BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-
kasus kecelakaan lalu lintas. Di Inggris misalnya, setiap tahun sekitar 100.000
kunjungan pasien ke rumah sakit berkaitan dengan cedera kepala yang 20% di
sebagian besar trauma kepala bersifat ringan dan tidak memerlukan perawatan
khusus, pada kelompok cedera kepala berat tidak jarang berakhir dengan kematian
penyebab kematian nomor 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian
mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya
meninggal dunia. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
rendah di samping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang
memperlihatkan bahwa pada tahun 2007 sebanyak 36.000 orang tewas akibat
motor. Itu berarti dalam tahun 2007 setiap hari ada sekitar 52 orang yang tewas
peningkatan sebesar 73,33 % daripada angka dua tahun yang lalu, yang hanya
berikutnya. Masalah yang dihadapi saat ini adalah belum optimalnya pertolongan
imobilisasi atau stabilisasi dan pemberian bantuan hidup dasar sampai transportasi
menuju rumah sakit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan.
Hal ini tentunya menjadi tanggungjawab kita semua, sebagai sopir, awam, polisi
Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalu-lintas di tanah air
kita, khususnya Jalur Pantura, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita
cedera kepala yang seringkali berakibat cacat berupa hemiparesis, afasia, epilepsi,
dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan
kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Pada tahun 2006 misalnya, di mana
Indramayu adalah 2959 orang, dimana pasien yang mengalami cedera kepala berat
Tabel 1.1
Jumlah Pasien Cedera Kepala di Ruang Perawatan Rumah Sakit
Bhayangkara Tahun 2007
Penyebab
Jenis Kecelakaan Bukan karena Jumlah
No Cedera lalu lintas kecelakaan
Kepala lalu lintas
F % F % F %
1 Berat 1203 95,93 51 4,07 1254 100
2 Sedang 316 81,44 72 18,56 388 100
3 Ringan 123 59,13 85 40,87 208 100
(Rekam Medik RS Bhayangkara, 2007).
Berdasarkan data tabel di atas, diketahui bahwa dari 1850 pasien cedera
kepala, 1203 orang (95,93%) mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan
Data pasien cedera kepala pada bulan Maret sampai dengan Juni 2008 yang
Tabel 1.2
Jumlah Pasien Cedera Kepala di Ruang Perawatan Rumah Sakit
Bhayangkara Periode Bulan Maret - Juni 2008
banyak pada bulan Mei yaitu 245 orang (84,48%). Pasien cedera kepala berat
yang dirawat semuanya diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas (Rekam Medik
RS Bhayangkara, 2008).
mengisyaratkan bahwa setiap rumah sakit di samping harus lebih akuntabel dan
ilmiah yang valid. Salah satu komponen utama Clinical Gover Implementasi
cedera kepala adalah menajemen risiko klinik. Melalui manajemen risiko klinik
2005).
kesehatan yang akan makin bertambah besar. Penanganan fase akut yang tepat
terutama ditujukan untuk mengurangi edema otak dan mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi. Dengan demikian kasus cedera kepala yang perlu ditangani
dengan baik karena merupakan salah satu upaya meminimalkan resiko akibat
penatalaksanaan medik pada penderita cedera kepala. Oleh karena itu perawat
keperawatan yang tepat untuk pasien yang beresiko pada kecacatan dan kematian.
B. Rumusan Masalah
cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu?"
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat
1. Bagi Peneliti
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan
dijadikan sebagai bekal ilmu yang kelak dapat diterapkan dalam praktek
keperawatan.
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
4. Bagi Perawat
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
(nursing service) adalah upaya untuk membantu individu baik sakit maupun
berikut
pasien baik secara fisik, mental, sosial maupun spiritual dapat ditentukan.
Tahap ini mencakup tiga kegiatan yaitu pengumpulan data, analisis data,
b. Diagnosa keperawatan
Tahap evaluasi adalah fase akhir dalam proses keperawatan. Dengan cara
2006).
B. CederaKepala
1. Definisi
adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau
merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak
otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of
America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan
2. Epidemiologi
Trauma kepala atau injuri cerebri umumnya terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas dan mayoritas yang terkena adalah anak muda dan pada usia lanjut sering
terjadi karena jatuh/luka tusuk. Tipe trauma kepala yaitu tertutup dan terbuka,
tipe fraktur yang berhubungan dengan trauma kepala terbuka yakni berupa
goresan (linier), tekanan cekung dan luka terbuka dan bentuk goresan
merupakan yang sederhana dan termasuk luka bersih yang mudah dibersihkan,
dengan organ terkena, sedangkan pada trauma kepala tertutup disebut trauma
tumpul yang diawali dengan terjadinya comutio, contusio dan laserasi pada
otak. Maka akibat yang tampak dari adanya trauma cerebri tergantung dari
3. Klasifikasi
a. Minor/Ringan
1) GCS: 13 – 15
menit.
b. Sedang
1) GCS: 9 – 12
c. Berat
1) GCS: 3 – 8
(Budijanto, 1999)
13
4. Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga
kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi
pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri (Homeier,
2007). Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan
yaitu:
c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada
pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan (Gerdes,
2007).
14
pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun
pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak
membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan
dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila
5. Pemeriksaan Klinis
tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan. Pengukuran
15
tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan
(Budijanto, 1999).
Tabel 2.1
Glasgow Coma Scale
Nilai GCS = ( E + V + M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3 (IKABI, 2004).
wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan.
Pupil pada penderita cedera kepala tidak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika
terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya
herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat
dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon
kepala. CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan
kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS <15> CT scan
gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem
pada jaringan otak. Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI,
berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (Shepard,
2004).
kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan
medis yang cepat, tepat dan aman. Karena keterlambatan sampai di rumah sakit,
yang cepat. Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan
penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang
sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan
cedera kepala untuk cedera kepala berat. Pada penderita cedera kepala berat
tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan
interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk. Seelig et al telah melakukan
penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akuf.
kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang
dioperasi di atas 4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan
dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain (Alfauzi, 2007).
cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang
cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat
ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih
perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10 - 20% dari penderita
cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Pada
penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder.
Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan
tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses
tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor
Tabe12.2
Glasgow outcome scale
severe disability, vegetative dan death. Dari skala di atas dapat dibagi menjadi
Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760 penderita cedera kepala dan
Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita
241 orang dengan GCS <7 (Dunn, 2000). Dari data Journal of Nuerotaruma ada
keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar
penderita setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan penting dalam
marker untuk beratnya cedera kepala. Penderita cedera kepala dengan usia 75
tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan
bedah dari pada penderita muda (14 – 64 tahun). Von Willebrand Factor (VWF)
dikenal sebagai biomaker dari cedera pada endotelial. Peningkatan dari kadar
serum VWF terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat.
Peningkatan serum VWF pada cedera kepala berat merupakan tanda dari keluaran
buruk dari penderita. High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang
sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP
1. Pengkajian
lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang
b. Riwayat kesehatan :
akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan
penyakit menular.
3) Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
prognosa klien.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <
15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji
d. Pemeriksaan Penujang
radioaktif.
trauma.
subarachnoid.
e. Penatalaksanaan
Konservatif:
1) Bedrest total
2) Pemberian obat-obatan
Prioritas keperawatan:
2) Mencegah komplikasi
Tujuan:
berkurang/tetap
2. Diagnosa Keperawatan
24
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
sputum.
coma)
3. Intervensi Keperawatan
Tidak efektifnya pola napas seh ubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
a. Tujuan :
ventilator.
b. Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
c. Rencana tindakan :
25
1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari
lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator (Long; BC and
sputum.
a. Tujuan :
b. Kriteria Evaluasi :
26
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
c. Rencana tindakan :
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube
sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus
a. Tujuan :
motorik.
b. Kriteria hasil :
intrakranial.
c. Rencana tindakan :
27
abduksi mata.
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang
28
tekanan intrakrania.
hipoksia otak.
(kolaborasi).
seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga
- coma )
a. Tujuan :
adekuat.
b. Kriteria hasil :
c. Rencana Tindakan:
29
keindahan.
pasien.
a. Tujuan :
b. Kriteri evaluasi :
c. Rencana tindakan :
merasa diperhatikan.
ketidaktahuan.
a. Tujuan :
b. Rencana tindakan :
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
2) Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3) Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk
sekali.
8) Kaji daerah kulit. yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8
jam.
9) Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
BAB III
32
A. Kerangka Konsep
berikut:
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Cedera
Kepala Berat meliputi:
Tahap pengkajian Dilakukan
keperawatan dengan adekuat
Pasien Tahap diagnosa
Cedera keperawatan
Kepala Tahap intervensi
Berat keperawatan
Tahap pelaksanaan Dilakukan
keperawatan dengan adekuat
Tahap Evaluasi
keperawatan
Tahap dokumentasi
keperawatan
Keterangan :
B. Definisi Operasional
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu studi yang
(Arikunto, 2006).
1. Populasi
pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
2. Sampel
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau unsur yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian tertentu
(Notoatmodjo, 2003). Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat yang meliputi :
keperawatan.
D. Instrumen Penelitian
matang (Nursalam, 2003). Untuk mendapatkan alat pengumpul data yang benar-
benar valid atau dapat diandalkan dalam mengungkap data penelitian, maka
masing variabel menjadi beberapa sub variabel dan indikator. Adapun kisi-
Tempat penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 di ruang rawat
1. Perizinan Penelitian
perizinan baik dari tingkat lembaga-lembaga terkait dalam hal ini adalah
sebagai berikut :
1. Pengolahan data
sebagai berikut :
a. Verifikasi Data
b. Penyekoran
Data yang ditetapkan untuk diolah kemudian diberi skor untuk setiap
observasi, jika “Ya” dikerjakan diberi skor 1 dan jika “Tidak” tidak
2. Analisis data
: 0 x 51 = 0
: 1 x 51 = 51
Median : 0 + 51 = 25,5
2
e. 50% : setengahnya
i. 100% : seluruhnya.
39
BAB V
gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang
rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kabupaten Indramayu Umum yang terdiri dari
dengan cedera kepala berat. Hasil ini penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Perawat
a. Umur Perawat
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Umur Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
b. Pendidikan Perawat
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Lama Bekerja Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Perawat Menurut Jenis Kelamin Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara
Tabel 5.4
Distribusi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.5
Tabel 5.5
Distribusi Pelaksanaan Pengkajian Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 32 94,12
2 Dilakukan tidak adekuat 2 5,88
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.6
Tabel 5.6
43
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.7
Tabel 5.7
Distribusi Pelaksanaan Interverensi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100
44
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
Tabel 5.8
Distribusi Pelaksanaan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Berat
di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 32 94,12
2 Dilakukan tidak adekuat 2 5,88
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.9
45
Tabel 5.9
Distribusi Pelaksanaan Evaluasi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 31 91,18
2 Dilakukan tidak adekuat 3 8,82
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
keperawatan pada pasien cedera kepala berat disajikan pada Tabel 5.10
Tabel 5.10
Distribusi Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Berat di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Bhayangkara Tahun 2008
No Kategori Frekuensi %
1 Dilakukan Adekuat 30 88,24
2 Dilakukan tidak adekuat 4 11,76
Jumlah 34 100
keperawatan pada pasien cedera kepala berat di ruang rawat inap Rumah Sakit
46
B. Pembahasan
merupakan fase pertama dalam upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
keperawatan yang dihadapi pasien baik secara fisik, mental, sosial maupun
spiritual dapat ditentukan. Hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 5.6
yaitu pada pelakasanan pengkajian pada pasien cedera kepala berat yaitu
adekuat.
bahwa sebagian besar pada tahapan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Long; BC and Phipps WJ. 2005) bahwa pada tahap pelaksanaan
kuantitatif, tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (compos mentis –
otak berkurang. Pada kuantitatif perawat mengkaji GCS karena sampai saat
ini skore glaskow menjadi patokan apakah pasien mengalami cedera kepala
berat, sedang atau ringan, di samping itu GCS dapat dijadikan oleh perawat
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
tahap pengkajian meliputi tahap pemeriksaan terhadap Tanda – tanda vital dan
pasien / kondisi pasien, sehingga dapat dipantau adanya peningkatan TIK dan
termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada
48
fisiologis dan patologis termasuk adanya gangguan saraf kranial dan juga
palpasi, perkusi.
cedera kepala berat ditunjang oleh beberapa faktor pendukung pada tahap
Pada tahap pengkajian semua hal yang menjadi fokus pengkajian dapat
Solusi pada hambatan yang terjadi, solusi yang dilakukan antara lain
didapat pada Tabel 5.7 bahwa pelaksanaan diagnosa sebagian besar (91,18%)
pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. Sebagian
perifer.
dilakukan karena beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Long; BC and
efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak,
dilakukan dengan baik oleh perawat antara lain adanya laboratorium dan alat-
51
pada hambatan yang terjadi pada tahap pengkajian keperawatan yaitu format
disediakan sangat sempit sehingga tidak memadai, pada kasus cedera kepala
tindakan dan prosedur apa yang tepat dan bermanfaat dalam penegakan
diagnosa, agar informasi/data yang didapat lebih valid. Tetapi perawat dalam
yang dilakukan pada pasien cedera kepala yaitu CT-Scan dan lainnya penting
dengan adekuat, dan sebagian kecil (8,82%) termasuk ke dalam kategori tidak
muncul karena pasien dalam keadaan penurunan kesadaran (coma) yang lama
sehingga tidak ada aktifitas yang dapat dilakukan pasien, hal ini akan
pasien untuk dapat bereaksi bila ada benda asing pada sistem respirasi
dan mengusakan bersihan jalan napas tetap efektif selama pasien dalam
antaranya form renpra diruangan sudah ada berupa cheklist dan semua
masalah sudah ada dan sesuai dengan kasus. Sedangkan faktor penghambat
pada tahap ini adalah tidak tersedia form kosong renpra sehingga bila ada
lembar renpra chek list yang tidak lengkap dapat ditambahkan pada renpra
terinci dan teliti terhadap kondisi pasien dan membuat renpra tambahan yang
53
berat secara rinci per item aspek sebagai berikut: sebagian besar (88,24%)
Mengkaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan, dan
perifer
54
dengan adekuat, dan sebagian kecil (5,88%) termasuk ke dalam kategori tidak
yaitu adanya format yang telah tersedia di ruangan, walaupun demikian masih
terhadap pemberian perawatan pasien tidak hanya datang dari pasien dan
yang baik dari ruangan yang sepenuhnya mendukung kami. Pengalaman yang
kepala ruang dan ketua tim memberikan ijin untuk melakukan implementasi
terdiri dari apa yang dilakukan dan jam, tetapi ada beberapa implementasi
yang tidak dicatat karena tidak ada dalam lembar format. Satu hal yang masih
tinggal disesuaikan dengan terapi yang ada dilembar observasi pasien, yang
cara evaluasi, perawat dapat memberikan pendapat pada kuantitas dan kualitas
kepatenan jalan napas dan fungsi respirasi, sebagian besar (79,41%) perawat
cedera kepala berat antara lain evaluasi yang telah dilakukan dilakukan
perkembangan dalam bentuk SOAP dilakukan setiap hari atau per 24 jam.
SOAP ini mengacu pada perkembangan kondisi pasien dan respon pasien
tersebut dapat teratasi dengan baik sesuai tujuan yang diharapkan (Ali, 2002).
keperawatan antara lain tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d akumulasi
secret. setelah implementasi dari renpra yang dibuat semua renpra dapat
dilakukan setiap 6 jam, masalah dapat teratasi setelah perawatan, tidak ada
jaringan cerebral b.d perdarahan dan edema cerebral. Masalah diatasi setelah
yang didapat pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar (88,24%)
dengan adekuat.
adanya alat monitoring intake dan ouput cairan, adanya renpe, namun
demikian ada faktor penghambat yaitu dari tindakan perawat dalam hal
Monitoring intake dan output cairan, terutama dinas sore dan malam sering
dapat dilakukan dengan valid, kita hanya menanyakan kepada pasien sesuai
yang telah diajarkan pada pasien, solusi: melibatkan keluarga dalam pemantau
perawat/residen. SOAP setiap hari libur tidak dilakukan sehingga tidak dapat
(Bedong, 2001).
sesuai standar keperawatan sehingga bila residen tidak dinas, baik catatan
59
terhadap pasien cedera kepala berat sesuai dengan tujuan dari dokumentasi
keperawatan yaitu:
asuhan keperawatan.
keperawatan.
60
BAB VI
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit untuk menyediakan dan melengkapi fasilitas berupa alat-
diganosa keperawatan dan menkaji lebih terinci dan teliti terhadap kondisi
pasien.