Anda di halaman 1dari 44

TUGAS UNDANG-UNDANG DAN ETIKA FARMASI

MATRIK MATERI PENGATURAN PEKERJAAN / PRAKTIK


KEFARMASIAN
DOSEN :Drs. Fakhren Kasim,MHKes.,Apt

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2(PEMBUATAN)

1. Bintang Tia Warmani 20344114


2. Marlia Handayani 20344115
3. Masta Ulia Panjaitan 20344116
4. Lia Lische Marselina 20344117
5. Weni Leasing Septa Saputri 20344118
6. Mastini 20344119
7. Nova Puspita Sari 20344120
8. Santa Febrika Br Ginting 20344121
9. Kristin Sih Wahyuni 20344122
10. Maria Mei Sri Rahayu 20344123
11. Nur Alfi Mufida Hasni 20344124
12. Saryanah 20344125
Kelas: (D)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2021
MATRIK MATERI PENGATURAN PEKERJAAN / PRAKTIK
KEFARMASIAN
NO ASPEK PEMBUATAN ( INDUSTRI )
1. DEFINISI Pembuatan adalah rangkaian kegiatan dalam
menghasilkan suatu obat yang meliputi produksi dan
pengawasan mutu, mulai dari pengadan bahan awal
dan bahan pengemas, proses pengolahan,
pengemasan obat jadi sampai diperoleh obat yang
siap untuk didistribusikan yang meliputi seluruh
kegiatan dalam pembuatan obat.
Menurut CPOB pembuatan obat yang baik adalah
bagian dari sistem pemastian mutu yang mengatur
dan memastikan obat yang diproduksi dan mutunya
dikendalikan secara konsisten sehingga produk dan
mutu yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu
yang ditetapkan sesuai tujuan penggunaan produk
disamping persyaratan lain.

2. STD YANG DIPAKAI PP No. 51 tahun 2009


Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah
cara pembuatan yang baik ( Good Manufacturing
Practices).
Pasal 11
1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian,
Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur
Operasional.
2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat
secara tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3. PERSYARATAN PP No. 72 Tahun 1998


Persyaratan mutu , keamanan dan kefarmasian obat
sesuai dalam buku Farmakope dan buku standar
lainnya.
1) Produksi hanya dapat memproduksi oleh badan
usaha yang telah memiliki izin usaha industri
sesuai dengan ketentuan per –UU-an yang
berlaku pada pasal 3.
2) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan
CPOB ( pasal 6 ayat 2 ) PMK 1799 Pasal 8.
Sertifikat CPOB berlaku selama 5 tahun sepanjang
memenuhi persyaratan.
Pemenuhan persyaratan CPOB dibuktikan dengan
sertikat CPOB yang dikeluarkan oleh kepala Badan
(pasal 6 ayat 3).

4. SDM PMK NO.17 Tahun 2017


Peningkatkan kualitas sumber daya manusia di
bidang farmasi, baik di industri farmasi Indonesia,
institusi pendidikan dan pemerintahan merupakan
hal yang sangat penting untuk mendukung
implementasi Rencana Strategis Industri Farmasi
Indonesia. Industri farmasi Indonesia harus mampu
mendorong sumber daya manusianya agar mampu
menguasai teknologi farmasi terkini. Institusi
pendidikan perlu mengembangkan kurikulum
pendidikan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan
industri farmasi dan menyelaraskan metode
penelitian pada riset-riset farmasi yang diadakan
sesuai dengan persyaratan/standar yang berlaku
terutama di industri, sehingga hasil riset tersebut
dapat dikomersialisasikan. Pemerintah, sebagai
regulator, juga perlu peningkatan pengetahuan dan
kompetensi sumber daya manusianya baik di
industri maupun internal pemerintah agar mampu
menguasai regulasi dan dasar teknologi farmasi
terkini.Penguatan sumber daya manusia, selanjutnya
perlu diikuti dengan penguatan struktur industri
farmasi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan obat
nasional, termasuk untuk kebutuhan program JKN
dan KIS.
Industri farmasi Indonesia telah berkomitmen untuk
memastikan ketersediaan obat nasional, baik dari
sisi jumlah yang dibutuhkan, akses memperoleh
obat, ketersediaan obat, keterjangkauan harga obat
dan jaminan kualitas obat sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Beberapa industri farmasi Indonesia telah
menginisiasi proses penelitian dan produksi bahan
baku obat aktif (API). Beberapa industri farmasi
Indonesia mulai membangun dan mengajukan izin
pendirian fasilitas produksi bahan baku obat melalui
berbagai skema kerjasama baik dengan
institusi/lembaga dalam negeri maupun
institusi/lembaga luar negeri. Saat ini, beberapa
industri farmasi swasta mulai merintis pembangunan
fasilitas produksi untuk obat biofarmasi.Industri
farmasi Indonesia menyadari bahwa dukungan dan
kerjasama dengan semua pemangku kepentingan
dibutuhkan untuk mewujudkan visi kemandirian
obat dan bahan baku obat nasional.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah
berupaya melakukan sinergisme forum ABGC
(Academic, Business, Government, dan Community)
yang merupakan wadah bersama untuk menciptakan
networking dan kerjasama sekaligus menghilangkan
hambatan-hambatan yang ada untuk
mengembangkan industri farmasi Indonesia. Untuk
pelaksanaan ekspor produk farmasi dari industri
farmasi Indonesia, pada tahun 2017 akan dimulai
inisiasi untuk integrasi proses ekspor.
Semua pemangku kepentingan diharap dapat
berkomitmen untuk menciptakan iklim usaha yang
kondusif untuk ekspor produk farmasi Indonesia ke
luar negeri, dimulai dari pemberian insentif dan
kemudahan ekspor, ekspansi pasar ekspor yang
potensial, perizinan, hingga pelaksanaan ekspor itu
sendiri.
Transfer Teknologi Tahap ini merupakan tahap
terpenting dalam implementasi rencana aksi Industri
Farmasi Indonesia, menuju industri farmasi berbasis
riset dimana kompentensi industri farmasi Indonesia
dibangun menuju tahap kemandirian. Mengacu pada
kompetensi industri farmasi Indonesia saat ini,
diperlukan kolaborasi untuk menguasai teknologi
farmasi terkini, baik kolaborasi dengan
institusi/lembaga dalam negeri maupun
institusi/lembaga luar negeri. Diharapkan pada
proses kolaborasi ini secara bertahap industri
farmasi Indonesia mampu meningkatkan
kompetensinya melalui proses transfer teknologi,
hingga pada akhirnya dapat menguasai teknologi
farmasi terkini secara penuh.
Oleh karena itu, industri farmasi BUMN dengan
dukungan dana dari pemerintah, diharapkan menjadi
pionir dalam proses transfer teknologi ini.Wujud
nyata dari kolaborasi ditunjukkan dengan mulai
terbentuknya fasilitas penelitian dan/atau produksi,
khususnya untuk pengembangan bahan baku obat
aktif, baik untuk obat biofarmasi, vaksin, bahan
alam, ataupun kimia. Pada tahap ini, industri farmasi
Indonesia berkomitmen untuk mulai meneliti dan
memproduksi bahan baku obat aktif dari sumber
daya hayati asli Indonesia, dimulai dari
pengembangan teknologi kultivasi dan standardisasi
bahan baku, penelitian, ekstrasi terstandar,
fraksinasi, isolasi bahan obat aktif, uji preklinik, uji
klinik, produksi skala pilot, dan produksi skala
komersial. Salah satu kendala yang sering dihadapi
industri berbahan baku yang berasal dari sumber
hayati adalah kesinambungan suplai dan konsistensi
kualitas. Untuk itu, industri farmasi Indonesia perlu
berkolaborasi dengan institusi atau pihak lain
dibidang pertanian, peternakan, dan kelautan untuk
memastikan keberlanjutan, standardisasi dan
konsistensi suplai bahan baku. Dalam rangka
akselerasi penguasaan dan transfer teknologi terkini,
pada tahap ini pemerintah dan industri farmasi
Indonesia perlu melaksanakan Scientist Pooling
Program untuk memanggil kembali para ilmuwan
Indonesia yang masih bekerja di luar negeri untuk
pulang ke Indonesia dan bersama-sama
mengembangkan Industri Farmasi Indonesia.
Dengan meningkatnya kompentensi industri farmasi
Indonesia melalui transfer teknologi, pada tahap
ketiga ini diharapkan industri farmasi Indonesia
sudah mulai memiliki kompentensi untuk
melakukan penelitian dan produksi bahan baku obat
aktif secara mandiri. Melalui sinergisme kompetensi
produksi bahan baku obat obat aktif dan formulasi
produk, diharapkan sudah terdapat beberapa industri
farmasi Indonesia yang mampu bertransformasi
dengan menguasai teknologi farmasi dari hulu
sampai hilir; dan menghasilkan produk obat jadi
secara mandiri. Lebih jauh lagi, diharapkan industri
farmasi Indonesia tersebut juga sudah mulai
menginisiasi komersialisasi produknya ke arah
ekspor. Pada tahap ini, dengan dukungan finansial
yang lebih menunjang, diharapkan pemerintah dan
industri farmasi Indonesia.

5. SARANA DAN PRASARANA Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017


Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri
UU no 3 tahun 2014
Pasal 1
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan.
Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggaranya suatu proses.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017

TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN


PRASARANA INDUSTRI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan:
1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.
2. Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggaranya suatu proses.
3. Standardisasi Industri adalah proses
merumuskan, menetapkan, menerapkan,
memelihara, memberlakukan, dan mengawasi
standar bidang Industri yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku
kepentingan.
4. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan
oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang
bertugas dan bertanggung jawab di bidang
standardisasi dan berlaku di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
5. Spesifikasi Teknis adalah dokumen persyaratan
teknis yang mengacu pada sebagian parameter
SNI dan/atau standar internasional.
6. Pedoman Tata Cara adalah dokumen yang berisi
tata cara atau prosedur untuk desain, manufaktur,
instalasi, pemeliharaan atau utilisasi dari
peralatan, struktur atau produk.
7. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.
8. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
9. Perusahaan Industri adalah Setiap Orang yang
melakukan kegiatan di bidang usaha Industri
yang berkedudukan di Indonesia.
10. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi
yang mengolah bahan baku dan/atau
memanfaatkan sumber daya industri sehingga
menghasilkan barang yang mempunyai nilai
tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa
industri.
11. Petugas Pengawas Standar Industri yang
selanjutnya disebut PPSI adalah pegawai negeri
sipil pusat atau daerah yang ditugaskan untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
penerapan atau pemberlakuan standar Industri.
12. Kawasan Industri adalah kawasan tempat
pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi
dengan Sarana dan Prasarana penunjang yang
dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan
Kawasan Industri.
13. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan
yang mengusahakan pengembangan dan
pengelolaan Kawasan Industri.
14. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
Korporasi.
15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
16. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau
direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar,
peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan
keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu,
bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait
dengan kegiatan Perusahaan Industri.
17. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat
atau direkam dalam bentuk angka, huruf,
gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang
menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu
tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah
terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan
Industri.
18. Informasi Industri adalah hasil pengolahan Data
Industri dan Data Kawasan Industri ke dalam
bentuk tabel, grafik, kesimpulan atau narasi
analisis yang memiliki arti atau makna tertentu
yang bermanfaat bagi penggunanya.
19. Sistem Informasi Industri Nasional adalah
tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang
terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya
manusia, basis data, perangkat keras dan lunak,
serta jaringan komunikasi data yang terkait satu
sama lain dengan tujuan untuk penyampaian,
pengelolaan, penyajian, pelayanan serta
penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri.
20. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan,
perbaikan, invensi, dan/atau inovasi dalam
bentuk teknologi proses dan teknologi produk
termasuk rancang bangun dan perekayasaan,
metode, dan/atau sistem yang diterapkan dalam
kegiatan Industri.
21. Fasilitas Nonfiskal adalah kemudahan dari
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
yang diterima Perusahaan Industri dan/atau
Perusahaan Kawasan Industri dalam bentuk jasa,
nilai kegunaan hak, nilai kegunaan barang
dan/atau nilai kegunaan bangunan fisik yang
pemanfaatannya menimbulkan atau tidak
menimbulkan keuntungan komersial, tanpa
diikuti dengan pemindahan penguasaan atau
kepemilikan hak, barang dan/atau bangunan fisik
tersebut dari Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah kepada Perusahaan Industri
dan/atau Perusahaan Kawasan Industri.
22. Izin Usaha Industri yang selanjutnya disingkat
dengan IUI adalah izin yang diberikan kepada
Setiap Orang untuk melakukan kegiatan usaha
Industri.
23. Izin Usaha Kawasan Industri yang selanjutnya
disingkat dengan IUKI adalah izin yang
diberikan untuk melakukan pengembangan dan
pengelolaan Kawasan Industri.
24. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
yang selanjutnya disebut dengan KBLI adalah
klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia yang
ditetapkan oleh kepala lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang statistik.
25. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
27. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
28. Menteri Teknis adalah menteri yang memegang
kewenangan teknis pengaturan, pembinaan dan
pengembangan di bidang Industri.
29. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian.
Pasal 2
Lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi:
a. Standardisasi Industri;
b. Sistem Informasi Industri Nasional;
c. Fasilitas Industri;
d. Sanksi administratif.

6. SUMBER DAYA LAIN PP No. 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian
Pasal 9
1. Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang
Apoteker sebagai penanggung jawab masing-
masing pada bidang pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan
Farmasi.
2. Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika
harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas
Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan
Menteri.

7. IJIN YANG DIPERLUKAN IJIN YANG DIPERLUKAN.


DAN PROSES PERIJINANNYA Peraturan pemerintah No.13 tahun1995
Tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3596).
Pasal 12
1. Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi.
2. Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dapat melakukan proses pembuatan obat untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang bersangkutan.
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2),harus terlebih dahulu
memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
Pasal 3
1. Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk:
a. semua tahapan; dan/atau
b. sebagian tahapan.
2. Industri Farmasi yang melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan
penelitian dan pengembangan yang menyangkut
produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3. Produk hasil penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan
oleh Industri Farmasi di Indonesia.
Pasal 4
1. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib
memperoleh izin industri farmasi dari Direktur
Jenderal.
2. Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau
bahan obat yang termasuk dalam golongan
narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk
memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
1. Persyaratan untuk memperoleh izin industri
farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan
pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga)
orang apoteker Warga Negara Indonesia
masing-masing sebagai penanggung jawab
pemastian mutu, produksi, dan pengawasan
mutu; dan
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat,
baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan
di bidang kefarmasian.
2. Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, bagi
pemohon izin industri farmasi milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pasal 6
1) Untuk memperoleh izin industri farmasi
diperlukan persetujuan prinsip.
2) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal.
3) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip
dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing
atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pemohon
harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman
Modal dari instansi yang menyelenggarakan
urusan penanaman modal sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal setelah
pemohon memperoleh persetujuan Rencana
Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
5) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah
diberikan, pemohon dapat langsung melakukan
persiapan, pembangunan, pengadaan,
pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk
produksi percobaan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang tata ruang dan
lingkungan hidup.
Pasal 8
1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan
CPOB.
2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
sertifikat CPOB.
3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun
sepanjang memenuhi persyaratan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan
tata cara sertifikasi CPOB diatur oleh Kepala
Badan.
Pasal 9
1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Industri
Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Industri
Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat
hasil produksinya yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi
wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala
Badan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
farmakovigilans diatur oleh Kepala Badan.
Pasal 10
1) Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat
dilakukan oleh Industri Farmasi dan/atau
lembaga setelah mendapat pertimbangan dari
lembaga yang berwenang di bidang atom.
2) Pembuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan CPOB.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan
sediaan radiofarmaka diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Persetujuan Prinsip.
Pasal 11
1) Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 1
terlampir.
2) Sebelum pengajuan permohonan persetujuan
prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemohon wajib mengajukan permohonan
persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP)
kepada Kepala Badan dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2
terlampir.
3) Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP)
diberikan oleh Kepala Badan paling lama dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterima dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 3
terlampir.
4) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan
kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang
sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas
direksi dan komisaris perusahaan;
c. susunan direksi dan komisaris;
d. pernyataan direksi dan komisaris tidak
pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi;
e. fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan
tanah;
f. fotokopi Surat Izin Tempat Usaha
berdasarkan Undang-Undang Gangguan
(HO);
g. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan;
h. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
i. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
j. persetujuan lokasi dari pemerintah daerah
provinsi;
k. persetujuan Rencana Induk
Pembangunan(RIP) dari Kepala Badan;
l. rencana investasi dan kegiatan pembuatan
obat;
m. asli surat pernyataan kesediaan bekerja
penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
n. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-
masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung
jawab pemastian mutu dari pimpinan
perusahaan.
5) Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur
Jenderal paling lama dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja setelah permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 4 terlampir atau
menolaknya dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
6) Pemohon izin industri farmasi dengan status
Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal
Dalam Negeri yang telah mendapatkan Surat
Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal,
wajib mengajukan permohonan persetujuan
prinsip sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini.
Pasal 12
1) Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga)
tahun.
2) Persetujuan prinsip dapat diubah berdasarkan
permohonan dari pemohon izin industri farmasi
yang bersangkutan.
3) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan
pelaksanaan penyelesaian pembangunan fisik,
atas permohonan pemohon, jangka waktu 3
(tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang oleh Direktur Jenderal untuk
paling lama 1 (satu) tahun.
4) Pada saat pemohon izin industri farmasi mulai
melakukan pembangunan fisik, yang
bersangkutan dapat menyampaikan surat
permohonan impor mesin-mesin dan peralatan
lainnya termasuk peralatan pengendalian
pencemaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) Selama melaksanakan pembangunan fisik, yang
bersangkutan wajib menyampaikan laporan
informasi kemajuan pembangunan fisik setiap 6
(enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan dan
kepala dinas kesehatan provinsi dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 6 terlampir.
6) Persetujuan prinsip batal demi hukum apabila
setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau setelah jangka
waktu 1 (satu) tahun perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pemohon belum
menyelesaikan pembangunan fisik, dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
Pasal 13
1) Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalamPasal 12 dapat mengajukan permohonan
izin industri farmasi.
2) Surat permohonan izin industri farmasi harus
ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dengan
kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi persetujuan prinsip Industri
Farmasi;
b. surat Persetujuan Penanaman Modal untuk
Industri Farmasi dalam rangka Penanaman
Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam
Negeri;
c. daftar peralatan dan mesin-mesin yang
digunakan;
d. jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
e. fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan/Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan;
f. rekomendasi kelengkapan administratif izin
industri farmasi dari kepala dinas kesehatan
provinsi;
g. rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB
dari Kepala Badan;
h. daftar pustaka wajib seperti Farmakope
Indonesia edisi terakhir;
i. asli surat pernyataan kesediaan bekerja
penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
j. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-
masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung
jawab pemastian mutu dari pimpinan
perusahaan;
k. fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA) dari masing-masing
apoteker penanggung jawab produksi,
apoteker penanggung jawab pengawasan
mutu dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu; dan
l. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak
pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang kefarmasian.
3) Permohonan izin industri farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi setempat dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 7
terlampir.
4) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari
kerja sejak diterimanya tembusan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala
Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan
CPOB.
5) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari
kerja sejak diterimanya tembusan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala
dinas kesehatan provinsi melakukan verifikasi
kelengkapan persyaratan administratif.
6) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sejak dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB,
Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi
pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada kepala dinas
kesehatan provinsi dan pemohon dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8 terlampir.
7) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan
persyaratan administratif, kepala dinas kesehatan
provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan
persyaratan administratif kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan
dan pemohon dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 9
terlampir.
8) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) serta
persyaratan lainnya, Direktur Jenderal
menerbitkan izin industri farmasi dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 10 terlampir.
Pasal 14
1) Terhadap permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
pemberian persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2), dan Permohonan izin
industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dikenai biaya sebagai
penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Dalam hal permohonan atau persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak,
maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat
ditarik kembali.
PROSES PERIJINAN
PMK NO 1799/MENKES/PER/XXL/2010
Pasal 3
1) Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk:
a. semua tahapan; dan/atau
b. sebagian tahapan.
2) Industri Farmasi yang melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan
penelitian dan pengembangan yang menyangkut
produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3) Produk hasil penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan
oleh Industri Farmasi di Indonesia

8. KEGIATAN ATAU PROSES PMK No. 1799 Tentang industri farmasi


Pasal 2
Proses dan kegiatan.
1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi.
2) Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit
dapat melakukan proses pembuatan obat untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang bersangkutan.
3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu
memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
Pasal 3
1) Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk: a. semua tahapan; dan/atau b. sebagian
tahapan.
2) Industri Farmasi yang melakukan kegiatan
proses pembuatan obat dan/atau bahan obat
untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan
penelitian dan pengembangan yang menyangkut
produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3) Produk hasil penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan
oleh Industri Farmasi di Indonesia.

9. JAMINAN ATAU WAS.MUTU Jaminan


Industri farmasi merupakan suatu badan usaha yang
secara resmi terdaftar dan memiliki izin untuk
melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat
dalam skala yang besar. Padaperjalanannya industri
farmasi terus mengalami kemajuan dan
pengembangan guna meningkatkan penjaminan
terhadap kualitas dan mutudarisuatu obat. Produk
obat yang berkualitas dipengaruhi oleh banyak
faktor yang terlibat dalam setiap prosesnya,mulai
dari bahan baku, bahan kemas sampai dengan
seluruh peralatan yang berkaitan dengan proses
produksi obat tersebut.
Guna mendapatkan obat jadi dengan kualitas yang
tinggi maka dibutuhkan suatu pedoman bagi industri
farmasi untuk dapat digunakan sebagai panduan
dalam melakukan proses produksi obatatau yang
sering dikenal dengan istilah CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik).

Pengawasan mutu. CPOB 2018


Bab 1
1.4 Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB
yang berhubungan dengan pengambilan sampel,
spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi,
dokumentasi dan prosedur pelulusan yang
memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan
relevan telah dilakukan dan bahwabahan yang belum
diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum
diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum
mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat.
Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai fungsi
Pengawasan Mutu. Fungsi ini hendaklah independen
dari bagian lain. Sumber daya yang memadai
hendaklah tersedia untuk memastikan bahwa semua
fungsi Pengawasan Mutu dapat dilaksanakan secara
efektif dan dapat diandalkan.
Persyaratan dasar dari Pengawasan Mutu adalah
bahwa:
a) sarana dan prasarana yang memadai, personil
yang terlatih dan prosedur yang disetujui tersedia
untuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan
pengujian bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, produk ruahan dan produk jadi, dan bila
perlu untuk pemantauan lingkungan sesuai
dengan tujuan CPOB;
b) pengambilan sampel bahan awal, bahan
pengemas, produk antara, produk ruahan dan
produk jadi dilakukan oleh personil dengan
metode yang disetujui oleh Pengawasan Mutu;
c) metode pengujian disiapkan dan divalidasi;
d) pencatatan dilakukan secara manual atau dengan
alat pencatat selama pembuatan yang
menunjukkan bahwa semua langkah yang
dipersyaratkan dalam prosedur pengambilan
sampel, inspeksi dan pengujian benar-benar telah
dilaksanakan. Tiap penyimpangan dicatat secara
lengkap dan diinvestigasi;
e) produk jadi berisi zat aktif dengan komposisi
secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan
yang disetujui pada saat pendaftaran, dengan
derajat kemurnian yang dipersyaratkan serta
dikemas dalam wadah yang sesuai dan diberi
label yang benar;
f) dibuat catatan hasil pemeriksaan dan analisis
bahan awal, bahan pengemas, produk antara,
produk ruahan, dan produk jadi secara formal
dinilai dan dibandingkan terhadap spesifikasi;
dan
g) sampel pertinggal bahan awal dan produk jadi
disimpan dalam jumlah yang cukup untuk
dilakukan pengujian ulang bila perlu. Sampel
produk jadi disimpan dalam kemasan akhir
kecuali untuk kemasan yang besar.
Pengawasan Mutu secara menyeluruh juga
mempunyai tugas lain, antara lain menetapkan,
memvalidasi dan menerapkan semua prosedur
pengawasan mutu, mengevaluasi, mengawasi, dan
menyimpan baku pembanding, memastikan
kebenaran label wadah bahan dan produk,
memastikan bahwa stabilitas dari zat aktif dan
produk jadi dipantau, mengambil bagian dalam
investigasi keluhan yang terkait dengan mutu
produk, dan ikut mengambil bagian dalam
pemantauan lingkungan. Semua kegiatan tersebut
hendaklah dilaksanakan sesuai dengan prosedur
tertulis dan dicatat.
Personil Pengawasan Mutu hendaklah memiliki
akses ke area produksi untuk melakukan
pengambilan sampel dan investigasi bila diperlukan.
Bab 7
Prinsip
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang
esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara
konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan
tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen
semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap
merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu
mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi
produk jadi. Pengawasan Mutu mencakup
pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta
termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian
yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak
diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan
untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan
memenuhi persyaratan.
Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan
laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua
keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari
Produksi dianggap hal yang fundamental agar
Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan
dengan memuaskan. (Lihat juga Bab 1 Manajemen
Mutu).

7.1 Tiap pemegang izin pembuatan harus


mempunyai Bagian Pengawasan Mutu. Bagian ini
harus independen dari bagian lain dan di bawah
tanggung jawab dan wewenang seorang dengan
kualifikasi dan pengalaman yang sesuai, yang
membawahi satu atau beberapa laboratorium. Sarana
yang memadai harus tersedia untuk memastikan
bahwa segala kegiatan Pengawasan Mutu
dilaksanakan dengan efektif dan dapat diandalkan.

7.2 Tugas utama kepala bagian Pengawasan Mutu


dijelaskan pada Bab 2 Personalia. Bagian
Pengawasan Mutu secara keseluruhan juga
mempunyai tanggung jawab, antara lain adalah:
 membuat, memvalidasi dan menerapkan
semua prosedur pengawasan mutu,
 menyimpan sampel pembanding dari bahan
dan produk,
 memastikan pelabelan yang benar pada
wadah bahan dan produk,
 memastikan pelaksanaan peman- tauan
stabilitas dari produk,
 ikut serta pada investigasi dari keluhan yang
terkait dengan mutu produk,
 dll
Semua kegiatan tersebut hendaklah dilakukan
sesuai dengan prosedur tertulis, dan dicatat di
mana perlu.

7.3 Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang


diterapkan bagian Pengawasan Mutu hendaklah
menjamin bahwa pengujian yang diperlukan
telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam
produksi dan produk disetujui sebelum
didistribusikan. Lihat juga Bab 1 Manajemen
Mutu.

10. RAHASIA KEFARMASIAN PP No. 51 tahun 2009Tentang pekerjaan


kefarmasian
Rahasia kefarmasian adalah pekerjaan kefarmasian
yang menyangkut proses produksi, proses
penyaluran,dan proses pelayanan dari sediaan
farmasi yang tidak boleh diketahui oleh umum
sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

11. PENCATATAN Pencatatan I


PBPOM-No. 28 Tahun 2018
Industri Farmasi wajib membuat pencatatan secara
tertib dan akurat setiap tahap pengelolaan mulai dari
pengadaan, penyimpanan, pembuatan, penyaluran,
penanganan obat kembalian, penarikan kembali
obat, pemusnahan, dan inspeksi diri serta
mendokumentasikannya.
I.1.2. Catatan terkait pemasukan dan pengeluaran
Bahan Obat dan Obat-Obat Tertentu sekurang-
kurangnya mencantumkan:
a. nama, bentuk dan kekuatan sediaan
b. tanggal dan nomor dokumen serta asal
penerimaan dan tujuan penyaluran
c. jumlah yang diterima, digunakan/diproduksi dan
disalurkan
d. jumlah (sisa) persediaan
e. nomor bets dan tanggal daluwarsa setiap
penerimaan dan penyaluran
f. paraf atau identitas personil yang ditunjuk
I.1.3. Dokumentasi dapat dilakukan secara manual
atau sistem elektronik. Apabila dokumentasi
dilakukan dalam bentuk manual dan
elektronik, data keduanya harus sesuai satu
sama lain.
I.1.4. Sistem elektronik yang digunakan untuk
mendokumentasikan tahap pengelolaan harus
tervalidasi dan mudah ditampilkan serta
ditelusuri setiap saat diperlukan. Harus
tersedia backup data dan Standar Prosedur
Operasional terkait penanganan apabila
sistem tidak berfungsi.
I.1.5. Surat pesanan dan faktur pembelian/penjualan
atau surat penyerahan barang digabungkan
menjadi satu dan diarsipkan berdasarkan
nomor urut atau tanggal dokumen sehingga
mudah tertelusur.
I.1.6. Dokumen wajib disimpan di tempat yang
aman dalam jangka waktu sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun setelah kedaluwarsa
dan mudah diperlihatkan pada saat
pelaksanaan audit atau diminta oleh regulator.
I.1.7. Apabila dokumen disimpan oleh pihak ketiga,
wajib dapat diperlihatkan pada saat
pemeriksaan.

12. PELAPORAN Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001


Pasal 23
1) Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan
industri secara berkala mengenai kegiatan
usahanya:
a. sekali dalam 6 (enam) bulan, meliputi jumlah
dan nilai produksi setiap obat atau bahan
obat yang dihasilkan dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 13 terlampir; dan
b. sekali dalam 1 (satu) tahun dengan
menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 14 terlampir.
2) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan.
3) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat
tanggal 15 Januari dan tanggal 15 Juli.
4) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b disampaikan paling lambat
tanggal 15 Januari.
5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaporkan secara elektronik.
6) Direktur Jenderal dapat mengubah bentuk dan isi
formulir laporan sesuai kebutuhan.
MATRIK MATERI PENGATURAN

PEKERJAAN/PRAKTIK KEFARMASIAN

NO ASPEK PRODUKSI
1 UNDANG UNDANG UNDANG UNDANG NO 7 TAHUN 1963
TENTANG FARMASI
BAB III
USAHA-USAHA
Pasal 3
Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang
farmasi, adalah sebagai berikut:
a. Usaha-usaha dalam bidang produksi, yang meliputi: penggalian
kekayaan alam. penanaman tumbuh-tumbuhan, pemeliharaan dan
pengembangan binatang yang berguna untuk farmasi, pembuatan
bahan-bahan farmasi, pembuatan obat-obat syntetis, pembuatan
obat-obat jadi, pembuatan alat-alat kesehatan dan alat-alat yang
berhubungan dengan kesehatan, termasuk alatalat untuk
laboratorium dan alat-alat untuk pembuatan obat-obat dan lain-lain.
b. Usaha-usaha dalam bidang distribusi yang dilakukan oleh
Pemerintah dan Swasta yang meliputi:
a. alat-alat distribusi, apotek-apotek, rumah obat-rumah obat,
toko-toko penyalur obat dan lain-lain.
b. Usaha-usaha penyelidikan (penelitian) oleh Lembaga Farmasi
Nasional, Universitas-universitas dan lain-lain.
c. Usaha-usaha pengawasan oleh Pemerintah, Pusat maupun
Daerah.
d. Membentuk dan menggunakan Dewan Farmasi.
e. Usaha-usaha lain.
Pasal 4
1. Dengan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan peraturan-peraturan
mengenai produksi dan distribusi dibidang farmasi.
2.Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai
penyelidikan dan pengawasan konsumsi dibidang farmasi, pekerjaan
kefarmasian dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

2 PERATURAN PP NO 51 TAHUN 2009


PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 1
Butir 9. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan
untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Butir 17. Standar Kefarmasian adalah baru melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan kefarmasian.

Pasal 5
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:
a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi; dan
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
Pasal 7
1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki
Apoteker penanggung jawab.
2. Apoteker penanggung jawab lintasan laksana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.
Pasal 8
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industri obat, industri
bahan baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika
Pasal 9
1. Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
2. Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang
kurang 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi Farmasi diatur dalam
Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi yang dimaksud
dalam Pasal 7 harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Yang Baik yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 11
1. Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.
2. Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai ketentuan peraturan-undangan.
Pasal 12
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan
pengawasan mutu Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan
Farmasi wajib Oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Pasal 13
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu.
Pasal 14
1. Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat
harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
2. Apoteker sebagai penanggung jawab yang mengacu pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan / atau Tenaga Teknis Kefarmasian
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian
dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi yang diatur
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan
Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 16
1. Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker yang dimaksud
dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.
2. Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang farmasi dan sesuai ketentuan peraturan-undangan.

3 PERATURAN -
PRESIDEN

4 PERATURAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


MENKES NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI
FARMASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
untuk manusia.
2. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat
yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu
sebagai bahan baku farmasi.
3. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
4. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan
obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas,
produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai
diperoleh obat untuk didistribusikan.
5. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOB
adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu
obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan
penggunaannya.
6. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian
(assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat.
7. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut
Kepala Badan adalah Kepala Badan yang tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pengawasan obat dan makanan.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan
alat kesehatan.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
BAB II
IZIN INDUSTRI FARMASI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
(1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi.
(2) Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan obat untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan.
(3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
Pasal 3
(1) Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk: a. semua tahapan; dan/atau b. sebagian
tahapan.
(2) Industri Farmasi yang melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan penelitian dan pengembangan
yang menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(3) Produk hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan oleh
Industri Farmasi di Indonesia.
Pasal 4
(1) Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri
farmasi dari Direktur Jenderal.
(2) Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang
termasuk dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus
untuk memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga
Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab
pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b, bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 6
(1) Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.
(2) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri
Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri,
pemohon harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari
instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana
Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
(5) Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon
dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan,
pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan
lingkungan hidup.
Pasal 8
(1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
(2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
(3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi
persyaratan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi
CPOB diatur oleh Kepala Badan.
Pasal 9
(1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1), Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
(2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil
produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi wajib
melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur oleh Kepala
Badan.
Pasal 10
(1) Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat dilakukan oleh Industri
Farmasi dan/atau lembaga setelah mendapat pertimbangan dari
lembaga yang berwenang di bidang atom.
(2) Pembuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan CPOB. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan
sediaan radiofarmaka diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Persetujuan Prinsip
Pasal 11
(1) Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 1 terlampir.
(2) Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib mengajukan permohonan
persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2
terlampir
(3) Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala
Badan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 3
terlampir.
(4) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris
perusahaan;
c. susunan direksi dan komisaris;
d. pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
e. fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah;
f. fotokopi Surat Izin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang
Gangguan (HO);
g. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan ;
h. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
i. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
j. persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi;
k. persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan;
l. rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
m. surat pernyataan asli kesediaan bekerja penuh dari masing–masing
apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
dan
n.fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
dari pimpinan perusahaan.
(5) Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam
waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir atau menolaknya
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
(6) Pemohon izin industri farmasi dengan status Penanaman Modal Asing
atau Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah mendapatkan Surat
Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan
urusan penanaman modal, wajib mengajukan permohonan persetujuan
prinsip sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ini.
Pasal 12
(1) Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun.
(2) Persetujuan prinsip dapat diubah berdasarkan permohonan dari
pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian
pembangunan fisik, atas permohonan pemohon, jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh
Direktur Jenderal untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Pada saat pemohon izin industri farmasi mulai melakukan
pembangunan fisik, yang bersangkutan dapat menyampaikan surat
permohonan impor mesinmesin dan peralatan lainnya termasuk
peralatan pengendalian pencemaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Selama melaksanakan pembangunan fisik, yang bersangkutan wajib
menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap
6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6
terlampir.
(6) Persetujuan prinsip batal demi hukum apabila setelah jangka waktu 3
(tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau setelah
jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), pemohon belum menyelesaikan pembangunan fisik, dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Bagian Ketiga
Permohonan Izin Industri Farmasi
Pasal 13
(1) Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat mengajukan permohonan
izin industri farmasi.
(2) Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh
direktur utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan
kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi;
b. surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam
rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam
Negeri;
c. daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
d. jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
e. fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
f. rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari
kepala dinas kesehatan provinsi;
g. rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan;
h. daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir;
i. asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing
apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
j. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
dari pimpinan perusahaan;
k. fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari
masingmasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker penanggung
jawab pemastian mutu; dan
l. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang kefarmasian.
(3) Permohonan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7
terlampir.
(4) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya
tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala
Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOB.
(5) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya
tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala
dinas kesehatan provinsi melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan
administratif.
(6) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan
memenuhi persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan pemohon
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 8
terlampir.
(7) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan
memenuhi kelengkapan persyaratan administratif, kepala dinas
kesehatan provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan
administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan pemohon dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 9 terlampir.
(8) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) serta
persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin industri
farmasi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 10 terlampir.
Pasal 14
(1) Terhadap permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), pemberian persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2),
dan Permohonan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dikenai biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan atau persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditolak, maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik
kembali.
BAB III
PENYELENGGARAAN
Pasal 15
Industri Farmasi mempunyai fungsí:
a. pembuatan obat dan/atau bahan obat;
b. pendidikan dan pelatihan; dan
c. penelitian dan pengembangan.
Pasal 16
(1) Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi
yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Industri Farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap
pemenuhan persyaratan CPOB, baik untuk perubahan kapasitas dan/atau
fasilitas produksi wajib melapor dan mendapat persetujuan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan alamat dan
pindah lokasi, perubahan penanggung jawab, atau nama industri harus
dilakukan perubahan izin.
(2) Perubahan terhadap akte pendirian perseroan terbatas harus dilaporkan
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan
kepala dinas kesehatan provinsi
Pasal 18
(1) Industri Farmasi yang melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi
wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi setempat dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 11 terlampir.
(2) Tata cara permohonan perubahan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 19
(1) Industri Farmasi yang melakukan perubahan penanggung jawab, alamat
di lokasi yang sama, atau nama industri, wajib mengajukan permohonan
perubahan izin kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 12
terlampir.
(2) Ketentuan mengenai permohonan perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengikuti tata cara permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8).
(3) Direktur Jenderal setelah menerima rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan provinsi mengeluarkan perubahan izin.
Pasal 20
(1) Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau
menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar
farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Industri Farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan
atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar
bahan baku farmasi, dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Industri Farmasi dapat membuat obat secara kontrak kepada Industri
Farmasi lain yang telah menerapkan CPOB.
(2) Industri Farmasi pemberi kontrak wajib memiliki izin industri farmasi
dan paling sedikit memiliki 1 (satu) fasilitas produksi sediaan yang telah
memenuhi persyaratan CPOB.
(3) Industri Farmasi pemberi kontrak dan Industri Farmasi penerima
kontrak bertanggung jawab terhadap keamanan, khasiat/kemanfaatan,
dan mutu obat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan obat kontrak ditetapkan
oleh Kepala Badan.
Pasal 22
(1) Industri Farmasi dapat melakukan perjanjian dengan perorangan atau
badan usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual di bidang obat
dan/atau bahan obat untuk membuat obat dan/atau bahan obat.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
ketentuan bahwa izin edar obat yang diperjanjikan dimiliki oleh Industri
Farmasi.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 23
(1) Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala
mengenai kegiatan usahanya:
a. sekali dalam 6 (enam) bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi
setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 13 terlampir; dan
b. sekali dalam 1 (satu) tahun dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 14 terlampir.
(2) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan.
(3) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari dan tanggal 15 Juli.
(4) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaporkan secara
elektronik.
(6) Direktur Jenderal dapat mengubah bentuk dan isi formulir laporan
sesuai kebutuhan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 24
(1) Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh
Direktur Jenderal
(2) Pedoman mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 25
(1) Pengawasan terhadap Industri Farmasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini dilakukan oleh Kepala Badan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tenaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan dan:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan
pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan
bahan obat untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh
segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan,
penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat;
b. membuka dan meneliti kemasan obat dan bahan obat;
c. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan pembuatan, penyimpanan,
pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
d. mengambil gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan
peralatan yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau perdagangan obat dan bahan obat.
Pasal 26
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b.larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah
untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi
obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c.perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin industri farmasi; atau
f. pencabutan izin industri farmasi.
(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dapat dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d diberikan oleh Kepala Badan.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
huruf f diberikan oleh Direktur Jenderal atas rekomendasi Kepala
Badan.
Pasal 27
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak
pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi
dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 28
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga
adanya pelanggaran pidana di bidang obat dan/atau bahan obat, segera
dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur oleh Kepala Badan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, persetujuan prinsip yang telah
dimiliki tetap berlaku sebagai salah satu tahap untuk memperoleh izin
industri farmasi berdasarkan Peraturan ini.
(2) Permohonan izin industri farmasi yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan ini tetap diproses berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi
(3) Izin industri farmasi yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi dinyatakan
masih tetap berlaku.
(4) Izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diperbaharui sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan ini paling lama
2 (dua) tahun sejak tanggal pengundangan.
Pasal 31
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri
Farmasi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan ini dan/atau belum diganti berdasarkan
ketentuan Peraturan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 33
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

5 KEPUTUSAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NO 245/Men.Kes/SK/V/1990


MENKES TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN
PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI
BAB IV
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PEMBERIAN
IZIN USAHA INDUSTRI FARMASI
Pasal 11
1. Pengajuan permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian usaha
industri farmasi disampaikan kepada DirJen denganmenggunakan
formulir POM-1,
2. Setelah permohonan diterima secara lengkap, dalam waktu 12 hari
kerja DirJen mengeluarkan persetujuan prinsip dengan
menggunakan model POM-3,
3. Persetujuan prinsip diberikan dengan memperhatikan daftar
negative penanaman modal,
4. Persetujuan prinsip dapat diubah sesuai permohonan dari yang
bersangkutan,
5. Persetujuan prinsip berlaku selama 3 tahun kecuali untuk hal
tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyesuaian
pembangunan proyek atas permohonan pihak yang bersangkutan,
dapat diperpanjang oleh Dirjen selama-lamanya 1 tahun,
6. Persetujuan prinsip batal dengan sendirinya apabila selambat-
lambatnya 3 tahun pemohon tidak melaksanakan pembangunan fisik
, dan memperhatikan ketentuan yg dimaksud dalam ayat 8,
7. Pada saat perusahaan industri farmasi mulai membangun fisik
pabriknya, yg bersangkutan dapat menyampaikan surat permohonan
impor mesin dan peralatan termasuk peralatan pengendalian
pencemaran,
8. Dalam melaksanakan persetujuan prinsip, perusahaan yang
bersangkutan menyampaikan informasi kemajuan pembangunan
proyeknya setiap 1 tahun sekali kepada DirJen dan mempergunakan
formulir POM-4.
BAB VI
INFORMASI INDUSTRI FARMASI
Pasal 15
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha industri farmasi wajib
menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan
usahanya:
a. Sekali dalam 6 bulan meliputi jumlah nilai produksi masing-masing
produk yang dihasilkan dengan menggunakan formulir model
POM-8 untuk industri farmasi.
b. Sekali dalam 1 tahun dengan menggunakan contoh formulir model
POM-9 dengan surat pengantar seperti contoh formulir model
POM-9.
Pasal 16
1. Informasi industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15
disampaikan kepada DirJen dengan tembusan kepada kepala kantor
wilayah.
2. Informasi yang dimaksud dalam pasal 15 wajib disampaikan
selambat-lambatnyasatu bulan setelah masa laporan yang
bersangkutan yaitu tanggal 1 juli.
BAB VII
PENYALURAN PRODUK INDUSTRI FARMASI
Pasal 17
Industri farmasi yang telah memperoleh izin usaha industri farmasi wajib
menyalurkan dan memasarkan produknya sesuai ketentuan perUU yang
berlaku.

6 PER Ka BPOM PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN


MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.03.1.33.12.12.8195 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN
PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOB,
adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu
obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan.
2. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
3. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
4. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat
yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai
bahan baku farmasi.
5. Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa
industri farmasi telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu
jenis bentuk sediaan obat yang diterbitkan oleh Kepala Badan.
6. Sertifikat Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik, yang
selanjutnya disebut Sertifikat CPBBAOB, adalah dokumen sah yang
merupakan bukti bahwa industri farmasi telah memenuhi persyaratan
CPBBAOB dalam memproduksi satu jenis bahan baku aktif obat.
7. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut
Kepala Badan, adalah Kepala Badan yang tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pengawasan obat dan makanan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pengaturan CPOB dalam Peraturan ini, meliputi:
a. Obat;
b. Bahan Obat.
BAB III
PENERAPAN CPOB
Pasal 3
(1) Industri Farmasi dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan
pembuatan obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman
CPOB.
(2) Pedoman CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Pasal 4
Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. lembaga yang melakukan proses pembuatan sediaan radiofarmaka dan
telah mendapat pertimbangan dari lembaga yang berwenang di bidang
pengawasan tenaga nuklir; dan
b. instalasi farmasi rumah sakit yang melakukan proses pembuatan obat
untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan; wajib menerapkan Pedoman CPOB.
Pasal 5
(1) Pemenuhan persyaratan Pedoman CPOB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a.
Sertifikat CPOB; atau b. Sertifikat CPBBAOB.
(3) Penerbitan Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 6
Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman CPOB dapat dikenai sanksi
administratif sebagai berikut:
1. Peringatan;
2. Peringatan keras;
3. Penghentian sementara kegiatan;
4. Pembekuan Sertifikat CPOB/CPBBAOB;
5. Pencabutan Sertifikat CPOB/CPBBAOB; dan
6. Rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.0027 Tahun 2006 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor HK.03.01.23.09.10.9030 Tahun 2010 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

7 KEP Ka BPOM KEPUTUSAN KEPALA BPOM NO HK.00.05.3.1950 TAHUN 2003


TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapat
izin edar.
2. Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan
di wilayah Indonesia.
3. Produk terapetik adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk obat,
produk biologi, dan alat kesehatan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan dan peningkatan kesehatan.
4. Obat adalah obat jadi termasuk produk biologi, yang merupakan paduan
zat aktif, termasuk narkotika dan psikotropika, dan zat tambahan,
termasuk kontrasepsi dan alat kesehatan yang mengandung obat.
5.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis ataupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Narkotika.
6. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
mental dan perilaku.
7. Produk biologi adalah vaksin, imunosera, antigen, hormon, enzim,
produk darah dan produk hasil fermentasi lainnya (termasuk antibodi
monoklonal dan produk yang berasal dari teknologi rekombinan DNA)
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka pencegahan, penyembuhan,
pemulihan dan peningkatan kesehatan.
8. Kontrasepsi adalah obat atau alat yang tujuan penggunaannya untuk
mencegah terjadinya konsepsi.
9. Obat baru atau obat jadi baru adalah obat dengan zat aktif atau komposisi
atau bentuk sediaan/cara pemberian atau indikasi atau posologi baru yang
belum pernah disetujui di Indonesia
10.Obat copy atau obat jadi sejenis adalah obat yang mengandung zat aktif
sama dengan obat yang sudah terdaftar.
11.Obat produksi dalam negeri adalah obat yang dibuat dan dikemas oleh
industri di dalam negeri.
12.Obat kontrak adalah obat yang pembuatannya dilimpahkan kepada
industri farmasi lain.
13. Obat lisensi adalah obat yang diproduksi atas dasar lisensi.
14. Obat impor adalah obat produksi industri farmasi luar negeri.
15.Obat yang dilindungi paten adalah obat yang mendapatkan perlindungan
paten berdasarkan Undang-undang Paten yang berlaku di Indonesia.
16.Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi
obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah
memiliki izin edar.
17.Pemberi kontrak adalah industri farmasi atau badan lain yang
melimpahkan pekerjaan pembuatan obat berdasarkan kontrak.
18.Penerima kontrak adalah industri farmasi yang menerima pekerjaan
pembuatan obat berdasarkan kontrak.
19.Lisensi adalah pelimpahan hak dan wewenang penggunaan hasil
penelitian dan pengembangan yang menyangkut alih teknologi dalam
manufaktur, penggunaan hasil penelitian dan pengembangan mengenai
efikasi, keamanan, mutu dan penggunaan nama dagang serta penjualan
suatu obat.
20.Penandaan adalah keterangan lengkap mengenai obat, efikasi,
keamanan, cara penggunaannya serta informasi lain yang dianggap perlu
yang dicantumkan pada etiket, brosur dan kotak yang disertakan pada
obat. 21. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyaluran atau penyerahan obat, baik dalam rangka perdagangan, bukan
perdagangan, atau pemindahtanganan.
22. Disket adalah disket dengan format khusus untuk registrasi obat.
23. Dokumen status peredaran adalah dokumen resmi status peredaran obat
di suatu negara yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, misalnya
Certificate of Free Sale (CFS), Certificate of Pharmaceutical Product
(CPP).
24. FERO (Fasilitas Elektronik Registrasi Obat) adalah fasilitas elektronik
yang menunjang sistem registrasi obat secara terpadu, utamanya untuk
melakukan pemantauan data dan proses registrasi.
KRITERIA OBAT
Pasal 3
(1) Obat yang dapat memiliki izin edar harus memenuhi kriteria utama
berikut :
a. Efikasi atau khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai
dibuktikan melalui uji preklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain
sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang
bersangkutan;
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda
pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi
dengan bukti yang sahih;
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat
menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga harus
memenuhi kriteria lain sebagai berikut :
a. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan
obat yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang
diklim;
b. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program
lainnya yang akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik
di Indonesia;
c. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan terjangkau.
(3) Kriteria sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan terjangkau
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan tersendiri oleh
Kepala Badan.
B A B III
PENDAFTAR
Bagian Pertama Pendaftar Obat Produksi Dalam Negeri
Pasal 4
(1) Obat produksi dalam negeri meliputi obat tanpa lisensi, obat lisensi dan
obat kontrak.
(2) Pendaftar obat tanpa lisensi dan obat lisensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah industri farmasi yang memiliki izin sekurang-
kurangnya izin prinsip industri farmasi dari Kepala Badan atau surat
persetujuan penanaman modal asing.
(3) Industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi
persyaratan CPOB.
(4) Pendaftar obat kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pemberi kontrak yang merupakan industri farmasi atau badan lain.
(5) Ketentuan tentang persyaratan badan lain pemberi kontrak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan tersendiri oleh Kepala Badan.
Bagian Keempat Pendaftar Obat yang Dilindungi Paten
Pasal 7
(1) Pendaftar obat yang dilindungi paten di Indonesia adalah industri
farmasi dalam negeri pemegang hak paten, atau industri farmasi lain
atau pedagang besar farmasi yang mendapat pengalihan paten dari
pemegang hak paten sesuai ketentuan paten yang berlaku di Indonesia.
(2) Hak paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan
dengan sertifikat paten.
(3) Pengalihan paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan
dengan bukti pengalihan sesuai ketentuan yang berlaku.
Bagian Kelima
Tanggung Jawab Pendaftar
Pasal 8
(1) Pendaftar bertanggung jawab atas :
a. Kelengkapan dokumen yang diserahkan;
b.Kebenaran semua informasi yang tercantum dalam dokumen
registrasi;
c. Kebenaran dan keabsahan dokumen yang dilampirkan untuk
kelengkapan registrasi;
d. Perubahan data dan informasi dari produk yang sedang dalam proses
registrasi atau sudah memiliki izin edar.
(2) Setiap perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus
mendapat persetujuan Kepala Badan.
B A B IV
KLASIFIKASI DAN KATEGORI REGISTRASI OBAT
Bagian Pertama
Klasifikasi Registrasi Obat
Pasal 9
(1) Obat diklasifikasikan dalam kelas terapetik.
(2) Kelas terapetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah menurut
klasifikasi Anatomical Therapeutical Chemical (ATC) sesuai Lampiran 1.
Bagian Kedua Kategori Registrasi Obat
Pasal 10
(1) Registrasi obat dikategorikan menjadi registrasi baru dan registrasi
variasi.
(2) Registrasi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Kategori 1 : adalah registrasi obat baru dengan zat aktif baru atau
derivat baru atau kombinasi baru atau produk biologi dengan zat aktif
baru atau kombinasi baru atau dalam bentuk sediaan baru;
b. Kategori 2 : adalah registrasi obat baru dengan komposisi lama dalam
bentuk sediaan baru atau kekuatan baru atau produk biologi sejenis;
c. Kategori 3 : adalah registrasi obat atau produk biologi dengan
komposisi lama dengan :
3.1. indikasi baru
3.2. posologi baru
d. Kategori 4 : adalah registrasi obat copy :
4.1. obat copy dengan nama dagang
4.2. obat copy dengan nama generik
e. Kategori 5 : adalah registrasi alat kesehatan yang mengandung obat;
(3) Registrasi variasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Kategori 6 : adalah registrasi obat copy yang sudah mendapat izin
edar dengan perubahan yang sudah pernah disetujui di Indonesia :
6.1. Perubahan atau penambahan bentuk sediaan dengan posologi
atau cara pemberian yang berbeda
6.2. Perubahan atau penambahan bentuk sediaan
6.3. Perubahan atau penambahan kekuatan sediaan
6.4. Perubahan komposisi
6.5. Perubahan obat copy dengan nama dagang menjadi obat copy
dengan nama generik atau sebaliknya
b. Kategori 7 : adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar
dengan perubahan klim penandaan yang mempengaruhi keamanan;
c. Kategori 8 : adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar
dengan:
8.1. Perubahan zat tambahan
8.2. Perubahan spesifikasi dan/atau metoda analisa
8.3. Perubahan stabilitas
8.4. Perubahan teknologi produksi dan/atau tempat produksi
d. Kategori 9 : adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar
dengan perubahan atau penambahan jenis kemasan;
e. Kategori 10 : adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar
dengan:
10.1. Perubahan klim penandaan yang tidak mempengaruhi efikasi,
keamanan dan mutu
10.2. Perubahan desain kemasan
10.3. Perubahan nama pabrik atau nama pemberi lisensi
10.4. Perubahan importer
10.5. Perubahan/penambahan besar kemasan
10.6. Perubahan nama dagang tanpa perubahan formula dan jenis
kemasan

BABV
TATA LAKSANA MEMPEROLEH IZIN EDAR
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
(1) Registrasi obat diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan.
(2) Registrasi obat dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pra-registrasi dan
penyerahan berkas registrasi.
(3) Penyerahan berkas registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan menggunakan formulir registrasi dan disket,
dilengkapi dengan dokumendokumen penunjang sesuai ketentuan yang
berlaku.
(4) Data dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penilaian dan
pengujian dalam rangka registrasi obat dijaga kerahasiaannya oleh
Kepala Badan.
Bagian Kedua
Pra-registrasi
Pasal 12
Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk menentukan
jalur evaluasi dan kelengkapan dokumen registrasi obat untuk kategori 1,
kategori 2, kategori 3, kategori 4, kategori 5, kategori 6, dan kategori 7
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Anda mungkin juga menyukai