Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang
dikenakan pajak. Objek Pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambahkekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan
dapt dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas. (gaji, honor
penghasilan dari praktik dokter, notaris, akuntan dsb)
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3. Penghasilan dari modal yang berupa aset gerak ataupun aset tak gerak seperti bunga,
diskon, royalty, dan keuntungan penjualan aset atau hak yang tidak dipergunakan untuk
usaha
4. Pengahasilan lain-lain – seperti, pembebasan utang dan hadiah.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No.36 Tahun 2008, penghasilan yang termasuk Objek
Pajak adalah sebagai berikut:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini.
3. Laba usaha
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Berdasarkan pasal 4 ayat (2) UU PPH, penghasilan berikut ini termasuk penghasilan yang
dikenakan PPh bersifat final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi.
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU No.36 Tahun 2008, penghasilan yang dikecualikan dari
objek pajak adalah:
1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat: 1) dividen berasal dari cadangan saldo laba; dan 2) bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Objek Pajak Bentuk Usaha
Tetap adalah :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari aset
yang dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap.
Penghasilan kantor pusat dari objek di atas berdasarkan pertimbangan logis bahwa
transaksi antara kantor pusat dan perusahaan lain di Indonesia harus ada bantuan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Ditinjau dari segi barang yang diperdagangkan atau jasa
yang diberikan tentu sama dengan barang atau jasa yang diberikan BUT. Dasar inilah
yang sering disebut dengan Force of Attraction Concept, dengan asumsi hukum apabila
barang atau jasa dalam transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan
transaksi yag diselenggarakan BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia.
Pada UU PPh Pasal 5 Ayat (1) huruf b, dijelaskan bahwa penghasilan kantor pusat yang
berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis
dengan yang dilakukan oleh BUT dianggap sebagai penghasilan BUT, karena usaha atau
kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan
oleh BUT.
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
Penghasilan kantor pusat akan dianggap sebagai penghasilan BUT apabila terdapat
hubungan efektif antara BUT dan aset atau kegiatan yang memberikan penghasilan
termasuk juga penghasilan yang dikenakan withholding berdasarkan PPh Pasal 26.
Konsep hubungan ini berasal dari effectively connected income yang berasal dari undang-
undang Pajak Domestik Amerika Serikat (Internal Revenue Code). Undang-Undang Pajak
Penghasilan di Indonesia tidak mempunyai ketentuan yang mengatur dalam hal
sebagaimana menentukan suatu penghasilan kantor pusat mempunyai hubungan efektif
dengan BUT di Indonesia.
Dalam menentukan besarnya BUT ada beberapa ketentuan yan harus diperhatikan yaitu:
1. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau dilakukan oleh BUT di Indonseia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan
penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan aset atau kegiatan
yang memberikan penghasilan yang dimaksud, diperbolehkan untuk dibebankan sebagai
biaya bagi BUT.
2. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan denga usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan Direktorat Jendral
Pajak.
3. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah ;
a. Royalti atau imbalan lainnya, sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. Bungan, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Sebagai konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas yang diterima atau
diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan.
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha tetap
di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 ayat (4) yaitu dengan tarif sebesar 20%,
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Penanaman kembali atas
penghasilan BUT di Indonesia tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 26, dengan syarat
sebagai berikut.
1. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya
tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi
secara komersial.