Anda di halaman 1dari 23

CEDERA KEPALA

(TRAUMATIC BRAIN INJURY)

Nurrahmi Aisyah,dr
I.1 Pendahuluan

Dalam cedera otak traumatis penyebab utama kematian bagi orang-orang di bawah usia
45. terjadi setiap 15 detik . Sekitar 5 juta orang Amerika saat ini menderita beberapa
bentuk cacat TBI (Trauma Brain Injury) . Penyebab utama TBI adalah kecelakaan lalu lintas,
jatuh , dan cedera olahraga .

Coup - Contrecoup Injury


Two image illustration showing coup caused by the primary impact
and the secondary impact or contrecoup injury.

Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah perlu
dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-
kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar
atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci
meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya
benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya
benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang,
kelemahan motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa
serta adanya nyeri kepala, mual muntah.
I.2 Pembahasan

Anatomi Kepala dan Otak

Kulit Kepala (SCALP)

Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:

1. Skin atau kulit


2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika  jaringan ikat berhubungan langsung dengan
tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar à Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
Karena SCALP mempunyai suplay aliran darah yang banyak, maka perlikaan scalp bisa
mengakibatkan banyak kehilangan darah, syok hemoragic, dan bahkan kematian. Hal ini
bisa terjadi pada penderita dnegan waktu transport yang lama.

Tulang Kepala

Dasar tulang tengkorak tidak rata , yang dapat menyebabkan cedera ketika otak bergerak
terhadap tengkorak pada saat akselerasi dan deselerasi. Fossa anterior menjadi tempat
lobus frontal, fossa media menjadi tempat lobus temporal, dan fossa posterior menjadi
tempat bagi brainstem bagian bawah dan serebellum.

Otak

Serebrum  Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat
pusat bicara.

Serebelum  Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

Batang otak  Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran
dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.

Sistem Ventrikel

Ventrikel adalah suatu sistem yang terdiri dari ruangan yang berisi LCS dan aquaduktus di
dalam otak. LCS secara terus menerus diproduksi dalam ventrikel dan diserap di
permukaan otak. Adanya darah dalam LCS dapat mengganggu reabrsorbsi LCS,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, Edema dan Lesi massa (mis, hematoma)
dapat menyebabkan pendorongan ventrikel yang seharusnya simetris, dan dapat secara
mudah terlihat pada gambaran CT scan otak.

Kompartemen Intrakranial

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :

1. Supratentorial à terdiri fosa kranii anterior dan media


2. Infratentorial à berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan
medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial. 
Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau
edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil
mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan
penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi
bola mata kelateral dan bawah. Bagian otak yang biasanya mengalami herniasi melalui
hiatus tentorium adalah bagian medial dari lobus temporal, disebut dengan uncus.

Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah
satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi
neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak
terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua
mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan
TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan
peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003).
CEDERA KEPALA KHUSUS

Fraktur Tulang Tengkorak

Fraktur tulang tengkorak merupakan keadaan dimana tulang tengkorak mengalami retak
atau patah. Fraktur tulang tengkorak bisa mencederai arteri dan vena, sehingga
menyebabkan perdarahan di sekeliling jaringan otak. Fraktur di dasar tengkorak bisa
menyebabkan robekan pada meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang
terdapat diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri
terkadang dapat memasuki tulang tengkorak melalui patahan tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.

Sebagian besar patah tulang tengkorak yang ringan tidak memerlukan pembedahan,
kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan
yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menimbulkan berbagai
gejala seperti :

 Kebingungan,
 Sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal;
 Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam
atau hari.
 Beberapa penderita merasa pusing, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.

Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
tetapi jarang sampai lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio.

Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita


sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah
gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang
beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa
mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis.

Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak
diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu
mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejala-gejala yang ada tidak
semakin berat, biasanya untuk meredakan nyeri dapat diberikan asetaminofen.
Gegar Otak & Robekan Otak

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya disebabkan
oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan pada
jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang
tengkorak.

Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. Pemeriksaan MRI
menunjukkan adanya kerusakan fisik pada otak yang bisa bersifat ringan atau bisa juga
sampai menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang disertai dengan
penurunan kesadaran atau bahkan koma.

Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan akan
lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada.

Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam


otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi
karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam
pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).

Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala adalam beberapa
menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau
hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan
pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan
menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada
perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan
pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung,
atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama
pada usia lanjut.

Hematoma

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara


meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih
cepat memancar. Sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul
beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam
kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Kemudian bisa terjadi
kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat
penting dan biasanya tergantung pada hasil CT scan. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber
perdarahan.
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan
bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat
kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural
yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena
rapuhnya vena) dan pada orang alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejala tidak dihiraukan. Pada hasil pemeriksaan CT
scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis, biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Indikasi dilakukannya pembedahan ini adalah
adanya sakit kepala yang menetap, rasa mengantuk yang hilang-timbul, linglung,
perubahan ingatan, dan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Klasifikasi Trauma Kapitis


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya
flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-
nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak
sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak
ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari


Traumatic Brain Injury yaitu

Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury

Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit


Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 – 15

Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam


Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9 - 12

Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam


Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8

( Sumber : Brain Injury Association of Michigan , 2005)


Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara
lain:

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow


Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga
pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor
dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS.
Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien
menjadi :

• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale

Eye Opening
Spontaneous Opens eyes on own E4
Speech Opens eyes when 3
asked to in a loud
voice
Pain Opens eyes upon 2
pressure
Pain Does not open eyes 1
Best Motor Response
Commands Follows simple M6
commands
Pain Pulls examiner’s 5
hand away upon
pressure
Pain Pulls a part of body 4
away upon pressure
Pain Flexes body 3
inappropriately to
pain (decorticate
posturing)
Pain Body becomes rigid 2
in an extended
position upon
pressure
(decerebrate
posturing)
Pain Has no motor 1
response
Verbal Response (Talking)
Speech Carries on a V5
conversation
correctly and tells
examiner where
he/she is, who
he/she is and the
month and year
Speech Seems confused or 4
disoriented
Speech Talks so examiner 3
can understand
victim but makes no
sense
Speech Makes sounds that 2
examiner cannot
understand
Speech Makes no noise 1
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan, 2005 )

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm
adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua
hasilnya harus dicatat .
( sumber ; Greaves dan Johnson, 2002 )

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar.
Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan
tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan, dan memar.

Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974 (Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS
merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera
kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera
terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat
kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam
menentukan prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS
sesudah resusitasi kardio pulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS.
Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata
yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat
menjadi prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid )
mempunyai mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera
dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk.,
1996 dalam Sastrodiningrat,2007).

1.3 Penatalaksanaa Cedera Kepala


Penatalaksanaan cedera kepala bertujuan mempertahankan fisiologi umum tubuh,
penanganan segera akibat cedera primer, pencegahan atau meminimalkan cedera
kapala sekunder dengan penanganan peningkatan tekanan intrakranial,
mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat. Derajat klinis pada
penanganan cedera kepala dibagi atas:
1. Standard : Prinsip-prinsip penanganan pasien dengan tingkat kepastian klinis
yang tinggi.
2. Guidelines : Tingkat kepastian klinis moderate
3. Option : kepastian klinis belum jelas
Prinsip Dasar Penanganan Cedera Kepala
 Monitor tekanan intrakranial beserta penurunannya.
 Elevasi kepala 30 derajat.
 Terapi medika mentosa untuk penurunan udem otak
Penurunan aktivitas otak, menurunkan hantaran oxygen dengan induksi koma.
 Pembedahan dekompresi
 Terapi Profilaksi terhadap kejang.

Terapi Farmakologi
1. Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi,
jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa
Hiperventilasi fase akut (option): pada peningkatan tekanan intrakranial
pertahankan PaCO2 pada 25-30 mmHg, hindari Pa CO2< 25 mmHg
(vasokonstriksi).
2. Terapi hiperosmoler -manitol (guideline) merupakan osmosis diuretis. Efek
ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat
dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan
menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran
darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang
akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun
peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi
skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal
ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma,
pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik,
pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal
dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan
pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas
serum < 320 ml osmol/L.
Koma barbiturat (guideline)
Koma barbiturat dilakukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskular
adekuat. Mekanisme kerja barbiturat: menekan metabolism serebral,
menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus
vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi
burst.

Cairan garam hipertonis :


Cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline
hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular
euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%,
asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap
4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.

Kortikosteroid
Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan
intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden
dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan
signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan
outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%),
perdarahan traktus gastrointestinal (85%).

NUTRISI (guideline)
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang
lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30%
akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan
140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari.
Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Terapi prevensi kejang (guideline)
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK,
penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat
mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling).
Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu
pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi,
gangguan elektrolit, infeksi.
Terapi suportif yang lain : pasang kateter, nasogastrik tube, koreksi gangguan
elektrolit, kontrol ketat glukosa darah, regulasi temperatur, profilaksi DVT, ulkus
stress, ulkus dekubitus, sedasi dan blok neuro muscular, induksi hipotermi.

A. Penanganan cedera kepala ringan:


Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila :
mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang,
perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat,
kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh,
pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu
pelan, pola nafas yang abnormal.
B. Penanganan cedera kepala sedang (GCS 9-13)
Beberapa ahli melakukan scoring Cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma
Scale Extended (GCSE ) dengan menambahkan skala Amnesia postrauma (PTA) )
dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3
bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.
Berdasarkan CT scan dan gejalanya, Batchelor (2003 ) membagi cedera kepala
sedang menjadi :
1. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma
3. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah lebih dari
sekali.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan
Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain :
mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penetalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi
kompensasi dan modifikasi lingkungan ( terapi wicara dan okupasi ) untuk disfungsi
kognitif , dan psiko edukasi .
C. Cedera kepala berat (GCS 3-8)
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: primari survei: stabilisasi cardio
pulmoner, secondary survei : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.

Anda mungkin juga menyukai