PERDATA I
DI SUSUN
O
L
E
H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
TA. 2018/2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan hidayah-Nya lah saya
dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata I ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata I. Sehubungan
dengan tersusunnya makalah ini saya menyampaikan terima kasih kepada ibu Delfani Febryana
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata I.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya dan pembaca. Saya menyadari bahwa makalah ini masih
terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun penyusun tetap mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................... 3
I. Latar Belakang....................................................................................................................... 3
II. Rumusan Masalah................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................... 4
I. Tujuan Mempelajari Hukum Perdata...................................................................................... 4
II. Sejarah Hukum Perdata.......................................................................................................... 4
III. Asas-Asas Hukum Perdata...................................................................................................... 5
A. Keadaan Hukum Perdata di Indonesia............................................................................... 5
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata................................................................ 8
C. Hubungan Antara Hukum Perdata dan Hukum Publik...................................................... 9
D. Sistematika Hukum Perdata............................................................................................... 9
IV. Hukum Perorangan.................................................................................................................10
A. Definisi Hukum Perorangan..............................................................................................10
B. Perihal Orang dalam Badan Hukum..................................................................................10
C. Perihal Badan Hukum........................................................................................................15
D. Perihal Domisili.................................................................................................................17
V. Hukum Keluarga.....................................................................................................................19
A. Pengertian Hukum Keluarga..............................................................................................19
B. Hukum Keluarga Menurut KUHPer dan UU No. 1 Tahun 1974......................................19
C. Hukum Keluarga Menurut Hukum Islam...........................................................................29
D. Hukum Kekeluargaan Adat...............................................................................................31
BAB III PENUTUP............................................................................................................................34
A. Kesimpulan.............................................................................................................................34
B. Saran.......................................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................35
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu
“hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya
hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang
diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum. Hukum
adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang
berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur
masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Bagaimana seseorang mengatur kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan harta benda dan lain-lain.
Hukum terbagi menjadi dua, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Dalam penulisan
ini, saya akan membahas mengenai hukum perdata, seperti apa tujuan kita mempelajari
hukum perdata, sejarah hukum perdata, asas-asas hukum perdata, dan beberapa subbab materi
hukum perdata seperti hukum perorangan dan hukum keluarga. Hukum perdata yang diatur
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bagaimana hukum mengatur setiap
kegiatan atau tindakan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan mempelajari Hukum Perdata ?
2. Bagaimanakah sejarah Hukum Perdata ?
3. Apa saja asas-asas Hukum Perdata ?
4. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Perorangan ?
5. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Keluarga ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
nama Code Civil Des Francis. Tahun 1807 diadakan kodifikasi Hukum Dagang dan
Hukum Perdata. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis di Belanda berakhir dan belanda
merdeka. Tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh. Mr.J.M Kempur
yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno. Pada tahun 1838
kodifikasi ini disahkan dengan nama: BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van
Koophandel) atau Kitab Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Hukum Dagang.
Pada awal kemerdekaan negeri Belanda 1814 Sistem Pemerintahannya menganut Sistem
Disentralisasi yang terdiri atas Propinsi – propinsi yang berdaulat dan mempunyai
peraturan sendiri , sehingga belum ada peraturan yang berlaku secara umum sehingga
kepastian hukum tidak terpenuhi. Pada tahun itu pula dibentuk panitia yang di ketuai oleh
Mr JM Kempur (Guru Besar Bidang Hukum) membuat sendiri yang memuat Hukuman
Belanda Kuno, meliputi: Hukam Romawi, Hukam German, Hukum Kanonik Gereja, dan
disetujui oleh Raja yang dikenal dengan Rancangan 1816. Berdasarkan SK Raja semua
Undang – Undang Wetboek dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838. Pada tahun
1838 kodifikasi ini disahkan oleh Raja dengan nama BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK
(Wetboek Van Koophandel) atau Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang – Undang Hukum Dagang.
3. Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia.
Pada waktu Belanda menguasai Indonesia pemerintahan Hindai Belanda memperlakukan
Hukum Perdata sama yang berlaku di Negeri Belanda yaitu KUHPer dan KUHD. KUHPer
dan KUHD Berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 sampai saat ini KUHPer ini masih
belaku menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan
yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun
saat ini KUHPer (BW) sudah tidak berlaku penuh sesuai dengan bab-bab dan pasal-pasal
pasa saat permulaan KUHPer berlaku. Sudah banyak bab – bab dan pasal dan bidang-
bidang hukum tertentu tidak berlaku karena telah dicabut oleh Per Undang – Undangan RI.
Hal ini terjadi karena beberapa pasal KUHPer tersebut saat ini tidak sesuai lagi dengan
keadaan masyarakat.
6
Menurut Pasal 163 ayat (1) I.S. (Indische Staatsregeling), penduduk Indonesia dibagi dalam
tiga golongan penduduk, yaitu1:
a. Golongan Eropa
Menurut Pasal 163 ayat (2) I.S., yang termasuk golongan Eropa adalah:
1) Semua warga negara Belanda.
2) Bukan warga negara Belanda, melainkan orany yang berasal dari Eropa.
3) Semua warga negara Jepang.
4) Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan
hukum keluarga Belanda.
5) Keturunan mereka yang tersebut di atas.
b. Golongan Pribumi
Menurut Pasal 163 ayat (3) I.S., yang termasuk golongan Pribumi adalah:
1) Orang-orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain.
2) Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya ke dalam
golongan Indonesia asli.
c. Golongan Timur Asing
Menurut Pasal 163 ayat (4) I.S., yang termasuk golongan Timur Asing adalah mereka
yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia asli, yaitu:
1) Golongan Timur Asing Tionghoa.
2) Golongan Timur Asing bukan Tionghoa.
7
Bagi golongan Tionghoa, berlaku KUHPer dan KUHD dengan beberapa pengecualian.
d. Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
Bagi golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (seperti
Arab, India, Pakistan, Mesir), berlaku sebagian dari KUHPer dan KUHD, yaitu hanya
mengenai Hukum Harta Kekayaan.
8
Konkordansi, yang tercantum dalam Pasal 75 Regerings Reglement jo. Pasal 131 Indische
Staatsregeling. Menurut Pasal ini, bagi golongan Eropa berlaku hukum yang sama dengan
hukum yang berlaku bagi mereka di negeri Belanda.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata
1. Definisi Hukum Perdata
Mengenai pengertian dari Hukum Perdata ini, oleh para pakar sarjana hukum diartikan
secara berbeda-beda. Pendapat para pakar sarjana hukum tersebut, antara lain:
a. Menurut Prof. Subekti S.H., Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua
hukum “privat materiel”, yaitu segala Hukum Pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan.4
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., Hukum Perdata (materiel) ialah
kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban
perdata.5
c. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Perdata merupakan suatu
rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan
kewajiban.6
2. Hukum Perdata dalam Arti Luas dan dalam Arti Sempit
Menurut Prof. Subekti, perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputu semua
hukum “privat materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan. Lebih lanjut menurut beliau, perkataan “Perdata” juga lazim dipakai sebagai
lawan dari “Pidana”. Namus ada juga yang memakai perkataan “Hukum Sipil” untuk hukum
privat materiel, tetapi karena perkataan “Sipil” itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari
“Militer”, maka lebih baik dipakai istilah “Hukum Perdata” dalam arti yang sempit dipakai
ebagai lawan “Hukum Dagang”.7
3. Hukum Perdata Materiel dan Hukum Perdata Formil
a. Hukum Perdata Materiel adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban perdata. Misalnya hukum dagang, hukum perkawinan, hukum waris, hukum
perjanjian, dan hukum adat.
b. Hukum Perdata Formil adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan serta mempertahankan hak-hak dak kewajiban-kewajiban perdata
(Hukum Perdata Materiel). Misalnya hukum acara perdata.
C. Hubungan Antara Hukum Perdata dan Hukum Publik
1. Menurut Pendapat Para Sarjana
4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa), hlm. 9.
5
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 72.
6
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, (Jakarta: Sumur Bandung, 1992), hlm. 10-11.
7
Subekti, Op. cit, hlm. 1.
9
Menurut Apeldoorn, kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua, yaitu
kepentingan umum atau kepentingan publik dan kepentingan khusus atau kepentingan
perdata. Sepanjang peraturan hukum mengatur kepentingan umum atau kepentingan khusus
peraturan-peraturan itu kita bagi dalam hukum publik dan hukum perdata 8. Menurutnya,
hubungan antara hukum publik terdapat hukum perdata adalah hubungan antara hukum
khusus atau hukum perkecualian terhadap hukum umum. Hukum publik merupakan
perkecualian atas hukum perdata apabila itu diperlukan oleh pemerintah untuk memelihara
kepentingan umum dengan sepatutnya. 9
2. Definisi Hukum Perdata dan Hukum Publik
a. Hukum Privat adalah hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antara orang
yang satu dan orang yang laindalam pergaulan masyarakat dengan menitikberatkan
pada kepentingan perseorangan. Yang termasuk dalam hukum privat ialah hukum
perkawinan, hukum dagang, hukum perburuhan, hukum waris dan sebagainya.
b. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat
perlengkapannya atau hubungan antara negara dan perseorangan (warga negara). Yang
termasuk dalam hukum publik ialah hukum pidana, hukum tata negara, dan hukum
internasional.
8
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan: Oetarid Sadino), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm.
183.
9
Ibid., hlm. 188.
10
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996).
10
2. Pembagian Hukum Perdata Berdasarkan Ilmu Pengetahuan Hukum
Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan hukum sekarang ini, terdiri atas empat bagian
yaitu:
a. Hukum Perorangan (personenrecht)
b. Hukum Keluarga (familierecht)
c. Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht)
d. Hukum Waris (erfrecht)
11
kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 KUHPer). Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
KUHPer ini mempunyai arti penting apabila dalam hal :
a. Perwalian oleh bapak atau ibu (Pasal 348 KUHPer)
b. Mewarisi harta peninggalan (Pasal 836 KUHPer)
c. Menerima wasiat dari pewaris (Pasal 899 KUHPer)
d. Menerima hibah (Pasal 1679 KUHPer)
12
Dalam Hukum Waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak
dapat membuat wasiat (Pasal 897 KUHPer).
Menurut Pasal 19 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, untuk dapat memilih
di dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
3. Pendewasaan
a. Pengertian Pendewasaan
17
Ibid. hlm. 22.
18
Ibid. hlm. 23.
13
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap
orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan
kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang
belum dewasa.19 Dengan demikian, menurut Pasal 424 KUHPer, anak yang dinyatakan
dewasa, dalam segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa. 20
4. Pengampuan
a. Pengertian Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seorang
yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh
dibawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan
pengampuannya disebut curatele. Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang
menderita sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan.
19
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 48.
20
P.N.H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 23.
21
Ibid.
22
Ibid.
14
Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan, atau
mata gelap, tidak boleh ditaruh dibawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah
pengawasan bapak dan ibunya atau walinya (Pasal 462 KUHPer). 23
d. Berakhirnya Pengampuan
23
Ibid. hlm. 24.
15
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang
(Pasal 460 KUHPer). Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal dunia.24
24
Ibid. hlm. 25.
25
Subekti, Op. cit., hlm. 21.
26
R. Wirjono Prodjodikoro, Op. cit., hlm. 23.
27
P.N.H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 26.
16
d. Berdirinya suatu badan hukum berbentuk Yayasan, diatur dalam Undang-Undang No.
16 Tahun 2001
28
Riduan Syahrani, Op. cit., hlm. 56.
29
C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm. 89
30
Ibid.
31
Riduan Syahrani, Op. cit., hlm. 56.
17
pribadi. Hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas
sampai pada bidang hukum saja.
D. PERIHAL DOMISILI
1. Pengertian Domisili
Pada dasarnya, setiap orang harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari (Pasal 17
ayat 1 KUHPer). Tempat tinggal itu disebut domisili (tempat tinggal/tempat kediaman).
Domisili adalah tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-
haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun sesungguhnya ia bertempat tinggal di tempat
lain. Bahkan, sebuah badan hukum pun dapat memiliki tempat kedudukan tertentu. Dengan
32
P.N.H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 28-29.
18
demikian, domisili ini dapat berarti tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan
hukum. Tetapi dalam hal tidak adanya tempat tinggal tertentu, maka tempat kediaman, yang
sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal/domisili (Pasal 17 ayat 2 KUHPer). 33
2. Pentingnya Domisili
Pada dasarnya, domisili ini penting untuk diketahui karena:
a. Untuk mengetahui dimana seseorang harus menikah
b. Untuk mengetahui di mana ia harus mengajukan gugatan perceraian.
c. Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara
perdata seseorang.
d. Untuk mengetahui di mana ia harus mengikuti pemilihan umum (pemilu), apakah ia
bertempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di luar negeri.
e. Untuk mengetahui tempat pembayaran suatu barang. Menurut Pasal 1393 ayat (2)
KUHPer, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang dan di dalam hal
lainnya di tempat tinggal si berutang.
3. Macam-macam Domisili
Mengenai domisili atau tempat tinggal atau tempat kediaman seseorang ini dapat
dibedakan dalam dua macam, yaitu:34
a. Tempat Tinggal yang Sesungguhnya
Tempat tinggal yang sesungguhnya adalah tempat tinggal di mana seseorang itu
sesungguhnya berada. Tempat tinggal atau tempat kediaman yang sesungguhnya ini dapat
dibedakan lagi atas dua macam, yaitu:
1) Tempat tinggal bebas : tempat tinggal atau tempat kediaman yang bebas adalah
tempat tinggal yang tidak terikat atau tidak tergantung pada orang lain. Ia bebas
untuk menentukan tempat tinggalnya sendiri.
2) Tempat tinggal yang tidak bebas : tempat tinggal atau tempat kediaman yang tidak
bebas adalah tempat tinggal yang terikat atau tergantung atau mengikuti tempat
tinggal orang lain.
b. Tempat Tinggal Pilihan
Disamping tempat tinggal sesungguhnya, terdapat pula tempat tinggal/domisili yang
dipilih. Hal ini berhubungan dengan hal-hal dalam melakukan perbuatan hukum tertentu
saja, dan dipilihlah tempat tinggal tertentu. Dalam suatu sengketa perdata di muka hakim,
kedua belah pihak yang berperkara atau salah satu dari mereka, berhak bebas dengan suatu
33
Ibid.
34
Ibid.
19
akta memilih tempat tinggal lain dari tempat tinggal mereka sebenarnya (Pasal 24 ayat 1
KUHPer).35
V. HUKUM KELUARGA
A. PENGERTIAN HUKUM KELUARGA
Sebenarnya, hukum keluarga ini adalah kelanjutan dari hukum perkawinan. Setelah manusia
menikah, maka akan terbentuk suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hubungan
keluarga ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang diatur dalam undang-undang. Dengan kata
lain, hubungan keluarga ini timbul,dari hubungan perkawinan antara suami dan istri, hubungan
anak dengan orangtuanya dan hubungan anak dengan walinya. Sehingga dengan demikian,
hubungan keluarga ini tidak dapat dinilai dengan uang.
Adapun pengertian hukum keluarga menurut para sarjana hukum anatar lain sebagai berikut.
a. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn, hukum keluarga (familierecht) adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.36
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum keluarga adalah kesemuanya kaidah-
kaidah hukum yang menetukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan abadi serta
seluruh akibatnya.37
35
Subekti, Op. cit., hlm. 22.
36
L.J. van Apeldoorn, Op. cit., hlm. 233.
37
Soediman Kartohadiprodjo, Op. cit., hlm. 83.
38
P.N.H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 149.
20
Menurut Pasal 251 KUHPer, seorang anak yang dilahirkan sebelum 180 hari
terhitung sejak tanggal perkawinan, maka si suami boleh manyangkal anak
tersebut, tetapi penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal :
- Si suami telah mengetahui bahwa pada saat perkawinan, si istri sudah hamil.
- Si suami turut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan turut
menandatanganinya.
- Anaknya lahir dalam keadaan meninggal.
Menurut Pasal 252 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila
dapat membuktikan bahwa ia sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya
anak tidak terjadi hubungan kelamin dengan istrinya.
Menurut Pasal 253 KUHPer, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang
anak dengan alasan istrinya telah berzina dengan lelaki lain, kecuali jika
kelahiran anak itu disembunyikan.
Menurut Pasal 254 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak,
yang dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan pemisahan meja dan tempat tidur
memperoleh kekuatan hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak
tersebut disebut anak di luar kawin atau anak tidak sah.
Menurut Pasal 256 KUHPer, tenggang waktu untuk penyangkalan adalah :
- Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika si suami berdiam di tempat
kelahiran si anak.
- Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya si suami jika ia berada dalam
keadaan tak hadir.
- Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak
itu disembunyikan.
21
Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang sah
(Pasal 261 ayat 2 KUHPer).
Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan atau dugaan-
dugaan atau petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak
dapat disangkal lagi kebenarannya (Pasal 264 KUHPer).
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan kata kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut
tidak ada, maka Pengadilan dapat megekuarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang
ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran
bagi anak yang bersangkutan. (Pasal 55).
b. Anak Luar Kawin
1) Pengertian Anak Luar Kawin
Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
pria dan wanita di luar perkawinan yang sah, di mana diantara mereka tidak terkena
larangan kawin atau tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin
tidak mempunyai hubungan perdata dengan orangtuanya. Menurut Pasal 43 Undang-
Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 39
39
Ibid. hlm. 151.
22
Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah
hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya (Pasal 280 KUHPer).
b) Pengesahan anak. Anak luar kawin dapat disahkan melalui surat pengesahan dari
presiden dalam hal :
Jika kedua orangtua sebelum atau pada saat kawin telah melalaikan mengakui
anak luar kawin (Pasal 274 KUHPer).
Jika anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, di mana karena meninggalnya
seorang di antaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan (Pasal 275
KUHPer).
c. Anak Sumbang
Yang dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan pria dan wanita di luar perkawinan yang sah, di mana di antara mereka dilarang
untuk melangsungkan perkwinan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 283 KUHPer, anak sumbang
tidak bisa diakui. Apabila orangtua dari anak sumbang memperoleh dispensasi (dari
pengadilan) untuk melangsungkan perkawinan, maka si anak sumbang dapat diakui pada saat
perkawinan kedua orangtuanya.40
d. Anak Zina
Yang dimaksud dengan anak zina di sini adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan pria dan wanita di luar perkawinan yang sah di mana salah satu atau kedua-duanya
sedang terikat dalam perkawinan dalam pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 283
KUHPer, anak zina tidak dapat diakui dan tidak ada upaya hukum untuk peningkatan
statusnya.41
2. Kekuasaan Orangtua
a. Kekuasaan Orangtua Terhadap Diri si Anak
1) Menurut KUHPer
Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah
kekuasaan orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan
(Pasal 299 KUHPer). Apabila perkawinan bubar (karena meninggal/cerai), maka
kekuasaan orangtua berubah menjadi perwalian. Menurut Pasal 300 KUHPer, kekuasaan
orangtua ini biasanya dilakukan oleh si ayah. Hanya saja apabila si ayah tidak mampu
untuk melakukannya (misalnya karena sakit keras, sakit ingatan, keadaan tidak hadir),
kekuasaan itu dilakukan oleh istrinya.
40
Ibid. hlm. 152.
41
Ibid. hlm. 152-153.
23
Orangtua wajib memelihara dan mendidik semua anak-anaknya. Kewajiban ini tetap
berlaku juga jika mereka kehilangan hak untuk melakukan kekuasaan orangtua atau hak
untuk menjadi wali (Pasal 298 ayat 2 KUHPer).
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 41 UUP, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut. Menurut Pasal 45 UUP, kedua orangtua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orangtua ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orangtua putus.
24
memangku kekuasaan orangtua mengadakan perlawanan. Adapun apabila menurut
pertimbangan hakim kepentingan anak menghendakinya, kekuasaan orangtua dapat
dicabut karena:
a) Orangtua telah menyalahgunakan atau melalaikan kewajibannya sebagai orangtua
dalam memelihara dan mendidik anaknya.
b) Berkelakuan buruk.
c) Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak,
karena sengaja telah turut serta dalam sesuatu kejahatan terhadap seorang anak
belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
d) Telah mendapat hukuman penjara selama 2 tahun atau lebih.
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 49 ayat (1) UUP menegaskan, bahwa salah seorang atau kedua orangtua dapat
dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan
dalam hal-hal sebagai berikut.
a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b) Ia berkelakuan buruk sekali.
Selanjutnya menurut ayat (2)-nya, meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka
masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
3. Perwalian
a. Pengertian Perwalian
Menurut Prof. Subekti, perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di
bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau
kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Adapun menurut Prof. Ali Afandi,
perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan
seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orangtua.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perwalian itu adalah
suatu upaya hukum untuk mengawasi dan memelihara anak yatim-piatu atau anak-anak yang
belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orangtuanya. 42
42
Ibid. hlm. 155-156.
25
b) Anak sah yang orangtuanya telah bercerai.
c) Anak sah yang salah satu atau kedua orangtuanya telah meninggal dunia,
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 50 UUP, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di
bawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya. Menurut Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUP, wali dapat ditunjuk oleh satu
orangtua yang menjalankan kekuasaan orangtua sebelum ia meninggal, dengan surat
wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan
berkelakuan baik.43
c. Macam-macam Perwalian
Mengenal perwalian ini, terdapat bermacam-macam, yaitu antara lain:
1) Wali orangtua yang hidup terlama, yaitu apabila salah satu orangtua meninggal, maka
perwalian terhadap anak kawin yang belum dewasa dilakukan oleh orangtua yang hidup
terlama (Pasal 345 KUHPer).
2) Kawan wali, yaitu jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi, maka suaminya
menjadi kawan wali (Pasal 351 KUHPer).
3) Wali orangtua yang telah dewasa atas anak luar kawin yang siakui (Pasal 353 KUHPer).
4) Perwalian menurut wasiat, yaitu wali yang diangkat berdasarkan surat wasiat orangtua
anak tersebut (Pasal 355 KUHPer).
5) Wali datif, yaitu wali yang diangkat oleh penetapan pengadilan negeri negeri (Pasal 359
KUHPer).
6) Perwalian badan hukum yang diangkat oleh hakim (Pasal 365 KUHPer).
7) Wali curator/wali pengampu atas anak sah dari orangtua yang di bawah pengampuan
(Pasal 453 KUHPer).
43
Ibid. hlm. 156.
44
Ibid. hlm. 157.
26
c) Wajib menyelenggarakan pemilihan dan pendidikan terhadap pribadi anak yang belum
dewasa sesuai dengan harta kekayaannya, dan mewakilinya dalam segala tindak
perdata (Pasal 383 KUHPer).
d) Tidak boleh menjual barang tak bergerak milik anak di bawah perwaliannya dengan
cara lain melainkan dengan lelang umum (Pasal 399 ayat 1 KUHPer).
e) Tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri barang-
barang kekayaan si belum dewasa, kecuali apabila Pengadilan Negeri telah
mengizinkan syarat-syaratnya (Pasal 400 ayat 1 KUHPer).
f) Wajib pada akhir perwaliannya mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup
(Pasal 409 KUHPer).
27
Anggota tentara dalam menunaikan tugasnya.
Mereka yang telah berusia 60 tahun.
Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit atau kesusahan yang berat.
Mereka yang sudah menjadi wali untuk seorang anak lain.
Mereka yang pada hari pengangkatan mempunyai 5 orang anak sah atau lebih.
Seorang perempuan yang sudah kawin.
b) Pemecatan atau Pencabutan Kekuasaan Perwalian
Menurut Pasal 380 KUHPer, hakim dapat memecat kekuasaan seorang wali apabila:
Ia berkelakuan buruk.
Ia tidak cakap dalam menunaikan perwalian.
Ia menyalahgunakan kekuasaan.
Ia dalam keadaan pailit.
Ia berperkara dengan si anak yang belum dewasa.
Ia mendapat hukuman karena suatu kejahatan terhadap si anak yang ada dalam
kekuasaannya.
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anak yang di bawah penguasaannya dan ia berkelakuan buruk sekali. Dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, oleh pengadilan di tunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53
UUP). Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang berada di
bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak itu atau keluarga anak tersebut dengan keputusan
pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54
UUP).
46
Ibid. hlm. 159.
28
2) Anak yang belum dewasa setelah berada di bawah perwalian, dikembalikan ke dalam
kekuasaan orangtuanya.
3) Anak luar kawin yang belum dewasa yang telah diakui oleh undang-undang, disahkan
pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak itu atau saat
pemberian surat-surat pengesahan.
4. Sistem Kekerabatan
a. Pengertian Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan yang mengatur penggolongan orang-orang
sekerabat. Hal ini mencakup berbagai tingkat hak dan kewajiban di antara orang-orang
sekerabat yang membedakan hubungan mereka dan orang-orang yang tidak tergolong sebagai
kerabat. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah sejumlah orang yang dapat dihubungkan
satu sama lainnya melalui hubungan darah yang bersumber dari orangtua atau leluhur yang
sama.
b. Kekeluargaan Sedarah
Kekeluargaan sedarah adalah suatu pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu
adalah keturunan yang lain atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama. Pertalian
keluarga sedarah dihitung jumlah kelahiran. Tiap-tiap kelahiran dinamakan derajat (Pasal 290
KUHPer). Adapun menurut Prof. Ali Afandi, kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga
yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Urutan perderajatan merupakan garis yang disebut garis lurus ialah urutan perderajatan
antara mereka, yang mana yang satu adalah keturunan yang lain. Garis menyimpang ialah
urutan perderajatan antara mereka yang mana yang satu bukanlah keturunan yang lain,
melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291 KUHPer). 47
c. Kekeluargaan Semenda
Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena
perkawinan, ialah sesuatu antara seorang di antara suami-istri dan para keluarga sedarah yang
lain (Pasal 295 ayat 1 KUHPer). Jadi, hubungan keluarga karena semenda adalah pertalian
keluarga yang terjadi karena perkawinan seorang dengan keluarga si suami atau istri
(hubungan saudara periparan).
Walau demikian menurut Pasal 295 ayat (2) KUHPer, tiada kekeluargaan semenda antara
para keluarga sedarah si suami dan keluarga si istri dan sebaliknya. Jadi, antara keluarga
suami dan keluarga istri tidak terdapat hubungan semenda. Perderajatan kekeluargaan
semenda dihitung dengan cara yang sama dengan perderajatan pertalian keluarga sedarah
47
Ibid. hlm. 161.
29
diukurnya (Pasal 296 KUHPer). Dengan bubarnya suatu perkawinan, maka kekeluargaan
semenda antara bekas suami atau istri dan para keluarga lainnya, tidak dihapuskan (Pasal 297
KUHPer).
2. Kekuasaan Orangtua
a. Kekuasaan Orangtua Terhadap Diri si Anak
Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya
telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
48
Ibid.
30
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2
tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun dengan persetujuan ayah
dan ibunya (Pasal 104 KHI).
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu (Pasal 98 KHI).
3. Perwalian
a. Pengertian Perwalian
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orangtua, atau orangtua yang masih hidup tidak cakap melakukan
perbuatan hukum (Pasal 1 h KHI).
b. Anak di Bawah Perwalian
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya,
maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali
atas permohonan kerabat tersebut. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut
atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau
badan hukum (Pasal 107 KHI).
c. Kewajiban Seorang Wali
Dalam Pasal 110-111 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa seorang wali 49:
1) Berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya
dengan sebaik-baiknya.
49
Ibid. hlm. 164.
31
2) Berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
3) Dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang
berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan.
4) Bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
5) Berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
d. Berakhirnya Hak Perwalian
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas pemohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila dan/atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya (Pasal 109 KHI).
50
Ibid. hlm. 166.
32
membawa nama baik keluarganya dan berguna dalam masyarakat, serta memelihara orangtuanya
yang secara fisik sudah tidak mampu mencari nafkah.
a. Anak Kandung
Pada dasarnya, anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan yang sah adalah anak
kandung (anak sah). Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam setiap somah
(gezin) dalam suatu masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian anak kandung tersebut
menjadi penerus generasi keluarga, kerabat, dan sukunya.
e. Anak Piara
Anak piara adalah anak yang dititipkan pada orang lain (biasanya seorang warga keluarga
yang agak berada) untuk dipelihara. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajibannya sebagai
orangtua untuk memelihara anak. Dengan kata lain, orangtua yang bersangkutan tidak mampu
untuk memenuhi kewajiban orangtua terhadap anaknya. Tindakan peniripan anak ini berbeda
dengan adopsi (pengangkatan anak). Anak yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diambil
kembali oleh orangtuanya dengan penggantian biaya pemeliharaan.
f. Anak Tiri
33
Yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak dari salah seorang suami atau istri yang
dibawa dalam hubungan perkawinan dan diakui sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian,
anak tiri tersebut akan melanjutkan keturunan, dan kadang-kadang juga sebagai ahli waris
sepenuhnya.
g. Anak Angkat
Yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat karena alasan
tertentu dan dianggap sebagai anak kandung. Pengangkatan anak pada saat sekarang ini sudah
sangat umum dan pengangkatan anak ini disebut pula dengan adopsi. Alasan untuk
melakukan adopsi ini ialah kekhawatiran akan kepunakan kerabatnya.
Mengenai pengangkatan anak (adopsi/ambil anak) ini ada beberapa macam, antara lain 51:
1) Pengangkatan anak yang sama sekali bukan dari keluarga/kerabat.
2) Pengangkatan anak dari kalangan keluarga sendiri.
3) Pengangkatan anak dari kalangan kemenakan/keponakan (baik laki-laki maupun
perempuan).
4. Perwalian
Menurut hukum adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orangtua,
tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak-anak
masih berada pada salah satu dari kedua orangtuanya. Dengan demikian, yang lebih
memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orangtua dari anak tersebut
meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan belum dewasa. Dengan meninggalnya kedua
orangtua, anak-anak menjadi yatim-piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan
orangtua. Mengenai bentuk perwalian ini dalam masyarakat hukum adat diatur secara berbeda-
beda.
BAB III
51
Ibid. hlm. 169-170.
34
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan diatas dari sana kita semua bisa lihat betapa pentingnya kita
mempelajari tentang hukum perdata ini, sebab ini sangat berguna untuk kita sekarang
maupun sampai saat yang akan datang dan memberikan pemahaman dan perlindungan
hukum untuk mencegah tindakan main hakim sendiri dan untuk menciptakan suasana yang
tertib. Atau dengan kata lain tujuan nya adalah untuk mencapai suasana yang tertib hukum
dimana seseorang mempertahankan haknya melalui badan peradilan sehingga tidak terjadi
tindakan sewenang-wenang. Kita juga jadi mengetahui perihal asas-asas hukum perdata,
bagaimana tentang hukum perorangan, dan apa itu hukum keluarga.
B. Saran
Demikianlah saya dari pemakalah telah menyusun makalah ini semoga dengan adanya
makalah ini, kita semua dapat sekiranya sedikit mengerti atau mengetahui hendaknya, dan saya
memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian, untuk
dapat menjadi pedoman dalam penyusunan makalah selanjutnya agar lebih baik lagi.
35
DAFTAR PUSTAKA
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1992. Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: Sumur Bandung. Cet.
XI.
Apeldoorn, L.J. Van. 1980. Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan: Oetarid Sadino). Jakarta:
Pradnya Paramita. Cet. XVI.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita. Cet. XXVIII.
Syahrani, Riduan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni. Cet.
III.
Kansil, C.S.T. 1991. Modul Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Cet. I.
36