Anda di halaman 1dari 3

Hubungan hukum melakukan pekerjaan, secara garis besar ada 2 kelompok,

yakni hubungan hukum -- melakukan pekerjaan -- dalam hubungan kerja (“DHK”)


berdasarkan perjanjian kerja (yang ditandai dengan adanya upah tertentu dan
adanya “hubungan diperatas” atau dienstverhoudings); dan hubungan hukum di
luar hubungan kerja (“TKLHK”). Yang di luar hubungan kerja, ada yang dilakukan
berdasarkan perjanjian melakukan jasa-jasa dan ada yang dilakukan atas
dasar pemborongan pekerjaan. Demikian juga dalam perkembangannya, ada
yang dilakukan dengan hubungan kemitraan (partnership), dan ada yang
dilakukan berdasarkan suatu anggaran dasar (vide pasal 1601, pasal 1601a
jo pasal 1601c KUHPerdata dan pasal 26 UU No. 20 Tahun 2008).
 
Praktek atau penerapan hubungan hukum antara dokter dan perawat (istilah UU
Kesehatan: tenaga kesehatan) dengan –- manajemen -– suatu yayasan
pelayanan kesehatan sangat bervariasi, bergantung pada kebutuhan dan kondisi
serta kesepakatan di antara para pihak. Ada yang didasarkan perjanjian
kerja (DHK), ada yang berdasarkan perjanjian (kontrak) melakukan jasa-jasa,
dan ada juga yang atas dasar bagi hasil, serta bentuk hubungan hukum lainnya.
Di samping itu, ada juga yang mengombinasikan ketiganya; sebagian tenaga
kesehatan tersebut didasarkan perjanjian kerja, dan sebagian lainnya dengan
sistem bagi hasil, sebagian lagi kontrak pelayanan kesehatan dalam –- jangka --
waktu tertentu (tapi bukan perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT). Walaupun --
khusus -- untuk tenaga kesehatan perawat (para medis) pada umumnya
dilakukan dengan hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja.
 
Bagaimana perlakuan hukum terhadap dokter dan perawat tersebut ? Hal
tersebut sangat bergantung pada jenis hubungan hukum yang diperjanjikan
(sebagaimana tersebut di atas). Artinya, apabila tenaga kesehatan tersebut
dipekerjakan berdasarkan perjanjian kerja (employment agreement), maka
berlaku ketentuan mengenai hubungan kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Namun, apabila tenaga
kesehatan tersebut bekerja didasarkan perjanjian melakukan jasa-jasa,
kemitraan atau perjanjian dengan sistem bagi hasil, atau kontrak pelayanan
kesehatan -- untuk suatu jangka waktu tertentu --, maka apa yang telah
diperjanjikan -- oleh para pihak -- menjadi “undang-undang” dan mengikat untuk
dipatuhi oleh yang bersangkutan (pacta sun servanda, pasal 1338 KUHPerdata).
Dalam hal bukan hubungan kerja, tentunya tidak berlaku ketentuan hubungan
kerja (khususnya hak-hak dan kewajiban dalam hubungan industrial) yang diatur
dalam UU Ketenegakerjaan. Walaupun tetap harus mengindahkan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan secara umum,
seperti ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI), ketentuan
mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta ketentuan
mengenai standar minimum pengupahan (termasuk bagi hasil) serta ketentuan-
ketentuan lainnya untuk menghindari terjadinya eksploitasi
sesama insan manusia.
 
Apabila dokter atau perawat bekerja berdasarkan perjanjian kerja, maka
dokter/perawat yang bersangkutan disebut pekerja (yakni tenaga kerja yang
bekerja berdasarkan hubungan kerja pada tingkat skilled labour). Padanan dari
kata pekerja tersebut, adalah buruh (yakni tenaga kerja dalam hubungan
kerja pada tingkat unskilled labour). Dengan demikian, karena dokter dan -- juga
-- perawat adalah suatu profesi yang memerlukan keahlian dan kecakapan
tertentu (ada yang menyebut dengan istilah white collar), maka dokter atau
perawat itu tidak lazim disebut buruh (blue collar).
 
Kepesertaan Jamsostek, tidak membedakan antara tenaga kerja dalam
hubungan kerja (DHK, dalam undang-undang disebut pekerja/buruh)
atau tenaga kerja di luar hubungan kerja (TKLHK). Sepanjang memenuhi
persyaratan yang ditentukan, wajib ikut dalam 4 (empat) program jaminan sosial
tenaga kerja pada badan penyelenggara PT (Persero) Jamsostek (vide pasal 2
ayat [3] UU No. 3 Tahun 1992 jo pasal 3 ayat (2) PP No. 14 Tahun 1992).
 
Namun khusus untuk perogram jaminan pelayanan kesehatan (“JPK”), boleh ikut
pada program pelayanan kesehatan lainnya (opting out)
sepanjang management perusahaan telah menyelenggarakan sendiri program
JPK dengan manfaat lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Dasar (JPK-Dasar) yang diselenggarakan oleh PT (Persero) Jamsostek
(vide pasal 2 ayat [4] PP No. 14 Tahun 1992 jo pasal 2 Permenaker No. Per-
01/Men/1998). Dengan demikian, apabila perusahaan Saudara adalah
suatu lembaga pelayanan kesehatan yang memberikan manfaat lebih baik dari
pada JPK-Dasar PT Jamsostek (Persero), maka kepesertaan perusahaan
Saudara hanya wajib ikut pada 3 (tiga) program jamsostek lainnya,
yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari
tua (vide pasal 6 ayat [1] UU No. 3 Tahun 1992 jo pasal 2 ayat [3] PP No. 14
Tahun 1993)
 
Demikian pendapat kami, semoga dapat difahami.
 
Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke
Wetboek (Staatsblad No.23/1847 tanggal 30 April 1847);
2.   Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3.   Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4.   Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah;
5.   Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
6.   Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-01/Men/1998 Penyelenggaraan
Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik Dari
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Anda mungkin juga menyukai