Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-

kasus kecelakaan lalu lintas. Di Inggris misalnya, setiap tahun sekitar 100.000

kunjungan pasien ke rumah sakit berkaitan dengan cedera kepala yang 20% di

antaranya terpaksa memerlukan rawat inap. Meskipun dalam kenyataannya

sebagian besar trauma kepala bersifat ringan dan tidak memerlukan perawatan

khusus, pada kelompok cedera kepala berat tidak jarang berakhir dengan kematian

atau kecacatan (Wijanarka, 2005).

Sementara di Indonesia cedera kepala merupakan penyebab utama kematian

di kalangan usia produktif yaitu populasi di bawah 45 tahun, dan merupakan

penyebab kematian nomor 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian

disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahunnya yang

mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya

meninggal dunia. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan

usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih

rendah di samping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang

terlambat (www.suara merdeka online.com, 2007).

Menurut Dinas Perhubungan Darat data kecelakaan lalu lintas

memperlihatkan bahwa pada tahun 2007 sebanyak 36.000 orang tewas akibat

kecelakaan di jalan raya, 19.000 orang diantaranya melibatkan pengendara sepeda


2

motor. Itu berarti dalam tahun 2007 setiap hari ada sekitar 52 orang yang tewas

dalam kecelakaan yang melibatkan sepeda motor. Angka itu menunjukkan

peningkatan sebesar 73,33 % daripada angka dua tahun yang lalu, yang hanya

sekitar 30 orang (Hubdat, 2008).

Terlepas dari berat ringanya cedera, kualitas pertolongan pertama di tempat

kejadian sangat menentukan keselamatan korban pada periode pertolongan

berikutnya. Masalah yang dihadapi saat ini adalah belum optimalnya pertolongan

awal di tempat kejadian. Banyak masyarakat umum belum mempunyai

kemampuan untuk melakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan,

kadang juga takut memberikan pertolongan dengan alasan ikut diminta

"bertanggungjawab". Padahal manajemen pertolongan cedera kepala sudah

dimulai sejak penanganan pertama. Teknik-teknik estrikasi atau evakuasi,

imobilisasi atau stabilisasi dan pemberian bantuan hidup dasar sampai transportasi

menuju rumah sakit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan.

Hal ini tentunya menjadi tanggungjawab kita semua, sebagai sopir, awam, polisi

dan siapapun pengguna jalan raya mestinya mempunyai tanggungjawab untuk

penanganan kedaruratan di sekitar kita.

Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalu-lintas di tanah air

kita, khususnya Jalur Pantura, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita

cedera kepala yang seringkali berakibat cacat berupa hemiparesis, afasia, epilepsi,

dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan

kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Pada tahun 2006 misalnya, di mana

jumlah penderita cedera kepala yang dirawat di Ruamh Sakit Bhayangkara


3

Indramayu adalah 2959 orang, dimana pasien yang mengalami cedera kepala berat

sebanyak 8 % (Rekam Medik RS Bhayangkara, 2007).

Kasus cedera kepala yang dirawat di Ruang Perawatan RS Bhayangkara

Indramayu selama tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1
Jumlah Pasien Cedera Kepala di Ruang Perawatan Rumah Sakit
Bhayangkara Tahun 2007

Penyebab
Jenis Kecelakaan Bukan karena Jumlah
No Cedera lalu lintas kecelakaan
Kepala lalu lintas
F % F % F %
1 Berat 1203 95,93 51 4,07 1254 100
2 Sedang 316 81,44 72 18,56 388 100
3 Ringan 123 59,13 85 40,87 208 100
(Rekam Medik RS Bhayangkara, 2007).

Berdasarkan data tabel di atas, diketahui bahwa dari 1850 pasien cedera

kepala, 1203 orang (95,93%) mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan

lalu lintas sedangkan sisanya 51 orang (4,07%) diakibatkan bukan karena

kecelakaan lalu lintas.

Data pasien cedera kepala pada bulan Maret sampai dengan Juni 2008 yang

dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara dapat dilihat pada Tabel 1.2


4

Tabel 1.2
Jumlah Pasien Cedera Kepala di Ruang Perawatan Rumah Sakit
Bhayangkara Periode Bulan Maret - Juni 2008

Jumlah Pasien Cedera Kepala


Jumlah
No Bulan Berat Sedang Ringan
F % F % F % F %
1 Maret 145 61,97 62 26,50 27 11,54 234 100
2 April 168 68,57 46 18,78 31 12,65 245 100
3 Mei 245 84,48 28 9,66 17 5,86 290 100
4 Juni 213 75 39 13,73 32 11,27 284 100
(Rekam Medik RS Bhayangkara, 2008).

Berdasarkan data tabel di atas, ditemukan bahwa jumlah pasien cedera

kepala berat yang mendapatkan perawatan di RS Bhayangkara Indramayu paling

banyak pada bulan Mei yaitu 245 orang (84,48%). Pasien cedera kepala berat

yang dirawat semuanya diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas (Rekam Medik

RS Bhayangkara, 2008).

Perubahan paradigma pelayanan kesehatan menuju "clinical governance"

mengisyaratkan bahwa setiap rumah sakit di samping harus lebih akuntabel dan

berorientasi pada pasien juga perlu senantiasa mengupayakan peningkatan mutu

dan profesionalisme secara berkesinambungan. Dalam konteks "clinical

governance" maka penanganan pasien dengan cedera kepala selain harus

mempertimbangkan ketepatan waktu serta akurasi penegakan diagnosis juga harus

diikuti dengan penatalaksanaan yang akurat dan didasarkan pada bukti-bukti

ilmiah yang valid. Salah satu komponen utama Clinical Gover Implementasi

Clinical Governancenance yang relevan untuk diterapkan dalam penatalaksanaan

cedera kepala adalah menajemen risiko klinik. Melalui manajemen risiko klinik

ini morbiditas dan mortalitas penderita cedera kepala diharapkan dapat


5

diminimalkan sehingga tercapai outcome pelayanan klinik yang baik (Wijanarka,

2005).

Berdasarkan uraian masalah di atas, cedera kepala merupakan masalah

kesehatan yang akan makin bertambah besar. Penanganan fase akut yang tepat

dapat memperbesar kemungkinan hidup pasien dan mencegah kecacatan di

kemudian hari. Di samping penanganan dan pengawasan fungsi vital, pemantauan

tingkat kesadaran dan kemungkinan komplikasi lainnya amat penting. Pengobatan

terutama ditujukan untuk mengurangi edema otak dan mencegah komplikasi yang

mungkin terjadi. Dengan demikian kasus cedera kepala yang perlu ditangani

dengan baik karena merupakan salah satu upaya meminimalkan resiko akibat

penatalaksanaan medik pada penderita cedera kepala. Oleh karena itu perawat

perlu memahami secara komprehensif tentang penatalaksanaan cedera kepala bagi

pasien korban kecelakaan lalu lintas agar dapat memberikan intervensi

keperawatan yang tepat untuk pasien yang beresiko pada kecacatan dan kematian.

Dengan gambaran tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang

gambaran pelakasanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di

ruang rawat inap RS Bhayangkara Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah "Bagaimanakah gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien

cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu?"
6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera

kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu.

2. Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera

kepala berat sebagai berikut:

a. Tahap pengkajian keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

b. Tahap diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

c. Tahap intervensi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

d. Tahap pelaksanaan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

e. Tahap evaluasi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

f. Tahap dokumentasi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh mengenai gambaran

pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat

inap Rumah Sakit Bhayangkara yaitu :


7

1. Bagi Peneliti

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan

dijadikan sebagai bekal ilmu yang kelak dapat diterapkan dalam praktek

keperawatan.

2. Bagi Institusi Kesehatan

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh

Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan kinerjanya dalam memberikan

layanan pasien cedera kepala di ruang rawat inap.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dan sumber data bagi institusi pendidikan guna

perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.

4. Bagi Perawat

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

sumber pengetahuan diharapkan dapat memberikan dorongan bagi perawat

untuk meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan asuhan keperawatan

terhadap pasien cedera kepala.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengertian

Menurut Henderson (1980) dalam Ali (2002), pelayanan keperawatan

(nursing service) adalah upaya untuk membantu individu baik sakit maupun

sehat, dari lahir sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan

pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut dapat

secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada

praktek keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien/pasien di

berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan

berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai profesi yang berdasarkan ilmu

dan kiat keperawatan, bersifat humanistik, dan berdasarkan kebutuhan obyektif

klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien (Ali, 2002).

2. Tahapan Asuhan Keperawatan

Beberapa tahapan asuhan keperawatan sebagai

berikut

a. Tahap pengkajian keperawatan

Tahap pengkaiian keperawatan merupakan fase pertama dalam upaya

mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan

dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang dihadapi


9

pasien baik secara fisik, mental, sosial maupun spiritual dapat ditentukan.

Tahap ini mencakup tiga kegiatan yaitu pengumpulan data, analisis data,

penentuan masalah kesehatan dan keperawatan (Basford, 2006).

b. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan tentang masalah

ketidaktahuan dan/atau ketidakmauan dan/atau ketidakmampuan

pasien/klien baik dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun

dalam penanggulangan masalah kesehatan tersebut dihubungkan dengari

penyebab (etiologi) dan/atau gejala (Ali, 2002).

c. Tahap Perencanaan Keperawatan

Perencanaan keperawatan adalah fase ketiga proses keperawatan, rencana

asuhan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan, dan

langkah yang digunakan dalam proses perencanaan keperawatan adalah

menentukan prioritas, perumusan diagnosa keperawatan, perumusan kriteria

evaluasi, memilih intervensi keperawatan, dan dokumentasi rencana

keperawatan (Basford, 2006).

d. Tahap implementasi keperawatan

Tahap implementasi merupakan perawat melakukan proses asuhan

keperawatan, selama tahap ini perawat harus menjamin pengumpulan data

yang dilakukan secara kontinue, implementasi intervensi keperawatan

dilakukan. Saat memberi asuhan keperawatan, perawat harus selalu

mengobservasi pasien secara cermat untuk mengetahui validitas masalah

keperawatan, tujuan keperawatan, dan tindakan keperawatan serta efek


10

tindakan keperawatan (Basford, 2006).

e. Tahap evaluasi keperawatan

Tahap evaluasi adalah fase akhir dalam proses keperawatan. Dengan cara

evaluasi, perawat dapat memberikan pendapat pada kuantitas dan kualitas

asuhan yang diberikan. Evaluasi adalah aktivitas terus-menerus yang

memainkan peran penting selama seluruh fase proses keperawatan. Evaluasi

keperawatan menunjukkan penilaian tentang keefektifan atau keberhasilan

struktur, proses, dan hasil aktivitas keperawatan dengan menggunakan

standar atau nilai berdasarkan norma atau berdasarkan kriteria (Basford,

2006).

f. Tahap Dokumentasi keperawatan

Tahap dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat seluruh

informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosa keperawatan,

menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan

keperawatan yang disusun secara sistematis, valid dan dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum (Ali, 2002).

B. CederaKepala

1. Definisi

Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh

adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau

merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang

diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak

yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Nettina, 2002).


11

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan

kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput

otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of

America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut David

A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa

perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan

keras pada kepala (Olson, 2006).

2. Epidemiologi

Trauma kepala atau injuri cerebri umumnya terjadi akibat kecelakaan lalu

lintas dan mayoritas yang terkena adalah anak muda dan pada usia lanjut sering

terjadi karena jatuh/luka tusuk. Tipe trauma kepala yaitu tertutup dan terbuka,

tipe fraktur yang berhubungan dengan trauma kepala terbuka yakni berupa

goresan (linier), tekanan cekung dan luka terbuka dan bentuk goresan

merupakan yang sederhana dan termasuk luka bersih yang mudah dibersihkan,

luka tertekan akan menyebabkan penekanan pada jaringan tulang tengkorak,

luka/fraktur terbuka akan ditemukan laserasi yang berhubungan langsung

dengan organ terkena, sedangkan pada trauma kepala tertutup disebut trauma

tumpul yang diawali dengan terjadinya comutio, contusio dan laserasi pada

otak. Maka akibat yang tampak dari adanya trauma cerebri tergantung dari

berat ringannya trauma dan bagaimana mekanisme trauma cerebri terjadi, di


12

samping adanya kerusakan tulang tengkorak, sering terjadi perdarahan

sehingga menyebabkan gangguan neurologist kaku (Bedong, 2001).

3. Klasifikasi

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala

digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap

respon motorik (1 – 6) , respon verbal (1 – 5) dan buka mata (1 – 4), dengan

interval GCS: 3 – 15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan

menjadi (Budijanto, 1999)

a. Minor/Ringan

1) GCS: 13 – 15

2) Dapat teriadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30

menit.

3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma

b. Sedang

1) GCS: 9 – 12

2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi

kurang dari 24 jam.

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Berat

1) GCS: 3 – 8

2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial

(Budijanto, 1999)
13

4. Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga

kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi

pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri (Homeier,

2007). Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan

yaitu:

a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,

b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,

c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain

dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala

diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,

pergeseran otak dan rotasi otak (Budijanto, 1999).

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan

coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada

orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala

pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena

sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah

benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (Gerdes,

2007).
14

a. Rear end Impact

Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak

pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun

kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada

otak bagian depan.

b. Backwardlforward motion of head

Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga

pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak

menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat

daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga

membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan

terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka

ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan

menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya

gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak

karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah

dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila

terjadi pergerakan kepala ke depan (Gerdes, 2007).

5. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan

radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi,

tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan. Pengukuran
15

tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan

Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan

Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional

(Budijanto, 1999).

Tabel 2.1
Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale Nilai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon Motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

Nilai GCS = ( E + V + M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3 (IKABI, 2004).

Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan

wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan.

Pupil pada penderita cedera kepala tidak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika

terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya

herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat

dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon

sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran memberikan


16

rangsangan pada kulit penderita (Budijanto, 1999).

CT scan merupakan studi diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera

kepala. CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan

kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS <15> CT scan

dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi),

gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem

pada jaringan otak. Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI,

angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi. Pada pasien cedera kepala

berat, penundaan transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat

berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (Shepard,

2004).

C. Transportasi Pasien Cedera Kepala

Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera

kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan

medis yang cepat, tepat dan aman. Karena keterlambatan sampai di rumah sakit,

10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal. Pada

penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan, syok

hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial

meninggi, kejang-kejang; gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan

yang cepat. Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan

penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang

adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan torakolumbal,

identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat


17

kesadaran penderita (Hatfield, 2007).

Dalam penanganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat

penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala

sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan

hipotensi. Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan penderita

cedera kepala untuk cedera kepala berat. Pada penderita cedera kepala berat

dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan

tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan

interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk. Seelig et al telah melakukan

penelitian tentang pentingnya penanganan dan transportasi yang cepat pada

penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akuf.

Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka

kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang

dioperasi di atas 4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan

keluaran baik (Wijanarka, 2005).

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala

yaitu; terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang

tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya

dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain (Alfauzi, 2007).

D. Pengukuran Keluaran Pasien Cedera Kepala

Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75 - 80%) penderita

cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang

masing-masingnya antara 10% dan 20%. Sebagian besar penderita dengan


18

cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat

ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih

kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila

perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10 - 20% dari penderita

cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada

penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder.

Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan

menyebabkan mortalitas mencapai 75% (IKABI, 2004).

Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera,

lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan

tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses

sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu),

berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan

mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang, dan

keadaan sosial yang tidak normal) IKABI, 2004).

Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit.

Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak

adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan

tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor

yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala (Alfauzi, 2007). Untuk

keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow

Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond :


19

Tabe12.2
Glasgow outcome scale

Skor Kategori Keterangan


1 Death (meninggal) Merupakan akibat langsung dari cedera kepela.
Penderita menjadi sadar kembali dan meninggal
setelah itu karena komplikasi sekunder dan penyebab
lain.
2 Vegetative state Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa
berbicara untuk beberapa waktu ke depan. Penderita
mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan
siklus tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks
serebral tidak ada.
3 Severe disability Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan
aktifitas sehari-hari disebabkan karena kecacatan
mental atau fisik, biasanya kombinasi antara
keduanya. Kecacatan mental yang berat kadang-
kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini
pada penderita dengan kecacaran fisik sedikit atau
4 Moderate disability Dapat berjalan jalan menggunakan transportasi umum
dan bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan
perlindungan) dan dapat beraktivitas bebas sejauh
kegiatan tersebut tidak mengkhawatirkan.
Ketidakmampuan (kecacatan) penderita mencakup
perubahan derajat dari dispasia, hemiparise, atau
ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya
ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu
untuk melakukan hal-hal protektif diri.
5 Good recovery Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun
terjadi keadaan deficit neurologist.
(Dun, 2000).

GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability,

severe disability, vegetative dan death. Dari skala di atas dapat dibagi menjadi

keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate disability) dan

keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability, vegetative dan dead).

Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan

mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan dengan keluaran buruk yaitu; umur

penderita diatas 60 tahun, GSC <5 (Dunn, 2000).


20

Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita

241 orang dengan GCS <7 (Dunn, 2000). Dari data Journal of Nuerotaruma ada

beberapa penelitan terbaru yang berhubungan dengan tingkat keparahan ataupun

keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar

magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada

penderita setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan penting dalam

penurunan konsentrasi magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi independent

marker untuk beratnya cedera kepala. Penderita cedera kepala dengan usia 75

tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan

bedah dari pada penderita muda (14 – 64 tahun). Von Willebrand Factor (VWF)

dikenal sebagai biomaker dari cedera pada endotelial. Peningkatan dari kadar

serum VWF terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat.

Peningkatan serum VWF pada cedera kepala berat merupakan tanda dari keluaran

buruk dari penderita. High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang

sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP

berhubungan dengan keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang

intensif (Stippler, 2007).

E. Asuhan Keperawatan Cedera Berat

1. Pengkajian

Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan

sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,

lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang

perlu didapati adalah sebagai berikut :


21

a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,

pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

b. Riwayat kesehatan :

1) Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea,

sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise,

akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan

telinga dan kejang.

2) Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan

dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.

demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai

penyakit menular.

3) Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai

data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi

prognosa klien.

c. Pemeriksaan Fisik

1) Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <

15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang

positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.

2) Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai

batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji

nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.


22

d. Pemeriksaan Penujang

1) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.

Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan

pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras

radioaktif.

3) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan

trauma.

4) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

9) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibat peningkatan tekanan intrkranial

11) Screen , Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran (Long; BC and Phipps WJ. 2005).


23

e. Penatalaksanaan

Konservatif:

1) Bedrest total

2) Pemberian obat-obatan

3) Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas keperawatan:

1) Maksimalkan perfusi / fungsi otak

2) Mencegah komplikasi

3) Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal

4) Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5) Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana

pengobatan, dan rehabilitasi.

Tujuan:

1) Fungsi otak membaik : defisit neurologis

berkurang/tetap

2) Komplikasi tidak terjadi

3) Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain

4) Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan.

5) Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh

keluarga sebagai sumber informasi.

2. Diagnosa Keperawatan
24

Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:

a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas

di otak.

b. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan

sputum.

c. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

d. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos

coma)

e. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,

tidak adekuatnya sirkulasi perifer (Long; BC and Phipps WJ. 2005).

3. Intervensi Keperawatan

Tidak efektifnya pola napas seh ubungan dengan depresi pada pusat

napas di otak.

a. Tujuan :

Mempertahankan pola napas yang efektif melalui

ventilator.

b. Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda

hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

c. Rencana tindakan :
25

1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari

pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat

meningkatkan tekanan Pa CO2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam

pemberian tidal volume.

3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2x

lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi

terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

4) Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat

mengeringkan sekresi/cairan paru sehingga menjadi kental dan

meningkatkan resiko infeksi.

5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat

menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan

penyebaran udara yang tidak adekuat.

6) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu memberikan

ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator (Long; BC and

Phipps WJ. 2005).

Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan

sputum.

a. Tujuan :

Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi.

b. Kriteria Evaluasi :
26

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi

alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

c. Rencana tindakan :

1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi

dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme

atau masalah terhadap tube.

2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan

yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube

yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.

3) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila

sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus

dibatasi untuk mencegah hipoksia.

4) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk

semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan

sputum (Long; BG and Phipps WJ. 2005).

Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

a. Tujuan :

Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi

motorik.

b. Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan

intrakranial.

c. Rencana tindakan :
27

1) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.

Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.

Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus

eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil

digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan

refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera

dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya

abduksi mata.

2) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat

kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya

pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan

metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda--

tanda keadaan syok akibat perdarahan.

3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada

vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat

meningkatkan tekanan intrakranial.

4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan

pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat

mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.

5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang
28

terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan

tekanan intrakrania.

6) Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Dapat menurunkan

hipoksia otak.

7) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar

(kolaborasi).

8) Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia

seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga

dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan

inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk

menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif

dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan

panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak (Long; BC and

Phipps WJ. 2005).

Keterbatasan aktifitas sshubungan dengan penurunan kesadaran (soporos

- coma )

a. Tujuan :

Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara

adekuat.

b. Kriteria hasil :

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai

dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

c. Rencana Tindakan:
29

1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan

dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan keria sama yang

dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.

2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan,

eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut,

telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga

oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan

keindahan.

3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus

dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan

sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga

lingkungan yang aman dan bersih. Keikutsertaan keluarga diperlukan

untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar

keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.

Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan (Long;

BC and Phipps WJ. 2005).

Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada


30

pasien.

a. Tujuan :

Kecemasan keluarga dapat berkurang

b. Kriteri evaluasi :

Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan, keluarga mengerti cara,

berhubungan dengan pasien, Pengetahuan keluarga mengenai keadaan,

pengobatan dan tindakan meningkat.

c. Rencana tindakan :

1) Bina hubungan saling percaya. Untuk membina hubungan terpiutik

perawat - keluarga. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan

merasa diperhatikan.

2) Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan

dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat

ketidaktahuan.

3) Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.

Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.

4) Berikan dorongan spiritual untuk keluarga. Semangat keagamaan dapat

mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan

dalam menghadapi krisis (Long; BC and Phipps WJ. 2005).

Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,


31

tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

a. Tujuan :

Gangguan integritas kulit tidak terjadi

b. Rencana tindakan :

1) Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk

menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.

2) Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

3) Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk

daerah yang menonjol.

4) Ganti posisi pasien setiap 2 jam

5) Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan

memudahkan terjadinya kerusakan kulit.

6) Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam

sekali.

7) Pertahankan afat-'alat tenun tetap bersih dan tegang.

8) Kaji daerah kulit. yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8

jam.

9) Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam

dengan menggunakan H2O2 (Long; BC and Phipps WJ. 2005).

BAB III
32

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan konsep yang dipakai sebagai

landasan berpikir dalam kegiatan penelitian (Nursalam, 2003).

Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

INPUT PROSES OUTPUT

Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Cedera
Kepala Berat meliputi:
Tahap pengkajian Dilakukan
keperawatan dengan adekuat
Pasien Tahap diagnosa
Cedera keperawatan
Kepala Tahap intervensi
Berat keperawatan
Tahap pelaksanaan Dilakukan
keperawatan dengan adekuat
Tahap Evaluasi
keperawatan
Tahap dokumentasi
keperawatan

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti


33

B. Definisi Operasional

Variabel Sub variabel Definisi operasional Alat Cara Skala Kategori


ukur Ukur
Pelaksanaan asuhan Tahap pengkajian Tahap awal dalam asuhan keperawatan yang dilakukan Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  4
keperawatan pada keperawatan untuk mengumpulkan data. Pengkajian yang dimaksud Observasi lembar
pasien cedera dalarn penelitian ini meliputi tujuan pengkajian. yang observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor < 4
kepala berat dilakukan oleh perawat, unsur-unsur yang termasuk ke
dalam pengkajian, metode pengkajian yang dilakukan
perawat, dan pendokumentasian hasil pengkajian.
Tahap diagnosa Tahap diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  2,5
keperawatan jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien serta Observasi lembar
pengembangannya yang dapat dipecahkan atau diubah observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor < 2,5
melalui tindakan keperawatan
Tahap intervensi Tahap intervensi keperawatan adalah tahap perumusan Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  5,5
keperawatan tindakan asuhan keperawatan cedera kepala berat yang Observasi lembar
harus dilaksanakan berdasarkan hasil diagnosa terhadap observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor <5,5
pasien
Tahap pelaksanaan Tahap dimana perawat mengaplikasikan rencana asuhan Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  7
keperawatan keperawatan ke dalam kegiatan. Pelaksanaan Observasi lembar
keperawatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor <7
teknik dalam penentuan pelaksanaan tindakan
keperawatan dan prinsip-prinsip pelaksanaan tindakan
keperawatan
Tahap evaluasi Tahap terakhir dari proses keperawatan berupa Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  5
Keperawatan perbandingan yang sistematis dan terencana dari hasil- Observasi lembar
hasil yang diamati dengan tujuan dan kriteria hasil yang observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor <5
dibuat pada tahap perencanaan. Tahap evaluasi yang
dimaksud dalam penelitian ini meliputi: tujuaan evaluasi,
waktu pelaksanaan evaluasi, dan aspek dalam evaluasi
asuhan keperawatan
Tahap dokumentasi Tahap dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan Lembar Melihat hasil Ordinal 1. Dilakukan dengan adekuat, jika skor  1,5
keperawatan yang memuat seluruh informasi tentang tindakan Observasi lembar
keperawatan, hasil evaluasi data masalah pasien yang observasi 2. Dilakukan dengan tidak adekuat, jika skor <1,5
digunakan untuk memantau kualitas asuhan keperawatan
34

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu studi yang

bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang

sedang berlangsung pada saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan

sesudahnya (Sudjana, 2000).

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan

yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan analisis data hasil penelitian

secara eksak dan menganalisis datanya menggunakan perhitungan statistik

(Arikunto, 2006).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian (Arikunto, 2006).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tindakan asuhan keperawatan

pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhayangkara Indramayu selama bulan November 2008.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2003).

Pengambilan sampel penelitian ini diambil secara purposive sampling.

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 34 tindakan perawat dalam


35

memberikan asuhan keperawatan kepada pasien cedera kepala berat.

Adapun kriteria subyek penelitian sebagai berikut:

a. Pasien baru cedera kepala berat dengan nilai GCS : 3 - 8

b. Semua Pasien perawatan A

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau unsur yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian tertentu

(Notoatmodjo, 2003). Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu

pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat yang meliputi :

tahap pengkajian keperawatan, tahap diagnosa, tahap intervensi, tahap

pelaksanaan keperawatan, tahap evaluasi keperawatan, dan tahap dokumentasi

keperawatan.

D. Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan yaitu lembar observasi. Observasi

yang digunakan adalah observasi terstruktur di mana peneliti secara cermat

mendefmisikan apa yang akan diobservasi melalui suatu perencanaan yang

matang (Nursalam, 2003). Untuk mendapatkan alat pengumpul data yang benar-

benar valid atau dapat diandalkan dalam mengungkap data penelitian, maka

instrumen penelitian disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat kisi-kisi lembar observasi yang didalamnya menggunakan masing-

masing variabel menjadi beberapa sub variabel dan indikator. Adapun kisi-

kisi tersebut dapat dilihat dalam lampiran.


36

b. Berdasarkan kisi-kisi tersebut, langkah selanjutnya adalah menyusun aspek-

aspek yang akan diamati atau butir-butir item.

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 di ruang rawat

inap RS Bhayangkara Indramayu. Proses penelitian dilakukan selama 2 bulan,

mulai dari menyusun usulan penelitian sampai menyelesaikan laporan.

F. Prosedur Pengumpulan Data

1. Perizinan Penelitian

Sebagai salah satu persyaratan untuk penelitian ini adalah diperlakukannya

perizinan baik dari tingkat lembaga-lembaga terkait dalam hal ini adalah

instansi dimana peneliti melakukan penelitian.

2. Pelaksanaan Pengumpulan Data

Pelaksanaan pengumpulan data ini dilakukan setelah seminar proposal skripsi.

Prosedur yang ditempuh dalam pelaksanaan pengumpulan data ini adalah

sebagai berikut :

a. Memberikan informed consent terhadap responden sebagai bentuk

kesediaan dijadikan sampel penelitian.

b. Memberikan informasi berkaitan dengan kepentingan penelitian.

c. Melakukan observasi sebagai hasil pengumpulan data primer.

d. Melakukan cek ulang untuk memeriksa kelengkapan hasil observasi.

e. Menghitung hasil observasi dan memberikan skor.


37

G. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Verifikasi Data

Verifikasi data bertujuan untuk menyeleksi atau memilih data yang

memadai untuk diolah. Proses seleksi ditempuh dengan cara memeriksa

dan menyeleksi kelengkapan pengisian.

b. Penyekoran

Data yang ditetapkan untuk diolah kemudian diberi skor untuk setiap

aspek yang telah ditetapkan. Menurut Nursalam (2003) Instrumen

pengumpul data tentang penilaian penatalaksanaan fase akut cedera

kepala menggunakan skala yang menyediakan alternatif jawaban hasil

observasi, jika “Ya” dikerjakan diberi skor 1 dan jika “Tidak” tidak

dikerjakan diberi skor 0.

2. Analisis data

Menurut Al Rasyid (1994) dalam Rokhmaniah (2003), penafsiran

pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala secara kualitatif

menggunakan skor posisi terhadap median, lalu dilakukan tabulasi dan

selanjutnya menginterpretasi data dengan menggunakan rumus median :

Median : skor minimal + skor maksimal


2
Keterangan :

Skor minimal : skor total minimal hasil observasi


38

: skor minimal setiap item x jumlah item (51)

: 0 x 51 = 0

skor maksimal : skor total maksimal hasil observasi

: skor maksimal setiap item x jumlah item (51)

: 1 x 51 = 51

Median : 0 + 51 = 25,5
2

Selanjutnya dari hasil perhitungan diinterpretasikan dengan menggunakan

kriteria sebagai berikut :

> 25,5 median maka, dilakukan dengan adekuat

< 25,5 median maka, tidak dilakukan dengan adekuat

Menurut Arikunto (2006) dalam menginterpretasikan hasil perhitungan

distribusi frekuensi terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan menggunakan

skala kategori sebagai berikut :

a. 0% : tidak ada tindakan

b. 1 – 5% : hampir tidak ada

c. 6 – 24% : sebagian kecil

d. 25 – 49% : kurang dari setengahnya

e. 50% : setengahnya

f. 51 – 74% : lebih dari setengahnya

g. 75 – 94% : sebagian besar

h. 95 – 99% : hampir seluruhnya

i. 100% : seluruhnya.
39

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab V disajikan data hasil penelitian serta pembahasan mengenai

gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kabupaten Indramayu Umum yang terdiri dari

subvariabel tahap pengkajian, diagnosa, ineterverensi, pelaksanaan, evaluasi dan

dokumentasi keperawatan. Adapun jumlah pasien yang diteliti sebanyak 34 pasien

dengan cedera kepala berat. Hasil ini penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi disertai interpretasinya.

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Perawat

a. Umur Perawat

Karakteristik perawat berdasarkan umur didapatkan termuda

berumur 21 tahun dan tertua berumur 35 tahun. Hasil penelitian

karakteristik perawat berdasarkan umur disajikan pada Tabel 5.1

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Umur Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No. Umur Frekuensi %


1 21 –25 tahun 17 48,57
2 26 – 30 tahun 13 37,14
3 31 – 35 tahun 5 14,29
Jumlah 35 100
40

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, diketahui bahwa lebih dari setengah

(53,49%) perawat berumur antara 21 – 25 tahun dan sebagian kecil

(14,29%) perawat berumur antara 31 –35 tahun.

b. Pendidikan Perawat

Hasil penelitian yang didapat dari data perawat berdasarkan

karakteristik pendidikan yaitu seluruh perawat (100%) berdasarkan tingkat

pendidikan adalah Akademi Keperawatan.

c. Lama Bekerja Perawat

Hasil penelitian yang didapat dari data perawat berdasarkan

karakteristik lama bekerja disajikan pada Tabel 5.3

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Lama Bekerja Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No. Kategori Frekuensi %


1 0 – 12 bulan 5 14,29
2 13 – 24 bulan 17 48,57
3 25 60 bulan 13 37,14
Jumlah 35 100

Berdasarkan Tabel 5.2 di atas, diketahui bahwa kurang dari setengah

(48,57%) lama kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Bhayangkara adalah antara 13 – 24 bulan dan sebagian kecil (14,29%)

lama kerja perawat antara 0 – 12 bulan.

d. Jenis Kelamin Perawat


41

Hasil penelitian yang didapat dari data perawat berdasarkan

karakteristik jenis kelamin disajikan pada Tabel 5.3

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Jenis Kelamin Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No. Kategori Frekuensi %


1 Laki-laki 15 42,86
2 Perempuan 20 57,14
Jumlah 35 100

Berdasarkan Tabel 5.3 di atas, diketahui bahwa lebih dari setengah

(57,14%) perawat berjenis kelamin perempuan.

2. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat di


Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada variabel pelaksanaan asuhan keperawatan pada

pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara

disajikan pada Tabel 5.4

Tabel 5.4
Distribusi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100

Berdasarkan Tabel 5.4 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan asuhan

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (91,18%) termasuk


42

kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk

dalam kategori dilakukan tidak adekuat.

3. Tahap Pelaksanaan Pengkajian Keperawatan Pasien Cedera Kepala


Berat Berat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan pengkajian

keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.5

Tabel 5.5
Distribusi Pelaksanaan Pengkajian Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 32 94,12
2 Dilakukan tidak adekuat 2 5,88
Jumlah 34 100

Berdasarkan Tabel 5.5 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan pengkajian

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (94,12%) termasuk

kategori dilakukan adekuat, dan sebagian kecil (5,88%) termasuk ke dalam

kategori dilakukan tidak adekuat.

4. Tahap Pelaksanaan Diagnosa Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat


di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan diagnosa

keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.6

Tabel 5.6
43

Distribusi Pelaksanaan Diagnosa Keperawatan Pasien


Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100

Berdasarkan Tabel 5.6 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan diagnosa

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (91,18%) termasuk

kategori dilakukan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk dalam

kategori dilakukan tidak adekuat.

5. Tahap Pelaksanaan Interverensi Keperawatan Pasien Cedera Kepala


Berat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan interverensi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.7

Tabel 5.7
Distribusi Pelaksanaan Interverensi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100
44

Berdasarkan Tabel 5.7 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan interverensi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (91,18%) termasuk

kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk

dalam kategori dilakukan tidak adekuat.

6. Tahap Pelaksanaan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat di Ruang


Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan keperawatan pada

pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.9

Tabel 5.8
Distribusi Pelaksanaan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat
di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 32 94,12
2 Dilakukan tidak adekuat 2 5,88
Jumlah 34 100

Berdasarkan Tabel 5.8 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (94,12%) termasuk

kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (5,88%) termasuk

dalam kategori dilakukan tidak adekuat.

7. Tahap Evaluasi Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat di Ruang


Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan evaluasi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.9
45

Tabel 5.9
Distribusi Pelaksanaan Evaluasi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 5.9 di atas, diketahui bahwa pelaksanaan evaluasi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (91,18%) termasuk

kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk

dalam kategori dilakukan tidak adekuat.

8. Tahap Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Pasien Cedera Kepala


Berat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara

Hasil penelitian pada subvariabel tahap pelaksanaan dokumentasi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.10

Tabel 5.10
Distribusi Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Bhayangkara Tahun 2008

No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 30 88,24
2 Dilakukan tidak adekuat 4 11,76
Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa pelaksanaan dokumentasi

keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
46

Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar (88,24%) termasuk

kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (11,76%) termasuk

dalam kategori dilakukan tidak adekuat.

B. Pembahasan

1. Pelaksanaan Pengkajian Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat

Tahap pengkajian keperawatan pada pasien cedera kepala berat

merupakan fase pertama dalam upaya mengumpulkan data secara lengkap dan

sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan

keperawatan yang dihadapi pasien baik secara fisik, mental, sosial maupun

spiritual dapat ditentukan. Hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 5.6

yaitu pada pelakasanan pengkajian pada pasien cedera kepala berat yaitu

sebagian besar (94,12%) termasuk kategori dilakukan dengan adekuat, dan

sebagian kecil (5,88%) termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan

adekuat.

Pada tahap pelaksanaan pengkajian yaitu sebagian besar (88,24%)

pemeriksaan fisik terhadap penglihatan dilakukan, sebagian besar (76,47%)

pemeriksaan terhadap sistem pendengaran dilakukan, sebagian besar (79,41%)

pemeriksaan fisik terhadap sistem kardiovaskuler, sebagian besar (85,29%)

pemeriksaan fisik terhadap sistem hematologi dan terapi transfusi darah

dilakukan, sebagian besar (67,65%) pemeriksaan fisik terhadap sistem saraf

pusat dilakukan, sebagian besar (82,35%) pemeriksaan fisik terhadap sistem

urogenital dilakukan, dan sebagian besar (73,58%) pemeriksaan fisik terhadap


47

sistem muskoloskeletal dilakukan.

Pelaksanaan pengkajian keperawatan cedera kepala berat menunjukkan

bahwa sebagian besar pada tahapan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

oleh Long; BC and Phipps WJ. 2005) bahwa pada tahap pelaksanaan

pengkajian keperawatan yang meliputi pemeriksaan fisik dimana perawat

melakukan pemeriksaan tingkat kesadaran baik secara kualitatif dan

kuantitatif, tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (compos mentis –

coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis kondisi pasien, kekacauan

fungsi dan kerusakan karena benturan kepala, salah satunya membawa

dampak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan

adanya perdarahan/hematoma cerebre menyebabkan pasokan O2 ke jaringan

otak berkurang. Pada kuantitatif perawat mengkaji GCS karena sampai saat

ini skore glaskow menjadi patokan apakah pasien mengalami cedera kepala

berat, sedang atau ringan, di samping itu GCS dapat dijadikan oleh perawat

untuk melihat perkembangan secara cepat dari kondisi kesadaran pasien.

Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,

disorientasi, orang, tempat, dan waktu.

Sedangkan menurut Dermawan (2005) bahwa pemeriksaan fisik pada

tahap pengkajian meliputi tahap pemeriksaan terhadap Tanda – tanda vital dan

pemeriksaan fisik Kepala – kaki meliputi pemeriksaan terhadap TD, Nadi,

Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum

pasien / kondisi pasien, sehingga dapat dipantau adanya peningkatan TIK dan

termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada
48

pemeriksaan status neurologis dan persyarafan pasien, seperti kondisi kepala,

adanya hematoma/tidak, mata, hidung, telinga apakah terjadi

peradarahan/tidak, disamping status neurologis lainnya seperti reflek pupil,

fisiologis dan patologis termasuk adanya gangguan saraf kranial dan juga

motorik pasien dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi,

palpasi, perkusi.

Baiknya pelaksanaan tahap pengkajian keperawatan terhadap pasien

cedera kepala berat ditunjang oleh beberapa faktor pendukung pada tahap

pengkajian di antaranya terdapat sarana dan prasarana untuk pemeriksaan

Laboratorium dalam menegakkan diagnosa keperawatan seperti AGD,

mendeteksi adanya ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi

peningkatan intracranial, alat pengukur Hb darah, Serial EEG, digunakan

untuk mendeteksi dan mengetahui perkembangan gelombang yang patologis,

Rontgen untuk mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan,

struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. Pemeriksaan angiografi

untuk mengidentifikasi tempat perdarahan arteri yang nyata. Screen

Toxicologi digunakan untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan adanya penurunan kesadaran.

Pada tahap pengkajian semua hal yang menjadi fokus pengkajian dapat

dilakukan dengan baik, tetapi masih terdapat beberapa hambatan . Dalam

menggunakan format tersebut untuk mengkaji pasien dengan cedera kepala

berat perawat mengalami kesulitan, hal ini disebabkan karena: Format

pengkajian sangat umum, tidak spesifik pada gangguan sistem neurologi


49

terutama untuk mengkaji pasien dengan masalah neurology khususnya pasien

dengan cedera kepala; Format pengkajian yang tidak menyediakan ruang

untuk menjelaskan spesifikasi hasil pengkajian; Format pengkajian telah

memuat hasil pemeriksaan penunjang tetapi ruang yang disediakan sangat

sempit sehingga tidak memadai, dimana hasil pemeriksaan penunjang cukup

banyak dan dan dapat berpengaruh pada penentuan Diagnosa keperawatan.

Solusi pada hambatan yang terjadi, solusi yang dilakukan antara lain

dengan mencari format khusus untuk pemantauan status neurologis khususnya

dalam pemantauan kesadaran, bekerja sama dengan Unit Stroke/Neurologi

dan mensosialisasikan pada perawat ruangan, format tersebut sudah tersedia

dan pihak unit stroke memberikan format yang dimaksud (terlampir).

Mencatat hasil-hasil laboratorium yang mengalami kelainan saja dan

dicantumkan pada format pengkajian secara fokus dan hasil pengkajian

selanjutnya ditulis pada format catatan perkembangan

2. Pelaksanaan Diagnosa Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat

Diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala berat adalah suatu

pernyataan tentang masalah ketidaktahuan dan/atau ketidakmauan dan/atau

ketidakmampuan pasien/klien baik dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-

hari maupun dalam penanggulangan masalah kesehatan tersebut dihubungkan

dengari penyebab (etiologi) dan/atau gejala. Berdasarkan hasil penelitian yang

didapat pada Tabel 5.7 bahwa pelaksanaan diagnosa sebagian besar (91,18%)

termasuk kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%)


50

termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan adekuat.

Tahapan diagnosa keperawatan pasien cedera kepala berat dimana

sebagian besar (88,24%) perawat mengkaji terhadap adanya ketidakefektifan

pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Sebagian

besar (76,47%) perawat mengkaji adanya ketidakefektifan kebersihan jalan

napas sehubungan dengan penumpukan sputum, sebagian besar (79,41%)

perawat mengkaji adanya gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan

udem otak, sebagian besar (79,41%) perawat mengkaji adanya keterbatasan

aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos-coma) dan

sebagian besar (85,29%) perawat mengakaji adanya resiko tinggi gangguan

integritas kulit sehubungan dengan immbolisasi, tidak adekuatnya sirkulasi

perifer.

Pelaksanaan diagnosa keperawatan terhadap pasien cedera kepala

dilakukan karena beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Long; BC and

Phipps WJ (2005) bahwa pada tahap diagnosa untuk mengidentifikasi tidak

efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak,

tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan

sputum, gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak,

keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos

coma), resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan

immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer

Beberapa faktor pendukung pada tahap diagnosa keperawatan yang telah

dilakukan dengan baik oleh perawat antara lain adanya laboratorium dan alat-
51

alat pemeriksaan penunjang yang telah diuraikan pada tahapan pengkajian

yang dapat dijadikan pedoman dalam menegakkan diagnosa. Sedangkan

faktor-faktor penghambat pada tahap diagnosa keperawatan juga didasarkan

pada hambatan yang terjadi pada tahap pengkajian keperawatan yaitu format

pengkajian telah memuat hasil pemeriksaan penunjang tetapi ruang yang

disediakan sangat sempit sehingga tidak memadai, pada kasus cedera kepala

berat dimana hasil pemeriksaan penunjang cukup banyak dan dapat

berpengaruh pada penentuan diagnosa keperawatan

Beberapa pemeriksaan fisik dan penunjang tambahan yang dilakukan

perawat terhadap pasien cedera kepala berat selanjuthya dijadikan

rekomendasikan dalam berkolaborasi dengan medis dalam menentukan

tindakan dan prosedur apa yang tepat dan bermanfaat dalam penegakan

diagnosa, agar informasi/data yang didapat lebih valid. Tetapi perawat dalam

hal ini selalu mempertimbangkan bahwa dalam memberikan rekomendasi

dalam pemeriksaan fisik dan penunjang melihat kemanfaatan dan efektifitas

dari perlunya pemeriksaan penunjang. Dari beberapa pemeriksaan penunjang

yang dilakukan pada pasien cedera kepala yaitu CT-Scan dan lainnya penting

juga adalag AGD, disamping elektrolit untuk mendeteksi adanya

ketidakseimbangan dari elektrolit.

3. Pelaksanaan Interverensi Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat

Pelaksanan interverensi keperawatan adalah fase ketiga proses

keperawatan yang menentukan prioritas, perumusan diagnosa keperawatan,

perumusan kriteria evaluasi, memilih intervensi keperawatan, dan


52

dokumentasi rencana keperawatan. Hasil penelitian yang didapat pada

Tabel 5.8, menggambarkan bahwa pelakasanan pengkajian pada pasien cedera

kepala berat yaitu sebagian besar (91,18%) termasuk kategori dilakukan

dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk ke dalam kategori tidak

dilakukan dengan adekuat. Namun demikian, ada masalah keperawatan yang

muncul karena pasien dalam keadaan penurunan kesadaran (coma) yang lama

sehingga tidak ada aktifitas yang dapat dilakukan pasien, hal ini akan

mengakibatkan adanya penumpukan sekret dalam saluran nafas, kondisi ini

akan menyebabkan kesulitan pasien untuk dapat mengeluarkan sekret yang

menumpuk. Di samping penurunan kesadaran juga menurunnya fungsi reflek

pasien untuk dapat bereaksi bila ada benda asing pada sistem respirasi

sehingga akan membahayakan bagi kondisi pasien, diagnosa ini merupakan

bagian dari prioritas yang pertama karena termasuk bagaimana mengantisipasi

dan mengusakan bersihan jalan napas tetap efektif selama pasien dalam

kondisi tidak sadar.

Beberapa faktor pendukung pada tahap diagnosa keperawatan di

antaranya form renpra diruangan sudah ada berupa cheklist dan semua

masalah sudah ada dan sesuai dengan kasus. Sedangkan faktor penghambat

pada tahap ini adalah tidak tersedia form kosong renpra sehingga bila ada

lembar renpra chek list yang tidak lengkap dapat ditambahkan pada renpra

berikutnya. Solusi dari faktor penghambat tersebut adalah mengumpulkan

bahan-bahan dalam penegakan diganosa keperawatan dan mengkaji lebih

terinci dan teliti terhadap kondisi pasien dan membuat renpra tambahan yang
53

dirancang berdasarkan teori dan kondisi pasien.

Pelaksanaan interverensi keperawatan terhadap pasien cedera kepala

berat secara rinci per item aspek sebagai berikut: sebagian besar (88,24%)

perawat mempertahankan pola napas yang efektif, sebagian besar (76,47%)

perawat mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi, sebagian besar

(79,41%) perawat mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran

fungsi motorik, sebagian besar (79,41%) perawata memenuhi kebutuhan dasar

pasien, sebagian besar (85,29%) perawat membina hubungan saling percaya

dengan keluarga pasien, sebagian besar (67,65%) perawat memberikan

dorongan spiritual untuk keluarga pasien, sebagian besar (82,35%) perawat

mengkaji fungsi motorik pasien, sebagian besar (76,47%) perawat mengkaji

fungsi sensorik pasien, sebagian besar (79,41%) perawat mengkaji sirkulasi

perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit, (79,41%)

Mengkaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan, dan

sebagian besar (73,53%) perawat mengganti posisi pasien setiap 2 jam.

Pelaksanaan intervensi keperawatan cedera kepala berat sesuai dengan

teori yang dikemukkan oleh Long; BC and Phipps WJ (2005) bahwa

intervensi keperawatan bertujuan untuk mempertahankan pola napas yang

efektif, mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi, mempertahankan

dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik, kebutuhan dasar pasien

dapat terpenuhi secara adekuat dan mencegah resiko tinggi gangguan

integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi

perifer
54

4. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat

Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan proses asuhan

keperawatan, selama tahap ini perawat harus menjamin pengumpulan data

yang dilakukan secara kontinue, implementasi intervensi keperawatan

dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada Tabel 5.9,

menunjuukan bahwa sebagian besar (94,12%) termasuk kategori dilakukan

dengan adekuat, dan sebagian kecil (5,88%) termasuk ke dalam kategori tidak

dilakukan dengan adekuat. Ini menunjukkan bahwa pelakasanaan asuhan

keperawatan pada tahap pelaksanaan sebagian besar perawat telah

melaksanakannya dengan baik sesuai dengan standar keperawatan terhadap

pasien cedera kepala berat. Adapun tahapan pelaksanaan keperawatan yaitu

sebagian besar (88,24%) perawat menjaga kepatenan napas, sebagian besar

(76,47%) perawat melakukan pengisapan secret (dibatasi bila peningkatan

TIK), sebagian besar (79,41%) perawat memberikan oksigen, sebagian besar

(79,41%) perawat memonitoring tanda vital, sebagian besar (88,24%) perawat

merawat trakeostomi, sebagian besar (76,47%) perawat mengatur posisi

anatomis, sebagian besar (79,41%) perawat mengatasi demam, sebagian besar

(79,41%) perawat meningkatkan sirkulasi serebral, sebagian besar (85,29%)

pertawat membatasi aktivitas pasien, sebagian besar (67,65%) perawat

mengurangi stimulasi eksternal, sebagian besar (79,41%) perawat mencegah

peningkatan TIK (muntah, batuk mengedan, dan bersin), sebagian besar

(85,29%) perawat meminimalkan komplikasi, sebagian besar (67,65%)

perawat mengoptimalkan fungsi otak, dan sebagian besar (82,35%) perawat


55

menyokong proses pemulihan dan koping.

Pada pelaksanaan intervensi keperawatan ini dimana faktor pendukung

yaitu adanya format yang telah tersedia di ruangan, walaupun demikian masih

banyak keterbatasan untuk menuliskan semua tindakan yang ada. Dukungan

terhadap pemberian perawatan pasien tidak hanya datang dari pasien dan

keluarga tetapi dari teman – teman perawat di ruangan terutama kerjasama

yang baik dari ruangan yang sepenuhnya mendukung kami. Pengalaman yang

didapat yaitu dapat melakukan tindakan keperawatan dengan bebas, karena

kepala ruang dan ketua tim memberikan ijin untuk melakukan implementasi

pada pasien, cukup dengan menuliskan dalam lembar implementasi.

Implementasi yang dilakukan selalu dicatat di lembaran implementasi yang

terdiri dari apa yang dilakukan dan jam, tetapi ada beberapa implementasi

yang tidak dicatat karena tidak ada dalam lembar format. Satu hal yang masih

kurang adalah kadang-kadang lupa mencantumkan paraf pada lembaran

implementasi. Hal ini penting sebagai aspek legalitas pemberian asuhan

keperawatan. Obat-obatan berada di stasium ners sehingga memudahkan

residen dalam memberikannya dan mengontrol pemberian obat-obatan,

tinggal disesuaikan dengan terapi yang ada dilembar observasi pasien, yang

berada di sisi tempat tidur pasien.

Sedangkan faktor penghambat yaitu lambatnya asuhan keperawatn

yang dilakukan karena beberapa prosedur harus direncanakan jauh-jauh hari

penjadwalannya seperti pemeriksaan EEG dan CT-Scan ulang, tetapi secara

umum 95 % intervensi keperawatan dapat dilaksanakan sesuai jadwal baik.


56

5. Pelaksanaan Evaluasi Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat

Tahap evaluasi adalah fase akhir dalam proses keperawatan. Dengan

cara evaluasi, perawat dapat memberikan pendapat pada kuantitas dan kualitas

asuhan yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa sebagian besar (91,18%) termasuk kategori

dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk ke dalam

kategori tidak dilakukan dengan adekuat. Ini menunjukkan bahwa

pelaksanaan evaluasi keperawatan terhadap pasien cedera kepala berat

sebagian besar perawat telah melakukannya dengan adekuat. Adapun secara

rinci tahapan evaluasi keperawatan yaitu sebagian besar (88,24%) perawat

mengevaluasi keberhasilan tindakan, sebagian besar (76,47%) perawat

mengevaluasi respon pasien, sebagian besar (79,41%) perawat

mengkomunikasikan rencana tindakan selanjutnya, sebagian besar (79,41%)

perawat mengakhiri tindakan dengan meninggalkan pasien dalam keadaan

aman dan nyaman, sebagian besar (85,29%) perawat mengevaluasi dan

menyesuaikan rencana keperawatan sesuai dengan kebutuhan pasien, sebagian

besar (88,24%) perawat engevaluasi praktek keperawatan dibandingkan

dengan standar keperawatan, sebagian besar (76,47%) perawat mengevaluasi

kepatenan jalan napas dan fungsi respirasi, sebagian besar (79,41%) perawat

mengevaluasi stabilitas tanda-tanda vital termasuk temperatur, sebagian besar

(62,79%) perawat mengevaluasi tingkat kesadaran dan kekuatan otot, dan

sebagian besar (67,44%) perawat mengevaluasi mobilitas.

Faktor pendukung pada tahap evaluasi asuhan keperawatan pada pasien


57

cedera kepala berat antara lain evaluasi yang telah dilakukan dilakukan

berdasarkan masing-masing diagnosa keperawatan dalam bentuk catatan

perkembangan pasien, format catatan perkembangan pasien mengikuti format

yang ada diruangan dan sudah tersedia diruangan. Penulisan catatan

perkembangan dalam bentuk SOAP dilakukan setiap hari atau per 24 jam.

SOAP ini mengacu pada perkembangan kondisi pasien dan respon pasien

secara terstruktur. Catatan perkembangan dilakukan setiap hari. Dari beberapa

masalah keperawatan yang muncul, keseluruhan masalah keperawatan

tersebut dapat teratasi dengan baik sesuai tujuan yang diharapkan (Ali, 2002).

Faktor penghambat pada tahap ini antara lain ditemukannya tindakan

keperawatan berdasarkan hasil pengkajian, diagnosa dan intervensi

keperawatan antara lain tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d akumulasi

secret. setelah implementasi dari renpra yang dibuat semua renpra dapat

diimplementasikan baik mandiri maupun kolaborasi termasuk inhalasi yang

dilakukan setiap 6 jam, masalah dapat teratasi setelah perawatan, tidak ada

komplikasi dan masalah bersihan jalan nafas berlanjut. Perubahan perfusi

jaringan cerebral b.d perdarahan dan edema cerebral. Masalah diatasi setelah

implementasi dari renpra yang dibuat semua renpra dapat diimplementasikan

baik mandiri maupun kolaborasi termasuk pemberian obatobatan walaupun

pemeberian obat-obatan sering terlambat karena persediaan obat sering

terlambat, walaupun demikian masalah perubahan perfusi jaringan cerebral

diturunkan menjadi resti gangguan berulang (Gerdes, 2007).

6. Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat


58

Tahap dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat

seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosa keperawatan,

menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan

keperawatan yang disusun secara sistematis, valid dan dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Berdasarkan hasil penelitian

yang didapat pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar (88,24%)

termasuk kategori dilakukan dengan adekuat, dan sebagian kecil (11,76%)

termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan adekuat. Ini menunjukkan

bahwa pelaksanaan dokumentasi keperawatan sebagian besar dilakukan

dengan adekuat.

Faktor pendukung pada tahap dokumentasi keperawatan ini yaitu

adanya alat monitoring intake dan ouput cairan, adanya renpe, namun

demikian ada faktor penghambat yaitu dari tindakan perawat dalam hal

Monitoring intake dan output cairan, terutama dinas sore dan malam sering

tidak dilakukan secara lengkap, sehingga penghitungan balance cairan tidak

dapat dilakukan dengan valid, kita hanya menanyakan kepada pasien sesuai

yang telah diajarkan pada pasien, solusi: melibatkan keluarga dalam pemantau

pemberian cairan intake-output dan dievaluasi seiap pagi oleh

perawat/residen. SOAP setiap hari libur tidak dilakukan sehingga tidak dapat

dipantau karena perawat ruangan tidak melakukan SOAP dengan baik

(Bedong, 2001).

Secara umum pendokumentsian keperawatan diruangan tidak berjalan

sesuai standar keperawatan sehingga bila residen tidak dinas, baik catatan
59

tindakan keperawatan maupun observasi keperawatan tidak dapat dipantau

dan tidak ada dokumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan

Adapun secara rinci proses dokumentasi keperawatan per aspek yang

telah diamati bahwa sebagian besar (88,24) perawat mengevaluasi data

tentang masalah pasien, sebagian besar (76,47%) perawat mencatat data

proses keperawatan secara sistematis, dan sebagian besar (79,41%) perawat

menggunakan catatan pasien dalam memantau kualitas asuhan keperawatan.

Menurut Ali (2002) bahwa pelaksanaan dokumentasi keperawatan

terhadap pasien cedera kepala berat sesuai dengan tujuan dari dokumentasi

keperawatan yaitu:

a. Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan dalam

asuhan keperawatan.

b. Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama perawat

ataupun dengan dokter melalui komunikasi lisan.

c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas tenaga keperawatan

d. Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan

e. Memberikan data bagi penelitian, dan penyempurnan standar asuhan

keperawatan.
60

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap pelaksanaan pengkajian keperawatan pasien cedera kepala berat di

ruang rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian


61

besar termasuk kategori dilakukan dengan adekuat.

2. Tahap pelaksanaan diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala berat di

ruang rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian

kecil termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan adekuat.

3. Pelaksanaan interverensi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di

ruang rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian

besar termasuk kategori dilakukan dengan adekuat.

4. Pelaksanaan intervensi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian kecil

termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan adekuat.

5. Pelaksanaan evaluasi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang

rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian besar

termasuk kategori dilakukan dengan adekuat.

6. Pelaksanaan dokumentasi keperawatan pada pasien cedera kepala berat di

ruang rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara Kabupaten Indramayu, sebagian

kecil termasuk ke dalam kategori tidak dilakukan dengan adekuat.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian, maka peneliti

memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit untuk menyediakan dan melengkapi fasilitas berupa alat-

alat kedokteran yang berkaitan dengan penegakkan diagnosa keperawatan

khususnya pada pasien cedera kepala berat.

2. Perawat disarankan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penegakan


62

diganosa keperawatan dan menkaji lebih terinci dan teliti terhadap kondisi

pasien.

Anda mungkin juga menyukai