Anda di halaman 1dari 45

Kelpompok Pendidikan Psikologi

1. Pemahaman mengenai siswa sebagai subjek belajar (Konsep diri , motif dll)
2. Siswa dan keluarga (Pengaruh terhadap belajar)
3. Siswa dan teman sebaya (Pengaruh terhadap Pendidikan)
4. Proses Belajar Secara Psikologis
5. Konsep Mengajar (Teori Sosial Konstruktivis , Faktor , Strategi dll)
6. Pemahaman mengenai kondisi belajar (Kognitif , afektif , Psikomotor)
7. Proses manajerial dikelas dalam kaitan dengan gangguan belajar siswa
maupun guru)
8. Pemahaman mengenai masalah belajar internal dan eksternal
9. Siswa Berkebutuhan Khusus
2. Siswa dan keluarga (Pengaruh terhadap belajar)

Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap


Perkembangan Anak

Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Perkembangan Anak merupakan sesuatu yang


harus kita cermati dan pelajari. Perkembangan anak dapat diartikan sebagai perubahan-
perubahan yang dialami oleh anak baik secara fisik maupun psikologis menuju tingkat
kematangan atau kedewasaannya. Dalam perkembangan anak, lingkungan berpengaruh
terhadap perkembangan anak.
Sedangkan pengaruh lingkungan keluarga dapat diartikan sebagai daya yang timbul dari
lingkungan keluarga yang ikut membentuk atau membangun sifat dan karakter anak.
Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh,
setelah itu sekolah, baru kemudian masyarakat. Keluarga adalah lingkungan terkecil
yang dibangun oleh orang tua bersama anggota keluarga lainnya. Pembentukan sifat
atau karakter anak berhubungan dengan sosialisasi  atau suatu proses penanaman nilai
dan aturan dari orang tua kepada anak.
Ketika anak Anda berusia 1 sampai dengan 5 tahun, ia akan berusaha mengenal dan
membedakan dirinya dengan orang lain dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini orang
tua memegang peranan penting karena dapat membantu proses interaksi secara terbatas
dan mendukung perkembangan anak. Pada tahap ini Anda harus lebih intens bersama
anak Anda. Luangkan waktu disela-sela kesibukan pekerjaan Anda.
Dalam pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak, ada beberapa hal
yang terjadi dalam sikap dan perilaku anak yang melibatkan keluarganya, yaitu :
1. Proses imitasi (meniru)
Imitasi merupakan kegiatan meniru segala perilaku orang di sekitarnya termasuk orang
tuanya. Ketika anak belajar meniru, pengetahuan dan interaksi sosialnya anak akan
berkembang pesat. Contoh : anak meniru kebiasaan orang tuanya makan dengan sendok
dan garpu. Berbicara mengikuti gaya bicara orang tuanya. Oleh karena itu pada proses
imitasi ini diharapkan orang tua dapat memberikan contoh keteladanan bagi anak-
anaknya sehingga anak Anda dapat berkembang dengan baik.
2. Mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain
Pada proses ini anak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain seperti
mengatur permainan dengan teman-teman sebayanya.
3. Mempunyai empati
Empati merupakan kepekaan seseorang terhadap perasaan orang lain. Ini merupakan
proses perkembangan anak selanjutnya yang memerlukan keteladanan dari orang
tuanya. Anda dapat mengajarkan anak Anda berempati dengan cara menolong orang
lain, berderma/memberikan sedekah kepada orang yang terkena musibah dan lain
sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan tingkah laku anak
merupakan cerminan sikap dan tingkah laku orang tua. Jika sikap dan tingkah laku
orang tua baik, maka anak akan cenderung memiliki sikap dan tingkah laku yang baik
pula. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika setiap keluarga selalu berbeda dengan
keluarga lainnya. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa pengaruh keluarga sangat besar
dalam pembentukan landasan kepribadian anak. Keluarga yang mengalami
ketidakharmonisan, penuh dengan konflik dapat menghambat perkembangan anak.
Anak akan menjadi orang yang cepat marah, mudah murung, cemas dan sikap negatif
lainnya. Sudah selayaknyalah kita sebagai orang tua saling bahu membahu dalam
mendidik demi berkembangnya anak ke arah yang lebih baik dengan memperhatikan
Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Perkembangan Anak.

Makalah psikologi pendidikan - faktor yang mempengaruhi


belajar
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Menurut C.T. Morgan dalam buku Introduction To Psychology, Belajar adalah suatu
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat/hasil dari pengalaman
yang lalu. Ringkasnya ia mengatakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relative
menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman
siswa mengalami suatu proses belajar.

Menurut Syai’ful Bahri Djamarah dalam bukunya “Psikologi Belajar” pengertian belajar
adalah serangkai kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai
hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif,
afektif dan psikomotorik.[1]

Secara umum faktor-faktor yag mempengaruhi proses hasil belajar dibedakan atas dua
kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling memengaruhi
dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Tugas utama seorang Guru
adalah membelajarkan siswa. Ini berarti bahwa bila Guru bertindak mengajar, maka
diharapkan siswa untuk mampu belajar. Hal-hal seperti berikut, diantaranya Guru telah
mengajar dengan baik, ada siswa yang belajar dengan giat, siswa yang berpura-pura belajar,
siswa yang belajar dengan setengah hati, bahkan adapula siswa yang sesungguhnya tidak
belajar. Maka dari itu, sebagai Guru yang professional harus berusaha mendorong siswa agar
belajar dengan baik.

Ada beberapa aspek yang menentukan keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar,
menurut Lukmanul Hakim “Tiga aspek yang mempengaruhi keberhasilan guru dalam proses
belajar mengajar yaitu: kepribadian, pandangan terhadap anak didik dan latar belakang guru”.
[2]

Terdapat bermacam-macam hal yang menyebabkan siswa tidak belajar seperti siswa yang
enggan belajar karena latar belakang keluarga, lingkungan, maupun situasi dan kondisi di
kelas. Ada siswa yang sukar memusatkan perhatian ketika Guru mengajarkan topic tertentu
adapula siswa yang giat belajar karena dia bercita-cita menjadi seorang ahli.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar?


2.      Apa saja faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat
mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi factor fisiologis dan
faktor psikologis.

Faktor fisiologis
    

Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik


individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.

·         Pertama,
keadaan jasmani. Keadaan jasmani pada umumnya sangat
mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar
akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya,
kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar
yang maksimal.

·         Kedua,
keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung,
peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar,
terutama panca indera. Panca indera yang berfungsi dengan baik akan
mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula.

2. Faktor psikologis

Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat


mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi
proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.

a.       Kecerdasan/intelegensi siswa

Tingkat kecerdasan siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.


Ini berarti, semakin tinggi kemampuan intelijensi siswa maka semakin besar
peluangnya untuk meraih sukses, sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelijensi
siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh kesuksesan.
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa
keluarbiasaan intelijensi siswa , baik yang positif seperti superior maupun yang
negatif seperti borderline,lajimnya menimbulkan kesuksesan belajar siswa yang
bersangkutan. Disatu sisi siswa yang sangat cerdas akan merasa tidak mendapat
perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau
mudah baginya. Akibatny dia enjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan
keinginanya merasa dibendung secara tidak adil. Disisi lain, siswa yang bodoh akan
merasa payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya
siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami
rekannya yang luar biasa positif.[3]

Para ahli membagi tingkatan IQ bermacam-macam, salah satunya adalah


penggolongan tingkat IQ berdasarkan tes Stanford-Biner yang telah direvisi oleh
Terman dan Merill sebagai berikut:

1)      Kelompok kecerdasan amat superior yaitu antara IQ 140–169

2)      Kelompok kecerdasan superior yaitu antara IQ 120 – 139

3)      Kelompok rata-rata tinggi (high average) yaitu antara IQ 110 – 119

4)      Kelompok rata-rata (average) yaitu antara IQ 90 – 109

5)      Kelompok rata-rata rendah (low average) yaitu antara IQ 80 – 89

6)      Kelompok batas lemah mental (borderline defective) berada pada IQ 70 – 79

7)      Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defective) berada pada IQ 20 -


69, yang termasuk dalam kecerdasan tingkat ini antara lain debil, imbisil, dan
idiot.

b.      Motivasi

Motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalal diri
seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suat
tujuan (kebutuhan).[4]

Sedangkan motivasi dalam belajar menurut Clayton Aldelfer adalah


kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat
untuk mencapai prestasi hasil belajar sebaik mungkin.[5]

Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam
diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang
siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca
karena membaca tidak hanya menjadi aktivitas kesenangannyatetapi sudah mejadi
kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang
efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi
dari luar(ekstrinsik).

Menurut Arden N. Frandsen, dalam Hayinah (1992)yang termasuk dalam motivasi


intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:

1)      Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas

2)      Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk
maju

3)       Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari


orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, dan teman-teman.

4)      Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna


baginya.

Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi
memberikan pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata
tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya respons dari
lingkungansecara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi
lemah.

c.       Ingatan

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni :
(1) Menerima kesan, (II) Menyimpan kesan, dan (III) Memproduksi kesan

Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai


kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan. Kecakapan merima
kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik
mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran,
kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran
yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan alat peraga
kesannya akan lebih dalam pada siwa.
Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian
ingatan” juga lebih mengesankan bagi siswa, terutama untuk material pembelajaran
berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik
adalah mengingat nama-nama kunci nada G (gudeg), D (dan), A (ayam), B (bebek)
dan sebagainya.

d.      Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang


beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus menerus
yang disertai rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian sifatnya
sementara dan belum tentu diikuti dengan rasa senang, sedangkan minat selalu diikuti
dengan rasa senang dan dari situlah diperoleh kepuasan.[6]

Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang


tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Namun lepas dari kepopulerannya,
minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh
terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar.
Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya
perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan
dihadapainya atau dipelajaranya.

Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan.
Antara lain:

1)      Dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak
membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang
membebaskan siswa mengeksplore apa yang dipelajari, melibatkan seluruh
domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi
aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar.

2)      Pemilihan jurusan atau bidang studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika
jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.

e.       Sikap

Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses


belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa
kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap
terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif .
[7]
Sikap juga merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang
membawa diri sesuia dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu
mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa
memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima,
menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut.

f.       Bakat

Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Bakat atau
aptitude merupakan kecakapan potensial yang bersifat khusus, yaitu khusus dalam
suatu bidang atau kemampuan tertentu.[8]

Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka
bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan
berhasil. Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai
prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk
melakukan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu
yang telah mempunyai bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap informasi yang
berhubungan dengan bakat yang mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain
bahasanya sendiri. Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap
individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memperhatikan dan
memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain
dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih
jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

g.      Konsentrasi Belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada


pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses
memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu
menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan
waktu belajar serta selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker,
kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru
memberikan istirahat selingan beberapa menit.

h.      Rasa Percaya Diri

Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil.
Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari
lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap
pembuktian “perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan teman- temannya. Semakin
sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin besar pula memperoleh
pengakuan dari umum dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat.

Hal yang sebaliknya pun dapat terjadi. Kegagalan yang berulang kali dapat
menimbulkan rasa tidak percaya diri. Bila rasa tidak percaya diri sangat kuat, maka
diduga siswa akan menjadi takut belajar. Rasa takut belajar tersebut terjalin secara
komplementer dengan rasa takut gagal lagi. Maka, guru sebaiknya mendorong
keberanian siswa secara terus-menerus, memberikan bermacam-macam penguat dan
memberikan pengakuan dan kepercayaan bagi siswa.

i.        Kebiasaan Belajar

Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik.
Kebiasaan belajar tersebut antara lain:

1)      Belajar pada akhir semester

2)      Belajar tidak teratur

3)      Menyia - nyiakan kesempatan belajar

4)      Bersekolah hanya untuk bergengsi

5)      Dating terlambat bergaya seperti pemimpin

6)      Bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain,

7)      Bergaya minta “belas kasihan” tanpa belajar.

Kebiasaa-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada di kota


besar, kota kecil, pedesaan dan sekolah-sekolah lain. Untuk sebagian orang, kebiasaan
belajar tersebut disebabkan oleh ketidak mengertian siswa pada arti belajar bagi diri
sendiri. Hal seperti ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan
diri.

     Cita-cita Siswa

Pada umumnya, setiap anak memiliki suatu cita-cita dalam hidup. Cita-cita itu
merupakan motivasi instrinsik. Tetapi, ada kalanya “gambaran yang jelas” tentang tokoh
teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berprilaku ikut-ikutan.
Cita-cita sebagai motivasi instrinsik perlu dididikan. Penanaman memiliki cita –cita
harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan
pencapaian cita – cita sudah semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan
emansipasi diri siswa. Penanaman pemilikan dan pencapaian cita-cita sudah sebaiknya
berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang
semakin sulit.

Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi, maka siswa


diharapkan berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.

B.     Faktor Eksternal

Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat
memengaruhi proses belajar siswa.dalam hal ini, faktor-faktor eksternal yang memengaruhi
balajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu factor lingkungan social dan faktor
lingkungan nonsosial.

1. Lingkungan social

Yang termasuk lingkungan sosial adalah pergaulan siswa dengan orang lain
disekitarnya, sikap dan perilaku orang disekitar siswa dan sebagainya. Lingkungan sosial
yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu
sendiri. Sifat-sifat orangtua, peraktk pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga,
semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegitan belajar dan hasil
yang dicapai oleh siswa.

a.       Lingkungan sosial sekolah

Seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses


belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi motivasi
bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat
menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa
untuk belajar.

b.      Lingkungan sosial masyarakat.

Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar


siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga
dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa kesulitan ketika
memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan
belum dimilkinya.
c.       Lingkungan sosial keluarga.

Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-


sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga, semuannya
dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara anggota
keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa
melakukan aktivitas belajar dengan baik.

2. Lingkungan non sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah;

a.       Lingkungan alamiah

Adalah lingkungan tempat tinggal anak didik, hidup, dan berusaha didalamnya.


Dalam hal ini keadaan suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh dalam belajar
anak didik. Anak didik akan belajar lebih baik dalam keadaan udara yang segar. Dari
kenyataan tersebut, orang cenderung akan lebih nyaman belajar ketika pagi hari,
selain karena daya serap ketika itu tinggi. Begitu pula di lingkungan kelas. Suhu dan
udara harus diperhatikan. Agar hasil belajar memuaskan. Karena belajar dalam
keadaan suhu panas, tidak akan maksimal.[9]

b.      Faktor instrumental

Yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware,


seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain
sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah,
bukupanduan, silabi dan lain sebagainya.

c.       Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa).

Factor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga
dengan metode mengajar guru, disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa.
Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas
belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode
mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa.

 
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Faktor- faktor yang mempengaruhi proses belajar terdiri atas faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat
mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan
faktor psikologis. Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi balajar dapat digolongkan
menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan factor lingkungan nonsosial.

            Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
individu. Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat
mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses
belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.

Faktor-faktor eksternal yang meliputi lingkungan social diantaranya faktor sekolah,


masyarakat, dan keluarga. Sedangkan faktor eksternal lingkungan non-sosial diantaranya
lingkungan alamiah, instrumental, dan mata pelajaran.

REFERENSI

Djali, 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara

Drs. Syaiful Bahri Djamarah, 2002. Psikologi Belajar. Jakarta, CV Rineka Cipta.

Lukmanul Hakim, 2010. Perencanaan Pembelajaran, Bandung, CV Wacana Prima

Muhibbin syah, 2003. Psikologi belajar. Jakarta. PT. Raja Grafinda Persada

Nana Syaodih.S. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung. Remaja


Rosdakarya.

Nashar, 2004. Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal Dalam Kegiatan


Pembelajaran. Jakarta. Delia Press

Slameto, 2003. Belajar dan faktor - faktor yang mempengaruhinya.  Jakarta. Rineka Cipta

[1] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, 2002. Psikologi Belajar. Jakarta, CV Rineka Cipta. hal. 13

[2] Lukmanul Hakim, 2010. Perencanaan Pembelajaran, Bandung, CV Wacana Prima.hal. 91


[3] Muhibbin syah, 2003. Psikologi belajar. Jakarta. PT. Raja Grafinda Persada. Hal 147-148

[4] Djali, 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara. Halalaman 101

[5] Nashar,2004. iPeranan Motivasi dan Kemampua awal dalam Kegiatan Pembelajaran. Jakarta. Delia press. Hall

42

[6] Slameto, 2003. Belajar dan faktor - faktor yang mempengaruhinya.  Jakarta. PT  Rineka Cipta. Halalaman 57

[7] Muhibbin syah, 2003. Psikologi belajar. Jakarta. PT. Raja Grafinda Persada. Hal 151

[8] Nana Syaodih.S. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal 101
[9] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, 2002. Psikologi Belajar. Jakarta, CV Rineka Cipta. hal. 143-144
4. Siswa dan teman sebaya
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGARUH TEMAN SEBAYA TERHADAP PEMBELAJARAN


1. Pengertian Teman Sebaya
Anak-anak memerlukan interaksi yang positif dengan teman-teman sebaya mereka. Teman
sebaya adalah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Kelompok
teman sebaya akan terbentuk dengan sendirinya pada anak-anak yang tinggal berdekatan
rumah atau pergi ke sekolah bersama-sama. [1]

2. Jenis-jenis Kelompok Sebaya


Ditinjau dari sifat organisasinya kelompok sebaya dapat dibedakan menjadi:
a. Kelompok sebaya yang bersifat informal. Kelompok sebaya ini dibentuk, diatur, dan
dipimpin oleh anak itu sendiri misalnya, kelompok permainan, gang, dan lain-lain. Di dalam
kelompok ini tidak ada bimbingan dan partisipasi orang dewasa.
b. Kelompok sebaya yang bersifat formal. Di dalam kelompok ini ada bimbingan,
partisipasi atau pengarahan orang dewasa. Apabila bimbingan dan pengarahan diberikan
secara bijaksana maka kelompok sebaya ini dapat menjadi wahana proses sosialisasi nilai-
nilai dan norma yang terdapat dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok sebaya ini
misalnya, kepramukaan, klub, perkumpulan pemuda dan organisasi lainnya.

Menurut Robbins, ada empat jenis kelompok sebaya yang mempunyai peranan penting dalam
proses sosialisasi yaitu kelompok permaianan, gang, klub, dan klik (clique).

Kelompok permainan (play group) terbentuk secara spontan dan merupakan kegiatan khas
anak-anak, namun di dalamnya tercermin pula struktur dan proses masyarakat luas, sedang
gang, bertujuan untuk melakukan kegiatan kejahatan, kekerasan, dan perbuatan anti sosial.
Klub adalah kelompok sebaya yang bersifat formal dalam artian mempunyai organisasi sosial
yang teratur serta dalam bimbingan orang dewasa. Sementara itu klik (clique), para
anggotanya selalu merencanakan untuk mengerjakan sesuatu secara bersama yang bersifat
positif dan tidak menimbulkan konflik sosial.

3. Peran Teman Sebaya


a. Hubungan pertemanan menjadi sebuah medan pembelajaran dan pelatihan berbagai
keterampilan social seperti negosiasi, persuasi, kerjasama, kompromi, kendali emosional, dan
penyelesaian konflik.
b. Teman sebaya memberikan dukungan social, moral, dan emosional. Teman sebaya
dapat dijadikan sumber rasa nyaman dan aman karena teman sebaya bisa menjadi sebuah
kelompok tempat mereka dapat belajar bersama, aman dari anak-anak berandalan; bahkan
pada saat memasuki masa pubertas, teman sebaya sering kali menjadi andalan, mengalahkan
orang tua sendiri, terutama ketika mengalami masa krisis atau kebingungan
c. Teman sebaya berperan terhadap perkembangan pribadi dan social, yaitu dengan
menjadi agen sosialisasi yang membantu membentuk perilaku dan keyakinan mereka. Dalam
hal ini teman sebaya menentukan pilihan tentang cara menghabiskan waktu senggang,
misalnya dengan belajar bersama.[2]
d. Dengan teman sebaya, anak mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
bersosialisasi dan menjalin keakraban, Anak mampu meningkatkan hubungan dengan teman,
anak mendapatkan rasa kebersamaan. Selain itu, anak termotivasi untuk mencapai prestasi
dan mendapatkan rasa identitas. Anak juga mempelajari keterampilan kepemimpinan dan
keterampilan berkomunikasi, bekerja sama, bermain peran, dan membuat atau menaati
aturan.[3]
e. Teman sebaya menjadi model atau contoh tentang cara berperilaku terhadap teman-
teman sebaya. Kelompok teman sebaya menyediakan sumber informasi dan perbandingan
tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan-
kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya dan belajar tentang dunia di luar keluarga
mereka.

4. Pengaruh Teman Sebaya terhadap Pembelajaran


Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat membantu perkembangan aspek
sosial anak secara normal yang juga akan berpengaruh pada pembelajaran. Anak pendiam
yang ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-
anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah
seperti kenakalan dan drop out dari sekolah. Dalam interaksi teman sebaya memungkinkan
terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan
mewarnai proses pembentukan tingkah laku dan proses pembelajaran.
Dukungan teman sebaya banyak membantu atau memberikan keuntungan kepada anak-anak
yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu memperbaiki iklim
sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial. Namun, tidak semua teman dapat
memberikan keuntungan bagi pembelajaran. Perkembangan individu akan terbantu apabila
anak memiliki teman yang secara sosial terampil dan bersifat suportif. Sedangkan teman-
teman yang suka memaksakan kehendak dan banyak menimbulkan konflik akan menghambat
pembelajaran.
Terpengaruh tidaknya individu dengan teman sebaya tergantung pada persepsi individu
terhadap kelompoknya, sebab persepsi individu terhadap kelompok sebayanya akan
menentukan keputusan yang diambil nantinya.
Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu tempat teman sebayanya dapat
melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang
dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka menentukan jati dirinya.
Anak yang bergaul dengan anak-anak yang rajin dan menaruh perhatian terhadap pelajaran di
sekolah akan cenderung menjadi anak yang rajin. Misalnya, dalam suatu kelas terdapat
kelompok teman sebaya yang terdiri atas 3 anak berprestasi di kelas dan 1 anak yang
prestasinya biasa saja dan bisa dibilangh acuh terhadap pelajaran. Ketika pembelajaran
berlangsung, ketiga anak berprestasi tersebut selalu membuat catatan di buku tulisnya. Suatu
saat, si anak yang prestasinya biasa saja itu mengikuti apa yang dilakukan ketiga anak
berprestasi itu dan pada akhirnya anak yang prestasinya sedang-sedang saja berubah menjadi
anak yang rajin mencatat dan menaruh perhatian pada aktivitas pembelajaran. Contoh lain,
ketika seorang anak diminta guru untuk menyanyikan lagu daerah di depan kelas, si anak
menolak. Tetapi ketika guru meminta teman sebangkunya untuk menemani temannya
menyanyi di depan kelas, keduanya berani untuk maju ke depan.
Aktivitas anak bersama teman sebaya memang baik untuk perkembangan anak. Namun
apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai negatif maka akan
menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa individu yang akan berpengaruh pada proses
belajar anak. Jika anak terlalu banyak melakukan aktivitas bersama teman-temannya,
sementara ia kurang mampu membagi waktu belajarnya, dengan sendirinya aktivitas tersebut
akan merugikan anak karena kegiatan belajarnya menjadi terganggu.

B. PENGARUH BUDAYA TERHADAP PEMBELAJARAN


1. Pengertian Budaya
Kata ”kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddayah yang merupakan bentuk jamak
dari kata “budhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah
keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar, dan
semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Budaya menyangkut cara hidup total kelompok atau masyarakat, menyangkut adat, tradisi,
peraturan, keyakinan, nilai, bahasa, dan produk fisik. Budaya adalah seluruh perilaku dan
sikap yang dipelajari, dialami bersama, dan disebarkan ke para anggota kelompok sosial.[4]

2. Pengaruh Budaya Terhadap Pembelajaran


Budaya secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap pembelajaran. Peraturan
dan norma social yang berlaku pada suatu masyarakat tempat seseorang tinggal juga akan
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, serta apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk.
Pola budaya memengaruhi perkembangan anak melalui pengaruhnya pada komposisi rumah
tangga, sumber daya ekonomi dan sosial, cara bertindak anggota terhadap anggota lain,
makanan yang dikonsumsi anak, permainan yang dimainkan anak, cara belajar anak,
pekerjaan orang tua, serta cara anggota keluarga memikirkan dan mempersiapkan dunia ini.
[5]
Perbedaan budaya berpengaruh pada pembelajaran. Misalnya, lingkungan anak yang
memiliki budaya menjunjung tinggi ilmu pengetahuan akan cenderung menghasilkan anak
yang memiliki proses dan hasil belajar yang baik karena anak akan berusaha untuk mencapai
cita-citanya dengan menaruh perhatian pada pembelajaran. Sedangkan, anak yang tinggal di
lingkungan yang kumuh, serba kekurangan, dan kurang menjunjung tinggi nilai-nilai
pendidikan cenderung memberikan pengaruh negatif terhadap proses belajar karena anak
akan acuh tak acuh terhadap pembelajaran dan kurangnya dukungan dari lingkungannya.

[1] John W Santrock, Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta : Erlangga. 2002), hal 268.
[2] Eva Latipah, Pengantar Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Insan Madani, 2012), hal
248.
[3] Lusi Nuryanti, Psikologi Anak, (Jakarta: Indeks, 2008).hal 68.

[4] Lusi Nuryanti, hal 65.


[5] Ibid. hal 66.
5. Konsep Mengajar (Teori Sosial Konstruktivis , Faktor , Strategi dll)
konsep mengajar dan teori mengajar

A. KONSEP PEMBELAJARAN

1. Constructivisme

Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun
manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses
informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki. Belajar
berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan
menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik
menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta
didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan
atas penemuannya itu.

2. Inquiry

Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan
menarik simpulan. Langkah- langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan observasi,
analisis data, kemudian mengomunikasikan hasilnya. Inquiri merupakan pembelajaran untuk dapat
berpikir nyata dan kritis dalam menyikapinya. Biasanya untuk inkuiri ini berbentuk kasus untuk
dianalisis berdasarkan teori yang ada.

3. Questioning

Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali informasi
tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi peserta didik sebagai
salah satu teknik dan strategi belajar. Jika pertanyaan bagus maka akan memberikan rasa ingin tahu
kepada peserta didik.

4.Learning Community

Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil


sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang.

5. Modelling

Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali
informasi, demonstrasi, dan lain-lain. Pemodelan ini dapat dilakukan

oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.

6. Reflection

Yaitu tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari. Sehingga ada respon terhadap kejadian,
aktivitas/ pengetahuan yang baru. Hasilnya nanti merupakan konstruksi pengetahuan yang baru.
Bentuknya dapat berupa

kesan, catatan atau hasil karya yang dapat memberikan imbal balik

7. Autentic Assesment

Yaitu menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal iuni berlangsung selama proses
pembelajaran secara terintegras. Pada unsur ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yaitu test dan
non-test. Alternative bentuk yang dapat dilakukan kinerja, observasi, portofolio, dan/ atau jurnal.

B. TEORI PEMBELAJARAN1. Teori Behavioris Teori behavioris yang diperkenalkan oleh Ivan Pavlov
dan dikembangkan oleh Thorndike dan Skinner, berpendapat bahwa pembelajaran adalah berkaitan
dengan perubahan tingkah laku. Teori pembelajaran mereka kebanyakannya dihasilkan dengan.
Mereka menumpukan ujian kepada perhubungan antara ‘rangsangan’ dan ‘gerakbalas’ yang
menghasilkan perubahan tingkah laku. Ujian ini bisa bersifat sebagai suatu usaha yang dapat
merubah tingkah laku orang agar bisa lebih baik. Maka perubahan inilah yang di sebut pembelajaran.
Secara umumnya memang teori behavioris menyatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran akan
mempengaruhi segala perbuatan atau tingkah laku pelajar sama ada baik atau sebaliknya. Teori ini
juga menjelaskan bahwa tingkah laku pelajar dapat diperhatikan dan diprediksi apakah mengarah ke
hal positif atau negative. 2. Teori Kognitif Teori kognitif pula berpendapat bahwa pembelajaran ialah
suatu proses pendalaman yang berlaku dalam akal pikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara
langsung dengan tingkah laku. Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menjelaskan
kajian kepada berbagai jenis pembelajaran dalam proses penyelesaian masalah dan akal
berdasarkan berbagai peringkat umur dan kecerdasan pelajar. Teori-teori pembelajaran mereka
adalah bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran cerdik, urgensi penyelesaian masalah,
penemuan dan pengkategorian. Menurut teori ini, manusia memiliki struktur kognitif, dan semasa
proses pembelajaran, otak akan menyusun segala pernyataan di dalam ingatan. 3. Teori Sosial Teori
sosial pula menyarankan teori pembelajaran dengan menggabungkan teori behavioris bersama
dengan kognitif. Teori ini juga dikenal sebagai Teori Perlakuan Model. Albert Bandura, seorang tokoh
teori sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran akan dapat dilaksanakan dengan lebih
berkesan dengan menggunakan pendekatan ‘permodelan’. Beliau menjelaskan lagi, bahwa aspek
pemerhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan juga aspek
peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang menarik kepada kepahaman pelajar.
Sehingga dalam pembelajaran perlu ada obyek belajar sehingga seorang guru dapat mempraktekkan
materinya untuk lebih dipahami siswa dengan obyek tadi. 4. Teori Humanisme Teori humanis juga
berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya. Seorang ahli teori
ini, Carl Rogers menyatakan bahwa setiap individu itu mempunyai

cara belajar yang berbeda dengan individu yang lain. Oleh karena itu, strategi dan pendekatan dalam
proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun mengikut kehendak dan
perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai potensi
dan keinginan untuk mencapai aktualisasi diri. Maka, guru hendaknya menjaga psikologi pelajar dan
memberi bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke tahap maksimal. 5. Teori
Piaget Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-
tingkat perkembangan intelektual dalam pembelajaran. Tahap- tahap tersebut berdasarkan umur
seorang anak

5. Teori Vygotsky Vygotsky adalah salah seorang tokoh konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya
adalah pentingnya interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan
aspek ling-kungan sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas- tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone
of proximal development). Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosio budaya
dalam pembelajaran. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona
perkembangan proksima (zone of proximal development). Zona perkembangan proksima adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran
berlaku.

6. Teori Ausubel David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar
1996) bahan subyek yang dipelajari siswa haruslah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur

kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi


yang telah disiswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah
suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.

7. Teori Konstruktivisme Teori konstruktivisme lahir dari idea Piaget dan Vygotsky.

Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara
aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada. Dalam Proses ini, siswa akan
menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina
pengetahuan baru. Mengikut Briner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku di mana
siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan
pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegerasikan

pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud. Manakala mengikut
Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivisme adalah satu pendekatan pembelajaran berasaskan
kepada penelitian tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti berpendapat setiap
individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan daripada orang lain.
6. Pemahaman mengenai kondisi belajar (Kognitif , afektif , Psikomotor)
Masalah belajar internal dan eksternal

Secara umum kondisi belajar internal dan eksternal akan mempengaruhi belajar. Kondisi itu antara
lain, pertama, lingkungan fisik. Lingkungan fisik yang ada dalam proses dan sekitar proses
pembelajaran memberi pengaruh bagi proses belajar. Kedua, suasana emosional siswa. Suasana
emosional siswa akan memberi pengaruh dalam proses pembelajaran siswa. Hal ini bisa di cermati
ketika kondisi emosional siswa sedang labil maka proses belajarpun akan mengalami gangguan.
Ketiga, lingkungan social. Lingkungan social yang berada di sekitar siswa juga turut mempengaruhi
bagaimana seorang siswa belajar.

Begitu pula dengan masalah-masalah belajar ada yang bersifat internal dan adapula masalah yang
bersifat eksternal.

Masalah belajar internal adalah masalah-masalah yang timbul dari dalam diri siswa atau factor-
faktor internal yang menimbulkan kekurangberesan siswa dalam belajar. Factor internal adalah
factor-faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri, seperti:

a. Kesehatan

b. Rasa aman

c. Factor kemampuan intelektual

d. Factor afektif seperti perasaan dan percaya diri

e. Motivasi

f. Kematangan untuk belajar

g. Usia

h. Jenis kelamin

i. Latar belakang social

j. Kebiasaan belajar

k. Kemampuan mengingat

l. Dan kemampuan pengindraan seprti melihat, mendengar atau merasakan.

Contoh dari masalah belajar internal dapat dilihat dari kasus berikut:

Ita gadis cilik berusia 9 tahun. Akhir-akhir ini prestasinya sangat menurun. Hasil ulangannya selalu
buruk kalau soal-soal ulangan ditulis di papan tulis. Namun, ketika ujian sumatif, hasil ulangan Ita
tidak begitu buruk. Soal-soal ulangan dicetak dan dibagikan kepada setiap murid. Namun demikian,
peringkat Ita di kelas turun secara drastic, dari peringkat 5 menjadi peringkat 20. Dari kasus di atas
dapat dilihat, masalah yang ditekankan adalah kemampuan indera untuk menangkap rangsangan. Ita
tampaknya mempunyai kesulitan dalam penglihatan. Ini terbukti dari berbedanya hasil yang dicapai
antara ulangan harian yang soalnya ditulis di papan tulis dengan ulangan sumatif yang soalnya
dicetak dan dibagikan kepada setiap murid.

Dengan pemahaman di atas maka dapat dikemukakan masalah-masalah belajar internal dapat
bersifat: 1) biologis dan 2) psikologis. Masalah yang bersifat biologis artinya menyangkut masalah
yang bersifat kejasmanian, seperti kesehatan, cacat badan, kurang makan dsb. Sementara hal yang
bersifat psikologis adalah masalah yang bersifat psikis seperti perhatian, minat, bakat, IQ, konstelasi
psikis yang berwujud emosi dan gangguan psikis.

Masalah belajar eksternal adalah masalah-masalah yang timbul dari luar diri siswa sendiri atau
factor-faktor eksternal yang menyebabkan kekurangberesan siswa dalam belajar. Factor eksternal
adalah factor yang datang dari luar diri siswa, seperti:

a. Kebersihan rumah

b. Udara yang panas

c. Ruang belajar yang tidak memenuhi syarat

d. Alat-alat pelajaran yang tidak memadai

e. Lingkungan social maupun lingkungan alamiah

f. Kualitas proses belajar mengajar.

Contoh dari masalah belajar eksternal dapat dilihat dari kasus berikut:

Talia seorang gadis cilik duduk di kelas III SD. Ia termasuk salah seorang dari sejumlah anak di
kelasnya yang belum dapat membaca dengan lancar. Setiap pelajaran membaca, ia menjadi
ketakutan karena setiap membuka mulut, ia ditertawakan oleh teman-temannya. Gurunya hanya
membiarkannya saja dan mengalihkan giliran kepada murid lain. Akibatnya, talia selalu ketinggalan
dari teman-temannya. Di rumah, Talia selalu dimarahi karena dalam membaca ia dikalahkan Doli
adiknya yang duduk di kelas II. Pada kasus ini tampaknyalebih menekankan pada pengaruh
lingkungan, ketinggalan Talia dalam membaca tampaknya lebih banyak disebabkan oleh “rasa takut”
dan tertekan yang ditimbulkan oleh sikap lingkungan yang tidak mendorong Talia untuk belajar.

Belajar sangat dipengaruhi oleh factor-faktor internal maupun eksternal:

A. Faktor Internal

Factor internal adalah factor yang timbul dari dalam diri siswa baik kondisi jasmani maupun rohani
siswa

Factor internal dibedakan menjadi:

1. Factor fisiologis

Factor fisiologis adalah sesuatu kondisi yang berhubungan dengan keadaan jasmani seseorang,
misalnya tentang fungsi organ-organ, dan susunan-susunan tubuh yang dapat mempengaruhi
semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Factor fisiologis yang dapat
mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

a. Tonus (kondisi) badan


Kondisi jasmani pada umumnya dapat dikatakan melatarbelakangi kegiatan belajar. Keadaan jasmani
yang optimal akan berbeda sekali hasil belajarnya bila dibandingkan dengan keadaan jasmani lemah.
Sehubungan dengan keadaan/kondisi jasmani tersebut, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:

· Cukupnya nutrisi (nilai makanan dan gizi).

a. Tubuh yang kekurangan gizi dan makanan, akan mengakibatkan merosotnya kondisi jasmani.
Sehingga, menyebabkan seseorang dalam kegiatan belajarnya menjadi cepat lesu, mengantuk, dan
tidak ada semangat untuk belajar. Pada akhirnya siswa tidak dapat mencapai hasil belajar yang di
harapkan.

· Beberapa penyakit ringan di derita

Dapat berupa pilek, sakit gigi, batuk, dan lain sejenisnya. Semua itu tentu akan mempengaruhi hasil
belajar siswa.

b. Keadaan fungsi-fungsi fisiologis tertentu.

Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar disini adalah
fungsi-fungsi panca indera, panca indera yang memegang peranan penting dalam belajar adalah
mata dan telinga. Apabila mekanisme mata dan telinga kurang berfungsi, maka tanggapan yang
disampaikan dari guru, tidak mungkin dapat diterima oleh anak didik. Jadi, siswa tidak dapat
menerima dan memahami bahan-bahan pelajaran, baik yang langsung disampaikan oleh guru,
maupun melalui buku bacaan.

Factor psikologis adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan keadaan kejiwaan siswa.

Factor psikologis dapat dibedakan menjadi:

a. Bakat

Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki anak untuk mencapai keberhasilan. Bakat anak
akan mulai tampak sejak ia dapat berbicara atau sudah masuk Sekolah Dasar (SD). Bakat yang
dimiliki anak tidak sama. Bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-
bidang studi tertentu. Jadi, merupakan hal yang tidak bijaksana apabila orang tua memaksakan
kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan atau keahlian tertentu tanpa mengetahui
terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya. Dengan tidak adanya factor penunjang dan usaha untuk
mengembangkannya, maka bakat tersebut lama-kelamaan akan punah. Untuk berhasilnya kegiatan
belajar yang telah didasari atas bakat tersebut, harus ada factor penunjang. Diantaranya, fasilitas
untuk sarana, pembiayaan, dan dorongan moral dari orang tua serta minat yang dimiliki.

b. Minat

Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar untuk sesuatu.
Dalam minat, ada dua hal yang harus diperhatikan:

· Minat pembawaan

Minat ini muncul dengan tidak dipengaruhi oleh factor-faktor lain, baik kebutuhan maupun
lingkungan.
· Minat yang muncul karena adanya pengaruh dari luar.

Minat seseorang bisa saja berubah karena adanya pengaruh lingkungan dan kebutuhan. Spesialisasi
bidang studi yang menarik minat seseorang akan dapat dipelajari dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya,
jika bidang studi yang tidak sesuai dengan minatnya, tidak mempunyai daya tarik baginya.

c. Inteligensi

Inteligensi adalah kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri
dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Kemampuan dasar yang tinggi pada anak,
memungkinkannya dapat menggunakan pikirannya untuk belajar dan memecahkan masalah
persoalan-persoalan baru secara tepat, cepat, dan berhasil. Sebaliknya, tingkat kemampuan dasar
yang rendah dapt mengakibatkan murid mengalami kesulitan dalam belajar.

d. Motivasi

Motivasi adalah keadaan internal manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Fungsi
motivasi adalah mendorong seseorang untuk interes pada kegiatan yang akan dikerjakan,
menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai, dan mendorong seseorang
untuk pencapaian prestasi, yakni dengan adanya motivasi yang baik dalam belajar, akan
menunjukkan hasil belajar yang baik.

B. Faktor Eksternal

Factor eksternal adalah factor yang timbul dari luar diri siswa. Factor eksternal dibagi menjadi dua
macam, yaitu:

1. Factor social

Factor social dibagi menjadi beberapa lingkungan, yaitu:

a. Lingkungan keluarga

· Orang tua

Dalam kegiatan belajar, seorang anak perlu diberi dorongan dan peringatan dari orang tua. Apabila
anak sedang belajar, jangan diganggu dengan tugas-tugas rumah. Orang tua berkewajiban member
pengertian dan dorongan serta semaksimal mungkin membantu dalam memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi anak di sekolah. Apabila semangat belajar anak lemah, kemudian orang tua
memanajakan anaknya, maka ketika masuk sekolah, ia akan menjadi siswa yang kurang bertanggung
jawab dan takut menghadapi tantangan kesulitan. Demikian juga orang tua yang mendidik anaknya
terlalu keras, maka anak tersebut akan menjadi takut, tidak supel dalam bergaul, dan mengisolasi
diri.

Suasana rumah

Hubungan antar anggota keluarga yang kurang harmonis, akan menimbulkan suasana kaku, dan
tegang dalam keluarga, yang menyebabkan anak kurang bersemangat untuk belajar. Sedangkan
suasana rumah yang akrab, menyenangkan dan penuh kasih sayang, akan memberikan dorongan
belajar yang kuat bagi anak.

· Kemampuan ekonomi keluarga

Hasil belajar yang baik, tidak dapat diperoleh hanya dengan mengandalkan keterangan-keterangan
yang diberikan oleh guru di depan kelas, tetapi membutuhkan juga alat-alat yang memadai, seperti
buku, pensil, pena, peta, bahkan buku bacaan. Sedangkan sebagian besar, alat-alat pelajaran itu
harus disediakan sendiri oleh murid yang bersangkutan. Bagi orang tua yang keadaan ekonominya
kurang memadai, sudah barang tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya itu
secara memuaskan.

Apabila keadaan ini terjadi pada orang tua murid, maka murid yang bersangkutan akan menanggung
resiko yang tidak diharapkan.

· Latar belakang kebudayaan

Tingkat pendidikan dan kebiasaan dalam keluarga, akan mempengaruhi sikap anak dalam belajar.
Jadi, anak-anak hendaknya ditanamkan kebiasaan yang baik, agar mendorong anak untuk belajarb.
Lingkungan guru

· Interaksi guru dan murid

Guru yang kurang berinteraksi dengan murid secara rutin akan menyebabkan proses belajar
mengajar kurang lancar. Dan menyebabkan anak didik merasa ada distansi (jarak) dengan guru,
sehingga segan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

· Hubungan antar murid

Guru yang bisa mendekati siswa dan kurang bijaksana, maka tidak akan mengetahui bahwa di dalam
kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Suasana kelas semacam ini sangat tidak
diharapkan dalam proses belajar. Maka, guru harus mampu membina jiwa kelas supaya dapat hidup
bergotong-royong dalam belajar bersama, agar kondisi belajar individual siswa dapat berlangsung
dengan baik.

· Cara penyajian bahan pelajaran

Guru yang hanya bisa mengajar dengan metode ceramah saja, membuat siswa menjadi bosan,
mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja. Guru yang progresif, adalah guru yang berani mencoba
metode-metode baru, yang dapat membantu dalam meningkatkan kondisi belajar siswa.

c. Lingkungan masyarakat

· Teman bergaul

Pergulan dan teman sepermainan sangat dibutuhkan dalam membuat dan membentuk kepribadian
dan sosialisasi anak. Orang tua harus memperhatikan agar anak-anaknya jangan sampai mendapat
teman bergaul yang memiliki tingkah laku yang tidak diharapkan. Karena prilaku yang tidak baik,
akan mudah sekali menular pada anak lain.

· Pola hidup lingkungan

Pola hidup tetangga yang berada di sekitar rumah di mana anak itu berada, punya pengaruh besar
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika anak berada di kondisi masyarakat kumuh
yang serba kekurangan, dan anak-anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi kondisi
belajar anak, karena ia akan mengalami kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi
atau meminjam alat-alat belajar

b. Lingkungan guru

· Interaksi guru dan murid


Guru yang kurang berinteraksi dengan murid secara rutin akan menyebabkan proses belajar
mengajar kurang lancar. Dan menyebabkan anak didik merasa ada distansi (jarak) dengan guru,
sehingga segan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

· Hubungan antar murid

Guru yang bisa mendekati siswa dan kurang bijaksana, maka tidak akan mengetahui bahwa di dalam
kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Suasana kelas semacam ini sangat tidak
diharapkan dalam proses belajar. Maka, guru harus mampu membina jiwa kelas supaya dapat hidup
bergotong-royong dalam belajar bersama, agar kondisi belajar individual siswa dapat berlangsung
dengan baik.

· Cara penyajian bahan pelajaran

Guru yang hanya bisa mengajar dengan metode ceramah saja, membuat siswa menjadi bosan,
mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja. Guru yang progresif, adalah guru yang berani mencoba
metode-metode baru, yang dapat membantu dalam meningkatkan kondisi belajar siswa.

c. Lingkungan masyarakat

· Teman bergaul

Pergulan dan teman sepermainan sangat dibutuhkan dalam membuat dan membentuk kepribadian
dan sosialisasi anak. Orang tua harus memperhatikan agar anak-anaknya jangan sampai mendapat
teman bergaul yang memiliki tingkah laku yang tidak diharapkan. Karena prilaku yang tidak baik,
akan mudah sekali menular pada anak lain.

· Pola hidup lingkungan

Pola hidup tetangga yang berada di sekitar rumah di mana anak itu berada, punya pengaruh besar
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika anak berada di kondisi masyarakat kumuh
yang serba kekurangan, dan anak-anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi kondisi
belajar anak, karena ia akan mengalami kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi
atau meminjam alat-alat belajar

Kegiatan dalam Masyarakat

Kegiatan dalam masyarakat dapat berupa karang taruna, menari, olah raga, dan lain sebagainya. Bila
kegiatan tersebut dilakukan secara berlebihn, tentu akan menghambat kegiatan belajar. Jadi, orang
tua perlu memperhatikan kegiatan anak-anaknya.

· Mass media

Mass media adalah sebagai salah satu factor penghambat dalam belajar. Misalnya, bioskop, radio,
TV, membaca novel, majalah yang tidak dibertanggung jawabkan dari segi pendidikan. Sehingga,
mereka akan lupa akan tugas belajarnya. Maka dari itu, buku bacaan, video-kaet, majalah, dan mass
media lainnya perlu diadakan pengawasan yang ketat dan diseleksi dengan teliti.

2. Faktor non-sosial

Factor non-sosial dapat dibedakan menjadi :

a. Sarana dan prasarana sekolah

· Kurikulum
System instruksional sekarang menghendaki, bahwa dalam proses belajar mengajar yang
dipentingkan adalah kebutuhan anak. Maka, guru perlu mendalami dengan baik dan harus
mempunyai perencanaan yang mendetail, agar dapat melayani anak belajar secara individual.

· Media pendidikan

Dapat berupa buku-buku di perpustakaan, laboratorium, LCD, computer, layanan internet, dan lain
sebagainya. Pada umumnya, sekolah masih kurang memiliki media tersebut, baik dalam jumlah
maupun kualitas.

· Keadaan gedung

Dengan banyaknya jumlah siswa yang membludak, keadaan gedung dewasa ini masih sangat kurang.
Mereka harus duduk berjejal-jejal di dalam kelas. Factor ini tentu akan menghambat lancarnya
kondisi belajar siswa. Keadaan gedung yang sudah tua dan tidak direnovasi, serta kenyamanan dan
kebersihan di dalam kelas yang masih kurang.

· Sarana belajar

Sarana yang terdapat di sekolah, juga akan mempengaruhi kondisi belajar siswa. Perpustakaan yang
tidak lengkap, papan tulis yang sudah buram, laboratorium yang darurat atau tidak lengkap, dan
tempat praktikum yang tidak memenuhi syarat, tentu akan mempengaruhi kualitas belajar, dan pada
akhirnya akan juga mempengaruhi hasil belajar siswa.

Adakalanya juga, sarana yang sudah begitu lengkap tidak diikuti dengan system pelayanan ramah.
Contohnya, pegawai perpustakaan yang cenderung tidak ramah, dan tidak membantu, peraturan-
peraturan yang tidak memberikan layanan yang jelas terhadap pemakai sarana, sikap arogan
petugas yang menganggap bahwa pusat-pusat layanan itu adalah miliknya karena ia mempunyai
otoritas.

b. Waktu belajar

Karena keterbatasan gedung sekolah, sedangkan jumlah siswa banyak, maka ada siswa yang harus
terpaksa sekolah di siang dan sore hari. Waktu di mana anak-anak harus beristirahat, tetapi harus
masuk sekolah. Mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk. Berbeda dengan anak yang
belajar di pagi hari. Sebab, pikiran mereka masih segar, dan jasmani dalam kondisi baik. Karena
belajar di pagi hari, lebih efektif daripada belajar di waktu lainnya.

c. Rumah

Kondisi rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tidak
memiliki sarana umum untuk kegiatan anak, akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke tempat-
tempat yang sebenarnya tidak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas
berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar siswa.

d. Alam

Dapat berupa keadaan-keadaan cuaca yang tidak mendukung anak untuk melangsungkan proses
belajar mengajar. Kalaupun berlangsung, tentu kondisi belajar siwa pun akan kurang optimal.

C. Cara Mendiagnosa Masalah Belajar dan Mengatasinya


Yang dimaksud dengan proses mendiagnosis adalah proses pemeriksaan terhadap suatu gejala yang
tidak beres. Diagnosis masalah belajar dilakukan jika guru menandai atau mengidentifikasi adanya
kesulitan belajar pada muridnya.

Diagnosis masalah belajar dilakukan secara sitematis dan terarah dengan langkah-langkah:

Mengidentifikasi adanya masalah belajar

Untuk mengidentifikasi masalah belajar diperlukan seperangkat keterampilan khusus, sebab


kemampuan mengidentifikasi yang berdasarkan naluri belaka kurang efektif. Semakin luas
pengetahuan guru tentang gejala-gejala kesulitan belajar, akan semakin terampil guru melakukan
diagnosis masalah belajar. Gejala-gejala munculnya masalah belajar dapat diamati dalam berbagai
macam bentuk, biasanya muncul dalam bentuk perubahan perilaku yang menyimpang atau dalam
menurunnya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang juga muncul dalam berbagai bentuk seperti:
suka mengganggu teman, merusak alat pembelajaran, sukar memusatkan perhatian, sering
termenung, menangis, hiperaktif, sering bolos dan sebagainya.

Menelaah/menetapkan status siswa

Penelaahan dan penetapan status murid dilakukan dengan cara:

a. Menetapkan tujuan khusus yang diharapkan olah murid

b. Menetapkan tingkat ketercapaian tujuan khusus oleh murid dengan menggunakan tehnik dan alat
penilaian yang tepat.

c. Menetapkan pola pencapaian murid, yaitu seberapa jauh ia berbeda dari tujuan yang ditetapkan
itu

Memperkirakan sebab terjadinya masalah belajar

Membuat perkiraan yang tepat adalah suatu perbuatan yang kompleks yang keberhasilannya sangat
dipengaruhi oleh berbagai factor. Beberapa prinsip yang harus diingat dalam memperkirakan sebab
terjadinya masalah belajar.

a. Gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh sebab yang berbeda

b. Sebab yang sama dapat menimbulkan gejala yang berbeda

c. Berbagai penyebab dapat berinteraksi yang dapat menimbulkan gejala masalah yang makin
kompleks.

3. Psikomotorik (Keterampilan)

Psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan fisik.

Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu :

a. Peniruan

terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati.
Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global
dan tidak sempurna.

b. Manipulasi

Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan


pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan
sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.

c. Ketetapan

memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-
respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.

d. Artikulasi

Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai
yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.

e. Pengalamiahan

Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun
psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi
dalam domain psikomotorik.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi instruksional
pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, di mana
sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat kognitif dan diinternalisasikan
lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan dalam bentuk nyata oleh domain
psikomotorik ini.

Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan
sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:

1. Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah
diberikan pada mereka?

2. Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?

3. Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam
praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?

Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah
kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan
para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran.

Sumber : http://syahsmkn2tb.wordpress.com
7. Proses manajerial dikelas dalam kaitan dengan gangguan belajar siswa
maupun guru)
Pengertian Manajemen KelasManajemen kelas adalah beragam tingkah laku guru yang kompleks
agar pengajarannya menjadi efektif dan efisien. Manajemen merupakan suatu hal dapat membuat
siswa terlihat sangat aktif dalam aktivitas pembelajaran di kelas dan mereduksi tingkah laku-tingkah
laku yang kontraproduktif denganproses pembelajaran sehingga guru dan siswa dapat melakukan
proses belajar mengajar dengan efisien jika dilihat dari segi waktu.Tanpa manajemen kelas yang
efektif proses pembelajaran siswaakan terganggu selama pengajaran berlangsung.Manajemen kelas
merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran kondusif dan
mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Manajemen kelas adalah suatu usaha
yang dilakukan penanggung jawab kegiatan belajar mengajar apa yang membantu dengan maksud
agar dicapai kondisi yang optimal,sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar seperti yang
diharapkan. Manajemen kelas merupakan keterampilan yang harus dimiliki guru dalam
memutuskan, memahami, mendiagnosis dan kemampuan bertindak menuju perbaikan suasan kelas
terhadap aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam manajemen kelas adalah: sifat kelas,
pendorong kekuatan kelas, situasikelas, tindakan seleksi dan kreatif.Manajemen kelas merupakan
serangkaian perilaku guru dalam upaya menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang
memungkinkan peserta didik mencapai tujuan belajr mencapai tujuan belajar secara efesien atau
memungkinkan pesrta didik belajar dengan baikI.Tujuan/Fungsi Manajerial KelasA.Tujuan
Manajemen KelasAdapun tujuan dari Manajemen Kelas adalah sebagai berikut :Agar pengajaran
dapat dilakukan secara maksimal, sehingga tujuanpengajaran dapat dicapai secara efektif dan
efisien.Untuk memberi kemudahan dalam usaha memantau kemajuan siswa dalam pelajarannya.
Dengan Manajemen Kelas, guru mudah untuk melihat dan mengamati setiap kemajuan/
perkembangan yang dicapai siswa, terutama siswa yang tergolong lamban.Untuk memberi
kemudahan dalam mengangkat masalah-masalah penting untuk dibicarakan dikelas demi perbaikan
pengajaran pada masa mendatang.B.Fungsi Manajerial KelasMemberikan dan melengkapi fasilitas
untuk segala macam tugas seperti membantu kelompok dalam pembagian tugas, membantu
pembentukan kelompok, membantu kerjasama dalam menentukan tujuan-tjuan organisasi,
membantu individu agar dapat bekerja sama dengan kelompok atau kelas, membantu prosedur
kerja, mengubah kondisi kelas.Memelihara agar tugas-tugas itudapat berjalan lancar.II.Prinsip-
prinsip dalam Manajemen KelasDjamarah (2006:185) menyebutkan “Dalam rangka memperkecil
masalah gangguan dalam pengelolaan kelas dapat dipergunakan.” Prinsip-prinsip pengelolaan kelas
yang dikemukakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut.1)Hangat dan AntusiasHangat dan Antusias
diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab pada anak didik selalu
menunjukkan antusias pada tugasnya atau padaaktifitasnya akan berhasil dalam
mengimplementasikan pengelolaankelas.2)TantanganPenggunaan kata-kata, tindakan,cara kerja,
atau bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga
mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang.3)BervariasiPenggunaan alat
atau media, gayamengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi
munculnya gangguan,meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini merupakan kunci untuk
tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan.4)KeluwesanKeluwesan
tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan munculnya
gangguan siswa serta menciptakan iklim belajarmengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran dapat
mencegah munculnya gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan
tugas dan sebagainya.5)Penekanan pada Hal-Hal yang PositifPada dasarnya dalam mengajar dan
mendidik, guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian
pada hal-halyang negative. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu penekanan yang dilakukan
guru terhadap tingkah laku siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku yang negatif.
Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif dan kesadaran guru
untuk menghindari kesalahan yang dapatmengganggu jalannya proses belajar
mengajar.6)Penanaman Disiplin DiriTujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak didik dapat
mengembangkan dislipin diri sendiri dan guru sendiri hendaknya menjadi teladan mengendalikan
diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, guru harus disiplin dalam segala hal bila ingin anak
didiknya ikut berdisiplin dalam segala hal.III.Pendekatan dalam Manajemen KelasManajemen kelas
bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan berbagai faktor. Permasalahan anak
didik adalah faktor utama yang dilakukan guru tidak lain adalah untuk meningkatkan kegairahan
siswa baik secara berkelompok maupun secara individual.Keharmonisan hubungan guru dan anak
didik, tingginya kerjasama diantara siswa tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang
optimal bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka pengelolaan kelas. (Djamarah
2006:179).Berbagai pendekatan tersebut adalah seperti dalam uraian berikut:a)Pendekatan
KekuasaanPengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak
didik. Peranan guru disini adalah menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas.
Kedisiplinan adalah kekuatan yang menuntut kepada anak didik untuk mentaatinya. Di dalamnya ada
kekuasaan dan norma yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. Melalui kekuasaan dalam bentuk
norma itu guru mendekatinya.b)Pendekatan AncamanDari pendekatan ancaman atau intimidasi ini,
pengelolaan kelas adalah juga sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Tetapi
dalam mengontrol tingkah laku anak didik dilakukan dengan cara memberi ancaman, misalnya
melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa.c)Pendekatan KebebasanPengelolaan diartikan secara
suatu proses untuk membantu anak didik agar merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja
dan dimana saja. Peranan guru adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak
didik.d)Pendekatan ResepPendekatan resep (cook book) ini dilakukan dengan memberi satu daftar
yang dapat menggambarkan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh guru dalam
mereaksi semua masalah atau situasi yang terjadi di kelas. Dalam daftar itu digambarkan tahap demi
tahap apa yang harus dikerjakan oleh guru. Peranan guru hanyalah mengikuti petunjuk seperti yang
tertulis dalam resep.e)Pendekatan PengajaranPendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa
dalam suatu perencanaan dan pelaksanaan akan mencegah munculnya masalah tingkah laku anak
didik, dan memecahkan masalah itu bila tidak bisa dicegah.Pendekatan ini menganjurkan tingkah
laku guru dalam mengajaruntuk mencegah dan menghentikan tingkah laku anak didik yang kurang
baik. Peranan guru adalah merencanakan dan mengimplementasikan pelajaran yang
baik.f)Pendekatan Perubahan TingkahLakuSesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan
sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku anak didik. Peranan guru adalah
mengembangkan tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik.
Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification approach) ini bertolak dari
sudut pandangan psikologi behavioral.g)Pendekatan Sosio-EmosionalPendekatan sosio-emosional
akan tercapai secarta maksimal apabila hubungan antar pribadi yang baik berkembang di dalam
kelas. Hubungan tersebut meliputi hubungan antara guru dan siswa serta hubungan antar siswa.
Didalam hal ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu
seharusnya guru mengembangkaniklim kelas yang baik melalui pemeliharaan hubungan antar
pribadi di kelas. Untuk terrciptanya hubungan guru dengan siswa yang positif, sikap mengerti dan
sikap ngayomi atau sikap melindungi.h)Pendekatan Kerja KelompokDalam pendekatan in, peran
guru adalah mendorong perkembangan dan kerja sama kelompok. Pengelolaan kelas dengan proses
kelompok memerlukan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan
kelompok menjadi kelompok yang produktif, dan selain itu guru harus pula dapat menjaga kondisi
itu agar tetap baik. Untuk menjaga kondisi kelas tersebut guru harus dapat mempertahankan
semangat yang tinggi, mengatasi konflik, dan mengurangi masalah-masalah
pengelolaan.i)Pendekatan Elektis atau PluralistikPendekatan elektis (electic approach) ini
menekankan pada potensialitas, kreatifitas, dabn inisiatif wali atau guru kelas dalam memilih
berbagai pendekatan tersebut berdasarkansituasi yang dihadapinya. Penggunaan pendekatan itu
dalamsuatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dan dalam situasi lain mungkin harus
mengkombinasikan dan atau ketiga pendekatan tersebut.Pendekatan elektis disebut juga
pendekatan pluralistik, yaitu pengelolaan kelas yang berusaha menggunakan berbagai macam
pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi
memungkinkan proses belajar mengajar berjalan efektif dan efisien. Guru memilih dan
menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan selama maksud
dan penggunaannnya untuk pengelolaan kelas disini adalah suatu set (rumpun) kegiatan guru untuk
menciptakandan mempertahankan kondisi kelasyang memberi kemungkinan prosesbelajar mengajar
berjalan secara efektif dan efisien.IV.Pengaruh Manajemen Kelas dalam Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran di KelasPembelajaran yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pembaharuan
kurikulum, fasilitas yang tersedia, kepribadian guru yang simpatik, pembelajaran yangpenuh kesan,
wawasan pengetahuan guru yang luas tentang semua bidang, melainkan juga guru harus menguasai
kiat memanejemeni kelas.Pemahaman akan prinsip-prinsip manajemen kelas ini penting dikuasai
sebelum hal-hal khusus diketahui. Dengan dikuasainya prinsip-prinsip manajemen kelas, hal ini akan
menjadi filter-filter penyaring yang menghilangkan kekeliruan umum dari manajemen kelas.
Manajemen kelas dapat mempengaruhi tingkat kualitas pembelajaran di kelas karena manajemen
kelas benar-benar akan mengelola susasana kelas menjadi sebaik mungkin agar siswa menjadi
nyaman dan senang selama mengikuti proses belajar mengajar.Oleh karena itu, kualitas belajar
siswa seperti pencapaian hasil yang optimal dan kompetensi dasar yang diharapkan dapat tercapai
dengan baik dan memuaskan. Selain itu, manajemen kelas juga akan menciptakan dan
mempertahankan suasana kelas agar kegiatan mengajar dapat berlangsung secara efektif dan
efisien. Di samping itu juga, dengan manajemen kelas tingkat daya serap materi yang telah diajarkan
guru akan lebih membekas dalam ingatan siswa karena adanya penguatan yang diberikan guru
selama proses belajar mengajar berlangsung.
8. Pemahaman mengenai masalah belajar internal dan eksternal
9. Siswa Berkebutuhan Khusus
Anak dengan kebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/
perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.

Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi
kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan
pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.[1]

Anak – anak yang memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas tersebut dalam proses
perkembangannya memerlukan adanya layanan pendidikan khusus. Dengan demikian, ABK dapat
diartikan sebagai anak yang memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas yang tidak bisa
disamakan dengan anak normal pada umumnya sehingga dalam perkembangannya diperlukan
adanya layanan pendidikan khusus agar potensinya dapat berkembang secara optimal.[2]

Anak berkebutuhan khusus memiliki keragaman sifat, perilaku, karakteristik,dan bentuknya yaitu:

a. Kelompok ABK dilihat dari aspek kecerdasan (intelegensi)

Dari aspek kecerdasan, anak kelompok ini terdiri dari kelompok ABK berintelegensi di atas rata-rata
(supernormal) dan kelompok ABK yang berintelegensi di bawah rata-rata (subnormal). ABK
supernormal meliputi:

· Super cerdas/gifted (IQ>140),

· Sangat cerdas/full bright (IQ 130-140),

· Cerdas/rapid (IQ 120-130),

· Atas normal (IQ110-120).

Kelompok ABK subnormal (tunagrahita) meliputi:

· Bawah rata-rata/dull normal (IQ 80-90)

· Moron/ border line (IQ 70-80)

· Debil (IQ 60-70)

· Imbisil (30-60)

· Idiot (IQ<30)
b. Kelompok ABK dilihat dari aspek fisik/jasmani:

Dilihat dari fisik atau jasmani kelompok anak ini dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:

1. Tunanetra

Individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi dua yaitu:

Ø Kurang awas (low vision), yaitu anak yang masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa
sehingga masih dapat sedikit melihat atau membedakan gelap dan terang.

Ø Buta (blind), yaitu anak yang sudah tidak bisa atau tidak memiliki sisa penglihatan sehingga tidak
bida membedakan gelap dan terang.

2. Tunarungu

Yaitu anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang
mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu
dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tuna rungu dapat dibagi
menjadi:

Ø Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight losses)

Ø Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30- 40 dB (mild losses)

Ø Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB(moderate loses)

Ø Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe lossses)

Ø Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 75 dB keatas (profoundly losses)[3]

3. Tunadaksa

Anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menatap pada alat gerak (tulang,sendi,otot)
sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunadaksa dibagi menjadi dua
kategori yaitu:

Ø Tunadaksa orthopedic(orthopedicallyhandicapped) yaitu mereka yang mengalami kelainan


kecacatan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya fungsi tubuh.

Ø Tunadaaksa syaraf (neurologically handicapped) yaitu kelainan yang terjadi pada anggota tubuh
yang disebabkan gangguan pada urat syaraf.

c. Anak Dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras)

Anak tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku
tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun
masyarakat pada umumnya,sehingga merugikan dirinya maupun orang lain.[4]

d. kelompok ABK dilihat dari aspek atau jenis tertentu

1. Autisme

Yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf
pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. Anak yang
mengindap autis pada umumnya menunjukkan perilaku tidak senang kontak mata dengan orang
lain, kurang suka berteman, senang menyendiri dan asyik dengan dirinya sendiri.[5]

2. Hiperaktif

Istilah hiperaktif berasal dari kata hiper yang berarti kuat, tinggi, lebih, sedangkan kata aktif berarti
gerak atau aktifitas jasmani. Dengan demikian hiperaktif berarti anak yang memiliki gerak jasmani
yang lebih atau melebihi teman – teman seusianya. Bisa juga dikatakan anak yang memiliki gejala –
gejala perilaku yang melebihi kapasitas anak – anak yang normal. Misalnya: tidak dapat duduk
dengan waktu yang relatif cukup, senang berpindah – pindah tempat duduk saat kegiatan belajar
berlangsung.

3. Anak berkesulitan belajar

Anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam
hal kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena
faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena faktor intelegensi (intelegensinya normal
bahkan ada yang diatas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

FAKTOR PENYABAB ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Anak berkebutuhan khusus selain sudah menjadi takdir juga karena adanya faktor – faktor tertentu
yang menjadi penyebabnya. Faktor – faktor penyebab itu menurut kejadiannya dapat dibedakan
menjadi tiga peristiwa yaitu:

a. Kejadian sebelum lahir (prenatal)

Faktor penyebab ketunaan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah
keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunaan yang terjadi pada ABK yang
terjadi sebelum masa kelahiran dapat disebabkan antara lain oleh hal- hal sebagai berikut:

· Virus Liptospirosis (air kencing tikus), yang menyerang ibu yang sedang hamil. Jika virus ini
merembet pada janin yang sedang dikandungnya melalui placenta maka ada kemungkinan anak
mengalami kelainan.[6]

· Virus maternal rubella (campak jerman, retrolanta fibroplasia (RLF) yang menyerang pada ibu
hamil dan jamin janin yang dikandungnya terdapat kemunngkinan akan timbul kecacatan pada bayi
yang lahir.

· Keracunan darah (toxaenia) pada ibu- ibu yang sedang hamil sehingga janin tidak dapat
memperoleh oksigen secara maksimal, sehingga saraf – saraf di otak mengalami gangguan.

· Faktor rhesus (Rh) anoxia prenatal, kekurangan oksigen pada calon bayi di kandungan yang terjadi
karena ada gangguan/infeksi pada placenta.

· Penggunaan obat – obatan kontrasepsi yang salah pemakaiannya sehingga jiwanya menjadi
goncang, tertekan yang secara langsung dapat berimbas pada bayi dalam perut.

· Percobaan abortus yang gagal, sehingga janin yang dikandungnya tidak dapat berkembang secara
wajar.

b.Kejadian pada saat kelahiran


Ketunaan yang terjadi pada saat kelahiran dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

· Proses kelahiran yang menggunakan tang verlossing (dengan bantuan tang). Cara ini dapat
menyebabkan brain injury (luka pada otak) sehingga pertumbuhan otak kurang dapat berkembang
secara optimal.

· Proses kelahiran bayi yang terlalu lama sehingga mengakibatkan bayi kekurangan zat
asam/oksigen. Hal ini dapat menggangu pertumbuhan sel-sel di otak. Keadaan bayi yang lahir dalam
keadaan tercekik oleh ari –ari ibunya sehingga bayi tidak dapat secara leluasa untuk bernafas yang
pada akhirnya bisa menyebabkan gangguan pada otak.

· Kelahiran bayi pada posisi sungsang sehingga bayi tidak dapat memperoleh oksigen cukup yang
akhirnya dapat mengganggu perkembangan sel di otak[7].

c. Kejadian setelah kelahiran

Ketunaan pada ABK dapat diperoleh setelah kelahiran pula karena faktor- faktor penyebab seperti
berikut ini:

· Penyakit radang selaput otak(meningitis) dan radang otak(enchepalitis)sehingga menyebabkan


perkembangan dan pertumbuhan sel-sel otak menjadi terganggu.

· Terjadi incident(kecelakaan) yang melukai kepala dan menekan otak bagian dalam.

· Stress berat dan gangguan kejiwaaan lainnya.

· Penyakit panas tinggi dan kejang – kejang(stuip), radang telinga(otitis media), malaria tropicana
yang dapat berpengaruh terhadap kondisi badan.

C. BENTUK – BENTUK LAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi jenis, sifat, kondisi maupun
kebutuhannya, oleh karena itu layanan pendidikannya tidak dapat dibuat tunggal atau seragam
melainkan menyesuaikan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak.
Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut, dapat lebih memudahkan anak – anak
ABK dan orang tuanya untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya.

Ada beberapa model atau bentuk pelayanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan mulai dari yang
model klasik sampai yang model terkini.

Ø Model segregasi

Merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada anak – anak
berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara
khusus dan terpisah dari kelompok jenis anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya.
Dalam praktiknya, masing – masing kelompok anak dengan jenis kekhususan yang sama dididik pada
lembMerupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada anak –
anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara
khusus dan terpisah dari kelompok jenis anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya.
Dalam praktiknya, masing – masing kelompok anak dengan jenis kekhususan yang sama dididik pada
lembaga pendidikan yang melayani sesuai dengan kekhususannya tersebut. Sebagai contoh: SLB A,
lembaga pendidikan untuk anak tunanetra, SLB B lembaga pendidikan umtuk anak tunarungu, SLB C,
lembaga pendidikan untuk anak tuna grahita, SLB D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, SLB
E lembaga pendidikan untuk anak tuna laras dan SLB G untuk tuna ganda.

Ø Model kelas khusus

Sesuai dengan namanya, kelas khusus tidak berdiri sendiri seperti halnya sekolah khusus(SLB),
melainkan keberadaanya ada di sekolah umum atau reguler. Keberadaan kelas khusus ini tidak
bersifat permanen, melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya anak – anak yang memerlukan
pendidikan atau pembelajaran khusus di sekolah tersebut[8].

Ø Model sekolah dasar luar biasa(SDLB)

SDLB keberadaannya mirip dengan SLB yaitu sekolah yang diperuntukkan dan untuk menampung
anak –anak berkebutuhan khusus usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat kekhususan yang
dialaminya. Mereka belajar di kelas masing-masing yang disesuaikan dengan jenis kekhususannya,
akan tetapi mereka bersosialisasi secara bersama-sama dalam satu naungan sekolah.

Ø Model guru kunjung

Model guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani pendidikan bagi ABK terutama mereka yang
ada atau bermukin di daerah terpencil, daerah perairan, daerah kepulauan atau tempat – tempat
yang sulit dijangkau oleh layanan pendidikan khusus yang telah ada, misalnya SLB, SDLB, kelas
khusus dan sebagainya. Di tempat tersebut dibentuk sanggar atau kelompok – kelompok belajar
tempat anak – anak memperoleh layanan pendidikan.

Ø Sekolah terpadu

Sekolah ini pada hakikatnya merupakan sekolah normal biasa yang telah ditetapkan untuk menerima
anak – anak yang berkebutuhan khusus. Mereka belajar bersama – sama dengan anak- anak normal
lainnya tanpa dipisah dinding tembok kelas. Dalam pembelajaran di sekolah mereka diajar oleh guru
– guru umum, sedangkan materi – materi yang memiliki sifat kekhususan diberikan oleh guru
pendamping yang telah ditunjuk[9].

Ø Pendidikan Inklusi (inclusive education)

Kata inklusi bermakna terbuka, yang berarti bahwa pendidikan yang bersifat terbuka bagi siapa saja
yang mau masuk sekolah baik dari kalangan anak normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Demikian pula lingkungan pendidikan yang, termasuk ruang kelas, toilet, halaman bermain,
laboratorium dan lain – lain harus dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak, termasuk anak
berkebutuhan khusus.
4. Proses belajar secara Psikologi

PENTINGNYA PSIKOLOGI PENDIDIKAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Dibuat: Selasa, 10 Februari 2015 10:32

Ditulis oleh BDK Yogyakarta

PENTINGNYA PSIKOLOGI PENDIDIKAN

DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Jamila Lestyowati

Abstrak

Pengajar yang sukses merupakan sosok yang menguasai masalah substansi dan profesional,
memahami motif, kepribadian, kemampuan berfikir, gaya belajar dan perilaku peserta didiknya.
Ketika pengajar berada di ruang kelas, keterampilan mengajarnya bukanlah didapat dari keturunan,
tapi hasil dari pengalaman. Setiap kali pengajar berada di ruang kelas, pasti ada hal baru yang
didapatkannya. Hal itu bisa berasal dari peserta diklatnya, dari sesama pengajar maupun dari
suasana yang dibangun selama diklat. Dan hal yang baru itu kemudian menjadi dasar bagi penerapan
untuk periode berikutnya. Namun demikian, tetap diperlukan informasi dari pihak lain yang telah
mengembangkan belajar dari pengalaman mereka. Karena pengalaman orang lain juga bisa dijadikan
pegangan. Bisa jadi pengajar tersebut belum mengalami apa yang sudah dialami oleh pengajar yang
lain. Pemahaman akan motif, kepribadian, kemampuan berfikir, gaya belajar dan lain-lain atau dapat
disingkat dengan psikologi pendidikan peserta diklat merupakan hal yang niscaya untuk pencapaian
tujuan pembelajaran.

Kata kunci : psikologi pendidikan, pengajar, peserta diklat, belajar, widyaiswara

Pengantar

Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi
secara etimologis, psikologi berarti ilmu jiwa. Pada awalnya psikologi digunakan oleh para filosof
untuk memahami akal pikiran dan tingkah laku makhluk hidup. Namun selanjutnya psikologi
digunakan secara meluas untuk mempelajari banyak bidang. Pada akhirnya psikologi banyak
digunakan untuk memahami tingkah laku manusia, melalui penyelidikan tentang mengapa, kapan
dan dengan cara bagaimana tingkah laku seseorang itu muncul.

Muhibbin Syah menyimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok,
dalam hubungannya dengan lingkungan.

Pendidikan berasal dari kata “didik”. Mendidik berarti memelihara dan memberikan latihan, yang
memerlukan adanya ajaran terutama mengenai akhlak dan kecerdasan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan.

Psikologi Pendidikan

Barlow mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai suatu pengetahuan berdasarkan riset psikologis
yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu melaksanakan fungsi dalam
proses belajar mengajar secara lebih efektif. Sedangkan secara istilah psikologi pendidikan adalah
psikologi yang khusus menguraikan kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan situasi pendidikan, misalnya bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran
dapat dengan mudah diterima, bagaimana cara belajar dan sebagainya.

Maka psikologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia di dalam dunia
pendidikan yang meliputi studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan pendidikan manusia yang tujuannya untuk mengembangkan dan
meningkatkan koefisien di dalam pendidikan. Psikologi pendidikan pada dasarnya berorientasi pada
proses kegiatan orang-orang yang belajar dan mengajar termasuk pendekatan, strategi, hasil,
metode belajar mengajar yang digunakan baik pembelajar maupun pengajar. Pada akhirnya
psikologi pendidikan dapat digunakan sebagai pedoman praktis disamping sebagai kajian teoritis
karena psikologi pendidikan pada dasarnya merupakan salah satu disiplin psikologi yang meyelidiki
masalah-masalah psikologi yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Oleh karena itu objek kajian psikologi pendidikan, selain teori-teori psikologi pendidikan sebagai
ilmu, tetapi lebih condong pada aspek psikologis peserta didik, khususnya ketika mereka terlibat
dalam proses pembelajaran.

Menurut Glover dan Ronning objek kajian psikologi pendidikan mencakup topik-topik tentang
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, hereditas dan lingkungan, perbedaan individual
peserta didik, potensi dan karakteristik tingkah laku peserta didik, pengukuran proses dan hasil
pendidikan dan pembelajaran, kesehatan mental, motivasi dan minat, serta disiplin lain yang
relevan.

Pentingnya Psikologi Pendidikan

Secara garis besar banyak ahli membatasi objek kajian psikologi pendidikan menjadi tiga macam:

1. Mengenai “belajar”, yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip, dan ciri-ciri khas perilaku belajar
peserta didik, dan sebagainya;
2. Mengenai “proses belajar”, yakni tahapan perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam kegiatan
belajar peserta didik;

3. Mengenai “situasi belajar”, yakni suasana dan keadaan lingkungan, baik bersifat fisik maupun
nonfisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.

Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional dengan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan dikjartih PNS, evaluasi dan pengembangan diklat
pada lembaga diklat pemerintah. Sebagai tenaga dikjartih, dalam melakukan kegiatannya
widyaiswara harus menyesuaikan proses belajar mengajar dengan situasi dan kondisi peserta diklat.
Hal ini bertujuan agar pembelajaran dapat tercapai secara efektif.

Kelas adalah sebuah lingkungan yang menjadi tempat interaksi antar peserta diklat, antara peserta
diklat dengan widyaiswara. Proses interaksi ini harus digunakan sebagai dasar dalam
mempertimbangkan perlakuan seperti apa yang akan diberikan kepada peserta diklat. Perlakuan
yang responsif ini diberikan agar secara psikologis peserta diklat terus bergairah, antusias dan
senang melakukan kegiatan serta terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Agar bisa mendapatkan
situasi yang “meriah” seperti diatas, widyaiswara harus memahami konsep psikologi pendidikan agar
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional.

Manfaat yang dapat diperoleh pengajar yang memahami psikologi pendidikan antara lain :

1. Pemahaman proses perkembangan peserta didik yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Hal ini penting agar dapat dilakukan
penyesuaian dengan tahap perkembangan ranah cipta peserta diklat sehingga mereka lebih mudah
mencerna dan memahami materi yang disampaikan. Contoh nyata adalah ketika penulis berada di
kelas diklat PBJ. Pesera berasal dari latar belakang yang beragam. Pengalaman di kantor selama
melaksanakan pekerjaan sangat beragam. Di awal penulis melakukan profiling peserta untuk
mengetahui sejauh mana interaksi mereka dengan pekerjaan yang berhubungan dengan teknis
diklat. Biasanya kondisi peserta sangat beragam. Ada yang sudah berpengalaman dan lama bekerja
di bagian tersebut. Ada yang sekedar mengetahui bahkan ada yang sama sekali tidak mengerti
materi teknis tersebut. Pengetahuan akan profil peserta ini memudahkan penulis ketika mengajar
yaitu dengan memahami perkembangan peserta diklat selama ini. Maka penulis akan banyak
menyampaikan konsep di awal materi untuk menyesuaikan dengan kondisi peserta yang masih
pemula. Atau disaat yang lain, penulis akan banyak latihan dan sharing untuk peserta yang sudah
berpengalaman dan mengikuti diklat sebagai bentuk penyegaran kepada mereka.

2. Pemahaman cara belajar peserta diklat

Dalam proses belajar mengajar keberadaan widyaiswara sangat diperlukan untuk membantu peserta
diklat agar mau dan mampu belajar dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, merupakan hal yang
esensial bagi widyaiswara untuk memahami cara dan tahapan belajar yang terjadi pada peserta
diklatnya. Pemahaman ini mencakup urgensi belajar, teori belajar, hubungan belajar dengan memori
dan pengetahuan serta fase yang dilalui dalam peristiwa belajar. Selain juga pendekatan belajar,
kesulitan belajar dan cara mengatasinya.

3. Pemahaman dalam proses belajar mengajar

Hal yang perlu diperhatikan oleh widyaiswara dalam dikjartih adalah menyampaikan materi
pelajaran, melatih ketrampilan, menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi
pelajaran tersebut. Untuk itu widyaiswara harus mampu membangkitkan gairah dan minat belajar.
Disinilah pentingnya pemahaman mengenai model, metode dan strategi mengajar yang sesuai
dengan siatuasi dan kondisi peserta diklat.

Sebelum memulai penyampaian materi, penulis biasanya menyampaikan pertanyaan bagaimana


perasaan peserta pada saat diklat? Biasanya jawaban yang diberikan peserta beragam. Pertanyaan di
awal ini bertujuan untuk membangun kedekatan dengan peserta. Jika di awal pengajar dan peserta
sudah terjalin hubungan yang baik, maka penulis yakin proses pembelajaran berikutnya akan mudah
dan menyenangkan.

Ketika peserta berbagi pengalaman dan perasaan mereka, pengajar sebagai fasilitator
mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak mempertanyakan atau membalas perasaan yang
diungkapkan. Selain itu pengajar juga harus mengetahui model, strategi dan metode mengajar yang
tepat dihubungkan dengan materi pembelajaran. Penulis biasanya menggunakan metode yang
berbeda untuk satu materi tertentu.

Misalnya menggabungkan antara metode ceramah, kartu, teknik jigsaw, simulasi dan bermain peran.
Pemahaman mengenai teknik dan metode pembelajaran ini hal yang niscaya agar proses
pembelajaran variatif dan tidak membosankan.

4. Menjadi pengambil keputusan

Widyaiswara adalah manajer di kelas. Dia yang harus merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran termasuk membuat keputusan untuk mendinamisasikan kelas agar
proses belajar mengajar berlangsung secara efektif dan efisien dengan interaksi belajar mengajar
yang lancar dan menyenangkan.

Psikologi pendidikan berusaha untuk mewujudkan tindakan psikologis yang tepat dalam interaksi
antar setiap faktor pendidikan. Pengetahuan psikologis tentang peserta didik menjadi hal yang
sangat penting dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang psikologi pendidikan seharusnya
menjadi kebutuhan bagi para pengajar, bahkan bagi tiap orang yang menyadari dirinya sebagai
pendidik.

Proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan prinsip psikologi antara lain:

a. Materi diberikan mulai dari bahan yang sederhana kepada bahan yang lebih kompleks;

b. Materi diberikan dari hal yang konkret kepada hal yang lebih abstrak;

c. Materi diberikan dari hal yang umum kepada hal yang khusus;

d. Meteri diberikan dari hal yang diketahui kepada yang belum diketahui;

e. Materi diberikan dari proses induksi ke proses deduksi atau sebaliknya (Tabrani : 90)

Prinsip belajar yang mendapat dukungan semua ahli psikologi modern adalah:

a. Belajar selalu dimulai dengan suatu masalah dan berlangsung sebagai usaha untuk memecahkan
masalah itu;

b. Proses belajar selalu merupakan usaha untuk memecahkan suatu masalah secara sungguh-
sungguh dengan menangkap atau memahami hubungan antara bagian-bagaian masalah itu;

c. Belajar itu berhasil bila disadari telah ditemukan clue atau hubungan diantara unsur-unsur dalam
masalah itu sehingga diperoleh insight atau wawasan. Insight dapat timbul dengan tiba-tiba, dapat
pula secara berangsur-angsur atau dengan susah payah.

Dengan menerapkan psikologi pendidikan, maka peserta diklat akan memiliki empat kemampuan,
kecakapan dan sifat utama sebagai berikut:

1. Self realization (mewujudkan dan mengembangkan bakat seoptimal mungkin);

2. Human relationship (hubungan antara manusia);

3. Economic efficiency (efisiensi ekonomi);

4. Civic responsibility (tanggung jawab warga negara).

Penutup

Mempelajari psikologi pendidikan adalah bagian yang menarik dalam kaitannya dengan menjadi
pengajar yang sukses. Widyaiswara bukan hanya menjadi pengajar di kelas , tapi juga seorang
fasilitator. Penulis teringat dengan kata John Maxwell bahwa orang hebat adalah orang yang
membuat orang lain hebat. Maka ketika berhadapan dengan peserta diklat, widyaiswara adalah
sentral. Diperlukan pemahaman tentang psikologi pendidikan dalam upayanya untuk membuat
kegiatan pembelajaran menjadi kegiatan yang hebat, diisi oleh orang-orang yang hebat dan hasilnya
pasti akan hebat juga.

Penulis adalah widyaiswara Balai Diklat Keuangan Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Dwivedi, Anju. Merancang Pelatihan Partisipatif untuk Pemberdayaan. Penerbit Pondok Edukasi,
Yogyakarta. 2006

Rusyan, Tabrani. Pendekatan Dalam Proses Belajat Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 1992

Lembaga Administrasi Negara, Psikologi Pendidikan Modul Diklat Calon Widyaiswara, 2007

http://syahyarorangsukses.weebly.com/pengertian-dan-ruang-lingkup-psikologi-pendidikan.html

http://belajarpsikologi.com/pengertian-psikologi-pendidikan/

staff.uny.ac.id/sites/default/files/Psikologi%20Pendidikan.pdf

Anda mungkin juga menyukai