Anda di halaman 1dari 12

Dalil-Dalil Hakikat Manusia

Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam

Dalam agama islam, ada enam peranan yang merupakan hakikat diciptakannnya manusia.
Berikut ini adalah dimensi hakikat manusia berdasarkan pandangan agama islam

1. Sebagai Hamba Allah


Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai seorang
hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga
wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan , zakat , haji  dan melakukan
ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan dalam
ayat berikut ini
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).
2. Sebagai al- Nas
Dalam al- Qur’an manusia juga disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran cenderung
mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam masyarakat.
Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman
Allah SWT berikut
“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An
Nisa:1).
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS: Al Hujurat :13).
3. Sebagai khalifah Allah
Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia diciptakan
oleh Allah SWt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi. “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. …”(QS Shad:26).
Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya
kelak di hari akhir.

4. Sebagai Bani Adam


Manusia disebut sebagai bani Adam atau keturunan Adam agar tidak terjadi kesalahpahaman
bahwa manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan oleh Charles
Darwin. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-nilai
pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat. Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat.
Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga, …” (QS : Al araf 26-27).
5. Sebagai al- Insan
Tidak hanya disebut sebagai al nas, dalam Alqur’an manusia juga disebut sebagai Al insan
merujuk pada kemampuannya dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta kemampuannya
untuk berbicara dan melakukan hal lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al hud berikut
ini
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari
padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: Al Hud:9).
6. Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)
Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau al basyar karena manusia memiliki raga
atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak
dan lain sebagainya sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti makhluk
lainnya di bumi seperti hewan dan tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dapat
berakhir dan mengalami kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran serta
perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Segala hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat
menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi
tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat utama penciptaannya.

FUNGSI MANUSIA
Manusia diberi hak hidup oleh Allah swt. Bukan untuk hidup semata, melainkan ia diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdian inilah, manusia dibebani
kewajiban/taklif yang sangat erat kaitannya dengan usaha dan kesungguhan manusia itu sendiri.

Selanjutnya dalam kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan
satu dan yang lainnya. Oleh karena itu manusia dalam berikhtiar melaksanakan taklif,
berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya,
guna mencapai kebahagian yang hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.

Manusia atau yang biasa disebut oleh Allah dalam Al Qur’an dengan sebutan bani adam
mempunyai kedudukan yang sangat mulia, bahkan mahluk Allah yang paling mulia diantara
mahluk-makhluk Allah yang lain. Nilai lebih yang diberikan Allah ini merupakan pembeda
manusia dengan ciptaan Allah yang lain. Namun “kemulian/ karamah” manusia ini ada nilai
konsekuensi yang berat. Kenapa? Karena pada diri manusia terdapat nafsu yang tidak selamanya
dapat diajak kompromi untuk menjalankan ketaatan kepada Allah swt.

Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada nilai kemanusiaanya dan
bahkan sering sekali menelantarkannya dalam kehinaan. Diantara pemberiaan Allah kepada
manusia adalah diberikanya kemampuan fisik dan berfikir. dua kemampuan ini yang pada
dasarnya akan menumbuhkan sumber daya manusia, sekaligus akan memacu manusia untuk
mencapai kualitas terbaiknya, bila di barengi dengan kemauan untuk berusaha.

Disisi lain meskipun memiliki nilai karamah/ kemuliaan, manusian dalam Al-Qur’an tetap
sebagai abd/ hamba. seorang hamba berarti dia punya tanggung jawab yang melekat pada
dirinya. Manusia dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah dia mendapatkan tanggung jawab
(taklif) yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan kemampuannya.
Sejauahmana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu pula ia mempertahankan nilai
kemuliaanya/ karamahnya. Sejauhmana manusia mengabdikan dirinya kepada Allah maka
selama itu juga ia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai abd. Ini mengandung arti bahwa
manusia didalam hidup dan kehidupannya selalu harus beribadah kepada Allah swt. Karena
Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. QS. Azzariyat
56: “Tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”.

Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, tapi manusia diberi kedudukan sebagai khalifah
Allah dengan berbagai tingkat dan derajatnya, dalam hubungannya secara bertikal dengan Allah
ataupun hubungan horizontal sejajar antar sesama manusia. Khalifah sebagai pengganti, ia diberi
wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Namun manusia harus faham
bahwa wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus di emban dengan penuh tanggung
jawab.

Tugas khalifah dalam Al Qur’an biasa disebut imaratul ardh (memakmurkan bumi) dan
ibadatullah (beribadah kepada Allah). Allah menciptakan manusia dari bumi ini dan menugaskan
manusia untuk melakukan imarah dimuka bumi dengan mengelola dan memeliharanya. Karena
manusia dalam melaksanakan tugas dan wewenang imarahnya sering melampaui batas, sering
melanggar dan bahkan mengambil hak saudaranya, maka Allah meberikan solusi dengan cara
bertaubat kepada-Nya.

Imaratul ardh yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu saja bukan sekedar
membangun tanpa tujuan apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tugas membangun justru
merupakan sarana yang sangat mendasar untuk melaksanakan tugasnya yang inti dan utama yaitu
ibadatullahin (beribadah kepada Allah). Lebih dari itu adalah sebagai sarana untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat yang menjadi tujuan utama.

Maka dari pengkajian ini dapat kita pahami, manusia dalam konsepsi Al Qur’an adalah manusia
ibadatullah dan imaratul ardh. Dan kedua hal ini sangat berkaitan antara satu dan yang lainnya.
Hal ini yang telah di contohkan oleh Allah melalui Rasulullah saw. Ketika hijrah ke Madinah,
sesampainya di tujuan (Madinah) Rasulullah membangun bangunan monumental dan bersejarah
yang sampai hari ini masih dilestarikan bahkan terus di kembangkan. Dua bangunan yang
dimaksud adalah masjid (Quba) dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara mssjid dan
pasar karena pada dasarnya kedua hal tersebut menyatu dalam jiwa manusia.

Allah swt. Dalam Al Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mampu berpacu dalam
kebaikan (fastabiqul khairat). Perintah ini dipahami untuk menumbuhkan sikap dan prilaku
kompetisi untuk mencapaik al khairat/ kebaikan, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan
berkualitas, serta dibutuhkan juga wawasan kreatif dan inovatif yang luas, disamping daya
analisis untuk mengantisipasi proses transformasi menuju masa depan.

Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai metode yang menitik beratkan pada program-
program. Tapi wujud dari dinamika ini adalah gerakan- gerakan yang selalu menuntut kita untuk
giat bekerja dan berbuat yang terbaik. Hal ini sebagaimana yang di contohkan oleh Rasulullah
saw. Dalam kesehariannya, Rasul selalu mempunyai kesibukan bahkan sampai membantu istri-
istri beliau dalam menjait baju dan sendal. Diriwayatkan dalam hadis: ” seberat-berat siksa
manusia pada hari kiamat adalah orang yang hanya dicukupi orang lain dan menganggur”.

Kualitas manusia pada dasarnya ditentukan oleh potensi dirinya. Potensi diri yang membentuk
kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan. Secara umum potensi yang telah diberikan oleh
Allah swt. Kepada setiap manusia mukallaf (aqil, baligh) adalah potensi akal dan fisip. Potensi
akal berkembang menjadi ilmu pengetahuan sedangkan potensi fisik berkembang menjadi
ketrampilan, semangat berkarya dan lainya.

Allah swt. Berfirman QS. Al Qashsas 26: “sebaik-baik orang yang kamu serahi tugas
mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan berkemampuan menerima amanat serta
terpercaya. Dalam ayat ini mengandung pesan bahwa setiap usaha apapun untuk mencapai
prestasi, menuntut adanya potensi dan amanah yang membentuk kualitas.

THE BEST

Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini dapat dipahami dari firman Allah dalam
Q.S Al-Baqarah : 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “mereka berkata :”
Mengapa engkau hendakmenjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akn membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami enantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?”  Tuhan berfirman : ”sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui”.
Apa yang dimaksud dengan khalifah? Kata khalifah berasal dari kata “khalf” (menggantikan,
mengganti), atau kata “khalaf” (orang yang datang kemudian) sebagai lawan dari kata “salaf”
(orang yang terdahulu). Sedangkan arti kata khilafah adalah menggantikan yang lain, adakalanya
karena tidak adanya (tidak hadirnya) orang yang diganti, dan adakalanya karena memuliakan
(memberi penghargaan) atau mengangkat kedudukan orang yang dijadikan pengganti.
Pengertian terakhir inilah yang dimaksud dengan “Allahmengangkat manusia khalifah di muka
bumi”, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Fathir ayat 39, Q.S Al an’am ayat 165. Manusia
adalah makhluk yang termulia di antara mahluk- makhluk yang lain (Q.S Al Isra : 70) dan ia
dijadikan oleh Allah SWT dalam sebaik- baik bentuk/ kejadian, baik fisik maupun psihisnya
(Q.S At Tin : 5), serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi- potensi dasar
(fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses
pendidikan. Karena itulah maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah
Allah di muka bumi.
Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas mewujudkan
kemakmuran di muka bumi (Q.S Hud : 61 ), serta mewujudkan keselamatan dan kebahgiaan
hidup di muka bumi  (Q.S al-maidah : 16), dengan cara beriamn dan beramal shaleh (Q.S Al-
ra’ad : 29), bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan
kesabaran (Q.S Al-Ashr : 1-3). Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah
dari Allah sejak manusia pertama hingga manusia akhir zaman yang akan datang, dan merupakan
perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepadaNya (’abdullah).  Tugas- tugas kekhalifahan
tersebut menyangkut :-Rad
Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi tugas- tugas :
 Menuntut ilmu pengetahuan (Q.S Al-Nahl : 43), karena manusia itu adalah makhluk yang
dapat dan harus dididik/ diajar (Q.S al-baqarah :31) dan yang mampu mendidik /mengajar
(Q.S Ali imran:187, al-an’am :51)
 Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan (Q.S al-Tahrim : 6) termasuk di dalamnya adalah menjaga dan memelihara
kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dn sebagainya
 Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Kata akhlak berasal dari kata khuluq atau
khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/ rohani, dan khalq merupakan bentuk lahir/ jasmani.
Tugas kekhalifahan dalam keluarga/ rumah tangga meliputi tugas :
 Membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah, mawaddah dan
wa rahmah / cinta kasih (Q.S ar-Rum : 21) dengan jalan menyadari akan hak dan
kewajibannya sebagai suami-istri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.
Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugas-tugas :
 Mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S al-Hujurat : 10 dan 13, al-Anfal : 46 )
 Tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S al-Maidah : 2)
 Menegakkan keadilan dalam masyarakat (Q.S al-Nisa : 135 )
 Bertanggung jawab terhadap mar ma’ruf nahi munkar ( Q.S Ali Imran 104 dan 110)
 Berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya adalah
para fakir miskin serta anak yatim (Q.S al Taubah : 60, al Nisa’ : 2), orang yang cacat tubuh
(Q.S ‘Abasa : 1-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang lain.
Tugas kekhalifahan terhadap alam (natur) meliputi :
 Mengulturkan natur (membudayakan alam), yakni alam yang tersedia ini agar
dibudayakan, sehingga menghasilkan karya- karya yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup
manusia.
 Menaturkan kultur (mengalamkan budaya), yakni budaya atau hasi karya manusia harus
disesuaikan dengan kondisi aam, jangan sampai merusak alam atau lingkungan hidup, agar
tidakmenimbulkan malapetaka bagi manusia dan lingkungannya.
 MengIslamkan kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap
komitmen dengan nilai- nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin, sehingga berbudaya berarti
mengerahkan segala tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran ajaran Islam atau kebenaran ayat-ayat serta keagungan dan kebesaran
Ilahi.

Ruang Lingkup Hukum Islam

Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu: [3]1) hukum yang
berkaitan dengan persoalan ibadah, dan 2) hukum yang berkaitan dengan persoalan
kemasyarakatan. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.

1) Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu
iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2) Hukum kemasyarakatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
yang memuat: muamalah, munakahat, dan ukubat.

a. Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi, kontrak, seperti jual beli, sewa
menyewa, pembelian, pinjaman, titipan, pengalihan utang, syarikat dagang, dan lain-lain).

b. Munakahat, yaitu hukum yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian serta akibatnya
seperti iddah, nasab, nafkah, hak curatele, waris, dan lain-lain. Hukum dimaksud biasa disebut
hukum keluarga dalam bahasa Arab disebut Al-Ahwal Al-Syakhsiyah. Cakupan hukum
dimaksud biasa disebut hukum perdata.

c. Ukubat atau Jinayat, yaitu hukum yang mengatur tentang pidana seperti mencuri, berzina,
mabuk, menuduh berzina, pembunuhan serta akibat-akibatnya. Selain bagian-bagian tersebut,
ada bagian lain yaitu (a) mukhasamat, (b) siyar, (c) ahkam as-sulthaniyah. Hal ini akan
dijelaskan sebagai berikut:

- Mukhasamat, yaiu hukum yang mengatur tentang peradilan: pengaduan dan pembuktian, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara perdata dan hukum acara pidana

- Siyar, yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad dan/atau perang, harta rampasan
perang, perdamaian, perhubungan dengan Agama lain, dan negara lain.

- Ahkam As-Sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan persoalan hubungan dengan kepala
negara, kementerian, gubernur, tentara, dan pajak.

Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematika hukum eks Barat yang
membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik seperti yang diuraikan pada
pembagian hukum menurut daya kerjanya, maka susunan hukum muamalah dalam arti luas
adalah sebagai berikut:[4]

Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat (mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya); (2) wirasah (mengatur segala masalah
yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan).
Hukum waris ini sering disebut hukum faraid; (3) muamalah dalam arti khusus mengatur
masalah kebendaan, hak-hak atas`benda, tata hubungan manusia dengan soal jual beli, sewa
menyewa, perserikatan, dan sebagainya.

Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat (memuat aturan-aturan mengenai perbuatan yang
diancam hukuman pidana); (5) al-ahkam as-sulthaniyah (membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, tentara, pajak, dan sebagainya); (6) siyar
(mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk Agama, dan negara lain);
(7) mukhamasat (mengatur soal peradilan, kehakiman, dan tata hukum acara).

Pada umumnya hukum Islam dibagi atas dua macam oleh para fuqaha:[5]

1. Yang bersifat perintah, larangan, atau pilihan. Golongan ini bernama Hukum Takliefy yang
terbagi atas lima yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram.

2. Yang bersifat menunjukkan keadaan-keadaan tertentu yang dikualifikasi sebagai sebab atau
syarat atau halangan bagi berlakunya hukum. Golongan ini bernama Hukum Wadhi’i.

Adapun hukum Wadhi’I terdapat tiga macam: [6]

a. Terdapat sebab, sebab adalah sesuatu yang tampak jelas dan tertentu menjadi tanda/pangkal
adanya hukum, terdiri dari:

- Sebab yang bukan hasil perbuatan manusia, misalnya peristiwa meninggalnya seseorang yang
mengakibatkan harta peninggalnya beralih kepada ahli warisnya.

- Sebab yang lahir dari perbuatan manusia, misalnya karena adanya akad nikah menjadi sebab
adanya hubungan seks antara seorang pria dengan seorang wanita.

b. Tentang syarat, syarat adalah sesuatu yang padanya bergantung adanya sesuatu hukum yang
berlaku, terdiri dari:

- Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya jatuh tempo pembayaran zakat menjadi syarat
untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang sudah mencapai jumlah tertentu untuk
dikenakan zakat.

- Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya berwudhu dan menghadap kiblat adalah
menyempurnakan hakikat shalat.

c. Halangan (maani), maani adalah sesuatu yang karena adanya menghalangi berlakunya
ketentuan hukum, terdiri dari :

- Maani yang mempengaruhi sebab, misalnya ahli waris membunuh pewaris sehingga terhalang
untuk menerima warisan.

- Maani yang mempengaruhi akibat, misalnya ayah yang membunuh anaknya sendiri seharusnya
dikenakan hukuman qisas, tetapi karena statusnya sebagai bapak menghalangi dijatuhkannya
hukuman qisas.
Prinsip-prinsip Hukum Islam

Bersumber dari nilai ilahiyah diimplementasikan ke dalam sejumlah prinsip dasar atau asas yang
lebih konkret dalam sejumlah bidang-bidang hukum Islam, yaitu:[7]

1. Prinsip Akidah yang tertuang ke dalam 5 rukun Islam dan 6 rukun Iman yang harus diterapkan
oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Sehingga pelakunya senantiasa dilandasi dengan akidah
Islamiyah termasuk dalam aktivitas penegakan, kegiatan iqtishadiyyah (ekonomi), dan kegiatan
politik, pendidikan, dan lainnya.

2. Prinsip Ibadah yang dimaknakan secara luas bukan semata ibadah mahdlah (shalat, puasa,
zakat, sedekah, haji, dll), melainkan juga meliputi aktivitas muamalah al-makhluqiyyah
(hubungan interaksional ke seluruh makhluk) termasuk di dalamnya hubungan hukum, iqtishay
(kegiatan bisnis), politik, budaya, pendidikan, keluarga, dan lainnya.

3. Prinsip Syariah (hukum), dengan prinsip ini menunjukkan segala aktivitas manusia senantiasa
dikembalikan kepada ketentuan syariah sebagai dasar utamanya, sehingga kesyariahannya dapat
terukur dan teruji.

4. Prinsip Tazkiyah (kesucian) yang mengandung makna sesungguhnya Allah itu Maha Suci dan
hanya akan menerima yang suci pula, innallaha tayyibun Ia yaqbalu illa tayyiban.

5. Prinsip Khilafah (Kepemimpinan) yang terkandung di dalamnya sejumlah sifat nubuwwah


seperti shiddiq (kejujuran), amanah (bertanggung jawab), fathonah (cerdas), tablieg
(komunikatif/profesianal). Selain itu juga berlandaskan pada akhak, ukhuwah, dan insaniyah
(humanistik), sehingga tidak terjadi eksploitasi antara satu dengan yang lainnya.

6. Prinsip Milkullah (pemilikan mutlak hanya ada ditangan Allah SWT), makna kepemilikan
pada manusia hanya bersifat penguasaan/pengelolaan sebagai amanah dari Allah SWT, walillahi
mulku assamawati wal ardhi (Pada Allahlah kepemilikan segala isi langit dan bumi).

7. Prinsip A’dalah (keadilan) didalamnya terbangun perilaku yang adil dalam menempatkan
sesuatu secara proporsional, mengandung persamaan dan kebersamaan sebagai lawan dari
kezhaliman, Ia tazhlimun wala tuzhlamun.

8. Prinsip Keseimbangan (al-Wustha) yang mengandung makna at-tawazhun suatu kemampuan


dan sebagai tuntutan untuk senantiasa menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat,
kepentingan individu dan jamaah, antara lahiriyah dan bathiniah.

9. Prinsip Kemaslahatan (al-Maslahah) bahwa dalam menjalankan segala aktivitas dan usahanya
pada intinya memberikan maslahat (skala prioritas), berupa kemanfaatan dan kegunaan kepada
semua elemen dan di dalamnya tidak semaksimal mungkin menghindarkan kemudharatan bagi
salah satu pihak termasuk juga pihak lainnya serta aman terhadap lingkungan.

Beberapa Aplikasi Asas/Prinsip Hukum Islam antara lain sebagai berikut:[8]

§ Tidak memberatkan dan tidak banyaknya beban;

Dengan prinsip ini menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum Islam itu mudah
dilaksanakan karena tidak banyak memberi beban sehingga tidak merepotkan, misalnya:

Dalam hal Ibadat:

a. Sholat hanya diwajibkan dilakukan 5 (lima) kali sehari semalam;

b. Puasa hanya diwajibkan sebulan penuh dalam satu tahun;

c. Zakat hanya diwajibkan bagi orang yang mempunyai kelebihan harta benda dengan jumlah
zakat, 10%, 5%, atau 2 ½%;

d. Menunaikan ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu.

Dalam lapangan muamalat terdapat pula ketentuan-ketentuan hukum yang meringankan, antara
lain misalnya, dalam lapangan jual-beli sesungguhnya cukup dengan persetujuan belaka (bersifat
konsensius).

§ Penetapan hukumnya secara berangsur-angsur;

Hukum Islam tidak diturunkan sekaligus, tetapi secara berangsur- angsur. Al-Qur’an sebagai
sumber pokok hukum Islam tidak diturunkan sekaligus dan lengkap, tetapi diturunkan secara
berangsur-angsur, surah demi surah, Ayat demi Ayat dan atau peristiwa demi peristiwa, misalnya
perbuatan minum arak dan main judi tidak sekaligus dilarang, melainkan pada awalnya hanya
dikatakan, bahwa minum arak dan main judi adalah dosa akan tetapi disenangi oleh banyak
orang. Jadi semula memang dilarang tetapi tidak secara tegas.

§ Sejalan dengan kebaikan orang banyak;

Hukum Islam ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya untuk memenuhi kepentingan orang banyak
seperti terdapat pada prinsip mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Misalnya talak tiga yang diucapakan tanpa didahului dengan talak satu dan dua semula
pada masa Rasul dan Khalifah Abu Bakar As Siddik dianggap sebagai jatuh talak satu saja.
Tetapi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dirubah menjadi betul-betul jatuh
talak tiga dan bukan talak satu. Hal tersebut ditetapkan demikian karena banyak laki-laki yang
hanya main-main dengan ucapan itu. Apa yang ditentukan umar itu untuk melindungi kaum
wanita dan memang sudah ditetapkan demikian, tidak ada laki-laki yang mempermainkan talak
tiga itu.

§ Prinsip persamaan dan keadilan;

Syariat Islam tidak mengadakan diskriminasi antara orang yang satu dengan orang lainnya
berdasarkan perbedaan warna kulit, status sosial, status ekonomi, dan sebagainya.

Tujuan Hukum Islam

Setiap peraturan mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya. Kalau kita meninjau
tata aturan pada hukum positif maka tujuan pembuatannya tidak lain adalah ketentraman
masyarakat, yaitu mengatur sebaik-baiknya dalam menentukan batas-batas hak dan kewajiban
bagi setiap anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Tujuan-tujuan yang bernilai
tinggi dan abadi tidak menjadi perhatian aturan-aturan pada hukum positif kecuali hukum Islam
yang sudah menjadi hukum positif.

Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah SWT adalah untuk
kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya baik di dunia maupun di
akhirat. Menurut Abu Zahra, terdapat tiga sasaran utama dari tujuan penetapan hukum Islam,
yaitu pensucian jiwa, penegakan keadilan, da perwujudan kemaslahatan.[9]

Tujuan dari hukum Islam tidak terbatas dari segi material semata, tetapi jauh ke depan
memperhatikan segala segi, material, immaterial, individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada
umumnya. Hal ini dapat dilihat pada segi ibadah dan muamalah, di samping itu untuk
membersihkan jiwa dan taqarrub (mendekat) dengan Tuhannya, juga untuk kepentingan jasmani,
serta kebaikan individu masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya, dunia dan akhirat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, hukum Islam menentukan aturan yaitu menolak bahaya harus
didahulukan daripada mengambil manfaat, kemaslahatan umum harus didahulukan dari
kemaslahatan khusus, kesulitan akan dapat membawa kepada adanya kemudahan, keadaan
darurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang, tidak ada bahaya yang membahayakan, dan
Islam tidak mengenal prinsip tujuan membenarkan cara.[10]

Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali, tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua segi yaitu
segi pembuat hukum Islam yakni Allah dan Rasul-Nya, dan dari segi manusia yang menjadi
pelaku dan pelaksana hukum Islam itu:[11]

1. Segi pembuat hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah:

- Memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer (kebutuhan yang harus dilindungi dan
dipelihara sebaik-baiknya agar kemaslahatan hidup manusia terwujud yang terdiri dari Agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta), sekunder (kebutuhan yang dibutuhkan untuk mencapai
kebutuhan primer seperti kemerdekaan dan persamaan), dan tersier (kebutuhan selain kebutuhan
primer dan sekunder seperti sandang, pangan, dan papan);
- Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari;

- Agar ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami ushul fiqih (dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam
sebagai metodeloginya).

2. Segi manusia menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah untuk
mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera dengan cara mengambil yang bermanfaat,
mencegah dan menolak yang mudharat bagi kehidupan. Dalam hal kewarisan, tujuan sistem
kewarisan Islam yang sesuai dengan tujuan hukum Islam adalah agar terhindar dari kesalahan
dalam pembagian warisan yang dapat mengakibatkan pertikaian karena harta warisan dan
terciptanya pembagian warisan yang adil serta diridhai Allah.

Anda mungkin juga menyukai