Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipotensi intradialitik (IDH) adalah komplikasi yang sering dan serius dari hemodialisis
kronis, terkait dengan hasil jangka panjang yang merugikan. IDH telah dilaporkan terkait
dengan peningkatan risiko kematian, kejadian kardiovaskular, iskemia serebral, mesenterika,
dan tungkai.1,2
Beberapa penelitian melaporkan prevalensi IDH yang bervariasi yaitu antara 5% sampai
32,5% sesuai dengan definisi yang digunakan.3 Pada penelitian yang dilakukan oleh Chou
ZA,et al (2017), frekuensi IDH dalam hemodialisis di pusat secara tradisional dikutip sekitar
20%.4 Hipotensi simptomatik selama hemodialisis kira-kira terjadi 5 sampai 30% dari seluruh
terapi dialisis5
IDH dapat disebabkan karena ketidakseimbangan antara penurunan volume plasma
selama hemodialisis dan mekanisme regulator kardiovaskular. dan merupakan hasil akhir
dari interaksi antara laju ultrafiltrasi (UFR), curah jantung dan tonus arteriol. Jadi ultrafiltrasi
yang berlebihan dapat menurunkan curah jantung, terutama ketika mekanisme kompensasi
(denyut jantung, kontraktilitas miokard, tonus vaskular, dan pergeseran aliran splanknikus)
gagal bekerja secara optimal.3
Hipotensi intradialitik memiliki gejala yang berhubungan dengan hipoperfusi antara lain
mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, kram otot, gelisah, pusing, pingsan dan gelisah. 6
IDH dapat mengancam jiwa, sehingga perlu dilakukan tatalaksana secepatnya dan segera
mengontrol penyebab IDH. Untuk manajemen akut, pasien dapat diposisikan supine atau
trendelenburg, berikan oksigen, cairan salin 0,9%, ultrafiltrasi harus dihentikan. Kemudian,
dapat diberikan medika mentosa seperti midodrine,arginin-vasopresin, sertraline, droxidopa,
amezinium metilsulfat, fludrocortisone, dan karnitin. Selain itu, perlu dilakukan intervensi
agar tidak memperparah dan terjadi IDH berulang.7,8

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah


2.1.1 Fisiologi Regulasi Tekanan Darah
Pada individu normal, tekanan darah(TD) dipertahankan oleh mekanisme efektor dan
umpan balik yang kompleks. Fisiologi kompleks ini secara klasik disederhanakan
menjadi persamaan: TD = curah jantung(cardiac output) x resistensi perifer total. Curah
jantung ditentukan oleh volume stroke dan denyut jantung, sedangkan volume stroke
tergantung pada preload, afterload, dan kontraktilitas. Menanggapi hipotensi, sistem
saraf simpatik merangsang peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas untuk
meningkatkan curah jantung dan meningkatkan tekanan darah. Sistem saraf simpatis dan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, serta berbagai hormon vasoaktif termasuk
vasopresin arginin, merespons dengan meningkatkan resistensi perifer total (melalui
vasokonstriksi) untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Pada individu
normal ini menghasilkan tekanan darah yang relatif stabil dari waktu ke waktu, dengan
fluktuasi minimal.9

2.1.2 Pola Tekanan Darah pada Pasien Hemodialisis


 Interdialitik
Sebagai hasil dari sifat intermiten dari jadwal hemodialisis tiga kali seminggu yang
khas, tekanan darah pada pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan
variabilitas yang nyata, cenderung menjadi yang tertinggi pada periode predialisis
dan langsung, menurun selama periode intradialitik, dan secara bertahap meningkat
lagi selama periode interdialitik berikutnya.9
 Intradialitik
Selama hemodialisis sebagian besar pasien mengalami penurunan tekanan darah
secara keseluruhan, rata-rata pada kisaran 28-40 mm Hg. Jika dimodelkan,
penurunan ini tidak linier, dengan penurunan yang relatif lebih curam pada kuartal
pertama hemodialisis, diikuti dengan penurunan yang tidak terlalu tajam. Meskipun
patogenesis dari penurunan awal masih kurang dipahami, nampaknya hal ini tidak

2
dapat dijelaskan dengan pembuangan volume yang berlebihan selama periode awal
ini.9

2.2 Hipotensi Intradialitik


2.2.1 Definisi
Hipotensi Intradialitik (IDH) memiliki definisi yang berbeda-beda dalam parameter
tekanan darah (TD) yang digunakan. Krena tidak memiliki konsensus untuk
mendefinisikan hipotensi intradialitik. Definisi yang paling sering digunakan adalah
sekurang-kurangnya terdapat 1 atau lebih dari komponen: (1) terjadinya TD rendah di
bawah ambang / nadir tertentu, (2) penurunan TD intradialitik, (3) gejala intradialitik
yang dilaporkan pasien, dan (4) intervensi medis selama dialisis yang bertujuan untuk
memulihkan volume darah.10,11
European Dialysis and Transplant Association dan pedoman Kidney Dialysis
Outcome Quality Initiative (K-DOQI) mendefinisikan hipotensi intradialitik sebagai
penurunan tekanan darah sistolik (TDS) sebesar ≥20 mmHg atau penurunan tekanan rata-
rata arteri atau mean arterial pressure (MAP) ≥10 mmHg selama sesi dialisis disertai
dengan gejala klinis yang memerlukan perawatan intervensi.10
Definisi lain yang diberikan dalam pedoman yang berbeda adalah (i) setiap
episode penurunan TD selama dialisis yang memerlukan intervensi segera, seperti
pengurangan ultrafiltrasi atau infus saline, (ii) penurunan gejala baik TDS ≥20mmHg
atau MAP ≥10mmHg yang membutuhkan intervensi dan (iii) gejala penurunan TDS
secara tiba-tiba ≥30 mmHg atau penurunan MAP ≥10mmHg.1,2

2.2.2 Epidemiologi
Hipotensi intradialitik dapat menurunkan efikasi prosedur dialisis dan berkontribusi
dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan hemodialisis.
Pada suatu penelitian, dari 44.801 terapi dialisis pada 1137 pasien, 75% pasien memiliki
paling sedikit 1 episode hipotensi intradialitik. Pada beberapa pasien, lebih dari 50% saat
terapi mengalami hipotensi intradialitik.5
Hipotensi intradialitik mempersulit 10 hingga 70% perawatan dialisis tergantung
pada definisi yang digunakan. Karakteristik pasien dan klinis yang terkait yaitu termasuk

3
usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, melakukan dialisis yang lebih lama,
diabetes, tekanan darah pre-dialisis yang lebih rendah, dan albumin yang lebih rendah.
IDH telah dikaitkan dengan berbagai konsekuensi klinis dan seperti dosis dialisis yang
menjadi tidak sesuai, trombosis akses vaskular, iskemia end organ, dan peningkatan
mortalitas.12,13
Diabetes merupakan faktor risiko yang jelas untuk IDH, dijelaskan oleh
prevalensi yang lebih tinggi dari komplikasi kardiovaskular dan komplikasi diabetes
seperti neuropati otonom. Intradialytic weight gain (IDWG)yang lebih tinggi juga
merupakan faktor risiko yang terkenal untuk terjadinya IDH. Terdapat beberapa
penelitian juga melaporkan jenis kelamin perempuan dalam kombinasi dengan berat
badan yang lebih rendah sebagai faktor risiko IDH. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta
bahwa wanita secara umum memiliki berat badan lebih rendah daripada pria dan,
akibatnya, memiliki tingkat UF yang lebih tinggi (mL / jam / kg berat badan) selama HD
untuk IDWG serupa.14

2.2.3 Faktor risiko


Pada individu yang sehat, mekanisme hemodinamik dapat mengkompensasi hingga 20%
penurunan volume darah yang bersirkulasi sebelum hipotensi terjadi, tetapi pada pasien
dialisis penurunan volume darah yang jauh lebih kecil dapat ditoleransi sebelum
terjadinya hipotensi. Faktor risiko demografis yang dapat dimodifikasi yaitu usia yang
lebih tua, jenis kelamin perempuan, etnis Hispanik dan model dialisis yang lebih lama.
Komorbiditas pasien yang terkait dengan risiko IDH yaitu diabetes mellitus, penyakit
arteri koroner, disfungsi sistolik, hipertrofi ventrikel kiri dan peningkatan troponin
jantung. Selain itu, hiperfosfatemia, penggunaan obat anti hipertensi, konsumsi makanan
sebelum hemodialisis, peningkatan indeks massa tubuh, kadar albumin yang lebih
rendah, dan penambahan berat badan interdialitik juga merupakan faktor risiko IDH.
Faktor terkait dialisis lainnya termasuk kadar natrium dan kalsium dialisat, suhu dialisat
dan buffer asetat. Dalam beberapa, tetapi tidak semua penelitian, pasien yang diobati
dengan natrium dialisat rendah (≤135 mmol / l) memiliki lebih banyak IDH, sementara
kalsium dialisat yang lebih tinggi dikaitkan dengan insiden yang lebih rendah dari

4
komplikasi ini. Berkenaan dengan buffer dialisat, penggunaan asetat sebelumnya sering
terjadi di masa lalu dan terbukti sering menyebabkan IDH.7
IDWG tinggi juga bisa menjadi faktor predisposisi karena mungkin memerlukan
UFR yang lebih tinggi. Dalam sebuah studi retrospektif dari 255 pasien, IDGW absolut,
tetapi bukan persen IDGW, merupakan faktor risiko untuk IDH, sedangkan dalam studi
retrospektif dari 39.497 pasien, baik IDGW absolut dan relatif merupakan faktor risiko
yang signifikan. Juga disarankan bahwa sesi HD 1x dalam seminggu itu dikaitkan
dengan risiko IDH yang lebih tinggi pada HD tiga kali seminggu.. Dalam sebuah studi
kohort dari 293 pasien dengan 40% kejadian IDH, UFR, peptida natriuretik tipe pro-B
terminal N dan mikroglobulin b2 juga ditemukan terkait secara independen dengan IDH.1

2.2.4 Etiologi dan Patofisiologi


Karena dialisis biasanya disertai dengan ultrafiltrasi (UF), mekanisme logis di balik
penurunan TD adalah penurunan curah jantung karena penurunan aliran balik vena. Ini
akan lebih terlihat pada pasien yang didasari dengan penyakit jantung, sehingga tidak
mampu meningkatkan kontraktilitas miokard dan / atau detak jantung. Hal ini setidaknya
akan menjelaskan sebagian mengapa banyak pasien dialisis tidak dapat mentolerir
penurunan volume darah yang mudah ditoleransi oleh orang sehat. Namun, ini
tampaknya bukan satu-satunya mekanisme, karena episode hipotensi juga dapat disertai
dengan vasodilatasi perifer, yang jelas bukan merupakan respons fisiologis terhadap
hipovolemi.10

Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi dapat menyebabkan penurunan tekanan darah karena penurunan volume
darah sentral dan curah jantung. Secara fisiologis, episode IDH terjadi ketika kecepatan
pengeluaran cairan selama dialisis melebihi kecepatan pengisian plasma dan respon
kompensasi kardiovaskular dan neurohormonal terkait. Ekstraksi cairan dengan
ultrafiltrasi menghasilkan perubahan komposisi cairan secara tiba-tiba yang
menyebabkan ketidakstabilan tekanan darah. Tingkat ultrafiltrasi adalah faktor
predisposisi kunci untuk IDH, terutama bila melebihi tingkat isi ulang plasma, dengan
risiko IDH meningkat pesat dengan meningkatnya kesenjangan antara UFR dan isi ulang

5
plasma. UFR yang lebih tinggi (>10 – >13 mL / jam / kg) secara konsisten dikaitkan
dengan insiden IDH dan mortalitas yang lebih tinggi. Hilangnya volume yang cepat
menyebabkan kompensasi dan pengisian plasma dan aliran balik vena tertinggal.
Disfungsi otonom atau penurunan kontraktilitas mengganggu mekanisme kompensasi
lebih jauh, sehingga pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) cenderung
mengembangkan IDH dengan UFR yang lebih rendah. Oleh karena itu, mengurangi UFR
baik dengan meningkatkan waktu atau frekuensi sesi dialisis cenderung menurunkan
kejadian IDH. Selain UFR, pembersihan produk yang tidak terpakai selama HD dapat
menyebabkan pembentukan gradien osmotik transien,yang menyebabkan kehilangan air
dari ruang ekstraseluler ke ruang intraseluler.1,12,15

Gambar 1. Mekanisme terjadinya IDH.12

Penurunan Curah Jantung (Cardiac Output) dan Tonus Arteriol


Selama HD, curah jantung bergantung pada preload, afterload, denyut jantung dan
kontraktilitas. Perubahan preload dan afterload, yang ditentukan terutama oleh volume
intravaskular dan resistensi vaskuler arteriol, nampaknya memainkan peran utama dalam
perkembangan IDH, dimana penurunan volume darah arteri menyebabkan berkurangnya

6
pengisian jantung, kemudian terjadi hipovolemia dan mengakibatkan penurunan curah
jantung, dan akhirnya terjadi hipotensi. Karena hipovolemia (reduksi preload) dan
disfungsi otonom merupakan parameter independen, keduanya dapat terjadi pada pasien
yang sama selama dialisis yang sama, yang mengakibatkan curah jantung tidak berubah.
Ini berarti baik kekuatan jantung dan resistensi perifer dapat menurun pada saat yang
bersamaan. Karena resistensi perifer total adalah rasio antara tekanan darah dan curah
jantung, penurunan tekanan darah dan peningkatan curah jantung adalah hasil dari
penurunan resistensi perifer total. Pengurangan tersebut bisa jadi merupakan hasil dari
penurunan volume tanpa vasokonstriksi kompensasi, yang menciptakan situasi
vasodilatasi relatif.1,16
Dalam penelitian Sande FM, et al, diamati adanya penurunan curah jantung -1,4 ±
1,5 L / menit selama 4 jam HD dengan penurunan volume darah relatif 8,1 ± 1,5%.
Namun, meskipun terjadi penurunan curah jantung, tekanan darah masih dapat
dipertahankan jika resistensi vaskular sistemik meningkat dengan tepat. Peningkatan suhu
inti selama suhu dialisat yang digunakan secara konvensional (seperti 37-37,5 ° C) dapat
menyebabkan redistribusi volume darah ke pembuluh kulit yang mengalami vasodilatasi
dan melawan respons normal terhadap hipovolemia. Selain itu, pelebaran vena juga dapat
menyebabkan pengumpulan volume darah "tanpa tekanan", yang mengganggu
redistribusi ke kompartemen volume darah pusat. Pengamatan ini memiliki konsekuensi
terapeutik langsung karena penurunan volume darah relatif dapat dikurangi dengan sesi
dialisis yang lebih lama, sehingga meningkatkan reaktivitas vaskular dan respons tekanan
darah dengan mengurangi suhu dialisat.15 Begitujuga dengan tonus arteriol. Dalam
fisiologis normal, penurunan volume intravaskular akan menyebabkan peningkatan aliran
simpatis, sehingga terjadi vasokonstriksi arteriol dan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer yang membantu mempertahankan tekanan darah. Sedangkan detak jantung
dan kontraktilitas memiliki peran kompensasi kecil.1,12
Gagal jantung merupakan faktor risiko penting untuk IDH dan terjadi pada sekitar
sepertiga dari pasien yang menjalani hemodialisis. Disfungsi diastolik juga sering terjadi,
sebanyak 74% mengalami hipertrofi ventrikel kiri saat dimulainya hemodialisis.
Disfungsi diastolik menghasilkan batasan toleransi tekanan pengisian yang sempit,
sehingga penurunan kecil pada preload jantung dan volume ventrikel kiri dapat

7
menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah yang signifikan. Sedangkan
disfungsi sistolik, meskipun lebih jarang daripada disfungsi diastolik, dilaporkan pada
15% pasien yang mengalami dialisis. Oleh karena itu tampaknya intuitif bahwa
menambah kontraktilitas jantung juga akan mengarah pada perbaikan tekanan darah.
Namun, seperti halnya detak jantung, ini mungkin kurang penting dalam pengaturan
preload yang berkurang.9

Gambar 2. Skema demonstrasi mekanisme kompensasi normal dan inadekuat


untuk mempertahankan tekanan darah ketika hemodialisis terhadap ultrafiltrasi.9

Strategi yang telah digunakan dengan mekanisme patofisikologi ini termasuk


penggunaan kalsium dialisat yang lebih tinggi, yang telah terbukti meningkatkan
kontraktilitas miokard. Bahkan pada pasien dengan gangguan jantung yang signifikan,

8
kalsium dialisat yang lebih tinggi telah terbukti meminimalkan penurunan tekanan darah
intradialitik . Namun, perlu diketahui kerugian dari beban kalsium dan kalsifikasi
vaskular. Penggunaan konsentrasi bikarbonat dialisat yang lebih tinggi juga telah
dikaitkan dengan IDH. Magnesium tampaknya memainkan peran penting dalam menjaga
stabilitas listrik dan mengatur tonus otot polos pembuluh darah. Meskipun hubungan
antara magnesium dan IDH masih kurang dipelajari, konsentrasi magnesium dialisat yang
lebih rendah juga dikaitkan dengan penurunan kontraktilitas jantung dan IDH.9
Disfungsi otonom, sering dikaitkan dengan diabetes, bisa menjadi alasan yang
mendasari kegagalan vasokonstriksi. Resistensi perifer yang rendah telah terbukti
menjadi prediktor independen mortalitas di rumah sakit pada pasien sepsis dan
nonseptik.16
Sensitivitas saraf simpatis dan baroreseptor dihipotesiskan akan berkurang pada
beberapa pasien HD. Dalam beberapa penelitian, heart rate variability (HRV) yang
merupakan metode non-invasif untuk memperkirakan disfungsi otonom, digunakan untuk
menilai aktivitas simpatis selama HD. Jika HRV meningkat selama HD, menandakan
aktivasi simpatis, seperti respon simpatis, tidak terlihat pada pasien yang rentan terhadap
IDH. Aktivasi simpatis yang tumpul dapat menghambat mekanisme kompensasi dan
meningkatkan insiden dan keparahan IDH. Prevalensi disfungsi otonom kardiovaskular
pada pasien HD kronis memiliki kisaran 50%.1 Munculnya hipovolemia, mengaktifkan
kardiopulmoner dan baroreseptor, yang mengakibatkan pelepasan penghambatan tonik
aliran keluar sistem saraf simpatis ke pembuluh darah perifer. Awalnya hal ini
menyebabkan penyempitan otot rangka dan arteriol kulit, dan akhirnya meningkatkan
denyut jantung dan kontraktilitas. Pada beberapa pasien dengan penyakit ginjal tahap
akhir, tampaknya ada penurunan paradoks dalam aktivitas sistem saraf simpatis sebelum
perkembangan IDH mendadak, yang beberapa berhipotesiskan terkait dengan
peningkatan sensitivitas refleks Bezold-Jarisch. Refleks ini dimulai ketika aktivasi
mekanoreseptor miokard sebagai respons terhadap ventrikel yang menyebabkan
penghambatan vagal aferen dari pusat kardiovaskular meduler, yang mengakibatkan
penurunan drastis pada aktivitas sistem saraf simpatis dan akibatnya vasodilatasi arteriol,
bradikaradi, dan IDH. Sampai saat ini, ada bukti terbatas untuk mendukung pendekatan
terapeutik untuk memperbaiki IDH terkait dengan disfungsi otonom.9

9
Pencitraan fisiologis intradialitik mengungkapkan iskemia ke banyak organ
termasuk jantung, otak, usus, hati dan ginjal selama hemodialisis. Episode berulang dari
cedera iskemik tersebut dihipotesiskan untuk menyebabkan kerusakan organ jangka
panjang dan morbiditas dan mortalitas terkait. Kemampuan untuk menjaga stabilitas
hemodinamik selama hemodialisis bergantung, sebagian, pada faktor yang berhubungan
dengan pengobatan seperti volume ultrafiltrasi, waktu pengobatan dan komposisi dialisat.
Namun, pemeliharaan volume darah yang bersirkulasi secara memadai dan, dengan
demikian, perfusi end organ juga bergantung pada beberapa faktor yang berhubungan
dengan pasien, termasuk penyakit komorbid kardiovaskular (gagal jantung, penyakit
pembuluh darah perifer), osmolaritas plasma (status gizi), dan disfungsi otonom. Dengan
demikian, masuk akal bahwa ambang batas tekanan darah, di bawah orang-orang yang
mempertahankan kerusakan end organ patologis selama hemodialisis, dapat bervariasi
dari pasien ke pasien dan / atau dengan tingkat TD pre-dialisis.12

2.2.5 Manifestasi Klinis


Beberapa definisi IDH mempertimbangkan gejala yang dilaporkan pasien. Penurunan
TD yang terkait dengan penurunan volume intravaskular dapat menyebabkan nyeri perut,
nyeri dada, jantung berdebar-debar, mual / muntah, kram, perasaan gelisah, pusing, dan
sinkop. Definisi yang mengandung gejala biasanya mempertimbangkan gejala yang
berhubungan dengan komponen definisi IDH lainnya. Misalnya, Knoll et al.
mendefinisikan IDH sebagai penurunan TD sistolik di bawah 100 mmHg disertai dengan
setidaknya salah satu dari berikut ini: diaforesis, mual, muntah, kram, sakit kepala, atau
pusing.12
Walaupun gejala, terutama kram, tidak dapat disangkal membuat stres pasien dan
staf, banyak gejala yang sering dikaitkan dengan ketidakstabilan hemodinamik dapat
disebabkan oleh kondisi lain seperti ketidakseimbangan elektrolit. Prevalensi gejala
bervariasi antar studi. Dalam survei pasien hemodialisis pemeliharaan, Caplin et al.
menemukan bahwa 74% pasien melaporkan kram, 63% pasien melaporkan pusing dan
54% pasien melaporkan sakit kepala. Namun, penelitian lain telah melaporkan frekuensi
gejala yang jauh lebih rendah: sekitar 20% untuk kram, 12-23% untuk pusing dan 21%
untuk sakit kepala.12

10
2.2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis hipotensi intradialitik, disesuaikan dengan definisi hipotensi
intradialitik itu sendiri. Sebagian besar definisi menggunakan setidaknya satu dari
komponen ini: (1) terjadinya TD rendah di bawah ambang / nadir tertentu, (2) penurunan
TD intradialitik, (3) gejala intradialitik yang dilaporkan pasien, dan (4) intervensi medis
selama dialisis ditujukan untuk memulihkan volume darah (BV). Flythe dkk.
menyelidiki hasil dengan 8 definisi IDH yang ada. Penelitian ini menunjukkan bahwa
tekanan darah sistolik nadir mutlak intradialitik <90 mmHg paling kuat terkait dengan
kematian, dan pada penelitian yang dilakukan oleh Chou JA,et al melaporkan bahwa
tekanan darah sistolik intradialitik <100mmHg terlebih lagi lebih dikaitkan dengan
kematikan. (gfx,web)
Pasien mungkin dapat mengeluh rasa tidak nyaman pada perut, gelisah, muntah, kram
otot, pusing, pingsan dan cemas. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya
penurunan TD sistemik >30mmHg atau penurunan MAP sebesar >10 mmHg menurut
The National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Wuality Initiative
(KDOQI).17

2.2.7 Manajemen dan Intervensi

11
Gambar 3. Manajemen dan intervensi hipotensi intradialitik.9

Manajemen Akut
Hipotensi intradialitik mungkin dapat menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa dan
perlu secepatnya di evaluasi dan ditangani. Kondisi tersebut misalnya hemolisis akut,
embolus udara, reaksi dializer, koroner iskemik, emboli paru, tamponade perikardial,
perdarahan dan sepsis. Langkah-langkah manajemen akut untuk semua penyebab harus
dilakukan secara bersamaam sekaligus. Ultrafiltrasi harus dihentikan, berikan oksigen,
pasien harus diposisikan supine dan trendelenburg. Berikan cairan intravena untuk
mengembalikan tekanan darah. Normal salin isotonik 0,9% sering digunakan.7

Intervensi
Beberapa pendekatan telah disarankan untuk mengurangi insiden atau keparahan IDH.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah mengoptimalisasi resep dialisis (dialisat
dingin, UFR, profil natrium, hemofiltrasi fluks tinggi), intervensi selama sesi dialisis
(midodrin, pemberian cairan, asupan makanan, latihan intradialitik dan kompresi
pneumatik intermiten pada tungkai bawah), intervensi dalam periode interdialisis (IDWG
lebih rendah dan obat penurun TD) dan mengalihkan modalitas ke PD.1

- Terapi Hemodialisis
Kontributor utama untuk hipotensi intradialitik adalah volume intravaskular yang tidak
mencukupi untuk mendukung laju UF yang diinginkan, dan respon kompensasi
kardiovaskular yang tidak memadai. Tingkat UF adalah fungsi dari waktu perawatan
dialisis dan pembuangan volume. Dalam data observasi, tingkat UF yang lebih tinggi,
bahkan serendah 6 ml / jam per kg, dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
Meskipun tidak ada RCT yang menunjukkan bahwa menurunkan tingkat UF
meningkatkan hasil, data yang masuk akal secara biologis mendukung hubungan antara
tingkat UF yang lebih tinggi dan iskemia organ akhir (jantung, otak, hati, usus, ginjal).8
1. Menurunkan tingkat ultrafiltrasi (UFR)
Kehilangan volume yang cepat oleh ultrafiltrasi merupakan salah satu pendorong
utama IDH. Maka itu perlu menurunkan tingkat ultrafiltrasi. Tingkat ultrafiltrasi

12
dapat diturunkan dengan meningkatkan waktu hemodialisis dan / atau menurunkan
IDWG. Peningkatan tingkat ultrafiltrasi dapat dicapai dengan memperpanjang atau
menambahkan perawatan.8
2. Kontrol suhu intradialitik
Pendinginan suhu dialisat memiliki bukti suportif terbaik untuk menurunkan
frekuensi dan intensitas IDH tetapi bergantung pada toleransi pasien. 4 Pendinginan
dapat dicapai dengan reduksi empirik pada suhu, atau dengan alat biofeedback.
Mekanisme dialisat pendingin dalam menurunkan IDH belum dimengerti
sepenuhnya, tetapi mungkin melibatkan hambatan vaskular sistemik dengan
mengaktifkan sistem saraf simpatik.7
3. Monitoring volume darah
Monitoring intradialitik terhadap status volume dan atau regulasi otomatis dari tingkat
ultrafiltrasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring hematokrit,
bioimpedansi multifrekuensi dan ultrafiltrasi biofeedback.7
4. Mengontrol profil natrium
Pada pasien non hiperkalsemia, pastikan kalsium dialisat >2,25mmol/L, dimana level
kalsium yang rendah berhubungan dengan IDH. Sementara itu, natrium dialisat yang
tinggi (>140mEq/L) atau bentukan natrium dapat menangani IDH.7
5. Hindari makan selama hemodialisis
Alasan yang paling sering dikutip untuk membatasi nutrisi intradialitik adalah
ketidakstabilan hemodinamik. Makan saat hemodialisis menghasilkan penurunan
resistensi perifer total dan disertai peningkatan aliran darah splanknikus dan hati.
Pada orang dewasa yang sehat, penurunan resisten perifer total ini disertai oleh
peningkatan curah jantung, terutama didorong oleh respons lambung dan tekanan
lainnya. Pada populasi tertentu, seperti orang tua, penderita diabetes, dan / atau pasien
dengan disfungsi otonom, respon ini mungkin tidak cukup untuk mengimbangi
penurunan resisten perifer total yang mengakibatkan penurunan tekanan darah. Perlu
diperhatikan bahwa dengan nutrisi intradialitik, setiap penurunan tekanan darah yang
terjadi karena pemberian makan selama hemodialisis, dapat memperburuk gejala
umum yang dialami pasien selama pengobatan hemodialisis termasuk kram, sakit
kepala, dan mual. Jika cukup parah, gejala-gejala ini dapat menyebabkan waktu

13
pengobatan dipersingkat yang menyebabkan penurunan dosis dialisis yang diberikan.
Gejala-gejala ini juga dapat merugikan pasien, karena dapat mencerminkan iskemia
pada organ yang rentan termasuk jantung, otak, dan usus. Namun, mencegah
pemberian makan selama hemodialisis masih merupakan hal yang kontroversial,
beberapa penelitian berpendapat bahwa makan selama hemodialisis memberikan efek
yang menguntungkan bagi dan terapi hemodialisis. Maka itu, perlu melakukan
pertimbangan terhadap manfaat dan risiko asupan makanan selama HD harus
dipertimbangkan terhadap status gizi pasien.18
6. Hentikan konsumsi antihipertensi sebelum hemodialisis dimulai
Sebanyak 50-90% pasien penyakit ginjal tahap akhir menderita hipertensi dan
menemukan keseimbangan antara penanganan antihipertensi dan risiko IDH bisa
menjadi tantangan besar.1 Obat antihipertensi secara teoritis dapat mengurangi atau
memperburuk IDH. Di satu sisi, pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir,
umumnya mengalami hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan relaksasi ventrikel kiri,
dan dengan demikian kelas obat antihipertensi tertentu yang dapat meningkatkan
parameter jantung ini diharapkan dapat mengurangi IDH. Di sisi lain, efek
kronotropik dan / atau vasodilatasi negatif dari obat antihipertensi dapat mengganggu
kemampuan untuk merespon pengeluaran cairan dan perubahan hemodinamik lainnya
secara tepat selama sesi dialisis, sehingga meningkatkan frekuensi IDH. Mungkin
karena alasan ini, pasien biasanya diberitahu untuk menahan obat antihipertensi
mereka sebelum dialisis, kadang-kadang selama 12 jam sebelum sesi yang
dijadwalkan.19

- Medika Mentosa
Pilihan pengobatan yang dapat diberikan seperti midodrine,arginin-vasopresin, sertraline,
droxidopa, amezinium metilsulfat, fludrocortisone, dan karnitin. Secara umum, basis
bukti untuk strategi ini relatif lemah, dengan sebagian besar penelitian kecil. dan durasi
pendek. Yang paling banyak digunakan adalah midodrine, vasokonstriktor oral, meskipun
data khasiat terbatas.8
Midodrine awalnya digunakan untuk mengontrol hipotensi ortostatik pada pasien
dengan neuropati otonom, dengan meningkatkan aliran balik vena. Sedangkan

14
fludrokortison yang merupakan mineralokortikoid ini juga telah berhasil dalam
mengobati hipotensi ortostatik (pada orang dengan fungsi ginjal normal) dengan
meningkatkan reabsorpsi natrium di nefron distal untuk “meningkatkan kandungan garam
tubuh dan memperluas ruang intravaskuler”. Vasopresin sebagai senyawa endogen,
vasopresin biasanya dilepaskan (di bawah kendali barorefleks) untuk volume darah
melalui penyempitan arteriol sebagai respons tekanan darah rendah.20

BAB III
PENUTUP

Hipotensi intradialitik merupakan komplikasi yang sering terjadi saat menjalankan


hemodialisis. Prevalensi hipotensi intradialitik ditemukan sekiar 5% hingga 32,5% tergantung
definisi yang digunakan. Banyak definisi mengenai hipotensi intradialitik dikarenakan tidak
adanya pedoman dalam mendefinisikan hipotensi intradialitik. Namun definisi yang paling
sering digunakan adalah paling sedikit memiliki 1 tanda dari penurunan tekanan darah dibawah
ambang batas, penurunan tekanan darah intradialitik, adanya gejala yang dikeluhkan pasien dan
adanya intervensi yang dilakukan. IDH dapat mengancam jiwa sehingga diperlukan penanganan
dan intervensi dengan cepat. Menghentikan ultrafiltrasi, posisikan pasien dengan posisi
trendelenburg, berikan oksigen dan memberikan normal salin 0,9% dapat membantu mengatasi
keadaan IDH akut. Kemudian untuk intervensi, dapat mengurangi tingkat ultrafiltrasi,
mengontrol natrium, menghindari makan saat dialisis, menghentikan sementara antihipertensi
sebelum dialisis, monitoring volume darah, kontrol suhu intradialitik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanbay M, Ertuglu LA, Afsar B, Ozdkgan E, Siriopol D, Covic A, et al. An update


review of intradialytic hypotension: concept, risk factors, clinical implications and
management. Clin Kidney J. 2020
2. Vareesangthip K, Davenport A. Reducing the risk of intradialytic hypotension by altering
the composition of the dialysate. Hemodial Int. 2020
3. Halle MP, Hilaire D, Francois KF, Denis T, Hermine F, Gloria AE. Intradialytic
hypotension and associated factors among patients on maintenance hemodialysis: a
single-center study in Cameroon. Saudi J Kidney Dis Transpl. 2020
4. Chou JA, Streja E, Nguyen DV, Rhee CM, Obi Y, Inrig JK, et al. Intradialytic
hypotension, blood pressure changes and mortality risk in incident hemodialysis patients.
Nephrol Dial Transplant. 2018
5. Mahmood N, Hassan MMU, Mahmood F, Bari S. Hypotension during hemodialysis:
aetiology risk factors and outcome. AKMMC J. 2017
6. Hajal J, Joubran N, Sleilaty G, Chacra D, Saliba Y, Assaad S, et al. Intradialytic
hypotension: beyond hemodynamics. Physiol Res. 2019
7. Chou JA, Kalantar K-Zadeh, Mathew AT. A brief review of intradialytic hypotension
with a focus on survival. Semin Dial. 2017
8. Flythe JE, Chang TI, Gallagher MP, Lindley E, Madero M, Sarafidis PA, et al. Blood
pressure and volume management in dialysis: conclusions from a kidney disease:
improving global outcomes (KDIGO) controversies conference. Kidney Int. 2020

16
9. Reeves PB, Causland FR. Mechanisms, clinical implications, and treatment of
intradialytic hypotension. American Society Nephrol. 2018
10. Sars B, Sande FM, Kooman JP. Intradialytic hypotension: mechanisms and outcome.
Blood Purif. 2020. Available from URL
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7114908/ [accessed on Jan 20th, 2020]
11. Kuipers J, Oosterhuis JK, Paans W, Krijnen W, Gaillard CA, Westerhuis R, et al.
Association between quality of life and various aspects of intradialytic hypotension
including patient-reported intradialytic symptom score. BMC Nephrol. 2019
12. Assimon MM, Flythe JE. Intradialytic hypotension definitions of intradialutic
hypotension. Semin Dial. 2017
13. Sands JJ, Usvyat LA, Sullivan T, Segal JH, Zabetakis P, Kotanko P, et al. Intradialytic
hypotension: frequency, sources of variation and correlation with clinical outcome.
Hemodialysis Int. 2014
14. Kuipers J, Verboom LM, Ipema KJ, Paans W, Krijnen WP, Gaillard C, et al. The
prevalence of intradialytic hypotension in patients on conventional hemodialysis: a
systematic review with meta-analysis. Am J Nephrol. 2019
15. Sande FM, Dekker MJ, Leunissen KM. Novel insights into the pathogenesis and
prevention of intradialytic hypotension. Blood Purif. 2018
16. Levin NW, Abreu MH, Borges LE, Filho hA, Sarwar R, Gupta S, et al. Hemodynamic
response to fluid removal during hemodialysis: categorization of causes of intradialytic
hypotension. Nephrol Dial Transplant. 2018
17. Stefansson BV, Brunelli SM, Cabrera C, Rosenbaum D, Anum E, Ramakrishnan K,et al.
Intradialytic hypotension and risk of cardiovascular disease. Am Society Nephrol. 2014
18. Kistler BM, Benner D, Burrowes JD, Campbell KL, Fouque D, Garibotto G, et al. Eating
during hemodialysis treatment: a consensus statement from the international society of
renal nutrition and metabolism. J Ren Nutrition. 2018
19. Chang TI. Impack of drugs on intradialytic hypotension: antihypertensives and
vasoconstrictors. Semin Dial. 2017
20. Bradshaw W. Intradiaytic hyppotension: a literature review. Ren Society Aus J. 2014

17
Tinjauan Kepustakaan

Hipotensi Intradialitik

Oleh:
Moch Ikbal Munajat

Pembimbing
Dr.dr. M. Rudiansyah, M.Kes, Sp.PD,K-GH, FINASIM
18
DIVISI GINJAL DAN HIPERTENSI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU PENYAKIT DALAM
FK ULM – RSUD ULIN BANJARMASIN
BANJARMASIN
Januari, 2021

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 2
2.1 TEKANAN DARAH..................................................................................................... 2
2.1.1 FISIOLOGI REGULASI TEKANAN DARAH................................................. 2
2.1.2 POLA TEKANAN DARAH PADA PASIEN HEMODIALISIS ..................... 2
2.2 HIPOTENSI INTRADIALITIK ................................................................................... 3
2.2.1 DEFINISI ............................................................................................................ 3
2.2.2 EPIDEMIOLOGI ................................................................................................ 3
2.2.3 FAKTOR RISIKO .............................................................................................. 3
2.2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI.................................................................. 5
2.2.5 MANIFESTASI KLINIS .................................................................................... 10
2.2.6 DIAGNOSIS ....................................................................................................... 10
2.2.7 MANAJEMEN DAN INTERVENSI ................................................................. 11
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 16

19

Anda mungkin juga menyukai