3 Kebudayaan Islam Bercorak Jawa by Syamsul Bakri
3 Kebudayaan Islam Bercorak Jawa by Syamsul Bakri
Abstract: Javanese Islam is not a religious sect in Islam, but only a product from adaptation process
of Islam in the Java community culture. This is possible because the values of Islam it’s self is
universal, so inclusive to be adapted in various people cultures. The characteristic of Islam in Java
are Sufism. It’s mutual fusion between Islam and Javanese culture. The emergence Javanese Islam
has enriched interpretation of Islam, specially in Islamic cultural development.
A. Pendahuluan
Agama Islam diturunkan guna menjadi petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat bagi seru
sekalian alam. Fungsi tersebut mengandaikan pentingnya misi penyebarluasan Islam sehingga umat
Islam memiliki kewajiban menyebarluaskan misi di masyaraikat untuk mencapai kebaikan univer-
sal, dan terciptanya tatanan hidup masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Artinya bagaimana
nilai-nilai luhur agama itu termanifestasi dalam realitas kehidupan.
Apa yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan budaya
lokal dan ditafsirkannya sesuai bahasa dan tradisi local. Dalam perspektif anthropologi budaya,
setiap manusia dan masyarakat tidak dapat menghindarkan diri dari upaya menafsirkan obyek
yang disandarkan pada kondisi histories yang mempengaruhinya.1 Hal ini berarti bahwa manusia
dan masyarakat memiliki kemampuan memahami dan menginterpretasikan suatu obyek (termasuk
agama) dengan berbekal pada kondisi histories dan tradisi yang melingkupinya. Apalagi penafsiran
obyek itu terkait dengan ajaran Islam yang diakui sebagai ajaran universal yaitu ajaran yang
kontekstual baik dari sisi waktu maupun tempat.
Dalam kesejarahan Islam, agama ini menyebar dengan mendapat banyak tantangan-
tantangan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya disebabkan perpedaan
kulturr-kultur masyaraakat yang berbeda. Tantangan-tantangan tidak harus ditanggapi secara
konfrontatif tetapi dapat mengambil jalan adaptif-kompromis. Di Jawa, tantangan-tantangan muncul
dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Namun demikian, atas kepekaan intelektual dan
kultural para wali, Islam dihadirkan di Jawa dengan wajah yang santun , adaptif dan tidak
*
Penulis adalah Dosen Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Surakarta
1
Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, terjemahan Agung Prihantoro (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. ‘138.
2
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
hlm.11
3
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Semarang : Dahara Prize, 1992), hlm.29
4
Dalam berdakwah para Wali mengutamakan pola-pola bijaksana, adaptif dan kompromis sehingga tidak memunculkan konfrontasi
dengan tradisi dan kultur masyarakat local. Lihat Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 15. Lihat juga
Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 131.
5
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atasa Metode Walisongo (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 273.
6
R. Tanojo, Riwayat Walisongo ( Surabaya: Trimurti, 1982), hlm. 20.
D. Nuansa Tasawuf
Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa yang
sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Buku-buku (Serat) Jawa Kuno dengan bahasa
Kawi dan Sansekerta, kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu) serta kitab-
kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan
diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan
dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya
khazanah sekaligus pengembang budaya Islam kejawen. Serat Centini ayang ditulis oleh Yosodipuro
II, Ronggo Sutrasno dan R. Ng. Ronggowarsito sangat mewarnai kesusastraan Islam Kejawen,
tentunya juga kitab-kitab dan sastra-sastra karya para Wali. Begitu juga Serat Wirid Hidayat jati
karya R. Ng. Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakoebuwono IV dan Serta Wedhatama karya
KGPAA Mangkoenegoro IV menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikitran dan
kultur Islam Kejaween.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang religius dan penuh symbol. Religiusitas tampak
dalam perilaku dan adapt istiadat yang ada pada masyarakat Jawa. Berbagai ajaran dan pesan
moral sering dinyatakan dalam bentuk symbol-simbol7. Setelah masuknya Islam, tradisi Jawa pun
masih eksis karena para da’I awal menjaga eksistensi tradisi Jawa dan symbol-simbol yang dimilikinya
sebagai media sekaligus metodologi dalam penyampaian pesan moral Islam. Maka tidak heran
kalau pesan moral Islam awal juga menggunakan bahasa simbolik seperti tembang, seni dan berbagai
tradisi local (upacara adat).
Budaya Jawa yang pada mulanya bercorak animistik dan hinduistik mulai berubah warna
sejak zaman kewalen (kewalian, zaman wali). Kendati terjadi perubahan corak dan muatan namun
substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen , bahkan para Wali tidak bersikap
konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para wali dan da’I di
era kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak khas Islam Jawa.
Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan kerajaan Pajang, kemudian
Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada zaman kekuasaan politik di
Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam mistisisme Islam jawa adalah
tashawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme.
Unsur tasawuf falsafi dapat diketemukan dalam serat wirid hidayat Jati terutama yang
menyangkut “Martabat Tujuh” dalam proses emanasi (ta’ayun). Sedangkan laku-laku mistik dan
jenjang perjalanan spiritualitas dapat diketemukan dalam serat Centini. Ini adalah sekedar contoh
kecil dari adanya hibryd of culture (pencangkokan budaya) dari berbagai tradisi yang kemudian
7
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta, Gelombang Pasang, 2006), hlm.89.
8
Pandangan kosmologi Jawa ini sebenarnya merupakan pandangan filsafat manusia yang diakui oleh seluruh aliran pemikiran, kecuali
pemikiran materialistic-atomistik. Dalam kosmologi ini dipahami bahwa manusia bukan sekedar entitas fisik ruhani (empiris) tetapi
merupakan mono-dualisme fisik-spirit, Unsur spirit (metafisik) manusia adalah hakikatnya (substansi) sedangkan fisik manusia adalah
aksiden. Maka pengetahuan tentang metafisika menjadi pengetahuan dasar bagi manusia. Baca Regis Jolivet, Man and Metaphysics, (New
York: Hawthom, 1961), hlm.12.
9
Franz Magnis Suseno,Etika Jawa., hlm.117.
E. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam Kejawen bukanlah aliran keagamaan
dalam Islam, namun hanya merupakan produk adaptasi Islam dalam kultur masyarakat Jawa. Hal
ini memungkinkan karena nilai-nilai Islam sendiri bersifat universal sehingga inklusif untuk
diadaptasikan dalam berbagai kultur masyarakat.
Corak keberaragamaan yang sufistik dalam Islam Jawa merupakan perpaduan mutualistik
antara Islam dengan kebudayaan Jawa yang fondasi epistemologis dan axiologisnya sudah
diletakkan oleh para da’i yang melakukan Islamisasi awal di tanah Jawa.
10
Baca Adam Kuper,Culture: The Antropologist Account (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hlm. 43
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Kuper, Adam, Culture: The Antropologist Account (Canbridge: Harvard University Press, 1999)
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta :Gelombang Pasang, 2006).
R. Tanojo, Riwayat Walisongo ( Surabaya: Trimurti, 1982)
Regis Jolivet, Man and Metaphysics (New York: Hawthom, 1961)
Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, terjemahan Agung Prihantoro (Yogyakarta:
Qalam, 2001).
Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996).
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Semarang : Dahara Prize, 1992).
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atas Metode Walisongo (Bandung: Mizan, 1995).