Anda di halaman 1dari 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang akan dipakai untuk mendukung


penelitian, sehingga perhitungan dan analisis dilakukan secara teoritis.
Sebelumnya akan diuraikan lebih dahulu permasalahan dilapangan. Uraian lebih
lengkap akan dijelaskan dalam sub bab berikut.
2.1 Tulang
2.1.1 Definisi Tulang
Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang berfungsi sebagai alat
penyokong, pelekatan, perlindungan dan penyimpanan material. Jaringan ini
dilengkapi dengan rigiditas, kekuatan yang sangat besar, serta elastisitas yang
sangat terbatas. Kemampuan jaringan ini untuk menyimpan mineral terutama
kalsium (Ca), kebanyakan dalam bentuk Kristal hidroksiapatit, merupakan sifat
utama yang membedakan tulang dari jaringan ikat lainya (Samuelson, 2007).
Tulang secara eksternal diselaputi oleh sebuah jaringan bernama
periosteum. Periosteum berisi pembuluh darah, lapisan tebal serabut kolagen yang
tersusun padat tidak beraturan, dan sel-sel yang mampu berdiferensiasi menjadi
osteoblas (sel osteogenik). Semua bagian tulang diselaputi oleh periosteum,
kecuali bagian yang terdapat artikulasi dengan tulang lainnya. Tulang memiliki
ruang internal di bagian tengahnya yaitu rongga sumsum, yang di dalamnya
terdapat sel stem dari sel darah. Rongga sumsum dilapisi oleh selapis jaringan ikat
tipis tervaskularisasi bernama endosteum. Endosteum juga memiliki sel-sel
osteogenik seperti halnya periosteum (Kalfas 2001; Samuelson 2007).
Tulang tersusun atas tiga jenis sel utama yaitu osteoblas, osteosit, dan
osteoklas. Osteoblas adalah sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen
organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak
dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Osteosit berada di
dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lacuna yang terletak di dalam
matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki penjuluran halus yang
disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lacuna yang berdekatan
sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk pertukaran nutrisi dan
sisa metabolism. Osteoklas merupakan seltoraksasa
commit user multinukleus (≥ 6-50 inti) yang

II-1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terlibat dalam resorpsi dan remodeling tulang. Osteoklas yang diketahui berasal
dari sumsum tulang, merupakan turunan dari sejumlah gabungan monosit.
2.1.2 Kanker Tulang (Osteosarcoma)
Kanker tulang (Osteosarcoma) adalah salah satu penyakit kanker yang
menyerang bagian tulang yang ditandai dengan benjolan pada daerah tersebut.
Peyakit ini juga sering disebut sebagai tumor tulang.

Gambar 2.1 Osteosarcoma


Sumber : Modern Cancer Hospital Guangzhou, China.

Penyakit kanker tulang ini bisa berupa penyakit yang masih lunak ataupun
ganas, dan yang lainnya bersifat primer dan sekunder. Berikut ini beberapa jenis
penyakit kanker tulang, (www.totalkesehatananda.com, 2012) :
1. Osteosarcoma
Merupakan kanker tulang ganas utama yang paling umum. Sering
mempengaruhi laki-laki yang berumur antara 10 sampai 25 tahun. Kanker ini
seringkali terjadi di tulang-tulang yang panjang dari lengan-lengan dan kaki-kaki
pada area-area dari pertumbuhan yang cepat sekitar lutut-lutut dan bahu-bahu
(pundak) dari anak-anak. Tipe kanker ini adalah sangat agresif dengan resiko
penyebaran ke paru-paru. Angka kelangsungan hidup dari lima tahun adalah kira-
kira 65%. commit to user

II-2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Ewing's sarcoma
Merupakan tumor tulang yang paling agresif dan mempengaruhi orang-
orang yang lebih muda yang berumur antara 4-15 tahun. Sering terjadi pada laki-
laki dan jarang terjadi pada orang-orang yang berumur lebih dari 30 tahun. Bagian
yang paling sering terkena tumor ini adalah pertengahan dari tulang-tulang
panjang dari lengan-lengan dan kaki-kaki. Angka kelangsungan hidup tiga tahun
adalah kira-kira 65%, namun angka ini akan jauh lebih rendah apabila telah
menyebar ke paru-paru atau jaringan-jaringan lain dari tubuh.
3. Chondrosarcoma
Merupakan tumor tulang yang paling umum kedua dan bertanggung jawab
pada kira-kira 25% dari semua tumor-tumor tulang yang ganas. Tumor-tumor ini
timbul dari sel-sel tulang rawan (cartilage cells) dan dapat tumbuh dengan sangat
agresif atau relatif perlahan. Tidak seperti banyak tumor-tumor tulang lain,
chondrosarcoma umum terjadi pada orang-orang berumur diatas 40 tahun. Sering
terjadi pada laki-laki dan dapat secara potensial menyebar ke paru-paru dan
simpul-simpul getah bening. Chondrosracoma mempengaruhi tulang-tulang dari
pelvis dan pinggul. Kelangsungan hidup 5 tahun untuk bentuk yang agresif adalah
kira-kira 30%, namun angka kelangsungan hidup untuk tumor-tumor yang
tumbuhnya perlahan adalah 90%.
4. Malignant Fibrous Histiocytoma (MFH)
Merupakan tumor tulang yang mempengaruhi jaringan-jaringan lunak
temasuk otot-otot, ligamen-ligamen, tendon-tendon, dan lemak. Tumor ini
biasanya terjadi pada orang-orang berumur sekitar 50-60 tahun. Paling umum
mempengaruhi anggota-anggota tubuh (kaki dan tangan) dan kira-kira 2 kali lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. MFH juga mempunyai suatu
jangkauan yang lebar dari tingkat keparahan. Angka kelangsungan hidup
keseluruhan adalah kira-kira 35%-60%.
5. Fibrosarcoma
Merupakan tumor tulang yang jauh lebih jarang daripada tumor-tumor
tulang lainnya. Sering terjadi pada orang-orang yang berumur 35-55 tahun. Tumor
ini mempengaruhi jaringan-jaringan lunak dari kaki dibelakang lutut. Lebih umum
commit to user
terjadi pada laki-laki daripada wanita.

II-3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Chordoma
Merupakan suatu tumor yang sangat jarang dengan suatu kelangsungan
hidup rata-rata dari kira-kira 6 tahun setelah diagnosis. Dapat terjadi pada orang
dewasa yang berumur diatas 30 tahun dan 2 kali lebih umum pada laki-laki
daripada wanita. Paling umum mempengaruhi kolom tulang belakang (spinal
column) ujung bawah atau ujung atas.

Faktor penyebab ostoesarcoma masih belum bisa dipastikan sepenuhnya


(Modern Cancer Hospital Guangzhou, China, 2012), namun beberapa hal yang
diketahui mungkin bisa menyebabkan osteosarcoma antara lain :

1. Cedera masa lalu


Cedera minor kronis dan infeksi kronis pada tulang di masa lalu, pada saat
bersamaan dengan pertumbuhan tulang yang berlebihan.
2. Penyakit turunan (syndrome)
Beberapa penyakit turunan yang diduga sebagai faktor penyebab kanker
tulang antara lain syndrome Rothmund-Thomson, syndrome Blomm dan
syndrome Li-Fraumeni.
3. Faktor genetik (DNA)
Pada kanker tulang terdapat suatu gangguan pada DNA sel. Gangguan
fungsi tersebut memerintahkan sel untuk tumbuh dan membelah secara tidak
beraturan. Sel-sel ini terus hidup, bermutasi dan membentuk suatu massa (tumor)
yang dapat menginvasi struktur di sekitarnya ataupun menyebar ke area tubuh
lainnya.
4. Infeksi virus khusus
Salah satu contoh virus yang diketahui dapat menyebabkan osteosarcoma
adalah virus FBJ (Francis Biklis-Johnston).
5. Aliran kembali darah yang tidak lancar.
6. Paparan sinar radiasi.

Sedangkan gejala awal yang timbul pada seseorang yang mengalami


osteosarcoma (Modern Cancer Hospital Guangzhou, China, 2012) adalah :
commit to user

II-4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Dapat terjadi deformasi patologis tulang.


2. Muncul rasa sakit pada punggung secara terus menerus dan tidak bisa
dijelaskan.
3. Tanpa sebab yang jelas, pada tubuh muncul patah tulang di satu atau banyak
tempat.
4. Karena tumor menekan pembuluh darah yang ada di syaraf, mengakibatkan
anggota tubuh distal mati rasa.
5. Permukaan tulang muncul satu benjolan yang keras, ada gejala rasa sakit atau
tidak sakit.
6. Muncul gejala meradang, berat badan turun, lelah, kemampuan beraktifitas
menurun dan lainnya.
7. Tulang dan persendian muncul rasa sakit atau bengkak, rasa sakit adalah nyeri
tumpul yang terus menerus atau sakit saat kompresi.

Untuk mendiagnosis osteosarcoma, ada 3 metode yang dapat digunakan


yaitu :
1. Scan Tulang
Dengan cara menyuntikkan sedikit dosis bahan kontras dan menggunakan
perangkat kamera khusus untuk mendeteksi, dapat menampilkan gambaran
tulang.
2. Pemeriksaan Pencitraan
Peralatan pemeriksaan misalnya sinar-X, CT scan, MRI dan peralatan
lainnya, dapat membantu dokter untuk menilai situs keterlibatan tumor.
3. Biopsi
Dengan mengambil sepotong kecil jaringan dari tumor untuk melakukan
pemeriksaan yang berkaitan dengan osteosarcoma, diantaranya meliputi :
1. Biopsi jaringan lewat aspirasi jarum
Dokter menggunakan satu jarum tipis untuk mengambil sepotong
kecil dari jaringan tumor.
2. Bedah Biopsi

commit to user

II-5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dokter memotong kulit, mengangkat jaringan tumor secara


keseluruhan atau sebagian jaringan tumor, kemudian melakukan
pemeriksaan osteosarcoma.

2.1.3 Semen Tulang (Bone Cement)


Semen tulang (bone cement) adalah bahan yang digunakan dalam bedah
ortopedi dan aplikasi gigi untuk fiksasi sendi prostesis. Mereka bertindak sebagai
distributor beban antara implan buatan dan tulang, serta mengisi bahan selfcuring
untuk tulang dan gigi berlubang (Espigares et al., 2002). Sejak 1960 PMMA telah
digunakan dalam bidang ini (Charnley, 1970), karena biostability dan sifat
mekanik yang baik. (Cameron,et.al.,1974).
Semen tulang akrilik terdiri dari dua bagian: Bagian cair: dibentuk oleh
metil metakrilat (MMA), N, N-imethyl-p-toluidin (DMpT, sebagai penggerak)
dan hydroquinone (HQ, sebagai inhibitor) dan bagian yang solid disusun oleh :
serbuk akrilik, biasanya serbuk PMMA atau kopolimernya, benzoil peroksida
(BPO) untuk memulai reaksi polimerisasi dan seringkali mereka juga termasuk
agen radiopak seperti barium sulfat, atau oksida zirkonium (Morejon et al, 2005).
Semen tulang Acrylic poli (metil metakrilat), (PMMA) telah banyak
digunakan dalam bedah ortopedi untuk penahan prostesis di pinggul total atau
penggantian lutut selama beberapa dekade (Scott dan Higham., 2003).
Penggunaan klinis dari jenis tulang semen disertai dengan beberapa komplikasi
karena sifat terbatas mekanik dan kompatibilitas miskin dengan tulang. Materi
yang rapuh dan tidak mematuhi tulang untuk menginduksi pembentukan tulang.
Selain itu, selama eksotermik polimerisasi menyebabkan kerusakan jaringan
tulang (Moursi, dkk, 2002). Beberapa peneliti telah meneliti formulasi alternatif
untuk memperbaiki catatan kekurangan di atas. Selain itu, semen tulang bioaktif
termasuk semen kalsium fosfat dan semen polimer dengan pengisi bioaktif telah
dilaporkan sebagai alternatif untuk semen tulang akrilik umum. Pilihan untuk
menyertakan aditif bioaktif dalam kombinasi dengan polimer akrilik menarik
karena kemampuan ikatan tulang dan kontribusinya terhadap sifat yang lebih tepat
dari komposit (Aiyathurai, dkk, 2005).
Bone cement dibentuk dengan cara mencampurkan antara serbuk
commit to user
hidroxyapatite (HA) yang mempunyai sifat dapat berikatan langsung dengan

II-6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tulang, dengan serbuk polymethylmethacrylate (PMMA) yang bersifat memiliki


comnpressive strength yang tinggi serta kekuatan menahan beban mekanik
(mechanical load) yang baik. Metode yang digunakan dalam pembuatan semen
tulang adalah proses metalurgi serbuk (deposisi) tanpa kompaksi, dimana tidak
terjadi proses penekanan atau pemadatan serbuk. Prinsip dari metode ini adalah
mencampurkan serbuk menjadi bentuk yang diinginkan tanpa dipadatkan
kemudian dipanaskan sehingga partikel-partikel serbuk menyatu, baik melalui
mekanisme ikatan fasa padat atau peleburan sebagian partikel. Proses
penggabungan antara matriks dan penguat dilakukan di bawah suhu titik leleh
matrik. Proses pembuatan komposit melalui fase ini, bertujuan menghindari
reaktifitas antara matrik dan penguat yang menimbulkan kegagalan dalam
pembuatan komposit, di samping itu reaktifitas material komposit terhadap
lingkungan juga dapat diminimalisasi (Fahmi, 2011).
Adapun kelebihan dari proses deposisi tanpa kompaksi ini yaitu semen
tulang yang dihasilkan mempunyai sifat customize, yaitu dapat dibentuk sesuai
dengan keinginan atau kebutuhan. Namun kekurangannya semen tulang yang
dihasilkan memiliki diametral tensile strength yang rendah dan densitas yang
rendah karena porositas yang tinggi.
2.1.4 Aplikasi bone cement sebagai bone filler
Semen tulang (bone cement) digunakan untuk mengisi celah pada tulang
(bone filler) pada bagian tulang yang telah hilang/rusak karena terkena kanker
atau penyakit tulang yang lainnya, karena sifatnya yang mudah dibentuk, mudah
mengering, dapat berikatan langsung dengan tulang serta kelebihan-kelebihan
yang lainnya. Ada 3 teknik yang sering digunakan dalam dunia kedokteran untuk
proses penyuntikan semen tulang ke dalam tulang yaitu :
1. Teknik Vertebroplasty
Dikembangkan di Perancis pada tahun 1984 dan disempurnakan di
Amerika Serikat pada tahun 1995. Caranya adalah dengan memasukkan
semen tulang dengan menggunakan jarum khusus ke tulang belakang yang
patah. Fungsinya adalah untuk menyangga dan memberi kekuatan pada
tulang dari dalam. Semen akan mengeras dalam waktu 15 menit setelah
commit to user

II-7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dimasukkan ke dalam tulang. Keesokan harinya, pasien sudah dapat


berjalan seperti sediakala.

Gambar 2.2 Vertebroplasty


Sumber : Modern Cancer Hospital Guangzhou, China.

2. Teknik Kyphoplasty
Hampir sama dengan vertebroplasty, tetapi teknik tersebut
menggunakan "balon" yang dimasukkan ke dalam tulang belakang yang
patah. Setelah itu, balon akan diisi dengan cairan sehingga dapat
menyangga tulang yang patah. Kelemahan teknik ini adalah balon harus
dikeluarkan lagi sehingga kemungkinan patah tulang dapat saja terjadi
kembali.

Gambar 2.3 Kyphoplasty


Sumber : Modern Cancer Hospital Guangzhou, China.
commit to user

II-8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Teknik Vesselplasty
Berdasarkan pengalaman dari teknik kyphoplasty dan vertebroplasty,
kini dikembangkan teknik baru bernama vesselplasty, Karena
menggunakan "balon" sebagai pengganti pembuluh darah buatan. Balon
tersebut kemudian diisi oleh bahan tulang yang mempunyai sistem hidrolik
sehingga tulang pasien dapat tegak seperti sediakala.

Gambar 2.4 Vesselplasty


Sumber : Modern Cancer Hospital Guangzhou, China.

Saat ini, Semen tulang yang dikembangkan di Indonesia memiliki sifat-


sifat tidak jauh dari produk komersil yang sudah ada. Diantaranya yaitu elastisitas,
sifat kimia dan fisikanya serta kemampuan dalam pengeringan.
Hidroxyapatite merupakan suatu kalsium fosfat yang banyak digunakan
sebagai material pengganti tulang karena kemiripannya dengan struktur kimia
tulang dan jaringan keras pada mamalia. Material ini dapat mendorong
pertumbuhan tulang baru, serta mempercepat proses penyatuan tulang. Mahalnya
bahan dasar bone filler impor yang berupa serbuk kalsium dan fosfat membuat
masyarakat di Indonesia yang menderita cacat tulang/tulang rusak kesulitan dalam
memperoleh penanganan. Hal ini member inisiatif untuk mengembangkan bahan
dasar HA dari bahan baku lokal yang lebih terjangkau yaitu gamping. Dari uji
toksisitas yang dilakukan, ditemukan bahwa HA yang dihasilkan tidak
menimbulkan racun sehingga aman untuk digunakan. Selain itu dari uji
biokompatibilitas, dapat diketahui juga bahwa HA ini mampu berinteraksi dengan
commit
jaringan tubuh makhluk hidup dengan to user
baik.

II-9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedangkan untuk polymethylmethacrylate (PMMA) digunakan teknologi


reverse engineering, yakni meneliti komposisi bone cement komersil yang
dipasarkan di luar negeri, untuk kemudian dilakukan studi literaturnya yang
hasilnya dapat digunakan untuk mengembangkan PMMA ini (Pusat Teknologi
Material BPPT, 2010).
Di Indonesia juga dikembangkan bone filler yang mempunyai kandungan
obat didalamnya. Jadi dengan memasukan bone filler tersebut ke dalam tulang,
maka obat dapat mengalir langsung ke tulang yang berpenyakit sehingga hasilnya
akan lebih cepat terasa.

2.2 Hidroxyapatite (HA)


2.2.1 Pengertian Hidroxyapatite (HA)
Hidroxyapatite (HA), Ca10 (PO4) 6 (OH) 2 merupakan jenis material
yang sering diaplikasikan dalam bidang medis diantaranya sebagai material untuk
menggantikan mineral jaringan tulang. Hal ini karena hidroxyapatite memiliki
komposisi dan kristalisaasi yang hampir mirip dengan tulang manusia yaitu
tersusun dari mineral kalsium (Ca) dan fosfat (P) yang diperoleh dari rangka
sejenis binatang karang dan diproses melalui proses hidrotermal. Selain itu
sifatnya juga tidak beracun, bioaktif, dan terserap dengan baik menjadikan
hidroxyapatite merupakan material biokeramik yang dikenal luas.
Hidroxyapatite merupakan komponen mineral utama bagi tulang manusia
dan gigi. Hidroxyapatite merupakan suatu kalsium fosfat keramik yang terdiri atas
kalsium (Ca) dan fosfat (P) dan berasal dari rangka sejenis binatang karang dan
melalui proses hidrotermal. Oleh karena itu Hidroxyapatite tidak mengalami
permasalahan dari segi kesesuaian biologi dan Hidroxyapatite juga bersifat
bioaktif yakni, dapat membentuk ikatan langsung dengan tulang. Karena itu
hidroxyapatite dapat digunakan sebagai bahan pengganti tulang misalnya untuk
mengisi dan membangun kembali tulang yang cacat
Penggunaan HA sebagai material implan untuk aplikasi medis semakin
meningkat saat ini. Beberapa penelitian seperti di India, telah memanfaatkan
bahan alam seperti batu koral, ganggang laut, dan cangkang telur ayam sebagai
commitHA.
sumber CaCO3 untuk pembentukan to user
Bahan alam diyakini lebih dapat

II-10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diterima oleh tubuh karena memiliki persamaan sifat fisik dan kimia (Nurlaela,
2009). Dua penggunaan HA yang paling umum antara lain sebagai pelapis implan
titanium atau sebagai bahan pembentuk komposit (Pattanayak et al. 2005).

Gambar 2.5 Struktur Kimia Hidroksiapatit


Sumber : Universidad Nacional Autónoma de México

HA banyak digunakan dalam dunia orthopedik karena sifat fisis, kimia,


mekanis, dan biologisnya sangat mirip dengan komponen utama tulang manusia
(Pattanayak et al. 2005; Pane 2008). Sifat HA yang paling menarik adalah
kemampuan biokompatibilitasnya yang sangat baik. HA mampu berkontak dan
menyatu secara kimiawi dengan jaringan tulang (Pane 2008). Selain itu, HA
memiliki beberapa sifat yang menonjol lainnya yakni: osteokonduktif, berpori,
bioresorbabel, bioaktif, tidak korosi, inert, tahan aus (Samsiah 2009), serta mudah
didapatkan dalam jumlah banyak (Pane 2008).
2.2.2 Sifat Mekanik Hidroxyapatite
Beberapa sifat mekanik dari hidroxyapatite antara lain :
1) Modulus elastisnya 85 GN m-2
2) Kekuatan tariknya 40-100 MN m-2.
3) Hidroxyapatite yang berbasis senyawa kalsium fosfat yang mempunyai
rumus kimia Ca10 (PO4) 6 (OH) 2 merupakan bagian keluarga apatit
(struktur kimia sama tetapi komposisi kimia yang berbeda).
4) HA dapat diproduksi dalam 2 metode utama yaitu menggunakan bahan
mentah dari bahan alamicommit
(tulangtosapi
userdan karang) dan secara sintetis.

II-11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bahan alami sesuai karena memiliki koneksi pori-pori yang sama seperti
tulang manusia, namun masalah pencemaran dan benda asing yang ada
telah membatasi penggunaannya Dengan demikian, produksi HA sintetis
telah diberi fokus secara meluas untuk mengatasi masalah tersebut

Sifat mekanis merupakan faktor yang membatasi penggunaan


Hidroxyapatite (HA) sebagai implan pada bagian yang menanggung beban tinggi.
HA yang memiliki sifat mekanis yang baik perlu diperluas lagi penggunaannya
dalam bidang kedokteran pada masa depan. Umumnya faktor yang mempengaruhi
sifat mekanis HA adalah bentuk serbuk, pori-pori dan besar butir. Serbuk HA
yang memiliki stoikiometri yang tepat yaitu rasio molar Ca/P sebanyak 1,67 dapat
menghasilkan sifat mekanis HA yang unggul (Suchanek dan Yoshimura, 1998).
Pori-pori HA yang letaknya tidak teratur dan tidak saling berhubungan satu sama
lain (tidak rekat) menyebabkan pori-pori menjadi faktor yang melemahkan
kekuatan bahan HA (Smith, 1996). Ukuran butir juga menurunkan kekuatan
bahan HA dengan mempengaruhi ikatan antara butir (Smith, 1996).

Gambar 2.6 Serbuk Hidroksiapatit


Sumber : Dahong Industrial .CO.,LTD

Hidroxyapatite merupakan suatu kalsium fosfat yang banyak digunakan


sebagai material pengganti tulang atau untuk bone filler (pengisi tulang) karena
kemiripannya dengan struktur kimia tulang
commit dan jaringan keras pada mamalia.
to user

II-12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Material ini dapat mendorong pertumbuhan tulang baru, serta mempercepat proses
penyatuan tulang. Dengan sifat-sifat mekanik dan struktur kimia yang dimiliki
sehingga HA banyak digunakan sebagai implan tulang femur (paha) manusia dan
dalam aplikasi bidang medis lainnya.

2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Hidroxyapatite


Kelebihan dari hidroxyapatite sehingga cukup aman digunakan sebagai
bahan implant (Hydravianto, Laron, 2011) adalah :
1) Sifatnya yang non toxic.
2) Cepat membangun ikatan dengan tulang (bioaktif).
3) Mampu melewati growth factor dan chemotherapeutic agents.
4) Bersifat osteokonduktif dan osteogenik.
5) Mampu menstimulasi material biologis yang dibutuhkan untuk bone
formation.
6) Dapat berfungsi sebagai bone scaffold yang sangat baik.
7) Memiliki biokompatibilitas dengan jaringan sekitar.
8) Mendorong pertumbuhan tulang baru dalam strukturnya yang berpori.

Namun, kelemahannya, pori-pori hidroxyapatite ini tidak teratur dalam


bentuk dan ukuran serta tidak sepenuhnya saling berhubungan satu sama lain. Hal
ini menyebabkan porositas hidroxyapatite yang dihasilkan tinggi, akibatnya
struktur keramik hidroxyapatite tidak kompak sehingga apabila digunakan sebagai
implant ortopedik karakteristiknya rapuh atau mudah patah (Hydravianto, Laron,
2011).
Karena hal tersebut, dikembangkanlah IP-CHA (Interconnecte Porous
Hydroxypatite Ceramics) yaitu hidroxyapatite yang memiliki porositas 75%,
ukuran rata-rata pori 150 mm dan rata-rata koneksi antar pori 40 mm, sehingga
karakteristiknya lebih padat atau kompak.
2.2.4 Aplikasi Hidroxyapatite sebagai bahan implant tulang
Umumnya tulang manusia terdiri dari 2 komponen utama yaitu dua
pertiga fasa non organik dan sepertiga fasa organik. Sebagian besar fasa organik
tersusun dari kolagen berukuran nano. Dan penyusun yang lain yaitu protein,
commit to user
lemak dan polisakarida yang memberikan sifat fleksibel, elastis dan kuat.

II-13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sebagian besar fasa non organik terdiri dari hidroxyapatite dalam bentuk jarum
berukuran panjang 40 nm, lebar 20 nm dan tebal 5 nm. Selain itu, juga tersusun
dari mineral- mineral yaitu karbonat, sodium, magnesium, fluorida, klorida,
kalium dan pirofosfat. Kandungan mineral ini memberikan kekerasan dan
melindungi tulang dari patah. Apabila tahap mineral meningkat maka ia akan
meningkatkan kekuatan dan kekakuan tulang (Follet et al, 2004). karena
hidroxyapatite mempunyai komposisi kimia dan struktur campuran yang hampir
sama dengan tulang manusia, maka hidroxyapatite sangat sesuai digunakan untuk
penggantian dan perbaikan jaringan tulang manusia yang rusak.

2.3 Polymethylmethacrylate (PMMA)


2.3.1 Karakteristik PMMA
Polymethylmethacrylate (PMMA) lebih dikenal dengan nama acrylic,
memiliki warna yang bening transparan. Tidak hanya sekedar transparan, PMMA
juga sedikit sekali menyerap sinar yang melalui material tersebut. Disinilah letak
perbedaan optis yang utama antara kaca dan acrylic. Walaupun bening, kaca
menyerap sinar yang masuk sehingga semakin tebal kaca tersebut maka semakin
sedikit sinar yang dapat melaluinya, maka sifat transparannya makin berkurang.
Pada acrylic, penyerapan sinar yang terjadi demikian kecil sehingga walaupun
ketebalannya bertambah, sifat transparannya tidak banyak terpengaruh.

Gambar 2.7 Struktur Kimia PMMA


Sumber : Polymer Science Learning Center, The University of Southern
Mississippi.
commit to user

II-14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perbedaan yang lain adalah kaca lebih bersifat getas dan dibandingkan
acrylic. Acrylic bersifat lebih elastis, sehingga secara teknis lebih dapat bertahan
pada hentakan tekanan dinamik. Karena sifatnya yang food safe, tidak
memungkinkan berkembangnya mikroorganisme. Bersifat hidrofobik/sifatnya
menolak air.

Gambar 2.8 Serbuk PMMA


Sumber : Sonepa Plastic Recycling

2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan PMMA Sebagai Implant Tulang

Kelebihan dari PMMA adalah :

1. Memiliki kekuatan mekanik, khususnya compressive strength yang


tinggi.
2. Memiliki kekuatan yang baik dalam menahan beban mekanik
(mechanical load).
3. Food safe, sehingga tidak memungkinkan berkembangnya
mikroorganisme.
4. Bersifat hidrofobik / sifatnya menolak air.

Kelemahan dari PMMA (Hydravianto, Laron, 2011), antara lain :

1. Tidak bioactive.
2. Tidak dapat berikatan / menyatu dengan tulang host.
commit to user
3. Tidak bisa melakukan remodeling.

II-15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Tidak dapat melewati growth factor dan chemotherapeutic agents.


5. Tidak osteokonduktif dan biokompatibel.
6. Tidak mampu menstimulasi material biologis yang dibutuhkan untuk
bone formation.
7. Tidak biodegradable.
8. Monomer yang dirilisnya saat pembedahan berlangsung dapat
menyebabkan hipotensi berat.
9. Exothermic reaction-nya dapat menyebabkan bone necrosis sehingga
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan osteolisis.

2.4 Sintering
Sintering merupakan proses pemanasan dibawah titik leleh dalam rangka
membentuk fase kristal baru sesuai dengan yang diinginkan dan bertujuan
membantu mereaksikan bahan-bahan penyusun baik bahan keramik
maupun bahan logam. Proses sintering akan berpengaruh cukup
besar pada pembentukan fase kristal bahan. Fraksi fase yang terbentuk umumnya
bergantung pada lama dan atau suhu sintering. Semakin besar suhu sintering
dimungkinkan semakin cepat proses pembentukan kristal tersebut. Besar kecilnya
suhu juga berpengaruh pada bentuk serta ukuran celah dan juga
berpengaruh pada struktur pertumbuhan kristal (Setyowati, 2008).
Berdasarkan pada ada tidaknya kompaksi (penekanan/pemadatan), proses
sintering dibagi menjadi 2 yaitu sintering dengan kompaksi dan sintering tanpa
kompaksi. Sintering dengan kompaksi memiliki keunggulan yaitu porositas yang
dihasilkan rendah sehingga kekuatan mekaniknya lebih optimal. Namun
kelemahannya material hasil sintering dengan kompaksi bersifat tidak customize,
yaitu tidak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan / kebutuhan. Sebaliknya
sintering tanpa kompaksi akan menghasilkan material yang bersifat customize
namun memiliki porositas yang tinggi dan kekuatan mekanik yang lebih rendah.
Pada proses sintering, terjadi proses pembentukan fase baru melalui proses
pemanasan dimana pada saat terjadi reaksi komponen pembentuk masih dalam
bentuk padat dari campuran serbuk. Hal ini bertujuan agar butiran-butiran (grain)
dalam partikel-partikel yang berdekatan dapat bereaksi dan berikatan. Proses
commit to user
sintering fase padat terbagi menjadi tiga fase, yaitu:

II-16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Tahap awal
Pada tahap awal ini terbentuk ikatan atomik. Kontak antar partikel
membentuk leher yang tumbuh menjadi batas butir antar partikel. Pertumbuhan
akan menjdi semakin cepat dengan adanya kenaikan suhu sintering. Pada tahap ini
penyusutan juga terjadi akibat permukaan porositas menjadi halus.
b. Tahap menengah
Pada tahap ini terjadi desifikasi dan pertumbuhan partikel yaitu butir kecil
larut dan bergabung dengan butir besar. Akomodasi bentuk butir ini menghasilkan
pemadatan yang lebih baik. Pada tahap ini juga berlangsung penghilangan
porositas. Akibat pergeseran batas butir, porositas mulai saling berhubungan dan
membentuk silinder di sisi butir.
c. Tahap akhir
Fenomena desifikasi dan pertumbuhan butir terus barlangsung dengan laju
yang lebih rendah dari sebelumnya. Demikian juga dengan proses penghilangan
porositas, pergeseran batas butir terus berlanjut. Apabila pergeseran batas butir
lebih lambat daripada porositas maka porositas akan mucul dipermukaan dan
saling berhubungan. Akan tetapi jika pergeseran batas butir lebih cepat daripada
porosositas maka porositas akan mengendap di dalam produk dan akan sulit
dihilangkan
Produk yang dihasilkan diharapkan memiliki densitas yang tinggi dan
homogen, maka pada proses sintering harus terjadi homogenisasi. Jika terdapat
lapisan oksida pada serbuk logam, proses sintering yang diharapkan bisa menjadi
lebih lambat. Selain lapisan oksida ini menyebabkan produk yang dihasikan
menjadi lebih getas, lapisan oksida tersebut juga menghambat proses difusi antar
partikel serbuk saat sintering dan meningkatkan temperatur sintering. Lapisan
oksida yang menempel pada serbuk terbentuk akibat kontak antar permukaan
serbuk dengan udara dan akibat perlakuan yang diterima serbuk saat proses
produksi metalurgi serbuk berlangsung. Oksida pada serbuk dapat diminimalkan
dengan mengalirkan gas reduksi sebelum atau sewaktu sintering berlangsung

Masalah utama yang muncul untuk memperoleh densitas yang tinggi


selama proses sintering adalah proses coarsening (material kasar) yang
commit to user
menyebakan driving force untuk proses densifikasi menjadi berkurang. Interaksi

II-17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini terkadang diekspresikan dengan pernyataan bahwa sintering merupakan proses


yang didalamnya terdapat kompetisi antara densifiksi dan coarsening. Jika
dominasi yang terjadi adalah proses densifiksi maka akan diperoleh material yang
padat sedangkan jika dominasi yang terjadi adalah proses coarsening maka akan
diperoleh material yang memiliki porositas yang tinggi.

2.5 Diametral Tensile Strength (DTS)


Salah satu sifat resin komposit yang terpengaruh oleh degradasi matriks
adalah diametral tensile strength, yaitu kekuatan terhadap gaya yang
menyebabkan material menjadi meregang atau memanjang sebelum akhirnya
material tersebut pecah (Eduardo,2006). Sifat ini akan berpengaruh terhadap
kekuatan resin komposit untuk menerima beban pengunyahan (Levartorvski,
1994). Uji diametral tensile strength dilakukan pada material rapuh dengan
sedikit atau tidak ada perubahan bentuk plastis (Anusavise, 2003). Beban
diberikan oleh sebuah plate terhadap spesimen silindris. Gaya compressive
vertikal di sepanjang diskus menghasilkan tensile stress yang tegak lurus dengan
vertical plane yang melewati pusat diskus. Fraktur biasanya terjadi di sepanjang
plane ini (Eduardo, 2006 ; Pallin, 2003)
Diametral Tensile Strengh dihitung dengan menggunakan alat uji tekan
yang berkecepatan 2,14 mm / min. Sampel ditempatkan secara datar dan tegak
lurus terhadap penekan sehingga beban yang diterapkan pada diameter spesimen.
Diameter sampel sebesar 6 mm dan tebal 3 mm (ASTM F451-95).

Gambar 2.9 Diametral Tensile Strength


commit to user
Sumber : Property of Materials, Quizlet

II-18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Beban maksimum diterapkan untuk mematahkan spesimen dicatat dan


dihitung menggunakan rumus dibawah ini :

2p
𝐷𝑇𝑆 = 0,098 𝑥 …………………...……………persamaan 2.1
π.d.t

Keterangan :
DTS = Diametral Tensile Strengh (Mpa)
p = Gaya tekan / pressure (kgf)
π = Koefisien (3,14)
d = Diameter spesimen (cm)
t = Tebal spesimen (cm)
Sedangkan satuan diametral tensile strength adalah Megapascal (Mpa).
Alat yang digunakan untuk mengukur diametral tensile strength dengan
kecepatan 2,14 mm/menit.
Informasi alat Uji yang digunakan :
Pearson Panke Equipment LTD
1-3 Hale Grove, London NW 7
Salter Weight-Tronix
Capacity = 200 N
No Serial = 9743

Gambar 2.10 Alat Uji diametral tensile strength


commit to user
Sumber : Laboratorium Material Bahan UGM

II-19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.6 Densitas dan Porositas

2.6.1 Densitas
Densitas adalah jumlah zat yang terkandung dalam suatu unit volume.
Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap
volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi
dengan total volumenya . Dalam persamaan densitas dapat dinyatakan dalam tiga
bentuk (Torriselly, 2008), yaitu :

a) Densitas massa
Perbandingan jumlah massa dengan jumlah volume. Dirumuskan
dalam persamaan sebagai berikut :

m
𝜌= …………………………….……….persamaan 2.2
v

Dimana : ρ = massa jenis (densitas)


m = massa (gr)
V = volume (cm³)
Satuan densitas adalah g/cm³

b) Berat Spesifik
Berat spesifik adalah nilai densitas massa dikalikan dengan
gravitasi,
Dirumuskan dengan persamaan :
ɣ = ρ.g …………………………………….persamaan 2.3
Satuan dari berat spesifik ini adalah N/m³, nilai ɣ air adalah 9.81 x 10³
N/m³.

c) Densitas Relatif
Densitas relatif juga disebut sebagai specific grafity (s.g) yaitu
perbandingan antara densitas massa dengan berat spesifik suatu zat
terhadap densitas massa atau berat spesifik dari suatu zat standart, dimana
commit to user

II-20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang dianggap memiliki nilai zat standar adalah air pada temperatur 4° C.
Densitas relatif ini tidak memiliki satuan.

Di dalam dunia medis, untuk menghitung densitas dari tulang dapat


menggunakan 2 cara yaitu :

1. CT scan (Computerized Axial Tomography Scan)


CT (CAT) scan atau Computerized Axial Tomography Scan adalah
prosedur x-ray yang mengombinasikan banyak gambar x-ray untuk
memperoleh gambaran melintang serta gambar tiga dimensi dari struktur-
struktur dalam tubuh (Stoppler, 2010). Scan ini dilakukan dengan
pengambilan gambar x-ray tubuh dari berbagai sudut pandang tubuh.
Gambar-gambar ini kemudian diproses komputer untuk menghasilkan
gambar-gambar penampang melintang tubuh dua dimensi, dan dapat
digabungkan menjadi suatu gambar tiga dimensi bila diperlukan.
CT scan dilakukan untuk menganalisa struktur dalam tubuh, seperti halnya
mengidentifikasi infeksi serta tumor pada kepala. CT juga dapat dilakukan
untuk mengukur kerapatan tulang, khususnya bagian vertebral, dalam
evaluasi osteoporosis, karena kemampuannya untuk memberikan gambaran
anatomis secara akurat. Akan tapi, metode ini jarang dilakukan untuk
pengukuran kerapatan tulang, karena biayanya yang mahal, serta
menggunakan radiasi yang cukup banyak (Jathar, 2009). Adapun nilai
kerapatan dihitung melalui gambar yang diperoleh.

2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Cara serupa juga dapat dilakukan dengan MRI (Magnetic Resonance
Imaging). MRI scan adalah teknik radiologi yang menggunakan medan
magnet, gelombang radio, dan komputer untuk menghasilkan gambaran
struktur tubuh (Shiel, 2010). MRI menggunakan scanner khusus berupa
tabung yang dilingkari oleh magnet. Pasien yang diperiksa, dimasukkan ke
dalam tabung. Magnet menghasilkan medan magnet kuat yang menyearahkan
proton-proton hidrogen, kemudian dipaparkan gelombang radio. Hal ini akan
membuat proton-proton di dalam tubuh menghasilkan suatu sinyal yang
commit to user
dideteksi oleh receiver dan diproses oleh komputer untuk menghasilkan

II-21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

gambar. Gambar yang dihasilkan sangat detail dan beresolusi tinggi. Dari
gambar tersebut dapat diperoleh nilai kerapatan tulang, selayaknya pada CT
scan.

Table 2.1 Relative mass and density for arm, forearm, leg, and foot based on data
from six embalmed cadavers (from Clarys & Marfeel-Jones,1986)
RELATIV DENSITY
BODY
TISSUE E MASS -3
SEGMENT [gcm ]
[%]
Skin 6.90 1.050
Adipose 36.45 0.945
ARM
Muscle 41.85 1.049
Bone 14.80 1.224
Skin 8.35 1.051
FOREAR Adipose 23.55 0.961
M Muscle 51.50 1.054
Bone 16.60 1.308

Skin 6.00 1.055


Adipose 28.95 0.958
LEG
Muscle 42.70 1.042
Bone 22.35 12.075
Skin 13.25 10.586
Adipose 30.95 0.992
FOOT
Muscle 24.70 1.037
Bone 31.10 11.525

2.6.2 Porositas
Porositas (p) adalah perbandingan antara volume rongga-rongga pori
terhadap volume total keseluruhan suatu benda (Koesoemadinata, 1980).
volume pori −pori
𝑝 = volume × 100% …………..……….persamaan 2.4
keseluruhan

Pori disini merupakan ruang di dalam benda yang selalu terisi oleh gas
atau udara. Porositas efektif yaitu apabila bagian rongga pori-pori di dalam suatu
benda saling berhubungan. Porositas efektif biasanya lebih kecil daripada rongga
pori-pori total yang biasanya berkisar dari 10% sampai 15%. Porositas residual
adalah porositas yang besarnya merupakan perbandingan antara volume pori yang
commit to user
tidak berhubungan dengan volume keseluruhan.

II-22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Porositas tertentu dapat berkisar dari nol sampai besar sekali, namun
biasanya berkisar antara 5 sampai 40 persen, dan dalam prakteknya berkisar hanya
dari 10 sampai 20 persen saja. Porositas 5 persen biasanya disebut porositas tipis
(marginal porosity) dan umumnya bersifat non komersiil, kecuali jika
dikompensasikan oleh adanya beberapa faktor lain. Secara teoritis porositas tidak
bisa lebih besar dari 47,6 persen. Hal ini disebabkan karena keadaan yang berlaku
untuk porositas jenis intergranuler.

Berdasarkan kualitasnya, porositas dapat dibagi menjadi beberapa jenis (


Koesoemadinata, 1980), yaitu :
1. Intergranuler : pori-pori terdapat di antara butir
2. Interkristalin : pori-pori terdapat di antara kristal
3. Celah dan rekah : pori-pori terdapat di antara celah atau rekahan
4. Pin-point porosity : pori-pori merupakan bintik-bintik terpisah tanpa
terlihat sambungan.
5. Tight : butir-butir berdekatan dan kompak sehingga pori-pori kecil sekali
dan hampir tidak ada porositas.
6. Dense : hampir tidak ada porositas
7. Vugular : rongga-rongga besar dan berbentuk tidak beraturan sehingga
porositasnya besar
8. Cavernous : rongga yang lebih besar dari vugular.

Berdasarkan kuantitasnya, porositas dapat dibagi menjadi beberapa jenis


yaitu :
1. (0% - 5%) : dapat diabaikan (negligible)
2. (5% - 10%) : buruk (poor)
3. (10% - 15%) : cukup baik (fair)
4. (15% - 20%) : baik (good)
5. (20% - 25%) : sangat baik (very good)
6. (>25%) : istimewa (excellent)
Adapun cara untuk menghitung porositas relatif suatu komposit berdasarkan
densitas masing-masing zat pencampurnya adalah sebagai berikut :
commit to user

II-23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1 𝑉𝑓′ 𝑉𝑓"
= 𝑃𝑓′ + 𝑃𝑓"…………..………………………....persamaan 2.5
Pc

Dimana Pc = porositas relatif


Vf’= persentase zat pertama
Pf’ = massa jenis zat pertama
Vf” = persentase zat kedua
Pf”= massa jenis zat kedua
Sedangkan untuk menghitung porositas massa suatu benda digunakan persamaan
di bawah ini :

𝑃𝑐−𝑃𝑕𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
𝑝 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 = x 100%…………..…….persamaan 2.6
𝑃𝑐

dimana :
p mass a = porositas massa (%)
Pc = porositas relatif
𝑃𝑕𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = densitas hasil perhitungan

2.7 Metode Taguchi


Metode Taguchi diperkenalkan oleh Dr. Genichi Taguchi pada tahun 1940
yang merupakan metodologi baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas produk dan proses, serta dalam waktu yang bersamaan
menekan biaya dan sumber-sumber seminimal mungkin. Pendekatan Metode
Taguchi berupaya mencapai sasaran itu dengan menjadikan produk atau proses
robust dengan berbagai faktor seperti misalnya material, perlengkapan
manufaktur, tenaga kerja manusia, dan kondisi-kondisi operasional. Oleh karena
itu Metode Taguchi disebut juga sebagai Robust Design. Metode Taguchi
menghasilkan kesimpulan mengenai faktor-faktor dan taraf dari faktor tersebut
yang menghasilkan respon yang optimum dan metode ini hanya fokus pada
pendekatan untuk karakteristik respon tunggal atau sigle response (Liao, 2004).

Metode Taguchi menggunakan seperangkat matriks khusus yang disebut


Orthogonal Array. Matriks standar ini merupakan langkah untuk menentukan
jumlah percobaan minimal yang dapat
commitmemberikan
to user informasi sebanyak mungkin

II-24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

semua faktor yang mempengaruhi parameter. Orthogonal Array merupakan suatu


pondasi dalam mendesain sebuah eksperimen dengan menggunakan metodologi
Taguchi. Dr. Taguchi mengadopsi Orthogonal Array tidak hanya untuk
menghitung pengaruh dari faktor dalam kasus dari hasil rata-ratanya, tetapi juga
untuk menentukan variasi dari rata-rata hasil terebut (Peace, 1992). Orthogonal
Array adalah suatu matriks yang elemen-elemennya disusun menurut baris dan
kolom. Setiap kolom merepresentasikan faktor atau kondisi tertentu yang dapat
diubah dari suatu percobaan ke percobaan lainnya. Masing-masing kolom
mewakili faktor-faktor yang dari percobaan yang dilakukan. Baris merupakan
keadaan dari faktor. Array disebut orthogonal karena setiap level dari masing-
masing faktor adalah seimbang (balance) dan dapat dipisahkan dari pengaruh
faktor yang lain dalam percobaan. Orthogonal Array matriks seimbang dari faktor
dan level, sedemikian hingga pengaruh suatu faktor atau level tidak berbaur
(confounded) dengan pengaruh faktor atau level yang lain. Notasi orthogonal
array dapat dituliskan, sebagai berikut :

Lx(Ny)…………………………………………..…………persamaan 2.7

Dimana,

L = menentukan latin squares (matriks yang diatur dengan seimbang


yang dibutuhkan untuk eskperimen statistik)
x = menunjukkan jumlah baris
N = menunjukkan jumlah level
y = menunjukkan jumlah kolom
Sebagai contoh Orthogonal Array L8(27), memiliki 8 perlakuan dalam
eksperimen atau kombinasi dari faktor-faktornya yang saling dihubungkan dalam
running eksperimen dan memiliki 7 kolom yang mewakili faktor dan interaksi
yang terhubung dalam ekperimen serta memiliki 2 level pada masing-masing
kolomnya. Tabel 2.2 berikut akan memperjelas kombinasi matriks dalam
Orthogonal Array L8(27) (Peace, 1992).

commit to user

II-25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2 Orthogonal Array L8(27)


Faktor
EXP
A B C D E F G
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 2 2 2 2
3 1 2 2 1 1 2 2
4 1 2 2 2 2 1 1
5 2 1 2 1 2 1 2
6 2 1 2 2 1 2 1
7 2 2 1 1 2 2 1
8 2 2 1 2 1 1 2

Orthogonal array yang terdiri dari faktor terkontrol atau faktor yang
secara langsung dapat dikendalikan dalam eksperimen disebut dengan inner array
dan posisinya berada disebelah kiri dari stuktur eksperimen. Sedangkan array
untuk noise faktor atau faktor tidak terkontrol sering disamakan dengan sebutan
outer array oleh karena itu posisi untuk outer array berada di sebelah kanan atau
di atas faktor terkontrol (Peace, 1992). Tabel 2.3 berikut akan memperlihatkan
struktur eksperimen Orthogonal array (inner dan outer array).
Tabel 2.3 Inner and outer array
Noise Factors
K * * *
. * * *
. * * *
O 1 * *
Eksperimenal Control Factors & Interaction M 1 * *
Run A B C . . i N 1 * *
1 1 1 1 * * *
2 * * * * * *
3 * * * * * * eksperimen
. * * * * * * data
. * * * * * *
. * * * * * *
j * * * * * *
2.7.1 Optimasi Setting Level kasus Multirespon pada Metode Taguchi
Usulan pendekatan oleh Refaie, dkk. (2010) untuk menyelesaikan masalah
multirespon dalam metode Taguchi dengan dasar pemikiran adalah rata-rata dari
S/N rasio untuk masing-masing level faktor dari masing-masing respon yang
dibobotkan dengan Signal-to-Noise (S/N ratio) terbesar untuk faktor tesebut.
Kemudian, rata-rata pembobotancommit
dari to user respon merupakan perhitungan
semua

II-26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kualitas yang digunakan untuk menentukan setting level faktor optimal. Untuk itu,
level faktor yang berhubungan dengan rata-rata pembobotan terbesar dari
keseluruhan level faktor yang dihitung akan menjadi level optimal untuk faktor
tersebut. Adapun langkah-langkah dari usulan pendekatan untuk menyelesaikan
kasus multirespon pada metode Taguchi sebagai berikut:

1. Hitung nilai S/N ratio (η) untuk semua respon.

Taguchi memperkenalkan pendekatan S/N ratio guna meneliti pengaruh


faktor noise terhadap variansi yang timbul. Terdapat beberapa jenis S/N ratio
yang tergantung pada karakteristik kualitas yang diinginkan, yaitu:

a. Smaller-The-Better (STB)

Karakteristik kualitas ini meliputi pengukuran dimana semakin rendah


nilainya maka kualitasnya akan lebih baik (non negatif). Misalnya waktu
penyelesain tugas, keausan dan sebagainya. Nilai S/N untuk jenis karakteristik
kualitas Smaller-The-Better adalah

1
S/Nstb = - 10 log ∑𝑦𝑖2 ……………..…….……..……..persamaan 2.8
𝑛

dengan,

n = jumlah pengulangan eksperimen

yi = data pengamatan ke-i (i=1,2,3,…..,n)

b. Large-The-Better (LTB)
Karakteristik kualitas ini meliputi pengukuran dimana semakin besar
nilainya maka kualitasnya akan lebih baik. Misalnya batas kekuatan, tingkat
penghematan bahan bakar. Nilai S/N untuk jenis karakteristik Large-The-
Better adalah sebagai berikut:
1 1
S/Nltb = - 10 log ∑𝑛𝑖=1 2 ……………………….……….persamaan 2.9
𝑛 𝑦

dengan,
n commit
= jumlah pengulangan to user
eksperimen

II-27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yi = data pengamatan ke-i (i=1,2,3,…..,n)

c. Nominal-The-Best (NTB)

Pada karakteristik kualitas ini biasanya ditetapkan suatu nilai nominal


tertentu dan semakin mendekati nilai nominal tersebut, kualitas semakin baik.
Nilai S/N untuk jenis karakteristik kualitas Nominal-The-Best adalah sebagai
berikut:

𝜇2
S/Nntb = 10 log 10 …..………………..……..………...persamaan 2.10
𝜎2

dengan,

1 1
𝜇 = 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑌𝑖 ; 𝜎 2 = 𝑛 ∑𝑛𝑖=1(𝑌𝑖 − 𝜇)2

d. Signed Target (ST)

Memiliki karakteristik kualitas yang dapat digunakan, baik bernilai positif


maupun negatif meskipun target nilai dari karakteristik kualitasnya adalah 0.
Sehingga signal to noise ratio dapat dihitung dengan rumus :
S/Nst = -10log10 σ2 ................................................................persamaan 2.11
dengan,
σ = deviasi
e. Fraction Defective (FD)
Memiliki karakteristik kualitas yang sebanding dan dinyatakan dalam nilai
pecahan antara 0 sampai 1, sehingga signal to noise ratio dapat dihitung
dengan rumus :
1
S/Nfd = -10log10 − 1 ……………………...…...……….persamaan 2.12
𝑝

dengan,
p = nilai kecacatan produk dalam pecahan

2. Hitung nilai rata-rata S/N ratio (η) dari masing-masing level faktor semua
respon.

commit to user

II-28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sebuah faktor proses diasumsikan sebagai l yang bekerja pada level k untuk
suatu respon j, kemudian ηjlk sebagai jumlah dari ηj untuk eksperimen pada level
k dari faktor l dan 𝜂𝑗𝑙𝑘 akan menjadi rata-rata dari ηjlk.

3. Hitung nilai wjlk (weight) level k untuk faktor l dari respon j.


Nilai wjlk dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Untuk karakteristik kualitas STB:

𝑚𝑎𝑥 𝑘 𝜂 𝑗𝑙𝑘
wjlk = ................................................................. persamaan 2.13
𝜂 𝑗𝑙𝑘

Untuk karakteristik kualitas LTB dan NTB:

𝜂 𝑗𝑙𝑘
wjlk = ................................................................. persamaan 2.14
𝑚𝑎 𝑥 𝑘 𝜂 𝑗𝑙𝑘

Hasil perhitungan nilai wjlk dari faktor l untuk masing-masing respon j


adalah bernilai antara 0 sampai 1. Kemudian hitung nilai 𝑤𝑗𝑙𝑘 sebagai rata-rata
dari wjlk semua respon dan estimasikan nilai 𝑤𝑙𝑘 untuk semua level dari faktor l.
Nilai 𝑤𝑙𝑘 terbesar menunjukkan performa yang lebih baik. Oleh karena itu level
faktor yang berhubungan dengan nilai 𝑤𝑙𝑘 (𝑘 = 1,2, … . 𝑘) maksimum merupakan
level optimal dari faktor l.
Refaie, dkk. (2010) memberikan usulan pendekatan yang lebih efektif
dengan mengikuti contoh permasalahan optimisasi setting level faktor yang sudah
diteliti pada penelitian sebelumnya sebagai pembanding. Anticipated improvement
merupakan hasil dari pengurangan jumlah S/N ratio pada kondisi faktor level
optimal dengan S/N ratio faktor level awal penelitian sebelumnya. Total
anticipated improvement terbesar mempresentasikan kondisi yang lebih optimal
atau performa yang lebih baik.
Tabel 2.4 Anticipated improvement (Refaie, dkk., 2010)

commit to user

II-29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2.4 di atas menerangkan bahwa pada kolom anticipated improvement


terdapat beberapa metode optimisasi yang memiliki nilai total anticipated
improvement dengan nilai terbesar yaitu pada kolom proposed approach. Hal ini
menjelaskan bahwa usulan pendekatan yang dilakukan oleh Refaie, dkk, memilki
performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode optimasi lainnya
seperti genetic algoritm, weighted quality loss, PCA dan DEAR.

2.7.2 Penentuan Faktor Berpengaruh untuk Kasus Multirespon pada Metode


Taguchi
Jeyapaul (2006) melakukan penelitian untuk mengetaui faktor berpengaruh
dalam pelaksanaan eksperimen untuk kasus multirespon yang dilakukan dengan
analysis of variance (ANOVA). Penentuan faktor berpengaruh dilakukan dengan
memisahkan variansi total dari normalisasi signal to noise ratio semua respon
dengan menghitung jumlah kuadrat deviasi dari total rata-rata normalisasi SN
ratio yang dikontribusikan ke masing-masing parameter proses dan error. Dengan
yij merupakan nilai SN ratio untuk eksperimen ke i untuk respon ke j
dinormalisasikan (Zij) dengan persamaan sebagai berikut:

Untuk SN ratio large-the-better (LTB) ………………………...… persamaan 2.15

𝑦𝑖𝑗 − min(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛)


𝑍𝑖𝑗 =
max(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛) − min(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛)

Untuk SN ratio smaller-the-better (STB) ……………………...… persamaan 2.16

max(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛) − 𝑦𝑖𝑗


𝑍𝑖𝑗 =
max(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛) − min(𝑦𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛)

Untuk SN ratio nominal-the-best (NTB) ………………………… persamaan 2.17

commit to user

II-30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

𝑦𝑖𝑗 − target − min(|𝑦𝑖𝑗 − target|, 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛)


𝑍𝑖𝑗 =
max(|𝑦𝑖𝑗 − target|, 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛) − min(|𝑦𝑖𝑗 − target|, 𝑖 = 1,2,3 … . 𝑛)

Hasil dari perhitungan penjumlahan normalisasikan (Zij) masing-masing


respon inilah yang nantinya dikontribusikan ke masing-masing karakteristik
parameter proses untuk mengetaui faktor yang berpengaruh dengan perhitungan
ANOVA.

2.7.3 Filosofi dan Kelebihan dari Metode Taguchi


Taguchi (2001) menyatakan bahwa Metode Taguchi merupakan
metodologi baru dalam bidang teknik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
produk dan proses serta dapat menekan biaya kualitas dan resources seminimal
mungkin. Sasaran Metode tersebut adalah menjadikan produk tidak sensitif
terhadap noise, sehingga disebut sebagai robust design.

Ross (1996) menjelaskan bahwa filosofi Metode Taguchi terhadap kualitas


terdiri dari tiga buah konsep, yaitu :
1. Kualitas harus didesain ke dalam produk dan bukan sekedar memeriksanya.
2. Kualitas terbaik dicapai dengan meminimkan deviasi dari target, produk
harus didesain sehingga robust terhadap faktor lingkungan yang tidak dapat
dikontrol.
3. Biaya kualitas harus diukur sebagai fungsi deviasi dari standart tertentu dan
kerugian harus diukur pada seluruh tahapan hidup produk.

Kelebihan Metode Taguchi dibandingkan dengan desain eksperimen yang


lain, meliputi ;

1. Metode Taguchi lebih efisien karena memungkinkan untuk melaksanakan


percobaan yang melibatkan banyak faktor tetapi jumlah unit percobaan yang
diperlukan relatif kecil.
2. Metode Taguchi memungkinkan diperolehnya suatu proses yang
menghasilkan produk lebih konsisten dan kurang sensitif (robust) terhadap
commit
variabilitas yang disebabkan oleh to user yang tidak dapat dikendalikan
faktor-faktor

II-31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(noise). Hal ini disebabkan karena robust design memperhatikan pengaruh


faktor kontrol dan faktor noise terhadap rata-rata dan variabilitas suatu
performansi secara bersama-sama.
3. Metode Taguchi menghasilkan kesimpulan mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap suatu respon dan kesimpulan mengenai taraf-taraf faktor
terbaik yang akan menghasilkan respon yang optimum.

Keunggulan lain Metode Taguchi yang cukup fenomenal adalah


transformasi data eksperimen dalam bentuk Signal-to-noise ratio (SNR). SNR
bahkan diklaim mampu memilih kombinasi level yang mengoptimalkan respon
baik dari sisi rata-rata maupun variasi data percobaan bahkan dari sisi biaya
kualitas (Belavendram,2001), karena SNR mengakomodasi quality loss function
serta dapat disesuaikan dengan jenis optimasi yang diinginkan (nominal the best,
smaller the better, larger the better). Hal inilah yang menjadi ide dasar istilah
robut design, yakni desain parameter produk yang handal dan meminimalkan
adanya variasi antar produk serta kerugian biaya kualitasnya ketika akan
dilakukan produksi secara massal. Namun, keunggulan ini juga mengandung titik
kelemahan Taguchi, yakni tidak adanya prosedur untuk menemukan level-level
baru untuk setiap faktor selain level-level yang telah ditentukan sebelumnya.
Artinya, Taguchi hanya mencari kombinasi level-level faktor untuk
mengoptimalkan respon, tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan
menggeser level faktor ke arah optimal yang lebih baik.

2.8 Response Surface Methodology (RSM)


Response Surface Methodology atau RSM adalah kumpulan dari
matematik dan teknik statistik yang digunakan untuk memodelkan dan
menganalisa respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dengan tujuan utama
yaitu untuk optimasi respon itu (Montgomery, 2001). Perhatikan suatu
eksperimen yang melibatkan k buah faktor atau prediktor X1, X2, …., Xk dengan
Y variabel terikat atau variabel respon. Untuk semua variabel ini yang dapat
diukur dan diketahui atau barang kali diduga bahwa Y sebagian atau
commit
keseluruhannya merupakan respon X2, …., Xk dan secara umum ditulis
to user
dari X1,

II-32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam bentuk Y = f(X1, X2, …., Xk). Inilah yang selanjutnya di sini akan disebut
sebagai response surface. Untuk k=1, diperoleh Y = f(X1) atau cukup ditulis Y =
f(X), merupakan garis respon.

Untuk menentukan persamaan response surface, beberapa desain atau


model telah dirumuskan agar dengan menggunakan eksperimen sesedikit mungkin
persamaan tersebut dapat didekati. Dalam hal berdimensi dua, untuk respon yang
paling sederhana persamaan atau modelnya adalah

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 +∈ ……………………persamaan 2.18

Model diatas biasa disebut persamaan order pertama mengingat pangkat


prediktornya besarnya satu.

Jika karena sesuatu kejelasan model tidak berorder satu seperti di atas,
maka mungkin harus diambil model berorder dua yang bentuk umumnya

𝑦 = 𝛽0 + ∑𝑘𝑖=1 𝛽𝑖 𝑥𝑖 + ∑𝑘𝑖=1 𝛽𝑖𝑖 𝑥𝑖2 + ∑ ∑𝑖<𝑗 𝛽𝑖𝑗 𝑥𝑖 𝑥𝑗 +∈……..persamaan 2.19

Semua koefisien β dalam model-model di atas, nantinya ditaksir


menggunakan metode kuadrat terkecil (least squares) berdasarkan data hasil
eksperimen sehingga meminimalkan jumlah kuadrat-kuadrat kekeliruan ε.
Untuk membantu kejelasan dari response surface digunakan grafik
contour plot dimana respon y diplotkan terhadap prediktor x1 dan x2 seperti pada
Gambar 2.3 berikut (Montgomery, 2001):

commit to user
Gambar 2.11 Contour plot response surface

II-33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Interaksi antara faktor terkendali dengan faktor noise adalah kunci robust
design. Oleh karena itu, diperlukan logika model dari suatu respon yang
mencakup faktor terkendali dan noise faktor beserta interaksi keduanya. Untuk
mengilusatrasikan, misal terdapat dua faktor terkendali x1 dan x2 dan satu noise
faktor z1. Jika diasumsikan kedua faktor terkendali dan noise di notasikan dengan
kode variabel, dengan kode 0 untuk nilai tengah dan batas atas dan bawah pada ±α
dan jika kita mempertimbangkan untuk menyertakan persamaan order pertama
faktor terkendali, maka diperoleh model persamaan:

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + 𝛾1 𝑧1 + 𝛿11 𝑥1 𝑧1 + 𝛿21 𝑥2 𝑧1 + 𝜖………….persamaan 2.20

Perlu diingat bahwa model tersebut memiliki efek utama dari kedua faktor
terkendali, faktor noise dan interaksi antara kedua faktor terkontrol dan noise.
Tipe model ini, yang terdiri dari faktor terkendali dan noise faktor disebut dengan
respon model. Kegunaan yang utama dari pendekatan respon model ini adalah
kedua faktor terkendali dan noise dapat di tempatkan dalam suatu single
eksperimen desain yaitu struktur inner dan outer array dari pendekatan Taguchi
dapat diletakkan. Desain yang terdiri dari kedua faktor terkendali dan noise ini
sering disebut dengan combined array design (Montgomery, 2001).
Myer dan Montgomery (2001) mendiskripsikan sebuah metode multi
respon dengan sebutan desirability. Desirability merupakan suatu fungsi objektif
dari 0 batas terluar sampai 1 pada tujuannya. Untuk beberapa respon dan faktor
level secara keseluruhan ditujukan untuk dikombinasikan ke dalam satu fungsi
desirability, D(x). Berikut ini merukan rumus fungsi objektif desirability:
1
𝐷 = (𝑑1 × 𝑑2 × … × 𝑑𝑛 )𝑛 ……………………………………...…..persamaan 2.21

dimana n adalah jumlah dari respon yang dianalisis.


Untuk optimisasi, masing-masing respon harus memiliki nilai tinggi dan
rendah dengan nilai tujuan maksimum, minimum, target atau dalam rentang
tertentu. Maksud dari parameter nilai tujuan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

Maksimum:
commit to user
d1 = 0 , jika respon < nilai rendah

II-34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d1 = 1 , jika respon > nilai tinggi

0 ≤ d1 ≤ 1 merupakan variasi rentang respon dari rendah ke tinggi.

Minimum:
d1 = 1 , jika respon < nilai rendah
d1 = 0 , jika respon > nilai tinggi

1 ≥ d1 ≥ 0 merupakan variasi rentang respon dari rendah ke tinggi.

2.8.1 Kelebihan Response Surface Methodology (RSM)

Keunggulan RSM, secara praktis tidak terlihat secara langsung model first
order maupun second order tersebut. Ketika persamaan pertama tidak
memberikan lack-of-fit, maka Montgomery (1997) menyatakan bahwa titik
optimal tidak terdapat pada desain first order tersebut. Untuk itu, level faktor yang
diteliti harus “digeser” sedemikian rupa ke arah optimalisasi respon. Proses inilah
yang disebut sebagai steepest ascent/descent.
Pergeseran level-level faktor menuju ke arah kondisi respon optimum
inilah yang menjadi keunggulan di dalam RSM. Tidak hanya berhenti pada level-
level faktor yang sudah ditentukan pada saat eksperimen first order, namun juga
dapat melacak titik optimum respon di luar area level eksperimen first order.
Persamaan kedua akan diterapkan pada area yang telah mengandung titik optimal
tersebut melalui eksperimen lanjutan dengan desain khusus seperti central
composite design atau box-behnken design (Box and Behnken, 1960 di dalam
Myers dan Montgomery, 1995).

2.9 Perbandingan Antara Metode Taguchi dan Response Surface


Methodology (RSM)

Response Surface telah lebih dahulu muncul sebagai alat analisis optimasi
pada skala industri. Berbagai asumsi statistika maupun matematika yang melekat
pada metode ini, menjadi sebuah keunggulan sekaligus kekurangan dalam aplikasi
praktisnya. Keunggulan Response Surface sangat terlihat ketika model matematis
memenuhi seluruh asumsi statistik yang melekat sehingga optimasinya menjadi
commit
tidak bias. Hasil sebaliknya terjadi to salah
ketika user satu saja asumsi tersebut tidak

II-35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terpenuhi. Taguchi, hadir beberapa dekade kemudian, dan memberikan tahapan


optimasi yang sangat praktis. Dasar pembentukan desain Taguchi tetap mengacu
pada desain eksperimen klasik. Namun, tidak adanya asumsi statistik yang
mengikuti tahapan analisisnya membuat metode ini banyak dipilih oleh para
praktisi. Taguchi tidak mampu memberikan arah optimasi sebagaimana Response
Surface mengakomodasi adanya “steepest ascent/descent”. Bagaimanapun, kedua
metode ini dapat saling melengkapi ataupun justru menjadi dua metode yang
saling berkompetisi dalam proses optimasi mesin produksi.
Ketika sebuah titik optimal akan dicari melalui eksperimen yang
melibatkan beberapa faktor, maka seharusnya eksperimen tersebut didesain
sedemikian rupa agar level-level faktornya mencakup area respon yang
mengandung titik optimal. Dengan demikian, titik optimal yang didapatkan bukan
“local optimum” namun dapat mencapai atau paling tidak mendekati posisi
“global optimum” dari variabel respon.
Steepest ascent/descet pada RSM adalah prosedur yang mampu menggeser
level faktor eksperimen menuju area global optimum. Di lain pihak, Taguchi
cukup puas dengan mendapatkan local optimum saja dengan mencari kombinasi
level-level faktor yang telah ditentukan sebelumnya. Taguchi tetap menjadi
pilihan dalam mencari titik optimum karena kemudahan prosedurnya serta
desainnya yang robust.

Gambar 2.12 Global dan local optimum permukaan respon


commit to user

II-36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.10 Pemakaian Dua Alat Optimasi, Taguchi dan RSM


RSM dan Taguchi, dalam tataran praktis seharusnya dapat menjadi sebuah
aternatif, dan bahkan dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Sebenarnya RSM dan Taguchi adalah dua metode yang mempunyai basis desain
eksperimen yang saling melengkapi namun juga saling melemahkan. RSM dapat
melengkapi kelemahan dari Metode Taguchi dalam hal pencapaian titik optimal
untuk eksperimen yang melibatkan beberapa faktor sehingga titik optimal yang
didapatkan mencakup area global optimum bukan local optimum dari variabel
respon. Sedangkan Taguchi melengkapi RSM dalam hal kemudahan prosedur
untuk mencari titik optimum serta desainnya yang robust.
Integrasi antara keduanya sangat mungkin dilakukan, terutama dalam
proses penentuan level-level faktor eksperimen yang secara praktis terkadang sulit
untuk ditentukan dan hanya berbekal pengalaman praktis operator mesin. Ketika
dua metode ini di integrasikan, maka konsep optimasi di dalam RSM akan
berdampingan dengan konsep Robust di dalam Taguchi. Pertimbangan utama
tetap pada tujuan untuk menemukan titik global optimum, sehingga desain
Taguchi yang terlebih dahulu sudah mempertimbangkan first order RSM, akan
memberikan titik optimum.

commit to user

II-37

Anda mungkin juga menyukai