Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN BUKU

AKHLAK SEORANG MUSLIM

Disusun Oleh :

1. Deinaira Saverini |
205010005 2. Ihsan Giffari. |
205010003
3. Jihan Sana Destia. | 205010033
4. M. Noval | 205010014

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JL. TAMAN SARI NO 6-8 KAMPUS II UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi
tugas Konsep Dasar Pendidikan Moral yang dimana mengkaji buku yang berjudul Akhlak
Seorang Muslim yang di tulis oleh Muhammad Al Ghazali, yang dimana bisa terselesaikan
tanpa adanya hambatan dan tepat pada waktunya.

Terima kasih juga kepada Bapak Cahyono,S ,Pd,,M.Pd. dan Ibu Dra. Hj.Lili
Sukarliana,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Konsep Dasar Pendidikan Moral yang telah
memberikan tugas ini kepada kami. Untuk mengembangkan kemampuan akademis dan
penalaran dalam mengkaji sebuah buku. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kami berharap makalh ini dapat berguna untuk umum. Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan laporan kajian
buku ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala urusan kita.
Amin
                                                                                           
                
                                                                               

 Bandung, Februari 2021


Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI….…………………………………………………………………………………...3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….……..4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................4
1.2 Tujuan............................................................................................................................5
1.3 Manfaat..........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….6
2.1 Menunaikan Janji……………………………………………………………………..6
2.2 Ikhlash………………………………………………………………………………...7
2.3 Ni’mat Berbicara Dan Adabnya………………………………………………………8
2.4 Jauhilah Dengki Dan Demam………………………………………………………...9
2.5 Daya Kekuatan Iman Bagi Seorang Mu’min………………………………………..11
2.6 Penyantun Dan Lapang Dada………………………………………………………..12
2.7 Bermurah Hati……………………………………………………………………….13
2.8 Sabar…………………………………………………...……………………………14
2.9 Hidup Berhemat Dan Harga Diri………………………………………………….....15
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………….…………...16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama islam. Akhlak yang baik akan menitik
beratkan timbangan kebaikan seseorang pada hari kiamat, menurut keterangan Abdulloh Ibnu
Umar, orang yang paling dicintai dan yang paling dekat dengan Rasulullah saw pada hari kiamat
adalah yang paling baik akhlaknya. Salah satu misi utama agama Islam adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. (HR: Ahmad dan Baihaqi) Akhlak mulia yang diajarkan oleh
Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim.
Akhlak merupakan ukuran kemanusiaan yang hakiki dan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan manusia, bahkan untuk membedakan antara hewan dan manusia terletak pada
akhlaknya. Manusia yang tak berakhlak sama halnya dengan hewan, kelebihannya manusia
hanya pandai berkata-kata.
Kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi menimbulkan dampak negative
dikarenakan tidak diimbangi dan diiringi dengan keimanan. Berbagai fenomena nasional
menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan terkait dengan akhlak generasi bangsa. Hal
yang lebih mengkhawatir lagi adalah bahwa anomali akhlak tersebut tidak sedikit yang terjadi di
dalam lingkungan pendidikan itu sendiri, bahkan dilakukan oleh pelaku pendidikan.
Indikator lain yang menunjukkan adanya gejala melorotnya akhlak generasi bangsa bisa
dilihat dari sopan santun siswa yang kini sudah mulai memudar, di antaranya bisa kita lihat dari
cara berbicara sesama mereka, perilakunya terhadap guru dan orangtua, baik di sekolah maupun
di lingkungan masyarakat, kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan oleh anak 3
seusianya seringkali terlontar. Sikap ramah terhadap guru ketika bertemu dan penuh hormat
terhadap orang tua pun tampaknya sudah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan di kalangan anak
usia sekolah dewasa ini. Anak-anak usia sekolah seringkali menggunakan bahasa yang jauh dari
tatanan nilai budaya masyarakat. Bahasa yang kerap digunakan tidak lagi menjadi ciri dari
sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemahlembutan.
1.2 Tujuan

Tujuan dari mengkaji buku ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Konsep
Dasar Pendidikan Moral, yang dimana buku yan di kaji adalah buku dari karya Muhammad Al
Ghazali yang berjudul Akhlak Seorang Muslim yang akan di presentasikan pada pertemuan
selanjutnya.

1.3 Manfaat

Selain dari tujuan di atas, maka tugas ini juga mempunyai beberapa kegunaan yaitu bagi
kami sebagai bahan pembelajaran dan sebagai bahan tambahan pengetahuan dengan landasan
dan kerangka teoritis yang ilmiyah Serta Menambah wawasan bagi peneliti tentang bagaimana
akhlak generasi muda saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MENUNAIKAN JANJI


Janji ialah suatu ketetapan yang dibuat oleh kita sendiri dan untuk dilaksanakan oleh kita
sendiri. Terhadap janji, meskipun kita sendiri yang membuatnya, kita tidak terlepas padanya,
melainkan mesti kita tepati dan kita tunaikan. Menunaikan janji ialah menunaikan dengan
sempurna apa-apa yang tlah kita janjikan, baik berupa kontrak maupun apa saja yang telah kita
janjikan, baik berupa kontrak maupun apa saja yang telah kita jamin dan tanggungkan.
Setia kepada janji merupakan bagian dari iman. Satunya kata dengan perbuatan.
Menyempurnakan janji adalah salah satu sendi hidup bersosial. Islam menuntut sekeras-kerasnya
kepada sekalian kaum muslimin supaya senantiasa tetap berperangai dengan menyemurnakan
janji. Jika berjanji wajib menepatinya. Itulah yang di ajarkan dalam Islam dan itulah Pribadi
Muslim, sehingga dikenal dilingkungannya, setiap perkataannya merupakan perjanjian yang
kuat, tidak dikhawatirkan akan menyalahi dan mengingkarinya.
Janji harus ditepati, sumpah harus diindahkan, selama janji atau sumpahnya mengenai
kebenaran dan kebaikan. Tapi jika dalam urusan maksiat dan dosa, janji dan sumpahnya tidak
sah.
Seperti dalam Hadits riwayat Muslim Rasulallah S.A.W bersabda :
“ siapa yang telah bersumpahatas sesuatu, kemudian mengetahui sebaliknya dari itu
lebih baik,maka harus menebus sumpahnya dan mengerjakan yang lebih baik “

Taqwa yang kuat mengingatkan seseorang pada janji yang di peganggnya, untuk
melaksanakannya. Karena Taqwa bisa mendorong tekad untuk melemahkan gejolak hawa nafsu
yang memberontak dan bisa menghilangkan kesulitan yang menghalangi tekad menepati janji,
betapubn beratnnya penderitaan dan banyaknya pengorbanan.
Karena menepati janji kadang kadang terasa amat berat, bahkan kadangkala menghendaki
pengorbanan harta, jiwa, dan kecintaan. Maka kadar nilai kekuatan manusia dalam hal ini
berbeda beda, kendati pengorbanan ini merupakan pengorbanan kemuliaan yang di kehendaki di
dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an menolak faham yang mengatakan; bahwa mencari kemuliaan bisa didapat
dengan kesenangan dan kebaikan yang banyak bisa di dapat denngan perjuangan yang ringan
dan mudah.
Rasulullah Saw. tidak pernah mengingkari janji dalam hidupnya, sebaliknya beliau selalu
menepati janji-janji yang pernah dilontarkan. Kita pun sebagai umat Nabi sudah selayaknya
meneladani beliau dalam hal menepati janji ini sehingga kita selalu dipercaya oleh orang-orang
yang berhubungan dengan kita.
Menepati janji merupakan salah satu kriteria dari keimanan seseorang. Dengan demikian,
orang yang tidak dapat menepati janji belum memiliki iman yang utuh. Bahkan Nabi
memasukkan orang yang tidak dapat menepati janji-janjinya ke dalam orang munafiq (seperti
yang sudah dikemukakan di atas). Jadi, kebaikan seorang Muslim tidak hanya terletak pada
penunaian ibadah saja, tetapi juga interaksi jiwanya dengan ajaran-ajaran Islam, keluhuran
akhlaknya, dan juga penunaian janji-janjinya dan tidak melakukan penipuan serta pengkhianatan
terhadap janjijanjinya.
Menepati janji merupakan kunci sukses dalam komunikasi. Orang yang selalu menepati janji
akan mudah menjalin komunikasi dengan orang lain. Sekali saja orang mengingkari janjinya,
maka orang lain akan sulit memberikan kepercayaan kepadanya.

2.2 IKHLASH
Ikhlas adalah amal kabajikan yang kita laksanakan semata-mata karena allah dan semata-
mata mengharap ridhanya allah. Itulah yang disebut berama dengan iklhlash. Ikhlash itulah ruh
sesuatu amal, dan amal kebajikan, amal ibadah yang dituankan seseorang yang tidak disertai
ikhlash, maka amal yang demikian itulah, amal yang tidak mempunyai ruh, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad S.A.W;
“ Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlash dan yang karena untuk
mencari keridhaan Allah ( H.R. Ibnu Majah) “
Jika semua perbuatan dan amalan baik dilakukan dengan ikhlas maka balasan yang
didapat adalah pahala dari allah. Islam cukup besar menaruh perhatiannya terhadap niat atau
perasaan yang menyertai amal perbuatan manusia. Karena nilai amal manusia pada hakikatnya
kembali kepada si pemiliknya, dan tergantung pada niatnya.
Mengeluarkan derma, atau memberikan sesuatu kepada orang lain merupakan perbuatan
dan amal yang baik, tetapi kadang-kadang manusia memberikan derma atau hadiah kepada
seseorang bermaksud untuk menarik simpatinya atau agar mereka menganggap bahwa ia sebagai
dermawan. Perbuatan ini kedua-duanya termasuk dermawan, tetapi dermawan yang didorong
oleh perasaan diri manusia, dan menurut islam permberian semacam itu tidak termasuk
shadaqah. Karena shadaqah harus bersih dari kotoran jiwa dan harus disertai ikhlas karena Allah.
“Sesungguhnya sah atau tidak sesuai amal, tergantung pada niat. Dan yang teranggap
bagi tiap orang apa yang ia niatkan. Maka siapa berhijrah (mengungsi dari daerah kafir ke
daerah islam) semata-mata karena ta’at kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu diterima
oleh allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya,
atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niat
hijrah kepada-Nya ( Buchary , Muslim) “
Semua amal yang baik, bila dilakukan dengan niat yang baik dan ikhlas mendapat
imbalan pahala ibadah. Bahkan semua kesenangan (yang halal) yang diingini manusia bisa
berubah menjadi bentuk ibadah, apabila dikerjakannya dengan niat yang baik, ikhlas dan tujuan
mulia. Seperti juga hubungan suami isteri dalam bersenggama yang bisa memberikan kepuasan
(kesenangan) diri, bisa mempunyai niali ibadah, bila dilakukannya dengan niat melaksanakan
kewajiban dan dengan maksud menjaga kehormatan dan agama.
Hati yang tidak ikhlas, tidak mempunyai kesediaan menerima, seperti batu yang di kotori
tanah tidak bisa menumbuhkan tanaman.juga kulit palsu tidak bisa memberikan perlindungan
sedikitpun kepada isi yang buruk (jelek). Demikian tingginya nilai keikhlasan dan berlimpah
ruah kebaikannya, walaupun bercampur sesuatu yang sedikit, ikhlas bisa tumbuh menjadi
banyak, sehingga bisa menandingi hal hal yang besar. Tetapi sesuatu yang banyak namun tidak
ikhlas, maka di sisi Allah tidak ada artinya.

2.3 NIKMAT BERBICARA DAN ADABNYA


Berbicara ialah salah satu nikmat Allah yang terbesar, yang dibesarkan kepada manusia.
Dengan berbicara manusia menjadi makhluk yang termulia dibandingkan dengan makhluk-
makhluk yang lain. Allah berfirman dalam Al Qur’an:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur’an. Dia menciptakan
manusia, Mengejarnya pandai berbicara (S. Ar Rahman, ayat 1 – 4)
Allah melebihkan manusia dari makhluk-makhluk yang lain dengan mengajarkan pandai
berbicara. Sungguh amat besar nikmat pandai berbicara yang dianugrahkan Allah kepada
manusia ini. Wajiblah manusia mensyukurinya, dan yang tidak mensyukurinya dianggap suatu
ke-ingkaran.
Islam telah menjelaskan bagaimana seharusnya manusia memanfaatkan nikmat yang
amat besar ini, agar manusia benar-benar bisa mempergunakannya untuk berbicara sehari-hari
yang baik, yang menjadi jalan kebaikan.
Jika kita menghitung pembicaraan seseorang, ternyata apa yang mereka bicarakan lebih
banyak pembicaraan yang tidak ada gunanya. Bukan dengan cara demikian mensyukuri
nikmatnya yang amat besar ini. Allah menjadikan lidah bukan untuk membicarakannya yang sia-
sia, tetapi untuk bermanfaat.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, (Q.S.: Al-Mu’minum
ayat 1 – 4)
Apabila kita memperhatika ayat tersebut diatas, kita mendapatkan pengertian sebagai berikut:
Sungguh berbahagialah:
1. Orang-orang mu’minyang khusyu’ dalam shalatnya
2. Orang-orang yang menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna
3. Orang-orang yang menunaikan zakat.

Islam tidak menyukai sesuatu yang bukan-bukan, ucapan dan omongan yang tidak ada
ujung pangkalnya. karena membenci fikiran-fikiran dan urusan yang rendah, yang hanya
menghabiskan umur tersia-sia. Manusia tidak diciptakan yang demikian, tetapi untuk melakukan
sesuatu yang penting yang produktif yang membawa kemaslahatan dan kebaikan dalam
kehidupannya.
Allah memberi tuntunan kepada manusia, agar manusia berbicara dengan perkataan
yang baik dan membiasakan diri dengan ucapan-ucapan yang baik. Karena melahirkan isi hati
yang baik dengan ucapan perkataan yang baik merupakan sopan santun yang tinggi.
Manusia yang berwatak kasar tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, sehingga
keyakinannya tidak dapat mengobah watak kasarnya menjadi seorang yang lemah lembut; orang
yang berwatak kasar tidak mempunyai rasa malu dan tidak mempunyai rasa tenggang nenggang;
dia tidak perduli berbuat sesuatu yang menimpa seseorang, dia lakukan sesuatu asal dapat
memberikan kepuasan pada dirinya sendiri,
Namun orang orang yang mulia, mereka mampu mengendalikan dirinya, sehingga
ucapan-ucapan yang baik sajalah yang diucapkan. Bagi orang orang yang mulia tidak patut
terlibat pembicaraandengan orang orang yang wataknya kasar, agar tidak terpengaruh dengan
kejahatan mereka. Karena pengaruh kejahatan mereka dapat menyebabkan kerusakan besar.
Membendung hati dari kejahatan hukumannya wajib. Oleh karena itu Islam mensyari’atkan
untuk mengatur cara menhadapi orang orang yang berwatak kasar.

2.4 JAUHILAH DENGKI DAN DENDAM


Dendam atau bahasa Arab disebut hiqid, ialah “Mengandung permusuhan di dalam batin
dan menanti-nanti waktu yang terbaik untuk melepaskan dendamnya, menunggu kesempatan
yang tepat untuk membalas sakit hati dengan mencelakakan orang yang didendami itu.”
Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan pandangan mata seseorang,
kecuali hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, bebas dari rasa kebingungan dan
bebas dari rasa dendam yang senantiasa menggoda manusia.
Seorang yang hatinya bersih dan jiwanya sehat, ialah mereka yang apabila melihat
sesuatu ni’mat yang diperoleh orang lain, ia merasa senang dan merasakan karunia itu ada pula
pada dirinya, sebagaimana Rasulullah saw berdo’a:
“Ya Allah Tuhan kami, tidaklah aku atau salah seorang dari makhlukMu masuk di pagi
hari dengan mendapat nikmat, maka hanya dari Engkau sendiri, tidak ada sekutu bagiMu.
Bagimu segala puji dan syukur.” (H.R. Abu Dawud)
Apabila rasa permusuhan telah tumbuh dengan suburnya sampai berakar, dapat
mengakibatkan hilangnya rasa kasih sayang dan hilangnya kasih sayang dapat mengakibatkan
rusaknya perdamaian. Dan jika sudah sampai demikian, maka dapat menghilangkan
keseimbangan yang mulanya menjurus ke arah perbuatan dosa-dosa kecil, dan akhirnya dapat
mengarah ke dosa-dosa besar yang mengakibatkan turunnya kutukan Allah.

Kita harus mengetahui bahwa manusia itu berbeda-beda tabi’at dan wataknya; berbeda-
beda kecerdasan akal dan daya tangkapnya. Karena itu dalam pergaulan dan pertemuan di
lapangan kehidupan, kadangkala mereka membuat kesempitan yang mengakibatkan perselisihan
dan permusuhan.
Untuk mengatasi dan memberantas gejala-gejala ini sebelum meluasnya perselisihan
yang mengarah kepada permusuhan. Maka Islam telah memberikan cara penanggulangannya
dengan mensyari’atkan penetrapan akhlak yang baik, yang membuat hati mereka luluh dan surut
berpegang kepada kasih sayang. Dan Islam melarang memutuskan hubungan dan berbantah-
bantahan.
Dalam setiap persengketaan yang terjadi, manusia dalam dua kemungkinan: dia mungkin
yang dianiaya, atau yang menganiaya, atau memusuhi orang lain dengan mengurangi haknya,
maka pantaslah baginya menghilangkan jejak kesalahannya dengan memperbaiki tingkah
lakunya, dan mohon kerelaan dari orang yang dimusuhinya. Islam memerintahkan manusia
untuk menghilangkan kedengkian dengan cara damai, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa padanya ada penganiayaan terhadap saudaranya berupa harta benda
atau sesuatu (yang lain), maka hendaklah ia meminta halalnya dari padanya sekarang, sebelum
(tiba masanya) tidak ada dinar dan tidak adanya dirham (yaitu hari kiamat di mana semua
harta kekayaan dunia sudah tidak ada gunanya). (Sebab) jikalau ia mempunyai amal salah,
maka diambillah amal saleh itu dari padanya sesuai dengan penganiayaannya. Dan jika ia tidak
mempunyai kebajikan, maka diambillah semua kesalahan (kejelekan) temannya (yang dianiaya)
itu dikemudian dibebankan kepadanya.”
2.5 DAYA KEKUATAN IMAN BAGI SEORANG MU’MIN
Apabila aqidah telah tumbuh pada jiwa seorang mu’min. Maka ternamlah dalam jiwanya
rasa, bahwa hanya Allah sajalah yang paling berkuasa dalam segala maujud yang ada ini hanya
makhluk belaka. Seorang muhawid, yakni seorang yang bertauhid dengan kuat akan selalu kuat,
selalu tenang, dan tidak goncang dalam menghadapi segala sesuatu. Sebab di dalam jiwanya
hidup rasa persaudaraan, persamaan, dan kemanusiaan. Karena tauhid yang subur dan sehat,
menghilankan sifat-sifat dengki, dendam, cemburu, dan iri hati.
Aqidah yang mantap dan hidup dengan suburnya bagaikan mata air yang tidak kunjung
habis terhadap semangat beribadah dan pengabdian yang terus menerus dalam memikul rasa
tanggung jawab dan menanggulangi kesulitan maupun bahaya yang dihadapinya. Bahkan
merupakan pendorong yang memberikan semangat hidup dalam pengabdian sampai menemui
ajal tanpa rasa takut. Itulah watak iman apabila sudah tertanam dalam jiwa seorang mu’min.
Iman memberi kekuatan bagi pemiliknya untuk menempuh perjalanan hidup dalam beramal dan
berbakiti terhadap Allah, dan masyarakat luas. Apabalia ia melangkah menuju cita-cita dan ide-
ide memenuhi akal fikirannya maka ia yakin dan tidak mundur karena keragu-raguan.
Inilah Aqidah yang kuat dalam masalah yang jelas kebenarannya. Apabila keyakinan
semacam ini telah dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mu’min yang seamacam ini telah
dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mu’min yang semacam ini, akan menjadi seorang
mu’min yang benar benar tokoh yang mempunyai prinsip tersendiri. Ia senantiasa berkomunikasi
dengan orang-orang dengan penuh rasa tanggung jawab dan waspada dalam segala urusan.Kalau
ia menganggap mereka menyimpang dari jalan kebenaran, maka ia mengambil jalan sendiri.
Orang mu’min sejati tidak mudah terpancing dan terpengaruhi urusan-urusan amaliah-
amaliah ibadat yang datangya bukan dari islam. Ia berani menentang adat istiadat yang
menyimpang dari islam; Ia berani menentang kebatilan yang berhamburan di masyarakat.
Orang mu’min sejati ialah mereka yang mempunyai harga diri tidak hendak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Apabila ia terpaksa jugsa melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak pantas, atau melakukan perbuatan kesalahan, perbuatannya itu
disembunyikan, ia tidak dipertontonkan di hadapan orang banyak. Ia malu berbuat suatu
kesalahan, karena kalau perbuatannya itu diikuti menjadi tiruan orang.
Seorang mu’min sejati berani melahirkan hak dan kebenaran, ia tidak suka membiarkan
kebatilan mengatasi kebenaran.
Islam memandang kemuliaan bangsa-bangsa di dunia ini dan ketinggiannya di dalam hal
kebudayaan, adalah menurut kadar kuat atau tidaknya bangsa itu dalam melahirkan hak dan
kebenaran.
2.6 PENYANTUN DAN LAPANG DADA
Tingkat keteguhan dalam menghadapi kesulitan hidupnya itu berbeda beda, ada yang
mampu menghadapi persoalannya yang sulit itu dengan tenang da nada pula yang hanya
menghadapi kesulitan kecil saja menanggapinya dengan serius sebagai sesuatu yang berat.
Masalahnya memang tergantung kepada kekuatan mental seseorang. Namun yang pokok ialaha;
yang mana saja persoalan itu dalam batas batas kebenaran, maka kebenaran itulah yang membuat
seseorang menjadi tenang.
Sungguhpun pada dasarnya tabiat manusia dalam jiwa mewarnai keadaan keadaan
seseorang itu sendiri, baik yang keras maupun yang tenang, cepat maupun lambat, kotor maupun
bersih, namun didalamnnya ada hubungan yang erat antara sikap dan keteguhan seseorang
dengan kesabarannya bersama orang lain, dan memaafkan kesalahan mereka. Orang yang
berbobot adalah orang yang benar benar memeiliki keteguhan, apabila menyelusuri ruang
lingkup kesempurnaan, dadanya lapang, semuanya dihadapi dengan tenang, kesabarannya
bertambah luas, banyak memberikan maaf, dan mencarikan jalan untuk mengatasi segala
persoalan. Apabila ia melihat bahaya yang mengancamnya, maka ia melihat dari segi apa yang
menyebabkannya.
Kita sering melihat kemarahan seseorang yang memuncak, sehingga jiwanya terlempar
keluar dari kesadarannya, yang dapat membuat orang itu ketaraf gila, atau semacam gila, karena
dia menganggap dirinya benar benar merasa dihinakan dengan penghinaan yang tidak mampu
diatasinya, kecuali dengan marah yang mungkin dapat menumpahkan darah.
Pribadi seseorang yang di jiwai dengan pembinaan akhlak utamanya yang kuat,
senantiasa akan mampu menerima dan menghadapi penderitaan yang pedih dalam keadaan
apapun, karena seseorang yang kepribadiannya dijiwai dengan akhlak yang utama, Ia tahu bahwa
akibat dari penghinaan penghinaannya itu akan kembali menimpa si pelakunya sendiri sebelum
sampai kepada sasarannya yang jauh.
Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al A’raf, ayat 66-68 dibawah ini yang
mempunyai arti
“ sesungguhny akami benar benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan
sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta”
Hud berkata: “ hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini
adalah utusan dari tuhan semesta alam
Aku menyampaikan amanat amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi
nasehat yang terpercaya bagimu”
2.7 BERMURAH HATI
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat kebajikan yang tidak ada putus
putusnya kepada sesamanya, dalam bentuk pengorbanann harta benda, berderma dan
bershadaqah kepada siapapun. Islam diteggakkan dan berkembang bukan atas dasar kikir dan
menahan harta benda. Oleh karena itu islam menasehatkan kepada setiap muslim agar
menyambut dorongan berderma dan segi segi kebajikan yang tidak ada putus putusnya, baik
yang dilakukan secara terang terangan maupun yang tersembunyi. Itulah sendi ajaran islam yang
didasarkan pada pengorbanan membelanjakan sebagian harta yang dimilikinya, untuk benderma
dan bershadaqah, sebagai perwujudan tanda syukur kepadaa Allah yang telah memberi
karuniaNya.
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 274 yang artinya :
“ Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada ke
khawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati “
Setiap muslim hendaknya berhemat dalam mengeluarkan hartanya untuk memenuhi
kepentingan hidupnya agar hartanya tidak habis begitu saja. Sebab ia berkewajiban mengajak
orang lain dalam menikmati dan memanfaatkan harta yang Allah Karuniakan Kepadanya.
Kekayaan hendaknya kita gunakan membantu kepentingan umum, menolong fakir miskin, dan
ikut meringankan penderitaan orang orang yang susah dan tidak mampu
Rasulullah SAW bersabda :
“ Hai anak Adam, kalau engkau mendermakan kelebihannmu, itu lebih baik bagimu, dan
apabila engkau tahan saja, itu berbahaya bagimu. Dan engkau tidak tercela atas
kesederhanaan. Dan dahulukan orang orang yang menjadi tanggunganmu. Dan tangan yang di
atas (yang memberi) lebik baik dari pada tangan yang di bawah (yang menerima) “
Suatu bangsa tidak akan sukses dalam perjuangan tanpa adanya hubungan yang erat
antara pemerintah dengan rakyatnya dan antara warga dengan masing masing warga. Jika
hubungan demikian telah terjalin erat. Maka tidak aka nada si miskin menderita kelaparan dan si
kaya menimbun harta dan menumpuk kekayaan seenaknya.
Dalam hubungan ini Islam cukup memiliki syari’at yang kukuh untuk mencapai tujuan
tujuan yang mulia ini dengan memberi spirit kepada jiwaagar suka berbuat kebaikan, senang
berkorban dan memberi pertolongan dengan kebaikan kebaikan yang lain. Dari dorongan
semangat ini membuahkam “murah hati” yang bukan saja dapat dinikmati oleh kaum lemah,
tetapi juga akan memantulkan terjaminnya keamanan, kesejahteraan dan ketenangan serta
ketentraman bagi si pemberi itu sendiri. Mereka juga akan terhindar dari akibat dendam, iri dan
dengki, dan dari segi segi negative perasaan ingin enak sendiri
2.8 SABAR
Sabar ialah tahan menderita yang tidak disenangi dengan ridha dan menyerahkan diri
kepada Allah. Dan bukanlah disebut sabar, orang yang menahan diri dengan paksa, tetapi sabar
yang hakiki ialah sabar yang berdiri atas menyerah kepada Allah dan menerima ketetapan Allah
dengan lapang dada.
Sebagai hamba Allah, kita tidak terlepas dari segala ujian yag menimpa kepada kita, baik
musibah yang berhubungan dengan pribadi kita sendiri, maupun musibah dan bencana yang
menimpa pada sekelompok manusia maupun bangsa. Terhadap segala macam kesulitan dan
kesempitan yang bertubi-tubi dan sambung-menyambung, maka hanya sabarlah yang
memancarkan sinar yang memelihara seorang muslim dari kejatuhan kebinasaan, memberikan
hidayah yang menjaga dari putus asa.
Sabar adalah suatu bagian dari akhlak utama yang dibutuhkan seorang muslim dalam
masalah dunia dan agama. Ia harus mendasarkan segala amal dan cita cita kepadanya. Sebagai
muslim wajib meneguhkan hatinya dalam menanggung segala ujian dan penderitaan dengan
tenang. Demikian juga dalam menunggu hasil pekerjaan, bagaimana jauhnya, memikul beban
hidup harus dengan hati yang yakin tidak ragu sedikitpun, kita hadapi dengan ketabahan dan
sabar serta tawakal. Oleh karena itu hendaklah kita senantiasa ingat kepada Allah, ingat akan
kekuasaan Allah dan kehendakNya yang tidak ada seorangpun dan apapun yang dapat
menghalangiNya, bahkan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baik yang dianggap oleh
manusia sebagai musibah dan bencana yang merugikan, maupun yang dirasakan sebagai rahmat
dan ni’mat yang menggembirakan, maka itu semua adalah dari Allah SWT dan bukan kemauan
manusia semata-mata.
Allah berfirman yang artinya :
“ katakanlah (hai Muhammad); siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir)
Allah jika ia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu. Dan orang-
orang munafiq itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah “
(S. Ahzab, ayat 17)
Dalam ayat lain dinyatakan :
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tidak ada
seorangpun yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain
Ia“
(S. Ar Ra’du, ayat 11)
Dari ayat-ayat tersebut diatas, kita memperoleh pelajaran, hendaknya kita senantiasa
bersabar menghadapi segala macam musibah dan bencana, dan hendaknya kita selalu bersyukur
bila musibah itu sudah dihindarkan dari kita. Dan hendaknya kita selalu memberikan penilaian
yang baik, dengan landasan bahwa semua yang terjadi itu selalu ada hikmahnya bagi kita semua,
baik yang nampaknya baik bagi manusia dan elemen masyarakat lainnya.

2.9 HIDUP BERHEMAT DAN HARGADIRI


Islam sebagai pedoman hidup penuh berisikan peraturan-peraturan, petunjuk dan
tuntunan untuk mengatasi segala persoalan hidup, baik yang bersifat keduniaan maupun
keakhiratan. Islam menyusun tuntunan-tuntunan dan petunjuk-petunjuk itu di atas dasar akhlaq
yang mulia, yang langsung berhubungan dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Yang
lebih penting ialah seimbang dengan persiapan dan bekal untuk krhidupan akhirat.
Kita menyadari bahwa hidup ini ibarat arena; arena perjuangan yang membawa dua
kemungkinan, yakni bahagia dan celaka. Kitapun menyadari bahwa jalan menuju kebahagiaan
itu sendiri penuh dengan liku-liku dan tantangan serta ujian. Namun demikian jikalau kita tabah,
sabar dan tahan uji, maka tidak mustahil kebahagiaan itupun akan kita rasakan.
Hal yang demikian tidak saja terjadi pada masa-masa sekarang ini, tetapi pada zaman
para nabi pun tantangan, ujian dan percobaan telah dirasakan. Sebagaimana tertera dalam firman
Allah swt.
‘’ Dan sungguh telah diperolok-olokan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah
kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (adzab) olok-olokan
mereka.
(S. Al An’am, ayat 10)
Ayat ini memberikan gambaran yang jelas, betapa para Rasul dalam mengemban amanat
Allah, mengajak umatnya untuk menuju kepada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, banyak
mendapat rintangan dan cobaan.
Bagi kita yang hidup di zaman sekarang tantangan dan cobaan dalam menuju
kebahagiaan itu tidak lain dating dari nafsu kita sendiri, nafsu yang telah dikuasai oleh angkara
murka dan tertipu oleh bujuk rayu syaithan dan iblis. Tipu daya dan bujuk ray iblis membawa
kita kepada kesesatan, lupa akan arti tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga mereka tidak mau
tahu amanat yang telah dibebankan oleh Allah. Jika sudah demikian keadaan seseorang, maka
saat-saat kehancurannya pun tidak mungkin terelakan lagi.
Didalam menghadapi kehidupan dengan berbagai persoalannya kita hendaklah tetap
berpegang pada ajaran-ajaran Isalam yang memang benar-benar disediakan untuk membentengi
hati dan aqidah kita dari kesesatan. Kita hendaknya menyadari bahwa harta benda, kedudukan
dan kesempatan yang kita miliki semua adalah amanat Allah yang wajib kita pelihara dan kita
tunaikan.
Kehidupan seorang mu’min yang percaya adanya kehidupan akhirat, tidaklah sama
seperti kehidupan orang kafir yang menganggap umurnya merupakan kesempatan pertama dan
terakhir untuk menghabiskan kenikmatan duniawi. Kalau saja orang-orang yang seperti ini tidak
sempat mendapat petunjuk kebenaran, maka ia meninggalkan kesesatan meeka dan mengenai
persoalan ini.

BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Akhlak sebagaimana diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin,


merupakan suatu perangai yang menetap kuat dalam jiwa. Karakter akhlak dalam jiwa itu timbul
lantaran perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan setiap orang.

Imam Al-Ghazali membagi akhlak ke dalam dua syarat, yakni stabilitas dan spontanitas.
Adapun stabilitas akhlak merupakan karakter yang memungkinkan pelakunya melakukan
perbuatan baik yang konsisten, permanen, serta berkelanjutan. Sedangkan akhlak yang sifatnya
spontan hadir di saat muncul kesempatan dan juga dilakukan tanpa paksaan.

Menurut beliau, orang yang berakhlak setidaknya dapat mengendalikan empat hal yang
cukup sulit dikendalikan di berbagai aspek hidup, antara lain nafsu, amarah, pengetahuan, dan
keadilan. Dengan demikian, akhlak bukanlah hanya mengatur laku kata, namun juga laku sikap
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad. 1985. Akhlak Seorang Muslim. Terjemahan oleh Drs. H. Moh. Rifa’i.
Semarang. Wicaksana. (BAB 10 s/d BAB 18, hal 116-277)

Anda mungkin juga menyukai