Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan adalah salah satu profesi yang mempunyai peranan penting dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama di rumah sakit karena
merupakan ujung tombak pelayanan yang senantiasa dua puluh empat jam berada di
rumah sakit untuk memberikan pelayanan. Perawat dalam menjalankan tugasnya
dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang kompeten dibidangnya
karena resiko pekerjaan perawat menyangkut kesehatan dan keselamatan pasien
selaku penerima pelayanan kesehatan. Salah satu resiko serius yang dihadapi perawat
dalam menjalankan tugasnya adalah tertular berbagai macam penyakit (sahara, 2017).
Perawat yang berada di pelayanan kesehatan seperti puskesmas, klinik, rumah
sakit pemerintah atau swasta merupakan salah satu tempat kerja yang mempunyai
risiko terjadinya masalah kesehatan pekerja. Rumah sakit merupakan suatu industri
jasa kesehatan. Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa rumah sakit
merupakan pusat pelayanan kesehatan, yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar dan medik spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan
pelayanan perawatan baik rawat inap maupun rawat jalan. Sebagai suatu industri
jasa maka rumah sakit tentunya harus menjalankan fungsi-fungsi dalam
manajerialnya (Aditama, 2013).
Bahaya-bahaya potensial yang ada di rumah sakit disebabkan oleh faktor-
factor biologi seperti : virus,bakteri,jamur, dan parasit. Faktor kimia yang berupa
antiseptik, reagent, dan gas anestesi. Faktor ergonomi seperti lingkungan kerja,cara
kerja, dan posisi kerja yang sala. Pada faktor fisik seperti suhu,cahaya,
bising,listrik,getaran, dan radiasi. Faktor psikososial seperti kerja yang bergilir,
beban kerja, hubungan sesama pekerja/atasan. Semua faktor ini dapat berpengaruh
terhadap kesehatan pekerja yang berada di rumah sakit. Sumber bahaya yang
ada di rumah sakit harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat

1
risiko, yang merupakan tolokukur kemungkinan terjadinya masalah kesehatan
pekerja (Dani,2014).
Gruendeman dan Fernsebner (2016), menyatakan bahwa walaupun konsep
kewaspadaan universal precaution didasarkan pada pemikiran yang rasional, namun
penerapannya sering menemui hambatan. Banyak praktik di lapangan, dimana tenaga
kesehatan tidak memperhatikan pelaksanaan kewaspadaan standar pada pasien –
pasien dengan diagnosis non infeksius, padahal seharusnya kewaspadaan universal
diterapkan terhadap semua pasien tanpa memandang diagnosis yang ditegakkan.
Menurut Center for Desease Control and Prevention (CDC) tahun 2015
memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka tusuk akibat jarum suntik
dan benda tajam pada tenaga kesehatan. Pekerja kesehatan berisiko terpajan darah
dan cairan tubuh yang terinfeksi (bloodborne pathogen) dapat menimbulkan infeksi
HBV (hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human
Immnunodeficiency Virus), yang salah satunya melalui luka tusuk jarum suntik yang
dikenal dengan Needlestick Injury (NSI). Tingkat kejadian needlestick injury di
Indonesia masih tergolong tinggi, berdasarkan penelitian oleh dr. Josep pada
beberapa rumah sakit DKI Jakarta, menyatakan bahwa angka kejadian needlestick
injury pada kurun waktu tahun 2005 – 2007 mencapai 38 % sampai 73 % dari total
petugas kesehatan yang ada (CDC, 2015).
Di Indonesia telah dikeluarkan surat keputusan menteri kesehatan Nomor
382/Menkes/SK/III/2007 tentang pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk memutus
siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya (Depkes, 2019).
Penyakit infeksi di rumah sakit masih merupakan masalah kesehatan di dunia
termasuk di Indonesia. Berdasarkan laporan WHO beban endemik health care
associated infection di dunia (HCAI) (2011) pada beberapa negara yang melaporkan.
Menunjukkan angka yang bervariasi pada kejadian HCAI dari 5,7 % sampai 19,1 %.

2
Angka kejadian HACI yang di laporkan didapat seperti Albania 19,1 %, Mali 18,4%,
Tunisia 17,9 %, Serbia 17,4 %, Brazil 14 %, Ghana 6,7 %, Thailand 6,5 %, Mongolia
5,4 %, Malaysia 14 % dan Indonesia 7,1 % (WHO, 2011).
Kewaspadaan Universal diterapkan di pelayanan kesehatan dengan tujuan untuk
mengendalikan infeksi secara konsisten serta mencegah penularan bagi petugas
kesehatan dan pasien. Studi menunjukkan bahwa kepatuhan pada penerapan standar
diantara petugas kesehatan untuk menghindari paparan mikroorganisme masih rendah
(Nursalam dan Kurniawati, 2017).
Universal Precaution merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka
perlindungan, pencegahan dan meminimalkan infeksi silang (cross infections) antara
petugas dan pasien akibat adanya kontak langsung dengan cairan tubuh pasien yang
terinfeksi penyakit menular (seperti HIV, AIDS dan Hepatitis) (Mayhall, 2012).
Kewaspadaan standar dirancang untuk mengurangi risiko terinfeksi penyakit menular
pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak
diketahui (Depkes, 2019).
Dari hal tersebut juga ada beberapa penelitian sebelumnya, baik di Indonesia
maupun di beberapa negara, penerapan kewaspadaan Universal di suatu unit
pelayanan kesehatan akan tergantung pada pengetahuan dan sikap petugas kesehatan,
tersedianya peralatan medik dan sarana yang dibutuhkan untuk menerapkan
kewaspadaan universal tersebut. hal tersebut didukung pula oleh teori perilaku
kesehatan PRECEDE Model yang dikeluarkan oleh Lawrence Green dan Model
Perilaku perlindungan diri di tempat kerja (self-protective behavior) yang
dimodifikasi dari PRECEDE model oleh Dejoy dalam McGovern et.al (2010).
Cuci tangan merupakan salah satu rutinitas yang murah dan mudah, serta
penting dalam prosedur pengontrolan infeksi, dan merupakan metode terbaik untuk
mencegah transmisi mikroorganisme. Telah terbukti bahwa tindakan mencuci tangan
secara signifikan menurunkan infeksi pada ICU dan infeksi saluran pencernaan
(James et al, 2011). Cuci tangan merupakan suatu prosedur/ tindakan membersihkan

3
tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir (Hand wash) atau Hand rub
dengan antiseptic berbasis alkohol.
Dari survey awal yang dilakukan secara observasi di ruangan Instalasi Gawat
Darurat RSUD MM. Dunda Limboto pada tanggal 20 Januari 2020 terhadap beberapa
perawat tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan dan sebelum menggunakan
APD seperti hand scoon bersih, diantara perawat tersebut ada yang tidak
menggunakan hand scoon bersih saat melakukan perawatan infus dan pasang infus
ada juga yang tidak memakai sarung tangan saat membuang cairan tubuh pasien, ada
yang tidak menggunakan masker saat melakukan suction dan ada juga jarum pada
safety box yang penuh akan tetapi hal tersebut diobservasi hanya pad bebrapa
perawat.
PPI atau pencegahan dan pengendalian infeksi di RSUD Tarakan berdiri sejak
tahun 2008, adapun tujuan dari PPI yaitu untuk mengidentifikasi dan menurunkan
risiko infeksi yang di dapat dan di tularkan diantara pasien, staff tenaga professional
kesehatan, tenaga kontrak, tenaga sukarela, mahasiswa dan pengunjung.
Kewaspadaan isolasi merupakan salah satu program PPI. Tim PPI sudah melakukan
sosialisasi saat kunjangan di setiap ruangan kepada perawat mengenai kepatuhan cuci
tangan, kepatuhan APD dan kepatuhan pembuangan sampah. Adapun monitoring
harian kepada seluruh karyawan mengenai kepatuhan cuci tangan dan kepatuhan
APD. Target pencapaian kepatuhan cuci tangan pada perawat 80 % tapi data pada
triwulan 1 pada tahun 2017 capaian kepatuhan cuci tangan mencapai 73%, sedangkan
kepatuhan penggunaan APD capaian target mencapai 100 % sedangkan capaian
kepatuhan APD pada triwulan 1 mencapai 80 %. Dan kepatuhan setiap ruangan
dalam membuang sampah di bulan agustus pada sampah medis mencapai 90 % dan
sampah non medis mencapai 94 %, target kepatuhan pembuangan sampah medis dan
non medis mencapai 100%, cara monitoring sampah medis dan non medis di setiap
ruangan di lakukan seminggu sekali.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik dengan ingin mengetahui
tentang “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penerapan Prinsip

4
Kewaspadaan Universal Oleh Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda
Limboto”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Kurangnya Prinsip kewaspadaan Universal
2. Pengetahuan yang berhubungan dengan prinsip kewaspadaan universal
3. Sikap yang berhubungan dengan prinsip kewaspadaan universal
4. Sarana dan Fasilitas yang berhubungan dengan kewaspadaan universal
5. Informasi dan Pelatihan yang berhubungan dengan kewaspadaan universal

1.3 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yakni : apakah ada
pengaruh hubungan antara pengetahun, sikap, sarana dan fasilitas, serta informasi dan
pelatihan dengan kepatuhan penerapan psinsip kewaspadaan universal oleh perawat
di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda Limboto?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini untuk diketahui Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan Kepatuhan Penerapan Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh
Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda Limboto.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Pengetahuan Perawat dalam penerapan prinsip kewaspadaan
universal
2. Mengidentifikasi Sikap Perawat dalam penerapan prinsip kewaspadaan
universal

5
3. Mengidentifikasi sarana dan fasilitas dalam penerapan prinsip kewaspadaan
universal
4. Mengidentifikasi Informasi dan pelatihan dalam penerapan prinsip
kewaspadaan universal
5. Menganalisis Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penerapan
Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh Perawat di Instalasi Gawat Darurat
RSUD MM. Dunda Limboto

1.5 Manfaat Penelitian


1. Bagi instansi
Sebagai bahan masukan bagi instansi-instansi terkait seperti Dinas Kesehatan
dan Dinas Pendidikan dan Rumah Sakit untuk memberikan informasi yang
bermanfaat tentang bahaya infeksi karena kurangnya kewaspadaan universal.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan mengenai Kewaspadaan
Universal.
3. Bagi Penelitian selanjutnya
Sebagai bahan masukan dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewaspadaan Universal (Universal Precaution)


2.1.1 Definisi Kewaspadaan Universal
Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan
pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi
resiko penyebaran infeksi dengan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan
tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan (Nursalam, 2017).
Kewaspadaan universal (Universal Precaution) merupakan suatu upaya yang
dilakukan untuk melindungi petugas pelayanan kesehatan dari infeksi lewat darah dan
cairan tubuh dan mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari petugas ke
pasien (Tietjen, dkk,2014).
Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan
oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan
didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan
penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2017).
Kewaspadaan universal adalah suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi. Kewaspadaan universal hendaknya dipatuhi oleh
tenaga kesehatan karena ia merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi yang
dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para
pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui
darah dan cairan tubuh tertentu. Penerapan Kewaspadaan Umum diharapakan dapat
menurunkan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui
maupun tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian
infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua pasien dan di semua fasilitas
pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2014).

7
Kewaspadaan umum tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang (pasien,
klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak. Kewaspadaan
baku berlaku untuk darah, tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan ekskresi (kecuali
keringat), luka pada kulit, dan selaput lender, kulit dan membran mukosa yang tidak
utuh. Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme yang
berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak diketahui (misalnya si
pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam
sistem pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2014).
Beberapa prinsip tersebut di jabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu
mencuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya
pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius
lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan alat tajam untuk mencegah perlukaan,
dan pengelolaan limbah (Depkes RI, 2013).
2.1.2 Tujuan Kewaspadaan Universal
Menurut Nursalam (2017), kewaspadaan umum perlu diterapkan dengan tujuan:
1. Mengendalikan infeksi secara konsisten
2. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau tidak
terlihat seperti risiko.
3. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
4. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.
2.1.3 Pelaksanaan Kewaspadaan Universal
Penerapan Kewaspadaan Universal merupakan bagian dari upaya pengendalian
infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran masing-masing
pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf administrasi, staf
pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga pengguna yaitu pasien dan
pengunjung sarana kesehatan tersebut. Penerapan Kewaspadaan Umum didasarkan
pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit
baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2017).

8
Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada
keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik
yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan
Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas
kesehatan (Nursalam, 2017) .
2.1.4 Komponen Utama Kewaspadaan Universal/kewaspadaan Baku
Menurut Tietjen (2014) penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi
antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien
rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.
Adapun prinsip utama prosedur Kewaspadaan Universal dalam pelayanan kesehatan
adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi
peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi beberapa kegiatan pokok
seperti:
1. Cuci Tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat
dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan
adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan
tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya
dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan
organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada
saat itu (Umar, 2015).
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung
lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan
sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi.
Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak
dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari mencuci
tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan

9
mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang dilakukan
secara rutin (Nursalam, 2017).
Menurut Syawir (2011) ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut:
a. Air Mengalir
Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan
saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis
atau kimiawi saat cuci tangan akan bersih dan tidak menempel lagi di
permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara
mengguyur dengan gayung. Namun cara mengguyur dengan gayung memiliki
risiko cukup besar untuk terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung
ataupun percikan air bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air
kran bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan secara sederhana
degan tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan kesehatan agar mudah
dijangkau oleh para petugas kesehatan yang memerlukannya.
b. Sabun dan Deterjen
Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan
mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan
permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah
terhalau oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan
meningkatnya frekuensi cuci tangan. Namun dilain pihak, dengan seringnya
menggunakan sabun atau deterjen maka lapisan lemak akan hilang dan
membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan
memberi peluang untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme.
c. Larutan Antiseptik
Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal yang dipakai pada
kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang
memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik

10
memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit
setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut dan reaksi
kulit masing-masing individu. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan
yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara
maksimal terutama kuman transien.
d. Langkah mencuci tangan potter & perry (dalam Etika Emaliyawati, 2015).
1) Gunakan wastapel yang mudah digapai dengan air mengalir yang
hangat, sabun biasa atau sabun antimikrobial, lap tangan kertas atau
pengering.
2) Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan
tangan. Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.
3) Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.
4) Inspeksipermukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada
kulit dan kutikula.
5) Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak
menyentuh wastapel.
6) Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu
atau dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.
7) Hindari percikan air mengenai seragam.
8) Atur aliran air sehingga suhu hangat.
9) Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan
air hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah
dari pada siku selama mencuci tangan.
10) Taruh sedikit sabun biasa atau sabun anti mikrobial cair pada tangan,
sabuni dengan seksama.
11) Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 – 15 detik. Jalin
jari-jari tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan
dengan gerakan sirkuler paling sedikit masing-masing lima kali.

11
Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan
pemusnahan mikroorganisme.
12) Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan
yang satunya, dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih
13) Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan
supaya letak tangan dibawah siku.
14) Ulangi langkah 10 sampai a2 namun tambah periode mencuci
tangannya 1, 2, 3 dan detik.
15) Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan
tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas (tisue) atau pengering.
16) Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.
17) Tutup air dengan kaki dan pedal lutut.
e. Indikasi Cuci Tangan
Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang di antisipasi akan terjadi
perpindahan kuman melalui tangan yaitu sebelum malakukan suatu
tindakan yang seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan
tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti (Etika
Emaliyawati, 2015) :
Sebelum melakukan tindakan misalnya memulai pekerjaan, saat akan
memeriksa, saat akan memakai sarung tangan yang steril atau sarung
tangan yang telah didesinfeksi tingkat tinggi untuk melakukan tindakan,
saat akan melakukan peralatan yang telah di DTT, saat akan injeksi , saat
hendak pulang ke rumah.
Setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran.
Misalnya setalah memeriksa pasien, setelah mamakai alat bekas pakai dan
bahan lain yang beresiko terkontaminasi, setelah menyentuh selaput
mukosa, darah atau cairan tubuh lain, setelah membuka sarung tangan.

12
f. Sarana Cuci Tangan ((Etika Emaliyawati, 2015)
Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran
pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah
gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan
terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir
tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.
Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas
dari permukaan kulit. Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan
sering mencuci tangan.
Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit
atau jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan
yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit
secara maksimal terutama pada kuman transien.
Kriteria memilih antiseptic adalah sebagai berikut :
1) Efektifitas
2) Kecepatan aktivitas awal
3) Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam
pertumbuhan.
4) Tidak mengakibatkan iritasai kulit
5) Tidak menyebabkan alergi
6) Afektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.
7) Dapat diterima secara visual maupun estetik.
2. Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri diperlukan untuk melindungi beberapa bagian tubuh pekerja
dari risiko pajanan darah, cairan tubuh lain, sekret, eksreta, kulit yang tidak utuh

13
(luka), dan selaput lendir pasien. Jenis-jenis alat pelindung diri yang dibutuhkan di
sarana pelayanan kesehatan (Dirjen P2MPL, 2010), yaitu:
a. Sarung tangan
Sarung tangan digunakan setiap kali saat melakukan tindakan yang kontak
atau diperkirakan akan kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, eksreta,
kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi.
Saat ini dikenal tiga jenis sarung tangan berdasarkan fungsinya (Dirjen
P2MPL, 2010), yaitu:
1) Sarung tangan bersih untuk kegiatan rutin pada kulit dan selaput lender
misalnya tindakan medic pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka.
2) Sarung tangan steril, biasanya digunakan untuk tindakan bedah
3) Sarung tangan rumah tangga, biasanya digunakan untuk membersihkan
alat, dan permukan meja kerja. Sarung tangan tersebut dapat digunakan
lagi setelah dicuci bersih.
Saat mengenakan sarung tangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
(Dirjen P2MPL, 2010), diantaranya:
1) Saat sebelum memakai maupun setelah melepas sarung tangan harus
cuci tangan terlebih dahulu
2) Satu pasang sarung tangan hanya diperuntukkan untuk satu orang pasien
3) Untuk sarung tangan yang dapat dicuci dan desinfeksi, sebaiknya tidak
dipakai lebih dari 3 kali
4) Tidak dianjurkan untuk memakai sarung tangan ganda karena
menurunkan kepekaan (raba) sehingga meningkatkan risiko kecelakaan
kerja
5) Sarung tangan ganda boleh dikenakan jika tindakan memakan waktu
lama (> 60 menit), operasi di area yang sempit, dan saat kemungkinan
adanya kontak dengan darah/cairan tubuh dalam jumlah yang sangat
banyak.

14
b. Pelindung wajah/masker/kaca mata
Pelindung wajah seperti masker dan kacamata digunakan untuk melindungi
selaput mukosa hidung, mulut dan mata dari risiko percikan darah atau
cairan tubuh pasien selama melakukan tindakan kepada pasien. Berikut hal
yang harus diperhatikan dalam menggunakan pelindung wajah (Dirjen
P2MPL, 2010),yaitu:
1) Masker tanpa kacamata digunakan pada saat tertentu misalnya
menangani pasien tuberkoulosis tanpa luka terbuka/perdarahan dan
digunakan ketika berada dalam jarak 1 meter dari pasien.
2) Pemakaian pelindung wajah lengkap (masker dan kaca mata) diperlukan
saat melaksanakan tindakan yang berisiko tinggi kontak lama dengan
darah dan cairan tubuh seperti pembersihan luka, membalut luka,
mengganti kateter, persalinan, dan dekontaminasi alat bekas pakai.
3) Pelindung wajah, masker dan kaca mata harus dipilih dan digunakan
sedemekian rupa sehingga tidak menghalangi kelapangan dan ketajaman
pandangan petugas kesehatan.
c. Penutup kepala
Penutup kepala digunakan untuk mencegah jatuhnya mikroorganisme
yang ada di rambut dan kulit kepala petugas kesehatan terhadap alat-alat
atau daerah steril dan juga untuk melindungi kepala/rambut petugas dari
percikan darah dan bahan-bahan dari pasien (Dirjen P2MPL, 2010).
d. Gaun pelindung (baju kerja/celemek)
Tujuan dari pemakaian gaun pelindung yaitu untuk melindungi
petugas dari genangan atau percikan darah/cairan tubuh lain yang dapat
mencemari baju seragam. Selain itu, gaun pelindung juga digunakan untuk
mencegah tembusnya cairan tubuh kepada petugas. Dilihat dari berbagai
aspeknya, gaun pelindung dapat dibedakan menjadi gaun pelindung tidak
kedap air dan gaun pelindung kedap air, serta gaun pelindung steril dan

15
non-steril. Gaun pelindung steril digunakan oleh tim bedah serta asistennya
pada saat melakukan pembedahan (Citra Yuliana, 2012).
Gaun pelindung dipakai ketika, misalnya saat membersihkan luka,
melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, mengganti pembalut,
membuang cairan terkontaminasi ke dalam lubang pembuangan/WC/toilet,
mengganti pembalut, menangani pasien dengan perdarahan massif,
melakukan tindakan bedah, dan tindakan lain yang mengindikasikan
terjadinya paparan terhadap darah/cairan tubuh dalam waktu yang lama dan
dalam jumlah yang banyak (Citra Yuliana, 2012).
e. Sepatu pelindung (sturdy foot wear)
Berdasarkan pedoman Kewaspadaan Universal yang disusun oleh
(Citra Yuliana, 2012), sepatu pelindung digunakan untuk melindungi kaki
petugas dari tumpahan atau percikan darah/cairan tubuh lainnya serta
mencegah risiko tertusuk benda tajam dan kejatuhan alat kesehatan.
Sepatu khusus ini sebaiknya terbuat dari bahan tahan tusukan dan
mudah dicuci seperti karet atau plastik. Sepatu ini digunakan khusus oleh
petugas yang bekerja di ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi,
ruang pemulasaran jenazah dan petugas sanitasi. Sepatu hanya boleh
digunakan di dalam ruangan tersebut dan tidak boleh dipakai ke ruang
lainnya.
3. Pengelolaan Alat Kesehatan
Pengelolaan alat kesehatan dilakukan untuk menjamin alat kesehatan dalam
keadaan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi yang ditularkan melalui alat
kesehatan. Proses pengelolaan alat kesehatan dilakukan melalui empat tahap kegiatan
yaitu dekontaminasi, pencucian, strelisasi atau desinfeksi tingkat tinggi (DTT), dan
penyimpanan (Dirjen P2MPL, 2010).
a. Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan langkah pertama yang penting dalam
menangani peralatan, perlengkapan, sarung tangan dan benda-benda lain yang

16
terkontaminasi. Dekontaminasi bertujuan untuk membuat benda-benda lebih
aman untuk ditangani petugas pada saat dilakukan pembersihan. (Dirjen
P2MPL, 2010).
Dekontaminasi dilakukan segera setelah pemakaian benda yang
terkontaminasi. Cara dekontaminasi yaitu dengan segera merendam peralatan
maupun perlengkapan ke dalam larutan klorin 0,5% selama ±10 menit. Saat
melakukan dekontaminasi, petugas kesehatan perlu memakai alat pelindung diri
yang memadai (sarung tangan tebal), melakukan prosedur kerja yang
meminimalkan risiko pajanan terhadap lapisan mukosa dan kontak parentral
melalui bahan-bahan terkontaminasi (Dirjen P2MPL, 2010).
b. Pencucian
Pencucian yaitu suatu proses pembersihan yang dilakukan untuk
menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari benda dan permukaan
benda dengan sabun atau deterjen, air dan sikat. Selain itu, proses pencucian
juga membantu menurunkan jumlah mikroorganisme pada permukaan benda
dan mempersiapkan permukaan benda untuk kontak dengan disinfektan atau
bahan sterilisasi sehingga proses disinfeksi dan sterilisasi menjadi lebih efektif
(Dirjen P2MPL, 2010).
Pencucian harus dilakukan dengan teliti sehingga kotoran dan zat-zat lain
yang mengkontaminasi peralatan benar-benar hilang dari permukaan peralatan.
Peralatan dan benda yang sudah dicuci, dibilas dan dikeringkan dahulu sebelum
diproses lebih lanjut (Dirjen P2MPL, 2010).
c. Strelisasi atau Desinfeksi
Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebgaian atau semua
mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali endospora bakteri (Dirjen P2MPL,
2010). Efektifitas dari suatu proses disinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu proses pencucian yang dilakukan
sebelumnya, adanya zat organik, tingkat pencemaran, jenis mikroorganisme
pada alat kesehatan, sifat dan bentuk alat, lamanya terpajan oleh disinfektan,

17
suhu dan pH saat proses berlangsung. Proses disinfeksi, berdasarkan cara dan
bahan yang digunakan, dibedakan menjadi disinfeksi kimiawi, radiasi sinar
ultraviolet, pasteurisasi,dan mesin pencuci.
Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) merupakan alternatif pengelolaan alat
kesehatan apabila sterilisasi tidak dapat dilakukan atau sterilitator tidak tersedia.
Proses ini dapat membunuh semua mikroorganisme termasuk virus hepatitis B
dan HIV tetapi tidak dapat membunuh endospora (Dirjen P2MPL, 2010).
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal yang dibentuk oleh
Depkes RI, ada beberapa cara melakukan DTT, diantaranya:
a. Merebus dalam air mendidih selama 20 menit
b. Merendam dalam disinfektan kimia seperti glutaraldehid, formaldehid
8%
c. DTT dengan uap (steamer)
Sterilisasi merupakan proses yang dilakukan untuk membunuh seluruh
mikroorganisme pada alat kesehatan termasuk endospora bakteri. Pada suatu
rumah sakit, biasanya ada dua cara sterilisasi yaitu secara fisik (dengan
pemanasan kering, uap panas bertekanan, radiasi dan filtrasi) dan secara
kimiawi (gas etilen oksida, dan zat kimia cair). Sterilisasi dianggap sebagai cara
yang paling efektif dan aman untuk mengelola alat kesehatan yang
berhubungan langsung dengan darah atau jaringan di bawah kulit (Dirjen
P2MPL, 2010).
d. Penyimpanan Alat Kesehatan
Penyimpanan alat kesehatan berdasarkan cara penyimpanannya dibagi
menjadi penyimpanan alat yang dibungkus dan yang tidak dibungkus. Alat
kesehatan yang dibungkus dapat dianggap steril selama bungkusan tetap utuh
dan kering dalam kondisi penyimpanan yang optimal dan penanganan yang
minimal. Sedangkan alat yang tidak dibungkus dapat dinyatakan steril jika
tersimpan dalam wadah steril dan tertutup serta diyakini steril paling lama 1
minggu. Namun, jika ragu-ragu tentang sterilitas suatu peralatan baik yang

18
dibungkus maupun tidak dibungkus maka alat dianggap tercemar dan perlu
disterilkan dahulu sebelum digunakan (Dirjen P2MPL, 2010).
e. Pengelolaan benda tajam
Penyebaran infeksi di sarana pelayanan kesehatan sebagian besar
disebabkan oleh kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum suntik atau tergores
benda tajam (termasuk pecahan kaca) yang sudah terkontaminasi. Kemenkes
RI, 40% dari kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan kerja yang dapat
dicegah dan terjadi akibat melakukan penutupan kembali jarum suntik setelah
pemakaian (recapping).
Untuk menghindari kecelakaan kerja dan perlukaan, maka petugas
kesehatan perlu memerhatikan prosedur penanganan jarum suntik dan benda
tajam dimulai sejak pembukaan bungkus/wadah, penggunaan, dekontaminasi
hingga ke penampungan sementara berupa wadah tahan tusukan. Berikut
prosedur pengelolaan benda tajam yang dapat dilakukan di sarana pelayanan
kesehatan (Dirjen P2MPL, 2010):
1) Saat melakukan prosedur dengan menggunakan jarum suntik/benda
tajam atau saat pengelolaan benda tajam, petugas harus menggunakan
sarung tangan
2) Saat memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain,
menggunakan teknik tanpa sentuh (hands free) yaitu dengan
menggunakan nampan atau alat perantara
3) Petugas tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik bekas
pakai melainkan langsung membuangnya ke dalam wadah tahan tusukan
4) Jika jarum terpaksa ditutup kembali, maka gunakan prosedur penutupan
dengan satu tangan (single handed recapping method).
2.1.5 Kewaspadaan berdasarkan penularan
Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat
dicurigai telah terinfeksi oleh patogen yang ditularkan lewat kontak langsung
khususnya penyakit Hepatitis B, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit

19
atau mata. Dalam hal ini jika ada proses infeksi pada pasien tanpa diketahui
diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara empirik harus
dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat (Nursalam, 2017).
2.1.6 Kepatuhan perawat terhadap kewaspadaan standar
Perilaku pencegahan infeksi pada seorang petugas kesehatan dipengaruhi oleh
kepatuhan seorang petugas kesehatan terhadap kewaspadaan standar/universal.
Penelitian, baik di Indonesia maupun di beberapa negara, sudah pernah dilakukan
untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku patuh terhadap
kewaspadaan universal tersebut. Salah satu model determinan perilaku yang
digunakan untuk melihat kepatuhan yaitu model determinan perilaku kesehatan yang
dikeluarkan oleh Green et.al, 1980. Model tersebut menjelaskan bahwa suatu perilaku
kesehatan seseorang dipengaruhi faktor predisposisi, faktor enabling (pemungkin),
dan faktor reinforcing (penguat) (Citra Yuliana, 2012).
2.1.7 Tindakan Perawat dalam menggunakan kewaspadaan universal
Perawat sebagai petugas kesehatan yang memberikan pelayanan keperawatan
dan melakukan prosedur keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien akan
kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien. Hal ini sangat berisiko
terpapar infeksi yang secara potensial membahayakan jiwanya, dan menjadi tempat
dimana agen infeksius dapat berkembang biak yang kemudian menularkan infeksi
dari satu pasien kepasien lain. Oleh karena itu tindakan kewaspadaan universal sangat
penting dilakukan (Etika Emaliyawati, 2015).

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat Terhadap


Kewaspadaan Universal
2.2.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek memiliki intensitas atau
tingkat yang berbeda-beda, yang dapat dibagi ke dalam 6 (enam) tingkat pengetahuan

20
yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Notoatmodjo, 2014).
Pengetahuan tentang cara penularan di tempat kerja merupakan faktor penting
terbentuknya kepatuhan seorang terhadap kewaspadaan standar. Berdasarkan
beberapa penelitian yang pernah dilakukan, baik di Indonesia maupun dunia,
ditemukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan terhadap
kewaspadaan standar (Saroha, 2003, Sulastri, 2001 dan McGovern et.al, 2000).
2.2.2 Sikap Petugas
Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek (Notoatmodjo, 2014).
Menurut (Citra Yuliana, 2012) sikap terdiri dari berbagai tingkatan:
1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (obyek).
2. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling
tinggi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, perawat yang
memiliki sikap positif terhadap pasien lebih cenderung patuh terhadap penerapan
kewaspadaan universal. Namun, hasil penelitian pada sejumlah perawat di Afrika
(Delobelle et.al, 2009) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sikap
dengan perilaku.

21
2.2.3 Ketersedian Saranan dan Fasilitas Pencegahan
Menurut teori (Naing et.al. dalam Luo et.al., 2010), suatu perilaku seseorang
dipengaruhi oleh faktor pemungkin seperti ketersediaan sumber daya (sarana dan
fasilitas). Tanpa adanya sumber daya yang memadai, seseorang tidak akan mampu
menerapkan suatu perilaku dengan baik. Demikian halnya dengan petugas kesehatan,
dalam menerapkan perilaku pencegahan infeksi di tempat kerja diperlukan sumber
daya (sarana dan fasilitas) yang memadai. Perawat cenderung untuk lebih patuh
dalam menerapkan kewaspadaan universal jika tersedia alat pelindung diri (APD)
yang memadai. Selain itu, ketersediaan dan kemudahan dalam mendapatkan alat
pelindung diri (APD) memegang peranan penting dalam kepatuhan terhadap
penerapan kewaspadaan standar.
Sumber daya yang diperlukan dalam rangka menerapkan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja yaitu tersedianya sarana dan prasarana
cuci tangan, alat pelindung diri (APD), bahan/perlengkapan disifektan dan sterilisasi,
serta perlengkapan untuk pengelolaan benda tajam dan pembuangan sampah/limbah
medis (Dirjen P2MPL, 2010).
2.2.4 Informasi dan Pelatihan (training)
Faktor pemungkin yang turut mempengaruhi perilaku seseorang yaitu
keterjangkauan informasi yang diterima oleh seseorang. Untuk petugas kesehatan,
keterampilan dan informasi tersebut dapat diperoleh dari media atau pelatihan
(training) yang diberikan. Pelatihan yang diberikan dapat berupa pelatihan tentang
kewaspadaan universal/standar maupun pelatihan tentang alat pelindung diri (APD)
Green et.al., (dalam Citra Yuliana, 2012).
Pelatihan mengenai alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam menerapkan kewaspadaan
universal Lebih lanjut lagi, McGovern (dalam Citra Yuliana, 2012), menemukan
bahwa perawat yang mendapatkan pelatihan APD memiliki tingkat kepatuhan 5,7 kali
lebih baik dibandingkan dengan teman sejawatnya yang tidak mendapatkan pelatihan.

22
Selain pelatihan tentang APD, pelatihan tentang kewaspadaan standar/universal
juga turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk menerapkan kewaspadaan standar.
Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 1500 perawat di
China, bahwa perawat yang mengaku pernah mendapatkan pelatihan tentang
kewaspadaan standar memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam menerapkan
kewaspadaan standar saat bekerja (Luo et.al., 2010).
2.2.5 Hambatan Penerapan Kewaspadaan Standar/Universal
Hambatan terkait pekerjaan dalam menerapkan kewaspadaan universal yang
dirasakan oleh petugas kesehatan turut mempengaruhi perilaku pencegahan dan
penanggulangan atau penerapan kewaspadaan universal. Inti permasalahan dari
hambatan penerapan KU terkait pekerjaan yaitu adanya konflik kepentingan antara
kewajiban untuk melayani pasien dengan kewajiban untuk melindungi diri sendiri.
Hal tersebut biasanya terjadi saat keadaan darurat dimana waktu satu detik saja sangat
berharga bagi pasien. Pada situasi tersebut, petugas kesehatan biasanya lebih sering
mengabaikan kewaspadaan universal Dejoy et.al, (dalam Citra Yuliana, 2012).
Hal ini didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan oleh McGovern et.al.,
Kermode et.al dan Efstathiou (2011), dimana semakin rendah hambatan penerapan
KU akibat pekerjaannya semakin tinggi tingkat kepatuhan perawat dalam
menerapkan program pencegahan dan penanggulangan di tempat kerja. Mereka
menemukan bahwa sejumlah perawat tidak menerapkan program pencegahan infeksi
karena merasa ada hambatan dalam menerapkan kewaspdaan standar akibat
ketidakcukupan waktu.

23
2.3 Penelitian Relevan

Peneliti Judul Metode Hasil Perbedaan Persamaan


Citra Kepatuhan Desain Hasil : Hasil Sampel Menggunakan
Yuliana. Perawat Penelitian, penelitian penelitian, metode yang
(2016) Terhadap deskriptif terhadap 39 lokasi hampir sama
Kewaspadaan analitik orang perawat penelitian,
menunjukkan
Standar Di
ada 26 (66,7%)
Rsko Jakarta perawat yang
Tahun 2012 memiliki
perilaku patuh
terhadap
kewaspadaan
standar.

Etika Tindakan Desain Hasil : Uji Sampel Menggunakan


Emaliyawati. Kewaspadaan Penelitian, hipotesis nilai p penelitian, metode yang
(2010) Universal deskriptif value 0,000 dan lokasi hampir sama
Sebagai Upaya korelasi diperoleh nilai r penelitian.
Untuk dengan = 0,713.
Mengurangi cross-
Resiko sectional.
Penyebaran random
Infeksi sampling

Putri, dkk Gambaran Desain Hasil : Secara Sampel Menggunakan


(2013) Pelaksanaan Penelitian kumulatif, penelitian, metode yang
Kewaspadaan menggunak (9,44%) tidak lokasi hampir sama
Universal di an selalu mencuci penelitian dan
Puskesmas deskriptif focus
tangan dengan
Kolongan survey penelitian di
Kabupaten
baik sesuai puskesmas
Minahasa Utara dengan
petunjuk dan
indikasi
mencuci tangan
Sumber : Citra Y, (2016), Etika E, (2010), Putri. dkk (2013)

24
2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan suatu kerangka untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Istilah “teori” disini menunjuk pada sumber penyusunan kerangka dapat
berupa teori yang ada, definisi konsep, atau dapat dari logika (Sumantri, 2014).
Berdasarkan tinjauan teori yang telah di bahas sebelumnya, peneliti merangkumnya
dalam kerangka teori berikut ini :

Faktor Terkait
Faktor Organisasi : Pekerjaan :
Faktor Individu :
- Ketrsediaan Sarana dan - Hambatan
- Pengetahuan
Fasilitas Penerapan
- Sikap
- Informasi Dan Pelatihan Kewaspadaan
Universal

Penerapan Prinsip
Kewaspadaan Universal

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber : Citra Y. 2012

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

25
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abstarksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal-hal yang khusus. Oleh karena konsep merupakan abstrak, maka konsep tidak
dapat diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melaui konstruk atau yang
lebih dikenal dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang
menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep (Notoatmodjo, 2014). Adapun yang
menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini adalah Gangguan Insomnia sebagai
variabel bebas dan Konsentrasi Belajar sebagai variabel terikat.

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor-faktor :
- Pengetahuan Kepatuhan Penerapan
- Sikap Prinsip Kewaspadaan
- Sarana dan Fasilitas Universal oleh Perawat
- Informasi dan Pelatihan

Gambar 2. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Independet

: Variabel Dependent

: Hubungan

26
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang masih perlu di uji kebenarannya.
Selain itu hipotesis juga merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah
penelitian yang masih perlu di uji kebenarannya melalui uji hipotesis atau atau uji
statistik (Swarjana, 2016).
Ha :
1. Ada Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kepatuhan Penerapan Prinsip
Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM.
Dunda Limboto.
2. Ada Hubungan Antara sikap Dengan Kepatuhan Penerapan Prinsip
Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM.
Dunda Limboto.
3. Ada Hubungan Antara Sarana dan Fasilitas Dengan Kepatuhan Penerapan
Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat
RSUD MM. Dunda Limboto.
4. Ada Hubungan Antara Informasi dan Pelatihan Dengan Kepatuhan Penerapan
Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat
RSUD MM. Dunda Limboto.

27
BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang di pilih yaitu Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda
Limboto. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2020.

3.2 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode survei
analitik dengan pendekatan kuantitatif. Untuk pengolahan data menggunakan uji chi
square. Dengan mencari Hubungan Pengetahuan, sikap, Sarana dan Fasilitas,
Informasi dan Pelatihan Dengan Kepatuhan Penerapan Prinsip Kewaspadaan
Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda Limboto.

3.3 Variabel Penelitian


Variabel independen (X) dalam penelitian ini yaitu, Pengetahuan, sikap, Sarana
dan Fasilitas, Informasi dan Pelatihan dan Variabel dependen (Y) yaitu Kepatuhan
Penerapan Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat
RSUD MM. Dunda Limboto.

28
3.3.1 Tabel Definisi Operasional
Definisi
Variabel Parameter Alat ukur Skala Kategori
operasional
Variabel Pengetahuan -Cara Penularan Kuisioner Ordinal - Baik jika ≥ (
independen adalah hasil ditempat kerja ≥ 50 %)
penginderaan - Kurang jika
Pengetahuan manusia, atau (< 50%)
hasil tahu
seseorang
terhadap objek
melalui indera
yang dimilikinya.

Sikap merupakan - Pemberian - Baik jika ≥ (


Sikap suatu respon yang Pelayanan Kuisioner Ordinal ≥ 50 %)
masih tertutup terhadap - Kurang jika
dari seseorang Pasien (< 50%)
terhadap suatu
stimulus atau
objek.
suatu perilaku - APD - Baik jika ≥ (
Sarana dan seseorang - Cuci tangan Kuisioner Ordinal ≥ 50 %)
Fasilitas dipengaruhi oleh - Kurang jika
faktor pemungkin (< 50%)
seperti
ketersediaan
sumber daya.

Faktor pemungkin - Pelatihan - Baik jika ≥ (


Informasi yang turut yang pernah Kuisioner Ordinal ≥ 50 %)
dan Pelatihan mempengaruhi di ikuti (APD) - Kurang jika
perilaku (< 50%)
seseorang yaitu
keterjangkauan
informasi yang
diterima oleh
seseorang.

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Perawat yang di Ruagan Instalasi Gawat
Darurat RSUD MM. Dunda Limboto, jumlah populasinya 32 Perawat.

29
3.4.2 Sampel
Sampel adalah kelompok kecil yang diamati dan merupakan bagian dari
populasi sehingga sifat dan karakteristik populasi juga dimiliki oleh sampel
(Notoatmodjo, 2014).
Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu sebanyak 32
sampel.
3.4.3 Tehnik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Pemilihan sampel
dilakukan dengan tehnik Non Random (Purposive Sampling) dengan kriteria sampel
yang memiliki data lengkap sesuai dengan variabel penelitian .

3.5 Tehnik Pengumpulan Data


3.5.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan secara langsung
dari objek penelitian, yaitu data yang diperoleh dari responden melalui hasil
kuesioner yang diajukan oleh peneliti.
3.5.2 Data Sekunder
Data Sekunder adalah data atau sumber yang didapat dari bahan bacaan. Dalam
penelitian ini data sekunder di peroleh dari intansi-instansi terkait, seperti Dinas
Kesehatan, Bagian Umum Keperawatan RSUD MM Dunda Limboto dan Ruagan
Instalasi Gawat Darurat RSUD MM. Dunda Limboto.

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan
data (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini menggunakan lembar identitas responden,
dan lembar kuisioner. Lembar identitas responden digunakan untuk mencatat data
identitas responden meliputi : inisial nama, umur, alamat, untuk menggambarkan
karakteristik responden. Sedangkan Lembar kuisioner di gunakan untuk mencatat

30
hasil dari masing-masing pertanyaan tiap variabel yang terdiri dari : Pengetahuan,
sikap, Sarana dan Fasilitas, Informasi dan Pelatihan Dengan Kepatuhan Penerapan
Prinsip Kewaspadaan Universal Oleh Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD
MM. Dunda Limboto.

3.7 Tehnik Pengolahan Data


Dalam proses pengolahan data terdapat langkah–langkah yang harus ditempuh,
diantaranya (Setiadi, 2013 ).
1. Editing / memeriksa
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah
terkumpul.
2. Coding / memberi tanda kode
Coding yaitu mengklasifikasi jawaban–jawaban dari para responden dalam
bentuk angka / bilangan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda /
kode berbentuk angka pada masing–masing jawaban.
3. Processing / entri data
Processing adalah memproses data agar yang sudah di-entry dapat dianalisa.
Pemprosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data kuesioner kepaket program
komputer.
4. Cleaning / pembersihan data
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak.

3.8 Tehnik Analisa Data


3.8.1 Analisi Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap variabel dan hasil penelitian dengan
menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga menghasilkan distribusi dan
persentasi dari tiap variabel yang diteliti.

31
3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis dengan uji
perbedaan proporsi menggunakan uji statistik chi-square, dibantu dengan program
SPSS versi 21, untuk menentukan besarnya hubungan tiap-tiap variabel independen
dan dependen. Analisis tabel silang ini menggunakan derajat kemaknaan α sebesar
5% (p < 0.05). Jika nilai p < 0,05, maka hipotesis nol ditolak sehingga dua variabel
yang dianalisis memiliki hubungan yang bermakna, sebaliknya jika nilai p>0,05 maka
hipotesis nol diterima sehingga dua variabel yang dianalisis tidak memiliki hubungan
yang bermakna.
3.9 Hipotesis Statistik
Ha: Ada hubungan yang bermakna dengan nilai p ≤ 0,05

3.10 Etika Penelitian


Penelitian kesehatan pada umumnya dan penelitian kesehatan masyarakat pada
khususnya menggunakan manusia sebagai objek yang diteliti di satu sisi, dan sisi
yang lain manusia sebagai peneliti atau yang melakukan penelitian. Hal ini berarti
bahwa ada hubungan timbal balik antara orang sebagai peneliti dan sebagai yang
diteliti.
Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti adalah sebagai hubungan antara
mereka yang memerlukan informasi dan mereka yang memberi informasi. Peneliti
sebagai pihak yang memerlukan informasi, harus bisa menempatkan diri lebih rendah
dari pihak yang memberikan informasi atau responden.
Responden dalam hal ini mempunyai hak untuk tidak memberikan informasi
kepada peneliti. Oleh sebab itu untuk hak-hak mereka (responden) yang memberikan
informasi harus didahulukan. Sebagai perwujudan hak-hak responden harus
didahulukan, maka sebelum dilakukan pengambilan data kepada responden terlebih
dahulu meminta persetujuan (Inform Consent).

32
Apabila responden tidak bersedia diwawancarai atau memberikan informasi
adalah hak mereka, dan tidak dilanjutkan pengambilan data wawancara
(Notoadmodjo, 2012).
Secara rinci hak-hak dan kewajiban-kewajiban peneliti dan yang diteliti
(informan) menurut Notoadmodjo (2012) adalah sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban responden
1) Hak responden :
a. Hak untuk dihargai Privacy-nya
b. Hak untuk merahasiakan informaasi yang diberikan
c. Hak memperoleh jaminan keamanan atau keselamatan akibat dari
informasi yang diberikan
d. Hak memperoleh imbalan atau kompensasi
2) Kewajiban responden :
Setelah adanya Inform Consent dari responden sudah mempunyai
keterikatan dengan peneliti berupa kewajiban responden untuk
memberikan informasi yang diperlukan peneliti. Tetapi selama belum
ada Inform Consent, responden tidak ada kewajiban apapun terhadap
peneliti.
2. Hak dan kewajiban peneliti :
1) Hak peneliti :
Bila responden bersedia diminta informasinya, peneliti mempunyai hak
memperoleh informasi yang diperlukan sejujur-jujurnya dan selengkap-
lengkapnya dari responden. Apabila hak ini tidak diterima dari
responden, dalam arti responden menyembunyikan informasi yang
diperlukan, maka responden perlu diingatkan kembali terhadap Inform
Consent yang telah diberikan.
2) Kewajiban peneliti :
a. Menjang Privacy responden
b. Menjaga kerahasiaan respon den Memberi kompensasi

33
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., 2013. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi kedua. Jakarta: UI
Press.

Cecep Dani Sucipto, 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Gosyen Publising:
Yogjakarta.

Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2015. Body Mass Index:
Considerations for Practitioners.

Delobelle, Vanina, 2009. “Community : A Critical Response. Suncy. Inc

Departemen kesehatan, R.I. 2013. Pedoman pengendalian infeksi nosokomial di


rumahsakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI; 2019.

Departemen Kesehatan RI, 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


382/Menkes/SK/III/2007 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya, Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Ditjen P2PMPL, 2010. Kepmenkes RI Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang


Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia

Etika Emaliyawati, 2015. Hambatan Komunikasi Efektif Perawat dengan Keluarga


Pasien dalam Perspektif Perawat. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia

Gruendeman & Fernsebner. 2016. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif., Vol. 2


Praktik. Jakarta: EGC

James, J, Baker, C and Swain, H. 2008. Prinsip-prinsip Sains unruk Keperawatan.


EMS: Semarang

Kermode M, et al, 2011. Compliance with Universal Precaution among healthcare


workers in rural India, Association for Professional in Infection Control and
Epidemiology, Inc, Australia

34
Luo, Y., He, G. P., Zhou, J. W., & Luo, Y. 2010. Factors impacting compliance with
standard precautions in nursing, China. International Journal of Infectious
Diseases.

McGovern, Patricia M., Donald Vesley, Laura Kochevar, Robyn R.M, Gershin, Frank
S. Shame, Elizabeth Sanderson 2010, Factors Affecting Universal
Precautions Compliance, Journal of Busssines and Psychology.

Notoatmodjo,S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam. 2017. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. 2017. Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Ed. 4. Jakarta: Salemba


Medika

Nursalam, Kurniawati. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi


HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Putri, dkk 2013. Gambaran Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Puskesmas


Kolongan Kabupaten Minahasa Utara

Sahara, A., 2011.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan


bidan dalam penerapan kewaspadaan universal.

Setiadi. 2013. Konsep dan praktek penulisan riset keperawatan (Ed.2) Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Sumantri. 2015. Strategi pembelajaran. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Swarjana, I.K. 2016. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Yogyakarta:


ANDI.

Syawir, 2011. Praktek prosedur cuci tangan anseptik, Jakarta : Cipta Rineka.

Tietjen, dkk. 2014. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan


Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.

35
Umar, 2015. Kebiasaan mencuci tangan dengan infeksi pada anak SDN 34
Pekalongan, Jawa Tengah. Makara Kesehatan

World Health Organisation (WHO). 2011. Report On The Burden Of Endemic Health
Care – Associated Infection Worldwide. http://www.who.int. Di Unduh Pada
Tanggal 14 Desember 2019

Yuliana Citra, 2012, Kepatuhan perawat terhadap kewaspadaan standar di RSKO


Jakarta. Skripsi

36

Anda mungkin juga menyukai