Anda di halaman 1dari 9

Delirium pada Pasien COVID-19 lanjut usia: Skenario klinis dan Tinjauan

literatur

Abstrak
Delirium adalah disfungsi otak yang bersifat akut serta berpotensi fatal yang ditandai
dengan hilangnya atensi dan perubahan mental fluktuatif. Delirium mandakan adanya
gagal organ akut yang serius atau infeksi akut. Delirium juga berhubungan dengan
luaran kesehatan yang buruk yang meliputi perawatan di rumah sakit yang lebih lama,
penurunan kognitif jangka panjang, dan meningkatnya mortalitas. SARS-CoV-2 tidak
hanya menyerang paru, namun juga saraf dengan gejala delirium pada fase akut
terutama pada kelompok usia lanjut. Asesmen COVID-19 saat ini untuk pasien lanjut
usia masih belum melibatkan skrining delirium. Implementasi metode skrining delirium
cepat sangatlah penting, karena tanpa skrining, diagnosa delirium terlewatkan hingga
75%. Delirium juga dapat diperparah oleh isolasi sosial dan pemakaian APD yang
menyebabkan kurangnya interaksi pasien. Intervensi non farmakologis untuk
pencegahan dan tatalaksana delirium bermanfaat apabila diimplementasikan secara dini
dan sesering mungkin pada pasien COVID-19 lanjut usia yang dirawat di rumah sakit.
Pendekatan holistik yang melibatkan dukungan psikologis, selain terapi medis,
diperlukan bagi pasien COVID-19 lanjut usia yang dirawat di rumah sakit.

Pendahuluan
Penyakit saluran nafas akibat COVID-19, disebabkan oleh sindroma respiratori akut
berat coronavirus-2 (SARS-CoV-2), pertama kali dilaporkan di Wuhan, provinsi Hubei,
China. Penyakit ini kemudian meluas ke seluruh dunia dan menyebabkan pandemi
global. SARS-CoV-2 adalah virus zoonotik yang mirip dengan virus corona sebelumnya
yang menyebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East
Respiratory Syndrome (MERS). COVID-19 meluas secara cepat dari manusia ke
manusia lain, penularan utama melalui droplet respiratori, kontak fisik, dan benda-
benda yang terkontaminasi. COVID-19 menunjukkan gejala demam, myalgia,
kelelahan, dan dyspnea dan gejala yang lebih jarang meliputi mual, muntah, diare, nyeri
perut, dan sakit kepala. COVID-19 memiliki fatality rate 2,3% pada seluruh kelompok
usia, dengan 14,8% pasien berusia ≥ 80 tahun dan 8% dari kelompok usia 70-79%.
Angka mortalitas lebih sering dijumpai pada pasien dengan riwayat penyakit hipertensi,
penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronik, dan kanker. Selain itu,
gambaran klinis COVID-19 adalah disfungsi otak akut dengan tampilan delirium.
Kondisi ini menandakan potensi virus SARS-CoV-2 yang bersifat neuroinvasif. Gejala
neurotropik dari virus corona sudah pernah dilaporkan sebelumnya. Orang usia lanjut
yang terkena epidemi SARS tahun 2003 tidak hanya memiliki gejala respiratori namun
juga penurunan fungsi umum dan delirium. Karena kemiripan patogenik SARS-CoV
dan SARS-Cov-2, sangat mungkin bahwa SARS-CoV-2 memiliki kemampuan untuk
menyebabkan delirium. Jurnal ini menjelaskan skenario klinis pasien COVID-19 yang
dirawat di rumah sakit dengan gejala delirium dan membandingkannya dengan pasien
tanpa delirium. Selain itu jurnal ini juga membahas patogenesis, pencegahan, diagnosis,
dan terapi delirium pada pasien usia lanjut yang terkena COVID-19.

Skenario klinis
Kami sebelumnya melaporkan seri kasus dari penelitian di Inggris dimana 71 pasien
dengan infeksi COVID-19 dirawat di salah satu rumah sakit di Inggris dalam periode
waktu 2 minggu. Kebanyakan pasien (75%) berusia ≥65 tahun dan 58% adalah laki-laki.
Kebanyakan pasien (85%) memiliki komorbid berupa hipertensi (45%), penyakit
kardiovaskular (34%), PPOK (33%), dan diabetes (23%). Gejala respiratori adalah
gejala paling umum yang dirasakan pasien (59% pasien), nafas sesak (56%), dan batuk
(55%). Sebagian kecil pasien (16 pasien) memiliki gejala awal berupa delirium (selain
gejala respiratori). Perbandingan pasien dengan gejala delirium dan tanpa delirium
tertera pada tabel 1. Pasien dengan delirium berusia lebih tua (persentase pasien
berusia≥ 75 tahun adalah 83% vs 41%, perbedaan 42%, dan 95% confidence interval
(CI) 17.3 hingga 66.7) dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki gejala
delirium. Semua pasien dengan delirium memiliki komorbiditas apabila dibandingkan
78% kelompok tanpa delirium (perbedaan 22%, 95% CI 15,4 hingga 36,6). Selain itu,
pasien yang mengalami delirium lebih lemah/frail dibandingkan pasien tanpa delirium
(persentase pasien dengan clinical frailty score ≥5/CFS adalah 67% vs 36%, perbedaan
31%, 95% CI 1,7 hingga 06,3). Angka mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada
pasien dengan delirium (58% vs 27%, perbedaan 31%, 95% CI 1,0 sampai 61,9)
dibandingkan dengan pasien tanpa delirium. Akibat usia lanjut dan kelemahan/frailty,
tidak ada pasien dengan delirium yang dirawat di ICU apabila dibandingkan dengan 9
pasien tanpa delirium (15%). Walaupun delirium didiagnosis dan dicatat di rekam
medis, diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis ketimbang dengan metode
skrining delirium yang terstandar dan universal.

Tinjauan literatur
Delirium bukanlah gambaran yang jarang ditemukan pada pasien lanjut usia yang
menderita infeksi akut. Selama pandemi COVID-19, orang usia lanjut menunjukkan
gejala delirium dan pada skenario klinis kami, tampaknya gejala ini muncul pada seub
kelompok orang lanjut usia dengan komorbid multipel. Delirium tidak diskrining rutin
pada setting klinis, walaupun kondisi ini mempengaruhi luaran terapi dengan cukup
signifikan. Pada tinjauan literatur ini, kami membahas patogenesis, faktor predisposisi,
gambaran klinis, diagnosis, pencegahan, dan tatalaksana.

Patogenesis
Delirium pada pasien COVID-19 bersifat multifaktorial dimana sistem saraf pusat
diinvasi oleh virus. SARS-CoV-2 memasuki sel manusia melalui reseptor angiotensi-
converting enzyme (ACE) yang diekspresikan di berbagai organ termasuk otak. Rute
masuk virus ke otak dapat terjadi secara langsung melalui akses intranasal melalui
nervus olfaktorius, dengan anosmia sebagai gejala utama, atau secara tidak langsung
dengan menembus blood-brain barrier melalui penyebaran hematogen atau limfatik.
Kasus ensefalitis virus dan ensefalitis nekrotik hemoragik akut akibat SARS-CoV-2
telah dilaporkan sebelumnya. Efek neurologis sekunder meliputi peningkatan mediator
inflamasi CNS, hipoksia serebral, keterlibatan serebrovaskular, gagal organ multipel,
pyreksia, ketidakseimbangan neurotransmitter, dehidrasi, dan disregulasi metabolik.
Respon imunologis terhadap virus SARS-CoV-2 dimediasi oleh aktivasi sel T sitolitik
akut yang dapat menyebabkan ensefalopati autoimun. Faktor lingkungan dan iatrogenik
seperti ventilasi mekanik yang lama, pemakaian sedatif (terutama hipnotik dan
antikolinergik), perawatan rumah sakit yang lama, imobilitas, retensi urin, konstipasi,
kurang tidur, isolasi sosial dapat berkontribusi terhadap terjadinya delirium selama
infeksi COVID-19 akut terutama pada pasien usia lanjut. Faktor yang berhubungan
dengan delirium dirangkum pada tabel 2.
Faktor predisposisi
Infeksi COVID-19 lebih sering pada orang usia lanjut terutama pada pasien dengan
komorbid multipel dan frailty. Kombinasi berupa usia lanjut, frailty, dan komorbid
tampaknya memiliki efek negatif terhadap sistem imun yang meningkatkan risiko
infeksi. Sistem imun yang menua ditandai dengan inflamasi sistemik kronik dan bersifat
low grade atau disebut “inflammageing” yang ditandai dengan peningkatan marker
inflamasi seperti IL-6 dan C-reactive protein. Frailty ditandai dengan disregulasi
multisistem yang menyebabkan penurunan reservasi fisiologis dan meningkatkan risiko
luaran penyakit yang buruk. Disregulasi sistem imun didapat dan alamiah juga
menyebabkan inflamasi kronik, dengan peningkatan marker inflamasi, dan
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Komorbiditas dan frailty seringkali
tumpang-tindih dan menyebabkan prognosis yang lebih buruk. Telah ditemukan bahwa
82% populasi pasien lanjut usia yang memiliki frailty juga memiliki komorbiditas, 29%
memiliki disabilitas pada setidaknya satu aktivitas kehidupan sehari-hari dan 93%
memiliki disabilitas pada setidaknya satu instrumen aktivitas sehari-hari. Efek sinergi
dari penuaan, frailty, dan komorbiditas tidak hanya meningkatkan risiko gejala penyakit
yang berat namun juga meningkatkan risiko delirium sebagai gambaran non tipikal dari
COVID-19. Selain itu isolasi juga menjadi predisposisi delirium. Rumah sakit memiliki
kebijakan dimana interaksi antara staf dan pengunjung terhadap pasien dibatasi
sedemikian ruma sehingga kondisi ini meningkatkan perasaan terisolasi dan
menginduksi disorientasi pasien dan menurunkan awareness. Selain itu, pemakaian
APD oleh staf rumah sakit juga menyebabkan rasa takut bagi pasien lanjut usia terutama
pada pasien dengan gangguan kognitif atau demensia. Juga, isolasi di ICU dan perlunya
ventilasi mekanik juga meningkatkan risiko delirium. Penelitian epidemiologis
sebelumnya menunjukkan bahwa 75% pasien yang diberikan ventilasi mekanik di ICU
mengalami delirium.

Prevalensi dan gambaran klinis.


Gangguan kesadaran mulai dari somnolen, bingung, delirium, stupor, dan koma adalah
manifestasi neurologis yang dilaporkan pada pasien COVID-19. Pada penelitian
retrsopektif di China, yang meneliti manifestasi neurologis terhadap 214 pasien yang di
rawat dengan ARS akibat COVID-19, sebanyak 41,1% pasien dikategorikan berat dan
58,9% pasien dikategorikan ringan. Dibandingkan dengan pasien ringan, pasien dengan
gejala berat berusia lebih tua (mean (SD) usia 58,7 tahun vs 48,9 tahun), memiliki
penyakit penyerta (47,7% vs 32,5%), terutama hipertensi (36,4% vs 15,1%) dan
menunjukkan gejala atipikal seperti demam (45,5% vs 73%) dan batuk (34,1% vs
61,1%). Pasien gejala berat lebih sering mengalami gejala neurologis (45,5% vs 30,2%)
seperti penyakit serebrovaskular akut (5,7% vs 0,8%), gangguan kesadaran (14,8% vs
2,4%) dan jejas otot skeletal (19,3% vs 4,8%). Penelitian lain menunjukkan bahwa
angka kejadian delirium pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit sebesar
30% namun dapat mencapai 70% pada kasus berat. Delirium juga diperkirakan terjadi
pada 50% pasien lanjut usia yang dirawat dan 80% pasien kritis yang diberikan ventilasi
mekanik. Pasien yang memiliki gejala COVID-19 yang berat lebih cenderung memiliki
manifestasi neurologis. Pada metaanalisis SARS, MERS, dan COVID-19, gejala
neuropsikiatrik yang sering menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit adalah bingung
(29,9%; 95% CI 20,5 hingga 36,0), mood depresif (32,6%; 24,7 hingga 40,9), ansietas
(35,7%; 7,6 hingga 44,2), gangguan memori (34,1%; 26,2 hingga 42,5) dan insomnia
(41,9%; 22,5 hingga 50,5). Saat pasien sembuh, prevalensi post-traumatic stress
disorder (gangguan stres pasca trauma) adalah 32,2% (95% CI 23,7 hingga 42,0),
depresi 14,9% (12,1 hingga 18,2) dan ansietas 14,8% (11,1 hingga 19,4). Saat data
pasien COVID-19 diperiksa, gejala umum adalah delirium (65%), agitasi (69%), dan
perubahan kesadaran (21%). Analisis ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat
menyebabkan delirium yang cukup bermakna pada pasien stadium akut dan dokter
harus waspada akan kemungkinan depresi, ansietas, fatig, dan PTSD. Baru-baru ini,
penelitian di Inggris menemukan bahwa delirium sering ditemukan pada pasien
COVID-19 yang dirawat, namun seringkali tidak terdiagnosis dan berhubungan dengan
gangguan fungsional jangka menengah. Dari sebanyak 71 pasien, 31 (42%) memiliki
delirium, yang mana hanya 19 orang yang terdiagnosa oleh tim medis. Fungsi fisik
mengalami perburukan setelah episode delirium (poin -39 pada skala fungsional/166;
95% CI - 92 hingga 21; p=0,001).

Skrining dan diagnosis


Pasien lanjut usia yang terkena COVID-19 tidak selalu menunjukkan pireksia atau sesak
nafas, dan sekitar 40% kasus tidak menunjukkan kelainan radiologis. Delirium dapat
menjadi gejala prodormal infeksi atau hipoksia sebelum terjadinya gagal nafas. Invasi
saraf oleh SARS-CoV-2 berhubungan dengan depresi respiratorik yang bersifat sentral.
Sehingga, identifikasi dini pasien COVID-19 dengan delirium sangat penting karena
merupakan petunjuk adanya ancaman gagal nafas. Penelitian menunjukkan bahwa 75%
episode delirium seringkali terlewatkan kecuali metode skrining delirium digunakan
untuk deteksi delirium secara objektif. Sehingga, infeksi COVID-19 dapat terlewatkan
apabila delirium tidak diskrining secara rutin. Karena delirium dapat menjadi
manifestasi pertama dari infeksi, melewatkan diagnosa delirium dapat menyebabkan
penyebaran COVID-19 ke pasien lain, keluarga, atau staf rumah sakit serta
meningkatkan mortalitas dan efek jangka panjang lain seperti disfungsi kognitif dan
fisik. Salah satu metode skrining cepat yang sering digunakan dalah 4AT yang hanya
memerlukan waktu 2 menit. Metode ini dirancang khusus untuk membantu dokter
mendeteksi delirium dengan cepat dan mudah. Metode 4AT adalah metode yang sudah
divalidasi yang memiliki akurasi diagnosa yang baik dengan sensitifitas sebesar 0,88
(95% CI 0,80 hingga 0,93) dan spesifisitas 0,88 (95% CI 0,82 hingga 0,92) pada pasien
usia lanjut (≥65 tahun) di berbagai setting klinis termasuk unit gawat darurat, medikal,
bangsal bedah dan stroke. Metode 4AT memiliki kelebihan dibandingkan metode
skrining lain seperti Acute Confusion method (CAM) yaitu lebih ringkas, sederhana, dan
tidak memerlukan pelatihan khusus bagi operator yang akan melakukannya. Metode
4AT dirancang untuk dilakukan oleh tenaga medis profesional saat pertama kali
bertemu pasien dan saat follow up pasien apabila terdapat kecurigaan akan delirium
(tabel 3)

Tatalaksana
Pada infeksi COVID-19 pada pasien lanjut usia, dalam setting apa pun, tenaga medis
profesional harus memperhatikan ada atau tidaknya delirium dan melakukan pendekatan
seperti menangani komplikasi medis yang urgen. Setiap effort harus dilakukan selama
fase akut untuk deteksi awal dan terapi. Intervensi juga harus tetap dilanjutkan selama
fase pemulihan dan follow up untuk meringankan komplikasi jangka panjang (gambar
1)
Perawatan akut
Pendekatan pencegahan dan tatalaksana delirium non farmakologis harus dilakukan
terlebih dahulu, apabila memungkinkan, sebelum dilakukannya intervensi farmakologis.
Klinisi harus mulai dengan identifikasi kelompok pasien risiko tinggi dengan faktor
risiko delirium seperti usia tua, komorbid multipel, disfungsi cognitif yang sudah ada
sebelumnya, depresi, dan polifarmasi. Meredakan faktor pencetus delirium dapat
menurunkan risiko kejadian delirium. Sebagai contoh, kurang tidur dapat menjadi faktor
pemicu dan akibat dari delirium. Walaupun sedatif seperti hipnotik dan benzodiazepam
dapat membantu pasien untuk tidur, obat ini dapat memperberat gejala delirium dan
juga berhubungan dengan meningkatnya risiko depresi nafas pada orang lanjut usia.
Telah ditunjukkan bahwa melatonin atau agonis reseptor melatonin dapat menurunkan
prevalensi delirium, lama perawatan di ICU, dan meningkatkan kualitas tidur.
Melatonin juga memiliki efek anti inflamasi, anti oksidan, dan fungsi meningkatkan
imun yang dapat menurunkan risiko progresifitas akibat infeksi yang berujung pada
sindroma distres respiratori akut. Faktor pencetus lain seperti hipoksia, nyeri,
konstipasi, dan retensi urin harus dihindarkan atau diterapi. Mengurangi dampak isolasi
dengan kontak keluarga tatap muka melalui media sosial dapat membantu pengobatan
pasien. Memastikan pasien nyaman dan edukasi mengenai progres penyakit dan terapi
juga tidak kalah penting. Dampak negatif pemakaian APD dapat diminimalisir dengan
pemakaian nama atau foto tenaga medis yang menangani pasien. Mobilisasi dan
fisioterapi dini penting untuk mempercepat pemulihan.

Perawatan transisional
Saat dipulangkan, pasien COVID-19 yang lanjut usia akan cenderung memiliki kondisi
fisik dan emosional yang rentan. Keperluan perawatan pasien lanjut usia dengan
COVID-19 dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah dipulangkan masih
belum diketahui pasti, dan dapat menjadi beban untuk pasien dan keluarga. Perawatan
transisional adalah strategi manajemen untuk mendukung pasien dan pengasuhnya dan
meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup. Perawatan transisional meliputi
membangun hubungan yang saling percaya, meningkatkan keterlibatan pasien,
kolabosasi koordinasi antar tim medis dan pekerja sosial, manajemen gejala, edukasi
keluarga dan pengasuh dan meningkatkan kesinambungan perawatan. Pendekatan ini
secara efektif menangani kebutuhan holistik pasien COVID-19 lanjut usia saat mereka
menjalani masa transisi dari rumah sakit ke komunitas/masyarakat. Perawatan harus
meliputi asesmen komprehensif rekurensi gejala COVID-19, serta pengasuh pasien
harus sadar apabila mereka memiliki gejala COVID-19 dan kondisi kesehatan mental
mereka harus diperhatikan. Pemakaian teknologi kesehatan jarak jauh memiliki peran
dalam perawatan transisional namun juga harus diperhatikan agar efektif, cocok secara
budaya, bahasa, ras, dan etnis sehingga sejalan dengan rencana perawatan transisional.

Follow up
Pasien COVID-19 dan tidak memiliki riwayat gangguan psikiatri dapat menunjukkan
gejala delirium dalam bentuk gejala psikotik yang ditandai dengan thoughts of
reference dan delusi struktural yang biasanya ditemukan pada pasien psikotik primer,
seperti skizofrenia. Walaupun gejala ini menetap setelah resolusi delirium akut, masih
belum diketahui apakah kondisi ini merupakan psikosis primer (pada pasien yang
memiliki predisposisi genetik dan dicetuskan oleh penyakit akut) atau psikosis sekunder
(murni disebabkan oleh COVID-19). Telah ditemukan bahwa pada pasien dengan onset
sub akut (kurang dari satu minggu), pulih cepat dalam 2 minggu dan memiliki gejala
yang berhubungan dengan halusinasi sangat mungkin adalah delirium yang disebabkan
COVID-19. Namun, pasien dengan gejala ini akan memerlukan follow up psikiatrik
yang mendalam. Secara umum, pasien yang dirawat di ICU akan memiliki risiko
derpesi (29%), ansietas (34%) dan stres pasca trauma (34%) setelah 1 tahun pasien
dipulangkan dari rumah sakit. Pasien yang mengalami ARDS, yang dianggap sebagai
gambaran klinis COVID-19, akan menunjukkan gangguan memori, atensi, dan
konsentrasi pasca pemulangan dari rumah sakit (post-discharge impairments) atau
memiliki kecepatan proses mental yang lambat. Delirium berat yang menyebabkan
pasien perlu dirawat di ICU juga berhubungan dengan luaran yang buruk bagi pasien
dan keluarga. Prevalensi umum kejadian delirium di ICU mencapai 87% dan
berhubungan dengan gangguan kognitif setelah dipulangkan dari rumah sakit (post-
discharge), depresi, dan PTSD. Orang lanjut usia juga dapat mengalami gangguan tidur,
kelemahan otot, dan gangguan mobilitas setelah perawatan di rumah sakit. Keluarga
pasien dapat mengalami post-intensive case syndrome in family (PICS-F) yang meliputi
gejala stres, ansietas, atau depresi.

Kesimpulan
Asesmen COVID-19 pada pasien lanjut usia yang tersedia saat ini tidak meliputi
skrining delirium rutin. Tenaga kesehatan harus sadar akan gejala infeksi atipikal pada
pasien lanjut usia dan diedukasi mengenai pencegahan, deteksi, dan tatalaksana delirium
untuk memfasilitasi intervensi dini dan memperbaiki luaran jangka panjang. Data
mengenai delirium yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 masih terbatas dan diperlukan
penelitian lebih lanjut. Juga, telemedicine akan dapat membantu kelompok pasien usia
lanjut yang rentan.

Perspektif di masa yang akan datang


Delirium tampaknya lebih sering terjadi dalam jangka pendek selama infeksi COVID-
19. Namun, delirium dapat menunjukkan adanya gangguan psikiatrik primer sebagai
penyakit yang mendasari atau menyebabkan gejala kronik yang menetap. Sehingga,
penelitian mengenai dampak jangka panjang dari delirium terhadap kesehatan mental
pasien sangatlah penting. Tenaga medis yang bekerja di bangsal medikal yang terlibat
dalam pencegahan dan tatalaksana delirium akan memerlukan pelatihan lebih lanjut
sebagai bagian dari perawayan medikal-psikiatrik holistik bagi pasien usia lanjut.
Konsultais jarak jauh bagi pasien dan pengasuhnya juga perlu diimplementasikan di
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai