Anda di halaman 1dari 17

Kematian sel: tinjauan mengenai bentuk utama dari apoptosis, nekrosis, dan

autofagi.

Abstrak
Kematian sel awlanya dipercaya sebagai akibat dua proses berbeda, apoptosis (juga
dikenal dengan kematian sel terprogram) atau nekrosis (kematian sel tidak terprogram);
pada beberapa tahun teralhir, beberapa metode kematian sel lain telah ditemukan dan
membuktikan bahwa sel dapat mati melalui beberapa jalur berbeda. Apoptosis ditandai
oleh beberapa perubahan morfologis pada stuktur sel, bersamaan dengan proses
biokimia yang melibatkan emzim. Tujuan apoptosis adalah membersihkan sel dari
tubuh, dengan kerusakan minimal terhadap jaringan sekitar. Nekrosis, ditandai oleh
kematian sel yang tidak terkontrol, biasanya disebabkan oleh stressor kuat yang
menyebabkan tumaphnya isi sel ke dalam jaringan sekitar dan menyebabkan kerusakan.
Kegagalan apoptosis dan akibat akumulasi sel rusak di tubuh dapat menyebabkan
berbagai jenis kanker. Pemahaman mengenai jalur apoptosis penting untuk
mengembangkan kemoterapeutik yang efisien. Telah tampak jelas bahwa terdapat
berbagai sub tipe apoptosis dan tumpang tindih antara apoptosis, nekrosis, dan autofagi.
Tujuan tinjauan ini adalah membahas berbagai bentuk kematian sel seperti apoptosis,
nekrosis, onkosis, pyroptosis, dan autofagi. Pembahasan ini akan menjelaskan
rangkuman kepada peneliti mengenai bentuk utama kematian sel dan memungkinkan
mereka untuk membedakan masing-masing kematian sel.

Pendahuluan
Pada organisme multiseluler, terdapat upaya konstan untuk mempertahankan
keseimbangan homeostatik antara jumlah sel baru yang berasal dari mitosis dan jumlah
sel rusak atau tidak diperlukan yang harus disingkirkan dari tubuh. Pergantian sel ini
penting untuk perkembangan struktur seperti jari tangan dan kaki, yang pada fetus
memiliki bentuk selaput/webbed. Mekanisme regulasi mitosis pada binatang, deteksi
abnormalitas selular dan inisiasi kematian sel terprogram disebut dengan apoptosis yang
melibatkan berbagai gen regulator. Beberapa gen regulatorik ini berperan untuk
menstimulasi mitosis, sedangkan gen lain menginhibisi mitosis atau menginisiasi
apoptosis atau bentuk lain dari kematian sel terprogram seperti pyroptosis atau autofagi.
Proliferasi selular yang tidak terkontrol menyebabkan timbulnya penyakit seperti kanker
yang dapat menyebabkan kematian organisme, sedangkan kematian sel yang berlebihan
dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti Alzheimer, Parkinson, atau reumatoid
artritis.
Walaupun terdapat berbagai gen yang terlibat dalam siklus sel dan kematian sel,
sejak 1990 hingga sekarang, beberapa reseptor, enzim, dan protein regulatorik telah
diketahui berperan dalam proses apoptosis. Regulator ini apabila diekspresikan secara
tidak normal atau terjadi mutasi dapat menyebabkan efek langsung pada siklus sel,
sebagai contoh, enzim dari famili Bcl-2 dapat menstimulasi apoptosis atau menginhibisi
apoptosis bergantung pada profil ekspresi, lokalisasi, dan korformasi. Inhibisi apoptosis
atau mekanisme lain dari kematian sel terkontrol dapat mempengaruhi kerentanan
sebuah kanker terhadap obat kemoterapi, menyebabkan resistensi obat. Meningkatnya
ekspresi tranglutaminase 2 berhubungan dengan prognosis leukemia myeloid akut
(AML) yang buruk, dan penelitian menunjukkan adanya peningkatan ekspresi
transglutaminase 2 pada pasien AML relaps (dibandingkan dengan kadar
transglutaminasi 2 saat awal diagnosa).

Pengetahuan di bidang biologi kanker mengalami kemajuan sejak penelitian


terhadap persinyalan sel dan kematian sel terprogram di tahun 1980; terutama mengenai
keterlibatan siklus sel dan apoptosis sebagai regulator dalam keparahan dan keefektifan
obat kanker. Sebagai contoh, telah jelas bahwa lingkungan mikro di jaringan yang
ditemukan di sekitar sel yang mengalami nekroptosis menunjukkan hubungan erat
dengan kanker hepar, hal ini menunjukkan jenis kematian sel yang ditemukan di
jaringan tertentu dapat mempengaruhi tumorgenesis.

Tinjauan singkat mengenai kematian sel


Untuk mengembangkan terapi efektif untuk kanker dan penyakit lain akibat
abnormalitas regulasi kematian sel, sangatlah penting untuk memiliki pemahaman
mengenai bagaimana sel dapat kehilangan viabilitas dan akhirnya mati. Mekanisme
berbeda dari kematian sel akan dibahas di bagian selanjutnya, namun pada umumnya,
sel dibuang/disingkirkan dari jaringan dengan cara terkontrol yang melibatkan beberapa
kejadian biokimia dan molekul, atau dengan cara yang tidak terkontrol, yang
menyebabkan tumpahnya konten/isi selular ke dalam jaringan sekitar. Bentuk kematian
sel yang terkontrol yang paling dikenal adalah ‘apoptosis’, berasal dari bahasa Yunani
yang artinya “jatuh’’ sebagaimana daun jatuh dari pohon, sedangkan kematian sel yang
tidak terkontrol biasanya disebut nekrosis yang dari bahasa Yunani artinya “untuk
membunuh”.

Tinjauan apoptosis
Istilah apoptosis pertama kali digunakan pada tahun 1972 oleh Kerr, Whylllie,
dan Currie untuk mendeskripsikan kematian sel yang berbeda secara morfologis.
Apoptosis adalah proses dimana sel tidak tumbuh dan membelah dan kemudian
memasuki proses yang mengakibatkan sel mati secara terprogram tanpa menumpahkan
isinya ke jaringan sekitar. Apoptosis kadang disebut dengan kematian sel terprogram
(atau “bunuh diri selular”). Inisiasi apoptosis bergantung pada aktivasi proteasi
cysteine-aspartic yang dikenal dengan caspase. Terdapat dua kategori caspase, caspase
inisiator dan caspase eksekutor. Saat kerusakan sel terdeteksi, caspase inisiator (caspase
8 dan 9) teraktivasi dari procaspase inaktif dan menjadi caspase eksekutor (caspase 3, 6,
dan 7). Aktivasi caspase eksekutor menginisiasi kaskade kejadian yang menyebabkan
fragmentasi DNA dari aktivasi endonuklease, destruksi protein nuklear dan sitoskeleton,
protein crosslinking, ekspresi ligan dari sel fagositik dan pembentukan badan apoptotik.
Secara umum, apoptosis (gambar 1) dapat dibedakan dengan kematian sel tidak
terprogram – nekrosis (lihat gambar 2), kedua proses ini dapat dilihat di bawah
mikroskop dan dengan beberapa teknik biologi molekular; termasuk flow cytometry
dengan pewarnaan Annexin V-FITC dan DNA fragmentation assays. Pada apoptosis,
badan apoptosis yang mengandung isi sel mati dapat difagositosis oleh sel sekitarnya,
walaupun proses ini paling sering ditemukan pada kultur sel, sel in vivo seperti
makrofag seringkali menyingkirkan sel apoptotik sebelum terjadi fragmentasi.
Kemudian terjadilah containment/penangkapan jaringan yang mengalami jejas, dan
pada akhirnya, menurunkan risiko kerusakan kolateral di sel sekitar.
Proses apoptosis sangat terbatas di dalam organisme multi-selular dan dikontrokl
secara genetik. Apoptosis dapat diinisiasi oleh sel itu sendiri saat kerusakan terdeteksi
melalui sensor intraselular, sebuah mekanisme yang disebut dengan jalur intrinsik.
Selain itu, proses ini dapat disebabkan oleh interaksi antara sel sistem imun dan sel yang
rusak, yang disebut dengan apoptosis jalur ekstrinsik. Di tubuh manusia, diperkirakan
sebanyak 1 x 109 sel mengalami apoptosis setiap harinya. Kedua jalur apoptosis ini,
intrinsik dan ekstrinsik, secara sinergis bekerja untuk memastikan organisme multi
selular tetap sehat dan sel yang rusak disingkirkan dari tubuh. Kegagalan untuk
meregulasi apoptosis dapat menyebabkan berbagai penyakit. Sebagai contoh, penyakit
degeneratif seperti Alzheimer dimana kematian neuronal diinisiasi oleh aktivasi
caspase, sebuha enzim penting yang terlibat dalam apoptosis. Apabila apoptosis terlalu
sedikit, maka dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak terkontrol dan pembelahan
sel seperti pada kanker. Lihat gambar nomor 1 untuk ringkasan jalur apoptosis intrinsik
dan ekstrinsik.

Apoptosis jalur intrinsik


Jalur intrinsik, yang juga dikenal dengan apoptosis jalur mitokondria melibatkan
beberapa stimulus yang bekerja pada beberapa target di dalam sel. Bentuk apoptosis ini
bergantung pada faktor yang dilepaskan dari mitokondia dan diinisiasi dari jalur positif
atau negatif (salah satu). Sinyal negatif berasal dari ketiadaan sitokin, hormon, dan
growth factor di lingkungan sel. Tanpa sinyal pro-survival ini, molekul pro apoptosis di
dalam sel, seperti puma, noxa, dan bax yang biasanya menghinhibisi akan menjadi aktif
dan menginisiasi apoptosis. Faktor lain yang menginisiasi apoptosis yaitu seperti
hipoksia, toksin, radiasi, reactive oxygen soecies, virus, dan agen toksik, walaupun pada
beberapa kasus seperti pada neutrofil, hipoksia dapat mempromosikan keberlangsungan
hidup sel.
Gambar 1: Ringkasan komponen utama apoptosis jalur intrinsik dan ekstrinsik.
Apoptosis jalur intrinsik diinisiasi oleh sel itu sendiri sebagai respon terhadap
kerusakan yang terjadi. Jalur ekstrinsik diinisiasi melalui death receptors yang
distimulasi oleh sistem imun sel. Kedua jalur ini bertemu saat caspase 3 (caspase
eksekutor) teraktivasi, yang menyebabkan kematian sel

Gambar 2: Ringkasan jalur yang berhubungan dengan pyroptosis. Pyroptosis diinisiasi


pada respon infeksi bakteri seperti Samonella atau Shigella. Kebocoran ionik terjadi
melalui pori membran plasma, pembentukannya dipicu oleh caspase 1 sehingga sel
menjadi lisis. Caspase 1 juga memicu pelepasan sitokin inflamasi IL-1beta dan IL-18 ke
jaringan sekitar.
Caspase inisiator yang mengontrol jalur apoptosis intrinsik apoptosis adalah
caspase 9, yang dapat berikatan dengan adapter protein apoptotic protease factor 1
(APAF1) setelah paparan dari caspase recruitment domain (CARD domain). APAF1 di
sel non-apoptosis biasanya terlipat dalam kondisi dimana domain CARD dalam kondisi
terblokade dan procaspase 9, yang juga memiliki domain CARD tidak mampu berikatan
dengannya. Saat apoptosis diinduksi oleh sinyal positif maupun negatif, perubahan akan
mulai terjadi di membran mitokondria sehingga akan membuka pori mithocondrial
permeability transition (MTP). Saat pori MPT terbuka, protein pro apoptosis (termasuk
sitokrom c, Smac/Diablo dan HtrA2/Omi) akan keluar dari mitokondria dan memasuki
sitoplasma dan mengaktivasi apoptosis. Sitokrom c menginduksi apoptosis dengan
berikatan pada domain WD dari monomer APAF1, yang menyebabkan perubahan
konformasi pada APAF1 yang memaparkan domain nucleotide binding dan
oligomerization yang mampu berikatan dengan deoxy ATP (dATP). Pengikatan ini
menginduksi perubahan konformasional PADA APAF1, memaparkan CARD dan
domain oligomerisasi, sehingga memungkinkan beberapa APAF1 untuk berkumpul
pada sebuah kompleks yang dikenal dengan apoptosom. Apoptosom memiliki beberapa
domain CARD yang terekspos, yang merekrut dan mengaktivasi beberapa protein
procaspase 9. Enzim caspase 9 yang teraktivasi mampu untuk mengaktivasi procaspase
eksekutor, yang dalam bentuk caspase 3 aktif mampu menginduksi apoptosis.
Smac/Diablo dan HtrA2/Omi dapat menginisiasi apoptosis, dengan menginhibisi
inhibitor protein apoptosis (inhibiors of apoptosis protein - IAP), walaupun tanpa
pelepasan sitokrom c, menginhibisi IAP saja tidak cukup untuk menginisiasi apoptosis.
Tabel 1. Death receptor manusia dan ligandnya masing-masing
Death receptor Death ligand
TNF receptor 1 (TNFR1) TNF
CD95 (dikenal dengan Fas dan APO-1) Ligand CD95 (Cd95-L, atau Fas-L)
Death receptor 3 (DR3) TLIA
TNF-related apoptosis inducing ligand TRAIL (juga dikenal sebagai Apo2-L)
receptor 1 (TRAIL-R1, juga dikenal
dengan DR4)
TNF-related apoptosis inducing ligand TRAIL (juga dikenal sebagai Apo2-L)
receptor 1 (TRAIL-R2, juga dikenal
dengan DR4)

Apoptosis jalur ekstrinsik


Jalur ekstrinsik, juga dikenal sebagai jalur apoptosis death receptor (DR)
diinisiasi oleh natural killer cell atau makrofag saat mereka memproduksi death ligand,
yang saat berikatan dengan DR di membran sel target akan mampu menginduksi jalur
ekstrinsik melalui aktivasi procaspase 8 menjadi caspase 8. DR adalah anggota dari
tumour necrosis factor (TNF) dan terdiri dari beberapa anggota, dan masing-masing DR
memiliki death ligand tersendiri (lihat tabel 1). Untuk mengaktivasi caspase 8, sebuah
death ligand harus berikatan dengan DR, kemudian merekrut monomerik procaspase 8
melalui domain death-inducing (DED) menjadi death-inducing signal complex (DISC)
yang terletak di domain sitoplasma DR yang berikatan dengan ligand. DISC juga
meliputi protein adaptor yang dikenal dengan FAS-addociated death domain (FADD)
atau TNF receptor (TNFR)-associated death domain (TRADD), yang memfasilitasi
interaksi procaspase 8 menjadi dengan DISC 8. Rekrutmen beberapa monomer
procaspase 8 dengan DISC menyebabkan dimerisasi dan aktivasi, dimana caspase 8
mampu menginduksi apoptosis melalui satu atau dua jalur sub-pathway lain. Sub-
pathway yang terinduksi bergantung pada apakah sel merupakan tipe I atau tipe II. Pada
sel tipe I, caspase 8 secara langsung memecah caspase eksekutor, kecuali apabila IAP
diinhibisi oleh protein yang dilepaskan dari mitokondria. Pentingnya peran caspase 8
dalam mengontrol jalur apoptosis ekstrinsik (gambar 1) telah diobservasi pada mencit
yang tidak memiliki caspase 8, yang mana tidak ada respon terhadap ligand DR.
Apakah apoptosis dipicu oleh jalur intrinsik atau ekstrinsik, regulasinya yang
ketat sangatlah penting dan kegagalan regulasi tersebut akan menyebabkan konsekuensi
yang fatal. Pada kanker, sebagai contoh, sel gagal untuk menginisiasi apoptosis akibat
mutasi berbagai inisiasi beberapa mekanisme. Apabila ini terjadi bersamaan dengan sel
yang gagal merespon terhadap sinyal eksternal, yang secara normal akan memprovokasi
jalur ekstrinsik atau inhibisi proliferasi, maka yang akan terjadi (pada kondisi patologis)
adalah sel terus tumbuh dan membelah tidak terkontrol, menyebabkan pembentukan
tumor jinak atau kanker.

Pyroptosis: kematian sel terprogram dengan kerusakan kolateral


Apoptosis klasik (jalur intrinsik dan ekstrinsik) ditandai dengan
kompartementalisasi dari komponen intraselular sel dan hilangnya sampah/debris
selular tanpa adanya kerusakan kolateral di jaringan sekitarnya. Bentuk lain dari
apoptosis sudah diidentifikasi dan walaupun proses ini mengikuti tahapan yang
terprogram dan dipengaruhi caspase, proses ini bersifat pro-inflamasi. Bentuk kematian
sel ini disebut dengan pyroptosis dan telah diidentifikasi pada makrofag yang diinfeksi
dengan Salmonella atau Shigella dan tidak ditemukan pada sel defisiensi caspase 1. Saat
teraktivasi oleh patogen, caspase 1 memproses bentuk awal dari interleukin sitokin
inflamatorik 1-beta (IL-1beta) dan IL-18 untuk menjadi bentuk aktifnya, sehingga
apoptosis terjadi di sel, namun dengan pelepasan sitokin inflamasi ke jaringan sekitar.
Procaspase 1 dipecah menjadi caspase 1 aktif yang menyebabkan pembentukan pori
membran plasma. Pori ini memungkinkan masuknya ion, menyebabkan keseimbangan
gradien ionik antara lingkungan intraselular dan ekstraselular; kemudian air memasuki
sel, menyebabkan pembengkakan dan lisis. Pada pyroptosis, tidak seperti apoptosis,
integritas nuklear tetap dipertahankan (tidak ada fragmentasi) walaupun terjadi
kondensasi nuklear.
Sejak penemuan pyroptosis, pyroptosis telah ditemukan di sistem saraf pusat dan
sistem kardiovaskular, hal ini menunjukkan bentuk kematian sel jenis ini sangatlah
signifikan secara biologis. Lihat gambar 2 untuk melihat proses pyroptosis.

Autofagi: mekanisme untuk melindungi dan membunuh sel yang stres


Autofagi adalah proses dimana komponen selular seperti makroprotein atau
keseluruhan organel tersekuestrasi ke dalam lisosom dan kemudian terjadi degradasi.
Lisosom kemudian mampu mencerna substrat ini, komponen ini dapat didaur ulang
untuk membuat stuktur selular baru dan/tau organel, atau diproses dan digunakan
sevagai sumber energi. Autofagi dapat diinisasi dengan berbagai stresor, paling umum
disebabkan oleh kekurangan nutrien (restriksi kalori) atau dapat disebabkan oleh sinyal
yang ada selama diferensiasi selular dan embriogenesis dan pada permukaan organela
yang rusak. Autofagi juga terlibat dalam sistem imun adaptif dan sistem imun alamiah
dimana terjadi degradasi patogen intraselular dan mengantarkan antigen ke MHC class
II dan menginisiasi transportasi asam nukleat virus kepada Toll-like receptors.
Walaupun autofagi sering dugunakan untuk mendaur ulang komponen selular, proses
ini dapat menyebabkan destruksi sel dan berhubungan dengan pembuangan sel yang
sudah dua dari jaringan yang menua, dan destruksi lesi neoplasma. Kegagalan autofagi
dapat menyebabkan kanker (terutama pada organisme berusia tua) yang juga
berhubungan dengan akumulasi agregat protein di neuron dan terjadinya kondisi
neurodegeneratif seperti Alzheimer.
Hingga saat ini, terdapat tiga bentuk berbeda dari autofagi yaitu makroautofagi,
mikroautofagi, dan autofagi selektif. Pada autofagi yang paling sering dibahas
(makroautofagi), seluruh region sel tertutup/terlindungi di dalam vesikel bermembran
ganda yang disebut dengan autofagosom. Autofagosome ini kemudian berfusi dengan
lisosom sehingga menjadi autofagolisosom dan konten/isinya didegradasi oleh protease.
Pada mikroautofagi, kargo (organela atau region sitosol) secara langsung berinteraksi
dan berfusi dengan lisosom. Mikroautofagi lebih spesifik dibandingkan makroautofagi
dan dapat dipicu oleh persinyalan molekul pada permukaan organela yang mengalami
kerusakan seperti mitokondria atau peroxisom yang menyebabkan fusi lisosom dengan
organela ini. Bergantung organela yang ditargetkan, vesikel yang terbentuk dinamakan
dengan spesifik, sebagai contoh, untuk mitokondria adalah mitofagi dan untuk
peroxisome adalah peroxofagi. Pada autofagi selektif, juga disebut dengan autofagi
chaperon-mediated, protein di dalam sitoplasma ditargetkan untuk berfusi dengan
lisosom oleh chaperone (pendamping) sitosol melalui interaksi antara chaperone dan
pentapeptida yang ada di dalam sekuensi asam amino substrat tersebut. Protein substrat
kemudian berikatan dengan reseptor lisosomal LAMP-2A dan dibawa ke dalam lisosom
untuk terdegradasi. Gambar 3 menjelaskan mekanisme umum dari autofagi. Berikut
adalah tahapan spesifik dari autofagi. Awalnya, autofagi dimediasi oleh komplek
ULK1. Untuk membentuk phagophore, diperlukan kompleks fosfoinositida 3-kinase
kelas III (P13K). Kompleks ini terdiri dari 5 sub unit (ATG14L, Beclin 1, VSP34, dan
VSP15). Kompleks yang terdiri dari ATG5, ATG12, dan ATG16L, bersamaan dengan
microtubule-associated protein light chain 3 (LC3II) menstimulasi elongasi
phagophore dan penting agar untuk pembentukan autofagosom. Protein p60 berikatan
dengan ubiquitinated protein dan akan menjadi target degradasi. P60 berikatan dengan
LC3II saat autofagosom terbentuk dan protein target dan organela diproses (engulfed) di
dalam autofagosom yang beru terbentuk. Autofagosom kemudian berfusi dengan
lisosom dan konten/isinya akan dicerna.

Gambar 3: Ringkasan tahapan autofagi. Autofagi disebabkan oleh pembentukan


phagophore, yang diinisiasi oleh ULK1 dan kompleks ATG5-ATG12-ATG16L.
Kemudian merekammendekati ubiquitinised protein yang berikatan dengan p60 dan
LC311. Phagophore kemudian membentuk autofagosom, yang kemudian berfusi
dengan lisosom sehingga terjadi degradasi konten sel.

Nekrosis: kematian sel dengan kerusakan kolateral


Tidak seperti apoptosis, nekrosis adalah alternatif kematian sel yang tidak
terkontrol yang disebabkan jejas eksternal, seperti hipoksia atau inflamasi. Proses ini
seringkali melibatkan protein pro inflamasi dan senyawa seperti nuclear factor-kB, yang
menyebabkan ruptur membran sel sehingga isi sel tumpah ke area sekitar, menyebabkan
kaskade inflamasi dan kerusakan jaringan. Berkebalikan dengan apoptosis, nekrosis
adalah kematian sel yang tidak memerlukan energi, dimana sel mengalami kerusakan
hebat oleh radiasi, panas, kimia, hipoksia, dll, sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Sel
akan merespon dengan membengkak, (sebuah proses yang dikenal dengan onkosis)
karena sel gagal mempertahankan homeostasis. Nekrosis yang dideskripsikan sebagai
kebalikan dari apoptosis merupakan konsep yang berguna, namun, biasanya nekrosis
dilihat sebagai titik akhir dalam kultur sel dengan adanya fragmen selular di media, apa
yang dideskripsikan di beberapa kasus mengenai kultur sel adalah: nekrosis hanyalah
sisa-sisa sel apoptosis di tahap akhir, badan apoptotik yang sudah rusak. In vivo, badan
apoptosis akan difagositosis oleh sel darah putih, namun pada kultur populasi sel
tunggal hal ini tidak ditemukan, sehingga diagnosa mekanisme pasti kematian sel akan
sulit ditentukan. Proses kemtain sel terkontrol lainnya adalah onkosis. Onkosis dan
progresifitasnya menjadi nekrosis terilustrasi di gambar 5.

Nekroptosis: mekanisme kematian nektorik yang teregulasi.

Pada tahun 2005 ditemukan bentuk baru kematian sel yang menyerupai nekrosis,
namun tidak mirip dengan penemuan sebelumnya. Bentuk kematian sel ini disebut
nekroptosis. Nekroptosis (gambar 4) adalah kategori nekrosis yang sangat teregulasi.
Proses nekroptosis ini dikontrol pada lingkungan apoptosis-deficient oleh receptor-
interacting protein 1 (RIP1) dan 3 (RIP3). Jalur aktivasi nekroptosis yang paling
dipahami adalah mediasi oleh death receptor, paling sering oleh tumour necrosis factor
receptor 1 (TNFR1), walaupun reseptor tumour necrosis factor-related apoptosis-
inducing ligand (TRAIL) dan Fas juga dapat menginduksi nekroptosis. Saat ligan
berikatan dengan TNFR1, maka mereka akan merekrut prosurvival complex 1, yang
terdiri dari TNFR-associated death domain i(TRADD) dan RIP1, dan beberapa ligase
ubiquin E3. Pada kompleks I, RIP1 berbentuk polyubiquinated; kemudian proses de-
ubiquitination RIP1 menyebabkan pembentukan kompleks IIa ayau IIb. Kompleks IIa
mengaktivasi caspase 8 dan menyebabkan apoptosis, dimana saat caspase 8 diinhibisi,
kompleks IIb akan terbentuk dan mengaktivasi nekroptosis.

Gambar 4: Ringkasan tahapan nekroptosis. Nekroptosis melalui persinyalan TNF dan


deubiquitination RIP1, fosforilasi RIP1 dan RIP3, inaktivasi caspase 8, dan fosforilasi
MLKL. FADD, FAS‐associated death domain; MLKL, mixed lineage kinase; RIP,
receptor‐interacting protein; TNF, tumour necrosis factor; TNFR1, TNF receptor 1;
TRADD, tumour necrosis factor receptor‐associated death domain.
Gambar 5. RIngkasan progres sel normal menjadi onkotik dan nektroik. Setelah stres
yang hebat pada sel dan upregulasi sitokin pro inflamasi, sel akan kehilangan
permeabilitasnya, membengkak (onkosis) dan ruptur (nekrosis), sehingga isi/konten sel
tumpah ke jaringan sekitar.

Untuk menginisiasi nekroptosis melalui komleks IIb, RIP1 merekrut RIP3 dan
menginduksi auto-fosforilasi dan trans-fosforilasi, dengan oligomerisasi dari RIP3 yang
terfosforilasi. Proses ini menyebabkan berkumpulnya nekrosom (kompleks multiprotein
yang menyerupai amyloid). Bersama dengan RIP1 dan 3, mixed lineage kinase domain-
like psedokinase (MLKS) juga terlibat dalam nekroptosis. RIP3 merekrut MLKL dan
memfosforilasinya di Threonine 357/Serine 358. Setelah fosforilasi, MLKL
beroligomerase dan bermigrasi ke membran sel dari sitoplasma sel. Ini menyebabkan
permeabilisasi membran, kemungkinan oleh MLKL yang berikatan pada lipid
fosfatidylinositol dan kardiolipin; proses ini menyebabkan nekrosis dan kematian sel.

Onkosis: Mekanisme peralihan antara apoptosis, autofagi, dan nekrosis


Istilah onkosis berasal dari bahasa Yunani, ‘onkos’, yang artinya membengkak
dan merupakan kondisi sel sesaat sebelum akhirnya mati. Gambaran utama onkosis
adalah pembengkakan sel secara umum dan organela di dalam sel, bersamaan dengan
meningkatnya permeabilitas membran. Saat proses onkosis sedang berjalan, terdapat
deplesi cadangan energi intraselular dan akhirnya terjadi kegagalan pompa ion di
membran plasma. Onkosis menyebabkan debris selular bocor ke jaringan sekitar.
Infeksi oleh Rotavirus juga menyebabkan hal yang serupa.
Onkosis adalah bentuk primer kematian sel akibat jejas iskemia dan dapat
berujung pada nekrosis onkotik. Apoptosis menyebabkan penyusutan ukuran sel,
marginasi kromatin di dalam nukleus dan pembentukan badan apoptosis, sedangkan
nekrosis onkosis melibatkan pembengkakan selular, karyolisis, vakuolasi dan lisis,
diikuti dengan pelepasan isi/konten selular. Onkosis dan apoptosis dihubungkan oleh
apoptosis yang memerlukan energi (ATP-dependent). Harus digarisbawahi bahwa sel
yang mengalami apoptosis dapat kehabisan suplai ATP dan tidak mampu
menyelesaikan apoptosis, sehingga yang terjadi adalah nekrosis sekunder, yang ditandai
dengan pembengkakan dan lisis. Sebaliknya, apabila onkosis dihambat, stres pada sel
akan dapat menginduksi apoptosis. Peralihan dari apoptosis menjadi nekrosis onkotik,
via onkosis, menunjukkan bahwa apoptosis dan nekrosis onkotik adalah fenomena yang
berhubungan erat. Telah dihipotesiskan bahwa apoptosis dan onkosis bukanlah
mekanisme yang berbeda, namun kebalikan dari nekroptosis. Hipotesis ini didukung
oleh penelitian yang menunjukkan adanya bukaan mitochondrial membrance transition
pore (MTP) yang diobservasi pada onkosis dan apoptosis. Secara spesifik, hipotesis ini
menyebutkan bahwa jejas yang pada mitokondria (dalam jumlah sedikit) dapat
diperbaiki melalui autofagi dari organela yang rusak, sedangkan apabila kerusakan
mitokondria cukup banyak maka pelepasan sitokrom C akan mengaktivasi jalur
apoptosis intrinsik (apabila terdapat ATP yang cukup). Jika kerusakan sel cukup berat,
maka kadar ATP selular akan turun menjadi sangat rendah sehingga apoptosis tidak
dapat terjadi dan akan dilanjutkan dengan nekrosis onkotik. Penjelasan tersebut
menyimpulkan bahwa onkosis berperan sebagai penghubung antara autofagi, apoptosis,
dan nekrosis.
Gambar 5 menunjukkan tinjauan umum mengenai onkosis dan progresnya menjadi
nekrosis.

Diskusi
Berbagai bentuk kematian sel terprogram telah berevolusi guna menyingkirkan
sel yang rusak atau terinfeksi dari jaringan agar sel-sel sehat di sekitarnya terus
berfungsi dengan baik. Kematian sel dapat disebabkan proses teregulasi yang
memerlukan energi (apoptosis, pyroptosis, dan autofagi) atau dari proses yang tidak
memerlukan energi (onkosis/nekrosis). Kedua perbedaan ini dapat dibedakan satu dari
yang lainnya berdasarkan morfologi dan biokimianya. Secara umum kematian sel dapat
dibagi menjadi non inflamatori dan pro inflamatori. Apoptosis adalah bagian dari non
inflamatori dan menyebabkan pembuangan sel rusak dari jaringan tanpa menyebabkan
kerusakan kolateral terhadap sel di sekitarnya. Onkosis, pyroptosis, dan nekrosis akan
menyebabkan reaksi inflamasi dan menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar.
Awalnya, apoptosis mungkin menjadi bentuk kematian sel terprogram yang lebih
dikehendaki dibandingkan bentuk kematian sel dengan inflamasi, namun pyroptosis dan
nekroptosis tentu saja tetap memberikan manfaat kepada organisme. Penulis berteori
bahwa bentuk kematian sel dengan inflamasi tidak hanya bertujuan untuk mentargetkan
dan menyingkirkan sel individu, namun sel multipel secara bersamaan. Sebagai contoh,
pyroptosis, yang dipicu oleh beberapa faktor termasuk bakteri, membantu mencegah
penyebaran bakteri dengan membunuh sekelompok sel dan membawa dan mengaktivasi
neutrofil yang merespon terhadap pelepasa sitokin. Sel yang mati akibat pyroptosis
melepaskan damage-associated molecular pattern molecules (DAMP), termasuk Il-1b.
DAMP kemudian merekrut sel imun ke lokasi infeksi, dan mengatasi infeksi. Pyroptosis
dapat menginduksi respon imun sistemik, sedangkan apoptosis hanya memiliki efek
terlokalisir. Bentuk lain dari kematian sel dengan inflamasi seperti nekrosis/nekroptosis
dapat menyingkirkan sel rusak dan/atau sel kanker dari area spesifik di sebuah jaringan,
dengan merekrut sel imun, yang menyebabkan kematian kelompok sel di dalam region
tersebut. Proses ini dapat membantu menghancurkan populasi sel kanker sehingga
mencegah metastasis sel neoplasma ke jaringan lain.
Seperti jalur selular lainnya, terdapat potensi patologis akibat aktivasi abnormal
dari kematian sel. Apabila program kematian sel diinisiasi terlalu awal, maka dapat
memunculkan penyakit degeneratif. Sebagai contoh, apoptosis dapat menyebabkan
penyakit seperti hiperplasia di organ limfoid perifer dan liver sehingga menyebabkan
malfungsi sistem Fas (Fas sebelumnya didiskusikan sebagai bagian dari apoptosis kalur
intrinsik); proses ini menyebabkan penyakit autoimun dan tumorgenesis. Kadar
apoptosis abnormal juga berhubungan dengan berbagai kondisi patologis seperti
penyakit Parkinson dan kolitis ulseratif. Kematian sel inflamasi seperti nekroptosis
berhubungan dengan non-alcoholic fatty liver disease-related carcinogenesis dan
sebagaimana didiskusikan sebelumnya, pyroptosis berhubungan dengan infeksi
Salmonella atau Shigella. Beberapa penelitian menggunakan mencit telah berhasil
mengidentifikasi nekroptosis keratinosit sebagai pemicu inflamasi skulit, yang mana hal
ini menandakan nekroptosis keratinosit terlibat dalam penyakit kulit inflamatorik pada
manusia. Mekanisme yang menginisiasi inflamasi pada kulit berevolusi sebagai
mekanisme untuk mencegah invasi patogen ke dalam organisme.

Mentargetkan jalur kematian sel spesifik untuk terapi penyakit


Memahami mekanisme apoptosis telah membantu pembuatan obat ABT-737 dan
derivat oralnya, navitoclax. Kedua obat ini adalah BH3 mimetik dan bekerja dengan
menstimulasi apoptosis dengan berikatan pada menginhibisi BCL-2, BCL-XL, dan
BCL-W, yang mana semuanya adalah inhibitor apoptosis. Banyak keganasan sel B
mengekspresikan enzim anti-apoptosis BLC-2 secara berlebihan, yang akan
meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel. ABT-737 dan navitoclax, dengan
memblokade enzim ini, terbukti efektif untuk terapi keganasan. Hingga saat ini belum
ada kemoterapi yang tersedia untuk mentargetkan nekroptosis, namun pemakaian jalur
ini telah disarankan sebagai alternatif atau konjungtif untuk kemoterapi yang memicu
apoptosis, dan salah satu penelitian tahun 2007 menyebutkan bahwa senyawa
napththoquinone dapat menginduksi kematian sel pada kanker mamae MCF-7 manusia
dan kanker renal HEK293 dengan menginduksi nekroptosis, yang berujung pada
regimen necroptosis inducing drug di masa yang akan datang. Sebuah penelitian tahun
2017 menunjukkan bahwa kemoterapi dapat menginduksi pyroptosis pada sel kanker
yang mengekspresikan GSDME melalui peralihan aktivasi apoptosis yang dimediasi
caspase 3 menjadi pyroptosis, walaupun GSDME tidak bersifat silent pada kebanyakan
sel kanker. Autofagi berfungsi untuk melindungi sel sehat pada saat stres dan juga
bersifat protektif terhadap sel kanker saat sel sehat mengalami stres akibat kemoterapi.
Salah satu manfaat autofagi untuk keuda sel sehat dan neoplastik adalah autofagi
memungkinkan sel memperoleh sumber energi alternatif selama terjadinya stres
metabolik, seperti saat kemoterapi. Pada tahun 2014, inhibitor autofagi, Spautin-1, dapat
meningkatkan apoptosis yang diinduksi imatinib pada leukemia myeloid kronik, hal ini
membuktikan bahwa memodifikasi autofagi sangatlah tepat untuk terapi kanker.

Kesimpulan
Bertambahnya pengetahuan mengenai berbagai bentuk kematian sel selama
beberapa dekade terakhir telah berujung pada pengembangan terapi klinis seperti terapi
kanker, biasanya dengan menginduksi apoptosis. Walaupun pada saat publikasi,
terdapat hanya beberapa jumlah obat yang dapat menargetkan nekroptosis, pyroptosis,
atau autofagi, beberapa obat yang masih dikembangkan dan sangat mungkin menjadi
terapi di masa yang akan datang untuk berbagai macam penyakit, termasuk kanker,
seiring dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai mekanisme kematian sel.

Anda mungkin juga menyukai