Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH TENTANG HEPATITIS B

Diajukan untuk memenuhi tugas Keperawatan Maternitas

Dosen Pengajar : Elis Roslianti,SKM.,MKM

Disusun Oleh:

Ai Leti Latipah 1801277006

Silvia Nurul Fazriah 1801277033

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

STIKes MUHAMMADIYAH CIAMIS

Tahun Akademik 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Hepatitis B” Harapan kami
semoga Makalah ini dapat terlaksana kan dengan baik guna dapat meningkatkan
pengetahuan semua orang.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
Makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Ciamis, 18 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang .1

1.2     Rumusan masalah .2

1.3    Tujuan .3

BAB II PEMBAHASAN

2.1   Definisi Hepatitis .4

2.2   Etiologi Hepatitis .5

2.3 Klasifikasi Hepatitis .6

2.4 Manifestasi Klinis Hepatitis .6

2.5 Patofisiologi Hepatitis .7

2.6 Pathway Hepatitis .9

2.7 Pemeriksaan Penunjang Hepatitis 10

2.8 Penatalaksanaan Hepatitis 12


2.9 Komplikasi Hepatitis 14

2.10 Diagnosa Keperawatan Hepatitis 15

2.10 Intervemsi Hepatitis 16

BAB III PENUTUP

3.1    Kesimpulan 23

3.2     Saran 24

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai
gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam
tubuh seperti alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna lagi dari darah
dan bertindak sebagai semacam pengaruh bagian tubuh yang menjamin terjadinya
keseimbangan zat-zat kimia dalam sistem itu.
Salah satu penyakit yang menyerang hati adalah penyakit hapatitis. Istilah ”
Hepatitis ” dipakai untuk semua jenis peradangan hati (liver) disebabkan mulai dari
virus atau obat-obatan. Virus yang menyebabkan penyakit ini berada dalam cairan
tubuh manusia yang sewaktu-waktu bisa ditularkan keorang lain. Salah satu
diantranya adalah virus Hepatitis B.
Hepatitis B yang merupakan peradangan hati yang bisa berpotensi fatal,
disebabkan infeksi virus hepatitis B, ibarat fenomena gunung es. Hanya 20-30 persen
yang terdeteksi. Lebih dari 70 persen tidak diketahui. Padahal, 75 persen kasus
hepatitis B berada di kawasan Asia Pasifik.
Mengingat hepatitis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I), maka imunisasi Hepatitis B merupakan awal dimulainya upaya
pengendalian hepatitis di Indonesia. Imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir atau
birth dose menggunakan prefilled injection device sudah dilakukan sejak 1997.
1.2    Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Definisi Hepatitis?

1.2.2 Bagaimana Etiologi Hepatitis?

1.2.3 Bagaimana Klasifikasi Hepatitis?

1.2.4 Bagaimana Manifestasi Hepatitis?

1.2.5 Bagaimana Patofisiologi Hepatitis?

1.2.6 Bagaimana Pathway Hepatitis?

1.2.7 Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Hepatitis?

1.2.8 Bagaimana Penatalaksanaan Hepatitis?

1.2.9 Apa Saja Komplikasi Hepatitis?

1.2.10 Apa Saja Diagnosa yang Muncul pada Hepatitis?

1.2.11 Bagaimana Intervensi Hepatitis?


1.3   Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk Memahami definisi Hepatitis

1.3.2 Untuk Memahami etiologi Hepatitis

1.3.3 Untuk Memahami klasifikasi Hepatitis

1.3.4 Untuk Memahami Manifestasi Klinis Pada Hepatitis

1.3.5 Untuk Memahami patofisiologi Hepatitis

1.3.6 Untuk Memahami pathway Hepatitis

1.3.7 Untuk Memahami Pemeriksaan Penunjang Pada Hepatitis

1.3.8 Untuk Memahami Penatalaksanaan Pada Hepatitis

1.3.9 Untuk Memahami Komplikasi Pada Hepatitis

1.3.10 Untuk Mengetahui Diagnosa Yang Muncul Pada Hepatitis

1.3.11 Untuk Memahami Intervensi Pada Hepatitis


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hepatitis

Hepatitis B adalah infeksi pada hati yang berpotensi menyebabkan kematian


yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Hepatitis B merupakan masalah kesehatan
global utama dan merupakan jenis yang paling serius dari semua jenis Hepatitis.
Penyakit ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan bisa menyebabkan
penderitanya beresiko tinggi mengalami kematian akibat komplikasi lebih lanjut
menjadi sirosis hati dan kanker hati. (WHO, 2008)

Hepatitis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh virus disertai


dengan nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan
perubahan klinis, biokomia serta seluler yang khas. Hepatitis B merupakan
peradangan pada sel-sel hati yang disebabkan oleh HBV (Hepatitis B Virus) dan
ditularkan melalui kontak darah maupun cairan tubuh. (Brunner & Suddarth, 2002:
1169)

Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus, bersifat akut,


terutama ditularkan secara parenteral tetapi bisa juga secara oral, melalui hubungan
seksual antara penderita dan orang lain, dan dari ibu ke bayi. (Dorland, 1998: 502)
2.2 Etiologi Hepatitis

Hepatitis disebabkan oleh infeksi dari HBV (Hepatitis B Virus). Beberapa faktor
predisposisi terjadinya penularan Hepatitis B adalah:

1. Kontak dengan darah, sekresi dan tinja dari manusia yang terkontaminasi.

2. Kontak melalui hubungan intim seksual.

3. Penularan perinatal

Cara umum penularan Hepatitis B di negara berkembang adalah:

1. perinatal (dari ibu ke bayi saat kelahiran).

2. infeksi awal pada masa kanak-kanak (infeksi subklinis melalui kontak


interpersonal dengan kelompok yang terinfeksi).

3. penggunaan jarum suntik sembarangan.

4. transfusi darah.

5. hubungan seksual.
2.3 Klasifikasi Hepatitis
1. Hepatitis A
2. Hepatitis C
3. Hepatitis D
4. Hepatitis E
5. Hepatitis F dan G

2.4 Manifestasi Klinis Hepatitis

Gejala Hepatitis B mirip gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tida
menimbulkan gejala sama sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan
semua gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis dan
terobati. Gejala utama dari Hepatitis B adalah sebagai berikut:

1. Urtikaria atau artralgia sebelum terjadinya tanda sakit kuning menunjukkan


infeksi HBV (Lippincott William & Wilkins, 2008: 260)

2. Mudah lelah

3. Demam ringan

4. Nyeri otot dan persendian

5. Mual dan muntah

6. Sakit kepala

7. Kehilangan nafsu makan


8. Nyeri perut kanan atas

9. Diare

10. Warna tinja seperti dempul (keabu-abuan)

11. Warna urine seperti teh

12. Warna kulit dan sklera mata kuning (jaundice), sering disebut penyakit kuning.

13. Penurunan berat badan 2.5 - 5 kg (sumber: Unit Transfusi Darah PMI Cabang
Kota Yogyakarta)

2.5 Patofisologi Hepatitis

Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut


"Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel
inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat
Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).

Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat


pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan
nekrosis sel perenchym hati. Respon peradangan menyebabkan pembengkakan dalam
memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini
menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong
empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai
hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler
jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan timbunya sakit
dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3
bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan
sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati.
Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang
biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati

Perjalanan infeksi virus hepatitis B kronik mengalami 3 fase, yaitu :

a) Fase replikasi virus yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan jaringan hati,
yang ditandai oleh adanya kerusakan jaringan hati oleh kadar transaminase
normal, kadar HbeAG dan DNA serum yang tinggi. Dengan kelainan hitologis
hati minimal terjadi pada pemeriksaan jaringan hati secara histokimiawi
ditemukan HbsAG dan HbeAg.

b) Fase hepatitis rendah berupa hepatitis kronik ekserbasi akut yang terjadi secara
spontan ditandai dengan kadar transminase (SGOT & SGPT) meninggi dan
menggambarkan usaha host yang peresisten untuk mencoba mengeliminasi
virus yang dari dalam tubuh.

c) Fase nonreplikasi ditemukan adanya anti Hbe tanpa adanya DNA virus hepatitis

Gambaran klinis virus hepatitis B kronik adanya hubungan dengan


kemungkinan hepatitis B berasal dari daerah endemik yang mana virus hepatitis
B dengan carier rate yang meninggi bisa terjadi pada pengidap hepatitis kronik.
Hepatitis kronik berlangsung secara perlahan dan gejala penyakit tidak sesuai
dengan keluhan pasien. Kelainan hasil labolatorium terjadi pada bilirubin yang
meningkat, kadar HbsAG positif, dan DNA positif.
2.6 Pathway Hepatitis
2.7 Pemeriksaan Penunjang Hepatitis

Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda


virologi, biokimiawi dan histologi.

1. Pemeriksaan serologi
a. Adanya HBsAg dalam serum merupakan pertanda serologis infeksi hepatitis
B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi
hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs)
menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi.
b. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di
dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun
tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus,
keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami
mutasi (precore atau core mutant).

2. Pemeriksaan virologi

Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting
karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.

3. Pemeriksaan biokimiawi

Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan


terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya
aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan
sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat
menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang
normal. Menurut Price dan Wilson (1995) bahwa kadar normal AST adalah 5-40
unit/ml, sedangkan kadar normal ALT adalah 5-35 unit/ml.

4. Pemeriksaan histologi (biopsi)

Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati,


menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen
anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran
panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini
atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah
dengan Histologic Activity Index score.

5.. ASR (SGOT) / ALT (SGPT)

Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian


tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang
terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang
rusak, meningkat pada kerusakan sel hati

6. Darah Lengkap (DL)

Eritrosit menurun sehubungan dengan penurunan hidup eritrosit (gangguan


enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
2.8 Penatalaksanaan Hepatitis

a) Interferon

Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang


terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus.
Berdasarkan studi meta analisis yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis
dengan HbeAg positif: serokonversi HBeAg terjadi pada 18%, penurunan HBV DNA
terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23% . Salah satu kekurangan
interferon adalah efek samping dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10
juta MU 3 kali / minggu selama 16 minggu.

b) Lamivudin

Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi


selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1
tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan
mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun
lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin
sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun dan menjadi 57% setelah
terapi selama 3 tahun. Risiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin
lamanya pemberian. Dalam suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari
14% pada tahun pertama pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69%
masing masing pada tahun ke 2,3,4 dan 5 terapi.
c) Adefovir

Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate


(dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap
hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari DNA
virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling
tidak selama satu tahun. Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien
hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir 10mg dan
30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir
memberikan hasil lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal: respon histologi,
normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan
adefovir 10 mg sama dengan plasebo.

Hadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B kronis


dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg adefovir terjadi
penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan plasebo, namun efikasinya
menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang medapatkan adefovir
selama 144 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%.
Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin, di samping risiko resistennya lebih kecil
juga adefovir dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.

d) Peginterferon

Lau et al melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal dibandingkan kombinasi


pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapatkan peginterferon
alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke dua mendapatkan
peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100 mg/hari dan
kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari, selama 48 minggu.
2.9 Komplikasi Hepatitis
1. Sirosis hepatis
2. Hepatomegali

2.10 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan
distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3,
klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang nyeri.

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


distensi abdominal ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal
IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.

3. Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin ditandai dengan


kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal (normal: 36,50 – 37,50 C).

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik


(peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit tampak
kemerahan, adanya pruritus.

5. Keletihan berhubungan dengan status penyakit (penurunan kadar glukosa darah)


ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas seperti
biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering mengeluh mengenai fisiknya,
klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam beristirahat.

2.11 Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan
distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3,
klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang nyeri.

Intervensi:

1. Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien. Kaji faktor yang dapat memperberat atau
mengurangi nyeri : lokasi, durasi, intensitas dan karakteristik nyeri serta gejala
psikologis.

Rasional : Memantau status nyeri pasien.

2. Minta pasien untuk menggunakan skala 1 sampai 10 untuk menjelaskan


tingkat nyeri pasien.

Rasional : Untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat tentang tingkat nyeri


pasien.

3. Pantau dan catat TTV.

Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan penurunan ataupun


perkembangan kondisi.

4. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien


terhadap ketidaknyamanan (ex. Temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Rasional : Suhu ruangan dan penyinaran yang berlebih dapat meningkatkan
ketidaknyamanan.

5. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman dan gunakan bantal
untuk membebat atau menyokong daerah yang sakit bila diperlukan.

Rasional : Untuk menurunkan ketegangan atau spasme otot dan untuk


mendistribusikan kembali tekanan pada bagian tubuh.

6. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri.

Rasional : Kenyamanan menunjukkan manajemen nyeri yang adekuat.

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


distensi abdominal ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal
IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.

Intervensi:

1. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai. Observasi dan catat
masukan makanan pasien.

Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, mengawasi masukan kalori dan


kualitas kekurangan konsumsi makanan.

2. Timbang berat badan setiap hari.


Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi
nutrisi

3. Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering dan atau makan diantara
waktu makan.

Rasional : Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan


pemasukan juga mencegah distensi gaster.

4. Berikan dan bantu higiene mulut dengan baik, sebelum dan sesudah makan.

Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan


pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.

5. Kolaborasi

Konsul dengan ahli gizi

Rasional : Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi


kebutuhan individual.

6. Pantau pemeriksaan laboratorium, misalnya Hb/Ht, BUN, albumin, B12,


elektrolit serum

Rasional : Meningkatkan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber


diet nutrisi yang dibutuhkan.
3. Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin ditandai dengan kulit
klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal (normal: 36,50 – 37,50 C).

Intervensi:

1. Pantau suhu klien (derajat dan pola); perhatikan menggigil/diaphoresis.

Rasional : Suhu 38,90 – 41,10 menunjukkan proses penyakit infeksius akut.


Pola demam dapat membantu dalam diagnosis, misalnya kurva demam
lanjut berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan pneumonia pneumotokal,
demam scarlet atau tifoid; demam remiten menunjukkan infeksi paru; kurva
intermiten atau demam yang kembali normal sekali dalam periode 24 jam
menunjukkan episode septic, endokarditis septic, atau TB. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.

2. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi

Rasional : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk


mempertahankan suhu mendekati normal.

3. Anjurkan klien untuk mempertahankan asupan cairan yang adekuat (>2000


ml/hari kecuali terdapat kontraindikasi penyakit jantung atau ginjal)

Rasional : Untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu


tubuh yang tinggi.

4. Berikan kompres hangat.


Rasional : Membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat membantu
mengurangi demam

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik


(peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit tampak
kemerahan, adanya pruritus.

Intervensi:

1. Inspeksi kulit pasien, jelaskan dan dokumentasikan kondisi kulit pasien dan
laporkan perubahan.

Rasional : Untuk menentukan keefektifan regimen perawatan kulit.

2. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang masalah


kulitnya.

Rasional : Tindakan ini membantu untuk mengurangi ansietas dan


meningkatkan keterampilan koping.

3. Laksanankan program regimen penanganan untuk kulit yang rusak dan


pantau kemajuannya. Laporkan respon terhadap regimen penanganan.

Rasional : Untuk mempertahankan atau memodifikasi terapi saat ini.

4. Berikan pengarahan kepada pasien dan keluarga dalam program perawatan


kulit.
Rasional : Untuk mendorong kepaatuhan.

5. Atur posisi pasien supaya nyaman dan meminimalkan tekanan pada kulit
yang rusak. Ubah posisi pasien selama 2 jam. Pantau frekuensi pengubahan
posisi pasien dan kondisi kulitnya.

Rasional : Tindakan tersebut mengurangi tekanan, meningkatkan sirkulasi,


dan mencegah kerusakan kulit.

6. Bantu pasien untuk melakukan tindakan hygiene dan kenyamanan.

Rasional : Untuk meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan dan untuk


mencegah infeksi.

5. Keletihan berhubungan dengan status penyakit (penurunan kadar glukosa darah)


ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas seperti
biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering mengeluh mengenai fisiknya,
klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam beristirahat.

Intervensi:

1. Ajarkan pasien untuk hemat energy dengan cara istirahat, perencanaan dan
penentuan prioritas.
Rasional : Untuk mencegah atau meringankan keletihan.

2. Anjurkan pasien untuk selingi aktivitas dengan periode istirahat.

Rasional : Penjadwalan periode istirahat yang teratur dapat membantu


menurunkan keletihan dan meningkatkan stamina.

3. Dorong pasien untuk makan makanan yang kaya zat besi dan mineral, jika
tidak dikontraindikasikan.

Rasional : Tindakan tersebut dapat membantu menghindari anemia dan


demineralisasi.

4. Tunda makan bila pasien mengalami keletihan.

Rasional : Agar kondisi pasien tidak memburuk.

5. Berikan makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering.

Rasional : Untuk menghemat energi pasien dan mendorong peningkatan


asupan diet.

6. Tetapkan pola tidur yang teratur.

Rasional : Tidur pada malam hari 8 sampai 10 jam dapat membantu


mengurangi keletihan.
7. Hindari situasi penuh emosional.

Rasional : Dapat memperburuk keletihan pasien.

8. Diskusikan efek keletihan terhaadap aktivitas hidup sehari-hari dan tujuan


personal. Gali bersama pasien hubungan antara keletihan dan proses
penyakit.

Rasional : Membantu meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal


istirahat dan aktivitas.
BAB III

PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Menurut world heath organization (WHO) dalam Depkes RI (2010)


memperkirakan lebih dari dua miliar penduduk dunia terinfeksi hepatitis B dengan
angka kematian 250 ribu orang per tahun dan 170 juta penduduk dunia mengidap
hepatitis C dengan tingkat kematian 350 ribu orang per tahun. Indonesia, merupakan
negara dengan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi, yaitu lebih
dari 8 persen dimana 1,5 juta orang Indonesia berpotensi mengidap kanker hati (liver
cancer).

Hepatitis B (penyakit kuning) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B
yang merusak hati. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan pengerasan
hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan menimbulkan
kematian. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala.

Cara pencegahan:
1.    Imunisasi
2. Usaha untuk memberikan kekebalan aktif pada bayi dan anak terhadap
penyakit tertentu dengan cara pemberian vaksin yaitu kuman penyebab
penyakit yang telah dilemahkan.
3.  Hindari aktivitas sex dengan berganti-ganti pasangan.
4.  Hindari mendapat donor darah yang tidak resmi.
5. Hindari menggunakan jarum suntik bekas.

3.2     Saran

Dari uraian diatas, penulis menyarankan kepada masyarakat untuk selalu


menjaga kesehatan kebersihan sanitasi lingkungan serta memberikan imunisasi
Vaksin Hepatitis B Rekombinan dan Vaksin DPT-HB.tepat sesuai rekomendasi
jadwal yang diberikan agar pemberantasan penyakit yang ditularkan lewat parenteral
(darah) khususnya penyakit Hepatitis B bisa tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Sievert, William, Melvyn G. Korman, Terry Bolin. (2010). Segala Sesuatu


tentang Hepatitis. Jakarta: Arcar.

Sulaiman, Andri Sanityoso, dkk. (2010). Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C


dalam Praktik Klinis Sehari-hari. Jakarta: Sagung Seto.

Syahrurachman, Agus, dkk. (1993). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa


Aksara.

Anonim. 2007. Hepatitis. (online).

http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=37 (akses tanggal 17 Mei 2011)

Anonim. 2007. Hepatitis B. (online).

http://golongandarah.net/artikel_detail.php?act=view&id=1 (akses 17 Mei 2011)

Anda mungkin juga menyukai