ju’lu (Tender) dan ar-Rizqu (Rizki)
Oleh
Kholilur Rahman, Lc., MA

Dalam kajian fikih Islam terdapat tiga model pengupahan terhadap suatu pekerjaan,
sangat jarang ditemukan dalam sebuah artikel, makalah atau penelitian yang membahas
tentang tiga model ini secara bersamaan dalam satu kajian, menimbang karena begitu besar
urgensinya bagi para penuntut ilmu agama, ilmu fikih, ilmu ekonomi dan bisnis dan ekonomi
manajerial. Kajian ini bertujuan untuk menemukan deskripsi, menghasilkan output ijtihad
fikhi, perbandingan konsep dan analisis.
Mungkin sudah banyak yang mendengar kata upah dalam bahasa arab disebut al-ajru,
karena memang kita sudah sering terlibat dengan kegiatan pengupahan baik sebagi penerima,
atau bahkan sebagai pemberi upah, maupun sebagai pengelola upah. Atau sebagai generasi
angkatan kerja yang baru lulus sekolah atau kuliah atau biasa disebut dengan fresh graduate
yang sedang mencari pekerjaan dan belum juga mendapatkan jenis kerja maupun upah yang
cocok dan menenteramkan rasa. Atau memang istilah upah memang sudah familier di telinga
masyarakat secara umum.
Akan tetapi bagi para peminat dan hobi membaca akan terasa asing dengan istilah al-
ju’lu diartikan sementara dengan (tender) atau pengertian yang spesifik tentang rizki. Karena
memang beberapa penulis menggunakan istilah al-ajru dan al-ju’lu dalam satu makna yang
sama, dan mereka mengartikan dengan istilah upah, akan tetapi kami akan merinci dan
membedakan makna al-ajru dan al-ju’lu dengan makna yang lebih spesifik sehingga
perbedaannya akan segera terlihat dan dapat dipahami, ini adalah usaha untuk menemukan
makna secara terminologis.
Al-Ajru (Upah)
Dalam fikih Islam upah digunakan untuk upah kerja maupun upah barang, upah yang
diberikan kepada pekerja maupun pegawai yang telah melakukan pekerjaannya disebut
dengan upah kerja dalam bahasa arab disebut dengan ajru ‘amal, atau bisa juga sewa banyak
pekerja secara borongan. Sementara jika upah itu diberikan untuk barang tertentu seperti
mobil, alat konstruksi bangunan, upah untuk sewa tanah atau upah untuk bangunan desebut
juga sewa bangunan hal itu disebut denga upah barang dalam bahasa fikih disebut dengan
ajru mal atau dalam nomenklatur fikih muamalah disebut juga dengan al-kiro’. Dalam ilmu
akuntansi keseluruhannya disebut dengan biaya. Akan tetapi kita akan membatasi
pembahasan ini pada ajru ‘amal saja pada pembahasan kali ini.
Upah sangat erat kaitannya dengan waktu, baik sehari (harian), mingguan maupun
bulanan. Sebagaimana upah itu juga erat kaitannya dengan output atau produk atau kegiatan
produksi.
Upah dapat berbentuk uang tunai dalam jumlah tertentu misal 50 ribu atau 100 ribu
dan sebagainya. Sebagaimana yang terjadi ketika melakukan sewa-menyewa seperti konsep
atau teori tentang al-ijarah dalam kajian fikih muamalah. Tapi upah itu juga bisa muncul
dalam bentuk hissah atau bagian tertentu, bisanya dinotasikan dengan persentase atau juga
disebut dengan nisbah. Dalam terminologi fikih muamalah biasa dikaji dalam teori maupun
konsep muzara’ah maupun musaqah.
Mungkin untuk mempermudah deskripsi dapat dijelaskan melalui ilustrasi ringan
misal, upah bagi buruh tani dalam proses kegiatan pertanian/penanaman/pemeliharaan
tanaman padi dalam bentuk nisbah atau persentase dari hasil panen yang didapatkan. Misal
50% atu 60% dari hasil panen. Kalo dulu kita sering mendengar istilah maro atau paron atau
sepertelu atau sepertelon. Atau mungkin untuk istilah sepertelu untuk saat ini sudah tidak
berlaku lagi di masyarakat, karena pendapatan buruh tani sangat rendah dan banyak yang
beralih profesi maupun menolak nisbah sekecil itu. Dalam kajian fikih muamalah tradisional
disebut dengan muzara’ah.
Demikian pula dalam konsep al-musaqah terdapat upah yang harus diberikan kepada
pelaku musaqah yaitu mereka buruh atau pekerja perkebunan yang melakukan pekerjaan
menyiram tanaman di perkebunan, maka upah yang diberikan kepada mereka adalah bagian
dari hasil panen perkebunan dalam bentuk nisbah sesuai harga pasar atau persentase dari hasil
panen perkebunan.
Upah juga dapat dikategorikan sebagai nisbah sesuai harga pasar atau persentase dari
profit sharing yaitu persentase dari keuntungan bersih, keuntungan yang telah dikurangi
biaya-biaya sebagaimana yang terjadi dalam konsep qirad atau mudarabah, maka dapat
dinyatakan dengan narasi bahwa, upah seorang pekerja (mudarib) adalah bagian yang
dinotasikan dalam persentase 50% atau 60 % atau nisbah bagian mudarib dari profit yang
dihasilkan oleh kegiatan mudarabah.
Upah juga diperbolehkan dengan model nisbah sesuai harga pasar atau persentase dari
jenis tepung-tepungan, roti-rotian atau bahkan hasil berburu.
Model-model tersebut dapat kita temukan dalam turas mazhab-mazhab fikih klasik,
seperti pernyataan para imam-imam mazhab tersebut misalnya:
“Wahai pekerja, tumbuklah biji-bijian ini hingga menjadi tepung, dan sepertiga
tepung yang dihasilkan ini menjadi upah bagi anda”;
“Wahai pekerja buatlah roti dari adonan ini, dan seperempat dari roti itu milik
anda sebagi upahnya”;
“Petiklah buah-buahan dari pohon ini maka sepersepuluh dari hasil petikan itu
menjadi milik anda sebagai upahnya”;
“wahai penjahit, jahitlah kain ini menjadi baju dan kemudian jual, maka
setengah dari keuntungan itu milik anda sebagi upah”;
“Wahi tukan tenun, buatlah kain tenun dari bulu-bulu ini menjadi baju, maka
anda berhak mendapatkan sepertiga dari harga baju ini sebagi upah”.
Dan bentuk pengupahan ini dapat diberlakukan dalam dua model: al-ajrul ma’lum dan
hissah sya’iah. Al-ajrul ma’lum adalah upah nominatif, yaitu upah dalam bentuk nominal
uang dalam jumlah tertentu misal 50 ribu 100 ribut, atau dalam bentuk hissah sya’iah, yaitu
nisbah yang umum digunakan di masyarakat dalam bentuk persentasi misal 10%, 50% atau
60% dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai