Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tantang terbesar dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah

sakit dewasa ini adalah terpenuhinya harapan masyarakat akan mutu dan kapasitas

pelayanan rumah sakit. Disadari bahwa mutu pelayanan yang kurang baik akan

menyebabkan pemborosan waktu dan sumber daya, meningkatkan kesalahan-

kesalahan dalam pelakasanaan pelayanan dan meningkatkan resiko untuk terjadinya

kesulitan lainnya. Sedikitnya 85% dari masalah pelayanan kesehatan adalah pada

proses pelaksanaan pelayanan dan masalah pada proses tersebut adalah masalah

manajemen (Liana, 2004).

Pelayanan kamar operasi merupakan salah satu bentuk pelayanan yang sangat

mempengaruhi tampilan suatu rumah sakit. Seiring dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi, kegiatan bedah menjadi bentuk pelayanan kesehatan spesialistik yang

mahal, jasi harus efisien pengelolaannya. Kamar Operasi (OK) merupakan salah satu

instalasi/unit di rumah sakit dengan tugas pokok dan fungsi menyediakan sumber

daya, fasilitas, dan kompetensi untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan

pelayanan, pendidikan, dan penelitian pada pelayanan bedah sentral di rumah sakit

(http:www.depkes.or.di).

Kegiatan utama kamar operasi adalah melakukan tindakan operasi elektif atau

terencana. Kamar operasi rumah sakit harus memiliki beberapa fasilitas yang

digunakan untuk menunjang kelancaran tindakan operasi yang meliputi manajemen

1
pasien, tim operasi (perawa, operator dan anestesi), ruang operasi, fasilitas dan

peralatan dan bahan/obat habis pakai serta waktu/jam operasi (Astuty, 2005).

Instalasi Kamar Operasi RSUD Unit Swadana Subang mempunyai

motto”Pelayanan Pembedahan Yang Cepat, Tepat, Ekonomis dan Ramah serta

Mengutamakan Kepuasan Pasien”, sehingga pelayanannya dituntut sesuai dengan

prosedur tetap yang ada dan mengutamakan kepuasan pelanggannya (Profil BRSUD

Unit Swadana Subang, 2007).

Kamar Operasi BRSUD Unit Swadana Subang mempunyai beberapa kamar

operasi yang melayani bedah cito dan elektif. Dengan disatukannya pelayanan bedah

cito dan elektif di instalasi kamar operasi ini, tindakan bedah elektif sering diundur

pelaksanaannya karena harus mendahulukan pelaksanaan tindakan bedah cito yang

mendapat prioritas utama dan adakalanya bedah elektif terpaksa ditunda/dibatalkan

pelaksanaaanya. Kapasitas waktu yang tersedia dari jam 8.00 pagi sampai dengan

14.00 siang juga pada kenyataannya tidak dimanfaatkan seefisien mungkin karena

belum adanya sistem penjadwalan operasi yang baik.

Berdasarkan data rekam medis di BRSUD Unit Swadana Subang, tindakan

operasi yang mengalami keterlambatan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2008

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

2
Tabel 1.1
Jumlah Tindakan Operasi yang mengalami keterlambatan
pada bulan Januari – Juni 2008

No Bulan Jumlah tindakan


Jumlah tindakan operasi %
operasi yang mengalami
ketelambatan
1 Januari 165 68 41,21
2 Pebruari 145 75 51,72
3 Maret 129 55 42,64
4 April 167 47 28,14
5 Mei 123 73 59,34
6 Juni 116 59 50,86
Sumber : Rekam Medik BRSUD Unit Swadana Subang, 2008

Berdasarkan data tabel di atas ditemukan fakta bahwa pelaksanaan tindakan

operasi yang mengalami keterlambatan paling banyak pada bulan Mei 2008 yaitu

sebesar (59,34%). Hal ini terjadi karena protap yang berkaitan dengan waktu

keterlambatan operasi yang belum tersosialisasi dengan baik kepada operator dan

dokter, anestesi sehingga terjadi kurang pahamnya terhadap protap pengaturan

jadwal operasi, serta pemantauan/monitoring dan evaluasi pelaksanaan operasi yang

belum optimal oleh leader.

Masih belum optimalnya pelaksanaan oleh tim operasi (operator dan anestesi),

sehingga masih sering terjadi keterlambatan operasi, terutama keterlambatan operasi

pada pasien dengan urutan/jam pertama yang akhirnya mengakibatkan keterlambatan

operasi-operasi berikutnya. Apabila keterlambatan ini tidak diatasi, maka akan

memberikan kesan lambatnya pelayanan kamar operasi sehingga menyebabkan

pasien dan keluarga tidak puas. Di samping itu dari sisi pasien yang akan menjalani

pembedahan, keterlambatan ini berarti penantian yang lebih panjang serta menambah

kecemasan, sehingga keselamatan pasien (patien safety) menjadi terabaikan terutama

efektifitas antibiotik profilaksis menjadi berkurang sehingga setelah operasi resiko

3
terjadinya infeksi sangat tinggi. Di samping itu pula semakin lama pasien menunggu

operasi tingkat dehidrasi semakin tinggi khususnya pada pasien anak. Kriteri

keterlambatan operasi adalah apabila operasi dilaksanakan mundur lebih dari 30

menit dari perencanaan (jadwal operasi), keterlambatan operasi yang diamati adalah

tindakan operasi yang terjadwal pada urutan pertama di tiap kamar operasi

(Saridja, 2005).

Sering terjadinya ketidaksiapan pelaksanaan tindakan operasi di BRSUD Unit

Swadana Subang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu faktor datangnya dokter

bedah, operator, anestesi, penjdwalan, faktor pasien serta faktor meterial dan sarana.

Keterlambatan dokter, operator ataupun anestesi akan berdampak pada keterlambatan

tindakan operasi. Selain faktor tersebut, faktor penjdwalan dan penolakan pasien

pada saat akan diberikan tindakan operasi serta keterbatasan sarana dan material

menjadi salah satu penyebab terjadinya keterlambatan tindakan operasi.

Banyaknya faktor yang mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi di mana

dalam prakteknua menjadi saling terkait satu sama lain sehingga untuk

menguraikannya diperlukan pendekatan secara sistematis pada tingkat organisasi,

proses, dan individu sehingga terjadi komunikasi antar ekspert yang cukup intens

dalam pengelolaannya agar diperoleh hasil yang maksimal.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka saya merasa

tertarik untuk meniliti mengenai gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi di kamar operasi BRSUD Unit Swadana Subang

tahun 2008.

4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penelitia ini akan

diteliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi

di kamar operasi BRSUD Unit Swadana Subang tahun 2000. Adapun rumusan

masalahnya adalah: “faktot-faktor apa yang mempengaruhi keterlambatan tindakan

operasi di kamar operasi BRSUD Unit Swadana Subang tahun 2008?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi di kamar operasi BRSUD Unit Swadana

Subang tahun 2008.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor keterlambatan dokter yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi.

b. Untuk mengetahui faktor keterlambatan operator yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi.

c. Untuk mengetahui faktor keterlambatan anestesi yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi.

d. Untuk mengetahui faktor penjadwalan yang mempengaruhi keterlambatan

tindakan operasi.

e. Untuk mengetahui faktor kesediaan pasien untuk dioperasi yang

mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi.

5
f. Untuk mengetahui faktor ketersediaan material dan sarana yang

mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi Peneliti

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan

dijadikan sebagai bekal ilmu yang kelak dapat diterapkan dalam praktek

asuhan keperawatan.

2. Bagi Institusi Kesehatan

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh

rumah sakit yang diharapkan pihak rumah sakit dapat meningkatkan

kinerjanya dalam menurunkan keterlambatan tindakan operasi.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dan sumber data bagi institusi pendidikan guna

perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.

4. Bagi Perawat

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

sumber pengetahuan yang dapat menambah wawasan bagi perawat serta

mendorong perawat dalam meningkatkan kinerjnaya dalam pelaksanaan

tindakan operasi.

6
E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada faktor yang mempengaruhi

keterlambatan tindakan operasi, yaitu: keterlambatan dokter bedah, operator,

anestesi, penjadwalan, kesediaan pasien untuk dioperasi, dan ketersediaan material

sarana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross sectional.

Populasi penelitian ini adalah seluruh tindakan operasi di BRSUD Unit Swadana

Subang selama satu bulan. Cara pengambilan sampel penelitian dengan

menggunakan teknik accidental sampling.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindakan Operasi

Tindakan operasi adalah seni dan ilmu. Prosedur tindakan operasi yang

dilakukan dengan benar adalah suatu karya seni, yang memerlukan keterampilan,

sumber daya, dan imajinasi dari seluruh tim bedah. Tim mencakup anggota

pelayanan anestesi, perawata perioperatif, dan ahli bedah serta asisten bedah. Selain

itu banyak petugas penunjang lain yang kontribusinya mungkin tersembunyi, tetapi

penting (Jane, 2006).

Suatu tindakan operasi tidak berlangsung dengan sendirinya tetapi merupakan

bagian penting dari periode operatif, termasuk komponen praoperatif, dan

pascaoperatif yang mungkin setara atau bahkan lebih penting dalam semua aspek

pengalamana perioperatif (Jane, 2006).

Jelaslah bahwa ilmu bedah, penguasaan penuh atas tugas berbagai aktivitas di

ruang operasi sangat pengting bagi perawat, ahli bedah, petugas anestesi, petugas

pembantu, dan pihak lain agar pekerjaan di ruang operasi berjalan efisien. Istilah

”bedah” yang berasal dari dua kata Yunani tangan dan karya, seringkali memberi

penekanan yang kurang cermat pada aspek manual dan teknis bedah yang bermakna

dalam bidang spesialisasi yang multiaspek ini. Pemakaian kata ”bedah” sebagai

sinonim dari ”operasi” (Barbara, 2006).

8
B. Pelaksanaan Upaya Menurunkan Keterlambatan Tindakan Operasi

1. Tahap persiapan meliputi kegiatan:

a. Problem solver melaporkan hasil workshop Problem Solving For Better

Health (PSBH) kepada kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS) setelah

mengikuti workshop PSBH.

b. Kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS) mengadakan pertemuan dengan

Kepala Ruang, penanggung jawab dan pelaksana perawatan untuk

sosialisasi program dan membentuk gugus Problem Solving For Better

Health (PSBH).

c. Kepala Instalasi Bedah Sentral melakukan sosialisasi protap pengaturan

operasi kepada 9 Staf Medik Fungsional (SMF) dengan memberikan

protap pengaturan operasi.

d. Pertemuan koordinasi dengan koordinator pelayanan masing-masing Staf

Medik Fungsional (SMF) oleh direksi membahas tentang upaya

peningakatan ketepatan waktu operasi (Saridja, 2005).

2. Pelaksanaan

a. Problem solver menerima pendaftaran operasi dari instalasi-intalasi rawat

inap setiap hari.

b. Leader Instalasi Bedah Sentral (IBS) membuat jadwal operasi berdasar

usulan instalasi setiap hari.

c. Problem solver menuliskan jadwal operasi di papan tulis jadwal operasi

setiap hari.

9
d. Problem solver mengetik, menggandakan dan membagikan jadwal kepada

kepala ruang rawat inap, perawat yang bertugas di ruang terima pasien

operasi setiap hari.

e. Perawat kamar operasi mencatat pelaksanaan kegiatan operasi pada buku

register setiap hari.

f. Leader menghubungi dokter operator/anestesi melalui telepon apabila

belum datang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan setiap hari bila

ada.

g. Kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS), leader, kepala raung, perawat kamar

operasi melakukan pendekatan individu kepada dokter operatir maupun

dokter anestesi apabila terjadi keterlambatan (Saridja, 2005).

3. Evaluasi

a. Leader melakukan monitoring dan evaluasi keterlambatan operasi setiap

hari

b. Problem solver melakukan monitoring dan evaluasi keterlambatan operasi

setiap bulan dan melaporkan kepada kepala instalasi.

c. Problem solver melakukan evaluasi keterlambatan operasi diakhir

program dan melaporkan kepada rumah sakit (Saridja, 2005).

4. Kesinambungan

a. Leader melakukan pendekatan individu kepada dokter operator maupun

dokter anestesi terutama bagi yang kadang-kadang masih terlambat.

b. Kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS) memberikan feedback kepada Staf

Medik Fungsional (SMF) dari hasil yang diperoleh setiap bulan.

10
c. Menjadi budaya kerja yaitu operasi dengan tepat waktu bagi staf IBS

(dokter, perawat, administrasi, farmasi).

d. Umpan balik dari Kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS) berupa surat

kepada Kepala Staf Medik Fungsional dan Direksi ataw hasil yang telah

dicapai dan keterlambatan dokter operator/anestesi.

e. Dibentuk koordinator pelayanan Staf Medik Fungsional (SMF) untuk

mengkoordinir rencana tindakan operasi di Staf Medik Fungsional

masing-masing (Saridja, 2005).

5. Pendukung

a. Dukungan dan perhatian dari kepala Instalasi Bedah Sentral (IBS) para

dokter operator dan dokter anestesi serta perawat dan staf administrasi

IBS.

b. Semangat Tim Problem Solving For Better Health Instalasi Bedah Sentral

dan Tim Problem Solving For Better Health Rumah Sakit.

c. Dukungan persiapan pasien operasi yang baik dari ruang rawat inap

d. Penerimaan yang baik dari para dokter operator dan anestesi saat

dilakukan pendekatan individu, karena keterlambatan operasi (Saridja,

2005).

6. Kendala:

a. Pada saat penjadwalan operasi kadang ada susulan pendaftaran operasi

yang mendadak.

11
b. Ada dokter atau dokter anestesi tertentu yang kadang masih ada kegiatan

yang bersamaan sehingga operasi terpaksa operasi selanjutnya

maju/dilaksananakn lebih awal.

c. Apabila operasi yang pertama adalah dokter senior/ahli dan mengalami

keterlambatan operasi, bila operator berikutnya adalah residen akan

merasa enggan untuk mendahului (Saridja, 2005).

C. Faktor-Faktor Keterlambatan Tindakan Operasi

Beberapa faktor yang mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi adalah

sebagai berikut:

1. Dokter bedah, operator dan Anestesi

Pengaturan kinerja adalah tindakan yang manajer perawat lakukan

setiap hari. Pemberian sesi konseling, perangkulan staf untuk bekerjasama

pada jadwal yang sibuk, dan penyesuaian anggaran lembur adalah aspek-

aspek yang harus diatur dalam kinerja (Barbara, 2006).

Seorang Dokter, operator atau anestesi yang cerdik mengamati hasil

dengan cara yang bermacam-macam. Sebagai contoh, produktivitas dan

laporan utilisasi mungkin mengindikasikan produktivitas yang rendah dalam

suatu pelayanan sehingga diperlukan tinjauan ulang yang lebih mendalam

untuk menemukan penyebab.

Sebagai contoh, seorang Kepala Instalasi Bedah Sentral dapat

mengetahui kinerja perawat yang dinas malam dengan mengobservasi daftar

prosedur yang dikerjakan pada malam hari, dengan melihat kondisi

lingkungan kamar operasi pada pagi hari dan mendengarkan laporan dari

12
perawat lain. Apabila pada pagi hari, seorang Kepala Ibs tiba di kamar

operasi dan menemukan lingkungan yang berantakan, alat pembersih yang

belum disentuh, prosedur dan ruangan belum disiapkan untuk pembedahan

hari ini, dan klien tidak disiapkan untuk prosedur bedah pada pagi hari, ia

akan menyimpulkan bahwa semua staf telah terlibat dalam kegiatan

emergensi malam tadi. Jika tidak ada kegiatan emergensi, ia akan

menyimpulkan bahwa kinerja stafnya kurang baik, tanpa mengobservasi

secara langsung (Barbara, 2006).

Satu dari tugas berat Kepala IBS adalah menangani kinerja pegawai

yang tidak adekuat. Masalah ini tidak akan hilang dengan sendirinya dan

harus ditangani secara langsung dan sistematik. Penaganganan kinerja

adalah aspek penting dari manajemen kinerja. Menumpuk masalah hingga

waktu penilaian adalah pendekatan yang tidak efektif (Barbara, 2006).

Ketika kinerja yang kurang baik menuntut untuk dilakukannya

tindakan pendisiplinan yang bersifat korektif, kepala IBS dipandu oleh

protokol dari departemen sumber daya ruma sakit. Pada umumnya, tindakan

tersebut bersifat progresif, mulai dari konseling, lalu peringatan lisan,

tertulis dan pemecatan. Keterlambatan tindakan operasi pada faktor operator

dan anestesi lebih disebabkan karena terlambat,mengikuti kegiatan

pendidikan, dan absenteisme.

Satu contoh dalam menghadapi keterlambatan, yaitu jika seorang

perawat baru yang telah menjalani orientasi baru-baru ini mulai berotasi ke

pelayanan ortopedik. Hasil orientasinya dan rotasi pelayanan pertamanya di

13
bedah umum untuk mendapatkan nilai yang menonjol. Perawat tersebut

disukai oleh staf dan dokter. Dia selalu diikutsertakan dalam percakapan

santai dan saat istirahat makan (Barbara, 2006).

Untuk operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu

berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorik, serta persiapan

operasinya. Teknik anestesi dapat direncanakan dalam keadaan tidak

terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah dapat direncanakan. Untuk

diagnosis yang belum jelas, ahli anestesi dapat menyiapkan cara-cara

anestesi untuk kebutuhan bedah. Dengan kata lain waktu operasi elektif

terdapat di pihak ahli anestesi. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang

sangat berharga ini tidak ada lagi. Perawat anestesi dihadapkan pada tugas

dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang

sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi

anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah

gawat darurat ini (Barbara, 2006).

Banyak bedah gawat darurat masih dapat ditangguhkan selama 1 jam

atau lebih untuk persiapan yang lebih baik, kecuali 5 keadaan kegawatan

janin, perdarahan yang tidak terkendalikan, gangguan pernapasan yang

sangat berat, cardiac arrest.

Bila keadaan umum pasien yang kurang baik, manfaat untuk segera

dibedah harus dipertimbangkan terhadap resiko penangguhan yang

digunakan untuk persiapan yang lebih baik demi keuntungan pasien.

Tindakan bedah darurat yang kecil dapat membawa resiko anestesi besar

14
yang tidak terlihat dengan jelas pada permulaan. Penilaian klinis yang baik,

serta kemampuan untuk mengenal dan mempersiapkan diri untuk situasi-

situasi yang berbahaya adalah sangat berharga. Walaupun dokter anestesi

biasanya dibantu oleh perawat anestesi untuk memelihara peralatan dan

pengadaan obat, namun ahli anestesi tetap bertanggung jawab agar

peralatannya ada (Barbara, 2006).

2. Penjadwalan

Penjadwalan memungkinkan seorang operator mampu menjadwalkan

kasus dan sumber secara perspektif untuk memaksimalkan efisiensi ruangan

dan memperbaiki utilisasi sumber daya. Komponen penjadwalan membantu

persiapan dan pemeliharaan jadwal ruang operasi harian. Jadwal dalam

berbagai format yang ditunjukkan secara grafis memungkinkan modifikasi,

alternatif, pembatalan, pengaturan ulang jadwal, dan daftar ulang tunggu

(sesuai dengan kebutuhan).

Data penerimaan dan data demografik khusus klien yang relevan

teridentifikasi dalam bentuk yang seragan untuk prosedur yang dijadwalkan.

Banyak sistem yang mengakomodasi pesanan dokter bedah atau spesialis

seperti model penjadwalan yang datang dan dilayani pertama kali. Perkiraan

waktu prosedur bergantung pada data khusus riwayat dokter bedah,

peningkatan keakuratan, dan reliabilitas jadwal ruang operasi (Jane, 2000).

Pengaturan staf dan penjadwalan adalah kata yang sering digunakan

silih berganti; pada kenyataannya dua kata ini mewakili dua proses penting

yang berbeda yang membantu manajer perawat merencanakan dan

15
mengelola sumber daya personel. Pengaturan staf meliputi (1)

pengindetifikasian jenis pekerjaan yang akan dilakukan, (2)

mengidentifikasian jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan

tersebut, (3) pengidentifikasian tipe pekerja yang diperlukan untuk

pekerjaan tersebut, dan (4) pengembangan pola pengaturan staf untuk

penjadwalan staf. Penjadwalan meliputi: (1) pengembangan kebijakan

penjadwalan dan (2) pengembangan jadwal kerja untuk staf (Barbara, 2006).

Jumlah ruang operasi yang tersedia untuk pembedahan setiap jam per

hari adalah dasar untuk pengaturan dokter bedah, operator dan anestesi. Jam

operasi biasanya ditentukan oleh pihak ruang operasi dan administrasi

rumah sakit, yang berkolaborasi dengan komite ruang operasi yang terdiri

atas dokter bedah, ahli anestesi dan perawat.

Untuk menentukan jumlah personel yang diperlukan di ruang operasi,

diperlukan pengidentifikasian kebutuhan jumlah staf per ruang operasi.

Umumnya, setiap ruang operasi memerlukan dua orang staf, seorang

sirkulator dan seorang scrub. Peran scrub dan sirkulator bervariasi sesuai

dengan institusi, tetapi perawat terdaftar yang profesional bertanggung

jawab mengelola klien.

Meskipun dua orang staf per ruangan adalah jumlah standar

pengaturan staf, pada saat tertentu, mungkin diperlukan lebih banyak

personel. Misalnya, pemantauan klien atau pengoperasian alat berteknologi

tinggi yang menuntut penambahan staf. Sebaliknya, prosedur tertentu seperti

sistoskopi, mungkin hanya memerlukan satu perawat. Apabila dokter bedah

16
membawa scrub-nya sendiri, standar dua staf per ruangan tetap tidak

berubah, namun ruang operasi bertanggung jawab untuk memberikan hanya

satu anggota staf.

Kebijakan penjadwalan memberi kerangka kerja untuk

mengembangkan jadwal kerja staf. Bahwa jadwal kerja dilakukan secara

adil, konsisten, dalam kaitannya dengan pedoman penjadwalan yang jelas.

Penting untuk menyadari kebijakan rumah sakit yang ada, seperti perjanjian

tawar-menawar kolektif saat kebijakan penjadwalan unit dikembangkan.

Kebijakan harus mencakup tanggung jawab staf untuk bekerja shift pada

akhir minggu, merotasi shift (malam dan sore), memenuhi panggilan,

bekerja pada hari libur, dan bekerja pada shift tengah malam.

Adapun dua pendekatan yang dapat digunakan untuk penjadwalan.

Setiap rencana waktu pada penjadwalan tradisional berbeda, disesuaikan

dengan permintaan staf; penjadwalan siklus secara kontinue mengulang pola

penjadwalan tertentu. Meskipun penjadwalan tradisional lebih fleksibel,

penjadwalan siklus memungkinkan staf merencanakan waktu jauh ke depan.

Beberapa keterlambatan tindakan operasi yang berkaitan dengan

penjadwalan adalah keterlambatan waktu, ruangan, dokter , dan peralatan

diidentifikasi. Selain itu juga faktor penjadwalan meliputi waktu induksi

habis, salah jadwal, ICU tidak dapat menampung pascaoperasi, operasi

dipindahkan, dan jadwal yang tidak lengkap sehingga memungkinkan

dilakukan resolusi konflik penjadwalan yang proaktif (Barbara, 2006).

17
3. Pasien

Pasien yang akan dioperasi biasanya menjadi agak gelisah dan takut.

Perasaan gelisah dan takut kadang-kadang tidak tampak jelas. Tetapi

kadang-kadang pula, kecemasan itu dapat dilihat dalam bentuk lain. Pasien

yang gelisah dan takut seringnya bertanya terus-menerus dan berulang-

ulang, walaupun pertanyaannya telah dijawab. Ia tidak mau berbicara dan

memperhatikan keadaan sekitarnya, tetapi berusaha mengalihkan

perhatiannya pada buku atau tidak bisa tidur dan terus bergerak-gerak

(Henderson, 1997).

Pasien yang akan dioperasi diberi makanan yang berkadar lemak

rendah, tetapi tinggi karbohidrat, protein, vitamin, dan kalori. Pasien yang

kadar protein darahnya rendah, biasanya akan mengalami syok bila dibius

dan dioperasi (Oswari, 2000).

Mempertahankan masuknya makanan di dalam tubuh sampai saat

operasi tiba dan segera setelah operasi, pasien perlu diberi makanan secara

parenteral atau sering pula disebut infus. Ini perlu dilakukan karena sewaktu

pasien dibawa ke kamar bedah, perutnya dalam keadaan kosong. Keadaan

perut kosong diperlukan bila operasi dilakukan dengan pembiusan umum

memakai gas yang diisap (Jane, 2000).

Pasien harus puas 12 – 18 jam sebelum operasi dimulai. Jika operasi

dilakukan secara darurat dan pasien tidak sempat puasa terlebih dahulu,

harus diusahakan agar pasien daat memuntahkan isi perutnya. Pasien yang

18
dipuasakan selama 18 jam akan mengalami dehidrasi bila tidak diberi cairan

dan makanan secara parenteral (Barbara, 2006).

Persiapan fisik pada hari operasi, seperti biasa harus diambil catatan

suhu, tensi, nadi, dan pernapasan. Bila suhunya meningkat, perawat harus

melaporkan kepada dokter melalui kepala bangsal. Sewaktu mengukur suhu,

perhatikan pula apakah pasien kedinginan, sakit perut sesak napas. Operasi

yang bukan darurat, bila ada demam, penyakit tenggorokan, atau sedang

haid, biasanya ditunda oleh ahli bedah atau ahli anestesi (Barbara, 2006).

Pasien yang dioperasi harus dibawa tepat pada waktunya, jangan

dibawa ke kamar tunggu terlalu cepat, sebab terlalu lama menunggu tiba

waktunya operasi, akan menyebabkan pasien gelisah dan takut (Barbara,

2006).

Beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan tindakan operasi

karena faktor pasien berupa pulang paksa/menolak operasi, terdapat

penyulit, batal puasa, buang air besar, hasil laboratorium kurang lengkap,

keterlambatan kedatangan pasien, dan kesulitan pemasangan infus.

4. Material dan Sarana

Manajemen suplai menekankan pada daftar kebutuhan kontrol

inventaris yang mencakup daftar kebutuhan individu untuk mengidentifikasi

kebutuhan khusus dokter bedah terhadap kasus yang dijadwalkan, daftar

kebutuhan membantu dalam persiapan pencatatan kasus.

Kontrol inventaris secara penuh dilakukan ketika inventaris

dikeluarkan dan dikurangi karena adanya persoalan suplai dari pelaksanaan

19
inventarus atau penagihan klien. Faktor material dan sarana mencakup

peralatan yang rusak, suplai linen yang kurang, suplai implant tersendat, alat

dipakai secara bergantian, tidak tersedia darah untuk transfusi, dan

pencemaran kamar operasi.

Ruang operasi, inventaris adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan semua persediaan dan barang tang telah diperoleh rumah

sakit untuk penggunaan di masa mendatang. Barang persediaan ini masih

berada di gudang kamar operasi, kereta lemari, tempat penyimpanan kereta,

tempat penyimpanan barang-barang khusus di kamar operasi, dan kabinet di

masing-masing kamar operasi individu. Persediaan tersebut dapat berupa

steril, obat-obatan, baki untuk instrumen, atau barang lain yang digunakan di

kamar operasi (Barbara, 2006).

Suplai di ruang operasi berasal dari berbagai macam sumber yang

sebagian besar konsisten dalam organisasi. Tempat penyimpanan umum

adalah gudang yang disediakan institusi untuk menjaga ketersediaan sumber

dari item yang diperlukan secara rutin oleh banyak unit di rumah sakit.

Fungsi manajemen materi berhubungan dengan kegiatan yang

dilakukan di kamar operasi antara lain (1) memesan materi, (2) menerima

materi dan menyimpannya di tempat penyimpanan, (3) memilih/mengambil

pesanan dan mengirim materi ke masing-masing kamar operasi, (4)

menelusuri penggunaan barang, dan (5) menentukan jumlah pemesanan

untuk kebutuhan tindakan operasi

20
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian

yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2003).

Untuk memudahkan penelitian, maka penulis membuat kerangka konsep

sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut ini :

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Input Output
Proses
Keterlambatan dokter
Keterlambatan operator
Keterlambatan anestesi
Penjadwalan Terlambat
Kesediaan Pasien untuk Tindakan
dioperasi operasi
Tidak terlambat
Ketersediaan Material dan
sarana

21
B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Tidak ada pengaruh antara keterlambatan dokter bedah terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

2. Tidak ada pengaruh antara keterlambatan operator terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi

3. Tidak ada pengaruh antara keterlambatan anestesi terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi

4. Tidak ada pengaruh antara penjadwalan tindakan operasi terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi

5. Tidak ada pengaruh antara kesediaan pasien terhadap keterlambatan tindakan

operasi di Kamar Operasi

6. Tidak ada pengaruh antara ketersediaan material dan sarana terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi

22
C. Definisi Operasional

Variabel Sub variable Definisi operasional Alat Cara Skala Kategori


ukur Ukur
Faktor-faktor Keadaan atau hal-hal yang Lembar Melihat hasil Nominal 1. Tindakan operasi terlambat, jika dilakukan  30
yang menyebabkan (mempengaruhi) observasi observasi menit.
mempengaruhi terjadinya keterlambatan 2. Tindakan operasi tidak terlambat, jika dilakukan
keterlambatan tindakan operasi < 30 menit
tindakan Keterlambatan Keterlambatan dokter bedah Lembar Melihat hasil Nominal 1. Terlambat , jika datang  30 menit dari jadwal
operasi dokter bedah terhadap jadwal tindakan operasi observasi observasi yang telah direncanakan.
yang telah direncanakan 2. Tidak terlambat, jika datang < 30 menit dari
sebelumnya. jadwal yang telah direncanakan.
Keterlambatan Keterlambatan operator terhadap Lembar Melihat hasil Nominal 1. Terlambat , jika datang  30 menit dari
operator jadwal tindakan operasi yang observasi observasi jadwal yang telah direncanakan.
telah direncanakan sebelumnya. 2. Tidak terlambat, jika datang < 30 menit dari
jadwal yang telah direncanakan
Keterlambatan Keterlambatan anestesi terhadap Lembar Melihat hasil Nominal 1. Terlambat , jika datang  30 menit dari jadwal
anestesi jadwal tindakan operasi yang observasi observasi yang telah direncanakan.
telah direncanakan sebelumnya. 2. Tidak terlambat, jika datang < 30 menit dari
jadwal yang telah direncanakan
Penjadwalan Waktu tindakan bedah yang telah Lembar Melihat hasil Nominal 1. Sesuai, jika jadwal operasi tidak lengkap dan
direncanakan sebelumnya. observasi observasi salah.
2. Tidak sesuai, jika jadwal operasi lengkap dan
benar.
Kesediaan Kesediaan orang sakit yang akan Lembar Melihat hasil Nominal 1. Menolak, jika pasien menolak untuk dioperasi.
Pasien untuk mendapatkan tindakan operasi observasi observasi 2. Menerima, jika pasien menerima untuk
dioperasi dioperasi.
Ketersediaan Segala sesuatu yang dapat Lembar Melihat hasil Nominal 1. Memadai, jika material dan sarana sesuai
Material dan dipakai sebagai bahan dan alat observasi observasi dengan kebutuhan tindakan operasi.
sarana untuk tindakan operasi 2. Tidak Menerima, jika material dan sarana tidak
sesuai dengan kebutuhan tindakan operasi

23
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam hal ini adalah penelitian deskriptif dengan

pendekatan metode cross sectional, yaitu desain penelitian untuk melihat

hubungan antara variabel dependen dan variabel independent dalam periode

waktu tertentu dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat

bersamaan (sekali waktu) (Nursalam, 2003).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian (Arikunto, 2006).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tindakan operasi di Kamar

Operasi Badan Rumah Sakit Umum Daerah Unit Swadana Subang pada

bulan Nopember 2008 sebanyak 37 Tindakan operasi.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2003).

Penentuan jumlah sampel menggunakan teknik total sampling. Cara

pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling yaitu

pengambilan sampel jika ada pasien yang dilakukan tindakan operasi yaitu

sebanyak 37 tindakan operasi.

24
Adapun kriteria sampel penelitian sebagai berikut:

a. Pasien yang mendapatkan tindakan bedah umum dan khusus

b. Jenis anestesi umum dan lokal

c. Sifat tindakan operasi elektif

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau unsur yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian tertentu

(Notoatmodjo, 2003). Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas yaitu

faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan operasi dengan sub variabel meliputi:

keterlambatan dokter bedah, operator, anestesi, penjadwalan, kesediaan pasien

untuk dioperasi dan ketersediaan material dan sarana. Sedangkan variabel terikat

adalah keterlambatan tindakan operasi.

D. Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan berupa lembar observasi yang disusun

dan dikembangkan oleh peneliti sendiri. Observasi yang digunakan adalah lembar

observasi terstruktur dimana penelitian secara cermat mendefinisikan apa yang

akan diamati melalui suatu perencanaan yang matang (Nursalam, 2003).

Karena alat pengumpul data berupa lembar observasi bukan kuesioner,

maka tidak perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen terhadap lembar

observasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikuto (2006) bahwa uji validitas dan

reliabilitas instrumen penelitian hanya digunakan terhadap soal tes atau kuesioner.

25
E. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Nopember tahun 2008 di Kamar

Operasi BRSUD Unit Swadana Subang. Proses penelitian yang akan penulis

lakukan diharapkan dapat selesai dalam waktu 2 bulan mulai dari penyusunan

proposal sampai menyelesaikan laporan.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data diperoleh dari dua jenis data yaitu :

1. Data Primer

Pengumpulan data yang diperoleh secara langsung dari pengamatan

terhadap tindakan operasi.

2. Data Sekunder

Protap tindakan operasi/jadwal operasi yang ada di Kamar Operasi

BRSUD Unit Swadana Subang berupa rekam medik.

G. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data

Sesuai dengan metodologi penelitian yang sederhana dimana peneliti hanya

menggambarkan atau mendeskripsikan suatu atau situasi yang ada secara

obyketif, maka pengambilan data dan analisis data sebagai berikut:

1. Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan tahap-tahap sebagai

berikut:

26
a. Editing

Tahap pemeriksaan kelengkapan data dan kesinambungan data serta

keseragaman data, jika terdapat kesalahan atau kekurangan dapat segera

dilakukan perbaikan.

b. Coding

Memberikan simbol-simbol tertentu (biasanya dalam bentuk angka)

untuk setiap hasil observasi.

c. Entri data

Memasukkan data melalui pengolahan komputer dengan menggunakan

microsoft Exel dan disajikan dalam bentul tabel distribusi frekuensi.

d. Tabulasi Data

Tabulasi data dengan mengelompokkan sesuai dengan variabel yang

akan diteliti guna memudahkan dalam menganalisisnya.

2. Analisis data

Analisis univariat adalah suatu analisis yang menggambarkan suatu

data yang akan dibuat sendiri maupun kelompok dengan tujuan analisis

deskriptif untuk membuat gambaran secara sistematis data yang faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta yang diteliti.

Analisis data untuk variabel penelitian menggunakan uji korelasi

Person Chi-Square dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS

versi 12 dengan tujuan membuktikan ada tidaknya pengaruh antara

variabel-variabel : keterlambatan dokter bedah, operator, anestesi,

27
penjadwalan tindakan operasi, kesediaan pasien, dan ketersediaan material

dan sarana terhadap keterlambatan tindakan operasi.

Uji statistik tentang hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak,

maka dapat dilihat pada nilai p value. Jika p < 0,05 : Ho ditolak. Artinya

terdapat pengaruh antara faktor-faktor terhadap keterlambatan tindakan

operasi. Derajat atau kuat lemahnya tingkat atau derajat keeratan pengaruh

antar variabel, secara sederhana dapat diterangkan berdasarkan tabel nilai

koefisien korelasi dari Guilford Emperical Rulesi seperti tercantum dalam

tabel berikut ini:

Tabel 4.l Tingkat Keeratan Pengaruh Variabel X dan Variabel Y

Nilai Korelasi Keterangan


0,00 - < 0,20 Pengaruh sangat lemah (diabaikan, dianggap)
 0,20 - < 0,40 Pengaruh rendah
 0,40 - < 0,70 Pengaruh sedang / cukup
 0,70 - < 0,90 Pengaruh kuat / tinggi
 0,90 - < 1,00 Pengaruh sangat kuar/sangat tinggi
(Sumber : Muhidin, A, 2007).

28
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab V akan disajikan data hasil penelitian serta pembahasan mengenai

gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi di

kamar operasi di Badan Rumah Sakit Umum Daerah Unit Swadana Subang

Kabupaten Subang. Penyajian data hasil penelitian dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi dan diinterpretasikan dengan pengelompokkan variabel.

A. Hasil Penelitian

Pada hasil penelitian ini terdapat beberapa faktor yang didistribusikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi guna memperjelas interpretasi

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi

sebagai berikut:

1. Distribusi Frekuensi Keterlambatan Tindakan Operasi.

Distribusi frekuensi keterlambatan tindakan operasi dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Keterlambatan Tindakan Operasi

No Kategori Frekuensi (%)


1 Terlambat 28 75,7
2 Tidak terlambat 9 24,3
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (75,7%) tindakan operasi mengalami

29
keterlambatan, dan (24,3%) tidak mengalami keterlambatan tindakan

operasi.

2. Distribusi Frekuensi Keterlambatan Dokter Bedah.

Distribusi frekuensi keterlambatan dokter bedah dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Keterlambatan Dokter Bedah

No Kategori Frekuensi (%)


1 Terlambat 24 64,9
2 Tidak terlambat 13 35,1
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.2 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (64,9%) kedatangan dokter mengalami

keterlambatan, dan (35,1%) kedatangan dokter bedah tidak mengalami

keterlambatan.

3. Distribusi Frekuensi Keterlambatan Operator.

Distribusi frekuensi keterlambatan operator dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Keterlambatan Operator

No Kategori Frekuensi (%)


1 Terlambat 26 70,3

30
2 Tidak terlambat 11 29,7
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.3 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (70,3%) kedatangan operator mengalami

keterlambatan, dan (29,7%) kedatangan operator tidak mengalami

keterlambatan.

4. Distribusi Frekuensi Keterlambatan Anestesi.

Distribusi frekuensi keterlamabatan anestesi dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Keterlambatan Anestesi

No Kategori Frekuensi (%)


1 Terlambat 20 54,1
2 Tidak terlambat 17 45,9
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.4 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (54,1%) kedatangan anestesi mengalami

keterlambatan, dan (45,9%) kedatangan anestesi tidak mengalami

keterlambatan.

5. Distribusi Frekuensi Penjadwalan Operasi.

Distribusi frekuensi penjadwalan operasi dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Penjadwalan Operasi

31
No Kategori Frekuensi (%)
1 Tidak sesuai 26 70,3
2 Sesuai 11 29,7
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.5 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (70,3%) jadwal operasi tidak sesuai, dan (29,7%)

jadwal operasi sesuai.

6. Distribusi Frekuensi Kesediaan Pasien.

Distribusi frekuensi kesediaan pasien dapat dilihat pada tabel berikut

ini:

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Kesediaan Pasien

No Kategori Frekuensi (%)


1 Menolak 23 62,2
2 Menerima 14 37,8
Jumlah 37 100

Berdasarkan Tabel 5.6 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (62,2%) pasien menolak untuk dioperasi, dan

(37,8%) pasien menerima untuk dioperasi.

7. Distribusi Frekuensi Ketersediaan Material dan Sarana.

Distribusi frekuensi ketersediaan material dan sarana dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Ketersediaan Material dan Sarana

No Kategori Frekuensi (%)


1 Tidak memadai 27 73
2 Memadai 10 27
Jumlah 37 100

32
Berdasarkan Tabel 5.7 di atas menggambarkan bahwa dari 37

tindakan operasi terdapat (73%) ketersediaan material dan sarana untuk

tindakan operasi tidak memadai, dan (27%) material dan sarana tindakan

operasi memadai.

8. Uji Statistik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Tindakan

Operasi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keterlambatan

tindakan operasi yang disajikan dalam bentuk tabel tabel tabulasi silang

yang menunjukkan suatu distribusi bersama berikut ini:

a. Pengaruh Faktor Keterlambatan Dokter Bedah Terhadap

Keterlambatan Tindakan Operasi.

Keterlambatan dokter bedah dalam penelitian ini adalah

keterlambatan dokter bedah terhadap jadwal tindakan operasi yang

telah direncanakan sebelumnya. Seberapa besar pengaruh tersebut

dapat dilihat pada tabel tabulasi silang berikut ini:

Tabel 5.8
Crosstabulation Keterlambatan Dokter Bedah Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi
Tindakan Operasi
Mengalami Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Keterlambatan Terlambat Count
24 0 24
Dokter Bedah
% within
Keterlambatan 100,0% ,0% 100,0%
Dokter Bedah
Tidak Count
4 9 13
Terlambat
% within
Keterlambatan 30,8% 69,2% 100,0%
Dokter Bedah
Total Count 28 9 37

33
% within
Keterlambatan 75,7% 24,3% 100,0%
Dokter Bedah

Berdasarkan tabel 5.8 di atas, didapat bahwa dari 24 dokter

bedah yang datang terlambat seluruh tindakan operasi mengalami

keterlambatan sedangkan dari 13 dokter bedah yang tidak terlambat

terdapat 4 tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,000. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara keterlambatan dokter bedah terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh antara keterlambatan dokter bedah

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi. untuk

melihat bagaimana derajat keeratan pengaruh antara keterlambatan

dokter bedah terhadap keterlambatan tindakan operasi menggunakan

Contingency Coefficient yaitu 0,610 berarti memiliki pengaruh yang

kuat.

b. Pengaruh Faktor Keterlambatan Operator Terhadap Keterlambatan

Tindakan Operasi.

Keterlambatan operator dalam penelitian ini adalah

keterlambatan operator terhadap jadwal tindakan operasi yang telah

direncanakan sebelumnya. Seberapa besar pengaruh tersebut dapat

dilihat pada tabel tabulasi silang berikut ini:

34
Tabel 5.9
Crosstabulation Keterlambatan Operator Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi

Tindakan Operasi
Mengalami
Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Keterlambatan Terlambat Count
24 2 26
Operator
% within
Keterlambatan 92,3% 7,7% 100,0%
Operator
Tidak Count
4 7 11
Terlambat
% within
Keterlambatan 36,4% 63,6% 100,0%
Operator
Total Count 28 9 37
% within
Keterlambatan 75,7% 24,3% 100,0%
Operator

Berdasarkan tabel 5.9 di atas, didapat bahwa dari 24 operator

yang datang terlambat terdapat 2 tindakan operasi yang tidak

mengalami keterlambatan sedangkan dari 11 operator yang tidak

terlambat terdapat 4 tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,000. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara keterlambatan operator terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh antara keterlambatan operator

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi. untuk

melihat bagaimana derajat keeratan pengaruh antara keterlambatan

operator terhadap keterlambatan tindakan operasi menggunakan

35
Contingency Coefficient yaitu 0,512 berarti memiliki pengaruh yang

kuat.

c. Pengaruh Faktor Keterlambatan Anestesi Terhadap Keterlambatan

Tindakan Operasi.

Keterlambatan anestesi dalam penelitian ini adalah keterlambatan

anestesi terhadap jadwal tindakan operasi yang telah direncanakan

sebelumnya. Seberapa besar pengaruh tersebut dapat dilihat pada tabel

tabulasi silang berikut ini:

Tabel 5.10
Crosstabulation Keterlambatan Anestesi Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi
Tindakan Operasi
Mengalami
Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Keterlambatan Terlambat Count
19 1 20
Anestesi
% within
100,0
Keterlambatan 95,0% 5,0%
%
Anestesi
Tidak Count
9 8 17
Terlambat
% within
100,0
Keterlambatan 52,9% 47,1%
%
Anestesi
Total Count 28 9 37
% within
100,0
Keterlambatan 75,7% 24,3%
%
Anestesi

36
Berdasarkan tabel 5.10 di atas, didapat bahwa dari 20 anestesi

yang datang terlambat terdapat 1 tindakan operasi yang tidak

mengalami keterlambatan sedangkan dari 17 anestesi yang tidak

terlambat terdapat 9 tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,003. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara keterlambatan anestesi terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh antara keterlambatan anestesi

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi. untuk

melihat bagaimana derajat keeratan pengaruh antara keterlambatan

anestesi terhadap keterlambatan tindakan operasi menggunakan

Contingency Coefficient yaitu 0,439 berarti memiliki pengaruh yang

kuat.

d. Pengaruh Faktor Penjadwalan Tindakan Operasi Terhadap

Keterlambatan Tindakan Operasi.

Penjadwalan tindakan operasi dalam penelitian ini adalah waktu

tindakan bedah yang telah direncanakan sebelumnya. Seberapa besar

pengaruh tersebut dapat dilihat pada tabel tabulasi silang berikut ini:

Tabel 5.11
Crosstabulation Penjadwalan Tindakan Operasi Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi

37
Tindakan Operasi
Mengalami
Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Penjadwalan Tidak sesuai Count
Tindakan 24 2 26
Operasi
% within
Penjadwalan 92,3% 7,7% 100,0%
Tindakan Operasi
Sesuai Count 4 7 11
% within
Penjadwalan 36,4% 63,6% 100,0%
Tindakan Operasi
Total Count 28 9 37
% within
Penjadwalan 75,7% 24,3% 100,0%
Tindakan Operasi

Berdasarkan tabel 5.11 di atas, didapat bahwa dari 26

penjadwalan tindakan operasi yang tidak sesuai terdapat 2 tindakan

operasi yang tidak mengalami keterlambatan sedangkan dari 11

penjadwalan tindakan operasi yang sesuai terdapat 4 tindakan operasi

yang mengalami keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,000. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara penjadwalan tindakan operasi terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh antara penjadwalan tindakan operasi

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi. untuk

melihat bagaimana derajat keeratan pengaruh antara penjadwalan

tindakan operasi terhadap keterlambatan tindakan operasi

38
menggunakan Contingency Coefficient yaitu 0,512 berarti memiliki

pengaruh yang kuat.

e. Pengaruh Faktor Kesediaan Pasien Terhadap Keterlambatan Tindakan

Operasi.

Kesediaan pasien dalam penelitian ini adalah kesediaan orang

sakit yang akan mendapatkan tindakan operasi. Seberapa besar

pengaruh tersebut dapat dilihat pada tabel tabulasi silang berikut ini:

Tabel 5.12
Crosstabulation Kesediaan Pasien Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi

Tindakan Operasi
Mengalami
Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Kesediaan Menolak Count
Pasien
21 2 23
untuk
dioperasi
% within
Kesediaan Pasien 91,3% 8,7% 100,0%
untuk dioperasi
Menerima Count 7 7 14
% within
Kesediaan Pasien 50,0% 50,0% 100,0%
untuk dioperasi
Total Count 28 9 37

39
% within
Kesediaan Pasien 75,7% 24,3% 100,0%
untuk dioperasi

Berdasarkan tabel 5.12 di atas, didapat bahwa dari 23 pasien

yang menolak untuk dioperasi terdapat 2 tindakan operasi yang tidak

mengalami keterlambatan sedangkan dari 14 pasien yang menerima

tindakan operasi terdapat 7 tindakan operasi yang mengalami

keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,005. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara kesediaan pasien terhadap keterlambatan tindakan

operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh antara kesediaan pasien terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi. untuk melihat

bagaimana derajat keeratan pengaruh antara kesediaan pasien terhadap

keterlambatan tindakan operasi menggunakan Contingency

Coefficient yaitu 0,423 berarti memiliki pengaruh yang kuat.

f. Pengaruh Faktor Ketersediaan Material dan Sarana Terhadap

Keterlambatan Tindakan Operasi.

Ketersediaan material dan sarana dalam penelitian ini adalah

Segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai bahan dan alat untuk

tindakan operasi. Seberapa besar pengaruh tersebut dapat dilihat pada

tabel tabulasi silang berikut ini:

40
Tabel 5.13
Crosstabulation Ketersediaan Material dan Sarana Terhadap
Keterlambatan Tindakan Operasi

Tindakan Operasi
Mengalami Keterlambatan Total
Tidak
Terlambat terlambat
Ketersediaan Tidak Count
Material dan memadai 24 3 27
Sarana
% within
Ketersediaan
88,9% 11,1% 100,0%
Material dan
Sarana
Memadai Count 4 6 10
% within
Ketersediaan
40,0% 60,0% 100,0%
Material dan
Sarana
Total Count 28 9 37
% within
Ketersediaan
75,7% 24,3% 100,0%
Material dan
Sarana

Berdasarkan tabel 5.13 di atas, didapat bahwa dari 27

ketersediaan material dan sarana yang tidak memadai terdapat 3

tindakan operasi yang tidak mengalami keterlambatan sedangkan dari

10 ketersediaan material dan sarana yang memadai terdapat 4 tindakan

operasi yang mengalami keterlambatan.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji Person Chi-Square,

didapat value p dari Asymp sig.(2-sided) : 0,002. Karena nilai

p < 0,05, maka hipotesis alternatif (Ho) yang menyatakan: Tidak ada

pengaruh antara ketersediaan material dan sarana terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi “ditolak”. Dengan

41
demikian, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh antara ketersediaan

material dan sarana terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar

Operasi. untuk melihat bagaimana derajat keeratan pengaruh antara

ketersediaan material dan sarana terhadap keterlambatan tindakan

operasi menggunakan Contingency Coefficient yaitu 0,452 berarti

memiliki pengaruh yang kuat.

B. Pembahasan

1. Faktor Keterlambatan Dokter Bedah

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (64,9%) kedatangan dokter bedah mengalami keterlambatan, dan

(35,1%) kedatangan dokter bedah tidak mengalami keterlambatan. Namun

demikian, dari 24 dokter bedah yang datang terlambat seluruh tindakan

operasi mengalami keterlambatan sedangkan dari 13 dokter bedah yang

tidak terlambat terdapat 4 tindakan operasi yang mengalami

keterlambatan.

Keterlambatan dokter bedah, terdapat (18,9%) karena mengikuti

pendidikan sedangkan (81,1%) karena faktor lain. Selanjutnya

keterlambatan dokter bedah, terdapat (24,3%) karena absen atau tidak

masuk kerja dan (75,5%) keterlambatan karena faktor lain. Selanjutnya

berdasarkan hasil uji statistik bahwa nilai p < 0,05, dengan demikian ada

pengaruh kuat antara keterlambatan dokter bedah terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi.

42
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa kedatangan dokter bedah memiliki hubungan yang kuat dengan

keterlambatan tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit

Dr.Cipto Mangunkusumo.

2. Faktor Keterlambatan Operator

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (70,3%) kedatangan operator mengalami keterlambatan, dan

(29,7%) kedatangan operator tidak mengalami keterlambatan. Namun

demikian, dari 24 operator yang datang terlambat terdapat 2 tindakan

operasi yang tidak mengalami keterlambatan sedangkan dari 11 operator

yang tidak terlambat terdapat 4 tindakan operasi yang mengalami

keterlambatan.

Keterlambatan operator, terdapat (16,2%) karena mengikuti

pendidikan sedangkan (83,8%) karena faktor lain. Selanjutnya

keterlambatan operator, terdapat (21,6%) karena absen atau tidak masuk

kerja dan (78,4%) keterlambatan karena faktor lain. Selanjutnya

berdasarkan hasil uji statistik bahwa nilai p < 0,05, dengan demikian ada

pengaruh kuat antara keterlambatan operator terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa kedatangan dokter operator memiliki hubungan yang kuat dengan

keterlambatan tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit

Dr.Cipto Mangunkusumo.

43
3. Faktor Keterlambatan Anestesi

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (54,1%) kedatangan anestesi mengalami keterlambatan, dan

(45,9%) kedatangan anestesi tidak mengalami keterlambatan. Namun

demikian, dari 20 anestesi yang datang terlambat terdapat 1 tindakan

operasi yang tidak mengalami keterlambatan sedangkan dari 17 anestesi

yang tidak terlambat terdapat 9 tindakan operasi yang mengalami

keterlambatan.

Keterlambatan anestesi, terdapat (21,6%) karena mengikuti

pendidikan sedangkan (78,4%) karena faktor lain. Selanjutnya

keterlambatan anestesi, terdapat (27%) karena absen atau tidak masuk

kerja dan (73,4%) keterlambatan karena faktor lain. Selanjutnya

berdasarkan hasil uji statistik bahwa nilai p < 0,05, dengan demikian ada

pengaruh kuat antara keterlambatan anestesi terhadap keterlambatan

tindakan operasi di Kamar Operasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa kedatangan anestesi memiliki hubungan kuat dengan keterlambatan

tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit Dr.Cipto

Mangunkusumo.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rini Sunaring

Putri (2004) bahwa hanya sepertiga operator bedah dan anaestesi

melaksanakan operasi sesuai jadwal yang tertera, selebihnya mengalami

keterlambatan.

44
4. Faktor Penjadwalan Tindakan Operasi.

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (70,3%) jadwal operasi tidak sesuai, dan (29,7%) jadwal operasi

sesuai. Namun demikian dari 26 penjadwalan tindakan operasi yang tidak

sesuai terdapat 2 tindakan operasi yang tidak mengalami keterlambatan

sedangkan dari 11 penjadwalan tindakan operasi yang sesuai terdapat 4

tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Perubahan penjadwalan tindakan operasi, terdapat (40,5%)

disebabkan karena keterbatasan ruangan sedangkan (59,5%) disebabkan

karena faktor lainnya. Perubahan penjadwalan tindakan operasi karena

keterbatasan dokter sebesar (18,9%) sedangkan (81,1%) disebabkan

karena faktor lainnya. Selanjutnya hasil analisis uji statistik bahwa nilai

p < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh kuat antara

penjadwalan tindakan operasi terhadap keterlambatan tindakan operasi di

Kamar Operasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa penjadwalan tindakan operasi memiliki pengaruh kuat dengan

keterlambatan tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit

Dr.Cipto Mangunkusumo.

5. Faktor Kesediaan Pasien

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (62,2%) pasien menolak untuk dioperasi, dan (37,8%) pasien

menerima untuk dioperasi. Namun demikian dari 23 pasien yang menolak

45
untuk dioperasi terdapat 2 tindakan operasi yang tidak mengalami

keterlambatan sedangkan dari 14 pasien yang menerima tindakan operasi

terdapat 7 tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Beberapa penyebab pasien menolak untuk diberikan tindakan operasi

terdapat (70,3%) karena batal puasa, dan (43,2%) karena kesulitan

pemasangan infus pada pasien. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji

statistik didapat nilai p < 0,05, maka disimpulkan bahwa ada pengaruh

kuat antara kesediaan pasien terhadap keterlambatan tindakan operasi di

Kamar Operasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa penjadwalan operasi memiliki hubungan kuat dengan

keterlambatan tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit

Dr.Cipto Mangunkusumo.

6. Faktor Ketersediaan Material dan Sarana

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa dari 37 tindakan operasi

terdapat (73%) ketersediaan material dan sarana untuk tindakan operasi

tidak memadai, dan (27%) material dan sarana tindakan operasi memadai.

Namun demikian dari 27 ketersediaan material dan sarana yang tidak

memadai terdapat 3 tindakan operasi yang tidak mengalami keterlambatan

sedangkan dari 10 ketersediaan material dan sarana yang memadai

terdapat 4 tindakan operasi yang mengalami keterlambatan.

Beberapa ketersediaan material dan sarana yang berpengaruh

terhadap keterlambatan tindakan operasi, terdapat (51,4%) kamar operasi

46
tidak menentukan pemesanan kebutuhan operasi, dan (45,9%) kamar

operasi tidak menentukan jumlah pemesanan kebutuhan operasi.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis uji statistik didapat nilai p < 0,05,

dengan demikian ada pengaruh kuat antara ketersediaan material dan

sarana terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Liana (2003)

bahwa ketersediaan material dan sarana memiliki hubungan kuat dengan

keterlambatan tindakan operasi di Instalasi bedah Pusat Rumah Sakit

Dr.Cipto Mangunkusumo.

Ketidaksiapan pelaksanaan operasi di Instalasi Bedah Sentral Badan

Rumah Sakit Daerah Unit Swadana Subang dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti: keterlambatan dokter bedah, operator, anestesi,

penjadwalan, kesediaan pasien dan ketersediaan material dan sarana. Hasil

penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rakhmat

Nugroho (2006) bahwa terdapat empat kelompok paling besar yang sangat

mempengaruhi keterlambatan tindakan operasi, berturut-turut dari yang

paling besar adalah faktor operator dan anestesi 46,62%, faktor

penjadwalan (30,96%), faktor pasien (14,59%), serta faktor material dan

sarana (4,63%). Faktor dokter bedah, operator dan anestesi lebih

disebabkan karena terlambat, mengikuti kegiatan pendidikan dan juga

absenteisme. Faktor penjadwalan meliputi waktu induksi habis, salah

jadwal, ICU tidak dapat menampung pasca operasi, operasi dipindahkan,

dan jadwal yang tidak lengkap. Faktor pasien berupa pulang paksa/menolal

47
operasi, terdapat penyulit, batal puasa, BAB, hasil laboratorium kurang

lengkap, keterlambatan kedatangan pasien, dan kesulitan pemasangan

infus. Faktor material dan sarana mencakup peralatan yang rusak, suplai

linen yang kurang, suplai implant tersendat, alat dipakai secara bergantian,

tidak tersedia darah untuk transfusi, dan pencemaran kamar operasi.

Demikian banyak faktor yang mempengaruhi dimana dalam

prakteknya menjadi saling terkait satu sama lain sehingga untuk

menguraikannya diperlukan pendekatan secara sistem pada tingkat

organisasi, proses dan individu. Manajemen pelayanan melibatkan banyak

eskpertis yang mempengaruhi pola pelayanannya. Diperlukan komunikasi

antar ekspert yang cukup intens dalam pengelolaannya agar diperoleh hasil

yang maksimal.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh kuat secara statistik antara keterlambatan dokter bedah

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

2. Ada pengaruh kuat secara statistik antara keterlambatan operator

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

48
3. Ada pengaruh kuat secara statistik antara keterlambatan anestesi terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

4. Ada pengaruh kuat secara statistik antara penjadwalan tindakan operasi

terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

5. Ada pengaruh kuat secara statistik antara kesediaan pasien terhadap

keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

6. Ada pengaruh kuat secara statistik antara ketersediaan material dan

sarana terhadap keterlambatan tindakan operasi di Kamar Operasi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka ada beberapa saran

sebagai berikut:

1. Adanya komunikasi dan koordinasi dengan koordinator pelayanan

masing-masing Staf Medik Fungsional (SMF) oleh direksi tentang upaya

peningakatan ketepatan waktu operasi.

2. Perlunya evaluasi terhadap laporan tertulis tentang tugas/tanggung jawab

Instalasi Bedah Sentral dan tata tertib pelaksanaan tindakan bedah

khususnya mengenai kedatangan dokter bedah, operator maupun anestesi

yang telah disetujui oleh semua pihak yang terkait.

3. Perlunya perhatian administrator Rumah Sakit terhadap anggaran

pengadaan linen di Instalasi Bedah Sentral.

4. Perlu diadakan suatu survey lama operasi (alokasi waktu) berdasarkan

jenis operasi untuk memudahkan dam pembuatan waktu rencana operasi,

sehingga dapat meningkatkan utilisasi kamar operasi.

49
50

Anda mungkin juga menyukai