Anda di halaman 1dari 12

UJI KOMPETENSI MATERI KELAS VII SEMESTER 2

NAMA : YANA FEBRIANI, S.Pd.

KELAS : VII

MATA PELAJARAN:BAHASA INDONESIA

Perhatikan contoh wawancara berikut ini!


Herlina : Selamat pagi Dokter Yoga, perkenalkan nama saya Herlina. Saya
dari SMP Taman Laut.

 
Dokter Yoga : Selamat pagi! Saya senang sekali berjumpa dengan Adik.

 
Herlina : Dok, maksud kedatangan saya ini adalah untuk mewawancarai
Dokter mengenai sejumlah tanaman obat di Indonesia, khususnya
temu lawak. Beberapa waktu yang lalu, saya membaca profil
Anda di jurnal yang menyebutkan bahwa Anda adalah peneliti
Temu lawak di Korea. Dokter Yoga tidak keberatan ‘kan?

 
Dokter Yoga : Oh… tentu saja tidak. Saya justru senang karena temu lawak yang
berkasiat itu menjadi dikenal dan diperhatikan manfaatnya oleh orang
banyak. Silakan saja apa yang ingin Adik ketahui tentang temu lawak?

 
Herlinda : Mengapa Anda tertarik meneliti temu lawak, Dok?

 
Dokter Yoga : Jika Anda berbicara tentang ginseng pasti yang terlintas negara Korea,
padahal, negara penghasil ginseng terbesar di dunia adalah Kanada
dan Cina. Orang Korea sendiri juga mengimpor bahan dasar gingseng
dari Kanada dan Cina. Sebaliknya, tanaman temu lawak hanya terdapat
di Indonesia. Saya berharap temu lawak bisa menjadi ikon tanaman
obat dari Indonesia, sama seperti gingseng yang sudah menjadi ikon
Korea.

 
Herlina : Apakah temu lawak termasuk tumbuhan yang sulit tumbuh?
 
Dokter Yoga : Oh, tidak. Temu lawak mudah tumbuh di berbagai daerah di Indonesia,
temu lawak dapat ditemukan di Jawa, Bali, NTB, dan Maluku Selatan.
Temu lawak yang nama latinnya Curcuma zanthorrhiza merupakan
tanaman yang hampir tidak memiliki musuh (hama). Tanaman itu

menghasilkan antijamur, ia tidak akan terkena jamur karena temu


lawak sendiri menghasilkan jamur.

 
Herlina : Apa saja manfaat temu lawak, Dok?

 
Dokter Yoga : Manfaat temu lawak, antara lain sebagai antiketombe, untuk pasta
gigi, dan dimungkinkan dapat digunakan untuk mengatasi penyakit
kanker.

Latihan 2.1
Buatlah daftar pertanyaan yang sesuai dengan pernyataan berikut!

1. Dokter Yoga adalah seorang peneliti temu lawak.


2. Nama Latin temu lawak adalah Curcuma zanthorrhiza.
3. Tanaman temu lawak di Indonesia hanya ada di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Maluku Selatan.
4. Jika orang berbicara tentang ginseng, yang akan terlintas adalah negara Korea.
5. Penghasil ginseng terbesar adalah Kanada dan Cina, bahkan orang Korea juga mengimpor
ginseng

dari Kanada dan Cina.


6. Dr. Yoga berharap agar tanaman obat temu lawak menjadi ikon tanaman obat dari 
Indonesia.
7. Tanaman temu lawak menghasilkan antijamur.
8. Temu lawak dapat dimanfaatkan sebagai antiketombe, untuk pasta gigi, dan
dimungkinkan untuk mengatasi penyakit kanker.

2. Apa itu biografi?

3. “PERBATASAN”

Perbatasan biasanya pagi selalu diawali dengan tepukan hangat tangan Ibu dipipiku.

Tangan itu selalu berbau nasi bercampur kayu bakar. Tapi pagi ini, aku dibangnkan oleh

suara kentongan keras dari arah bale warga yang berjarak 500 meter dari rumahku. Aku
tergeregap. Dari bunyinya kentongan itu dipukul kerap dan cepat. Segera aku berlari

keteras. Hampir berbarengan dengan ibu yang keluar dari dapur yang membawa centhong.

“Pasti ada yang ditemukan lagi diperbatasan,” kata ibu sambil mengelap tangannya yang

basah oleh air beras ke kainnya.

Beberapa warga berlari melewati rumahku menuju bale warga. Pak sangkuy sempat

berhenti dan mengajak ibu turut serta. “nanti nasiku gosong” jawab ibu sambil

mengacungkan centong seolah membuktikan ucapannya.

Aku diperbolehkan Ibu bergabung dengan mereka ketika Vadi lewat berlari-lari keci

dibelakang pamannya.

“hati-hati. Jangan melihat terlalu dekat,” pesan ibu sambil mengelus rambut ku.

Aku segera berlari mengejar Vadi. Ternyata dugaan Ibu benar. kata Vadi, subuh

tadi ada seorang perempuan ditemukan tergeletak di daerah perbatasan.

“Yang menemukan Draja,“ tutur Vadi sambil ter engah-engah. Kaki kecil kami

memang harus bergerak lebih cepat agar tak ketinggalan dengan langkah orang dewasa.

Sesampainya di bale warga, kerumunan oarang sudah menyemut hingga di ujung

bawah tangga. Sambil bergandengan, aku dan Vadi mencoba menyelinap menyibak pinggang

orang-orang yang memenuhi rumah panggung ini. Ukuran badan kami yang kecil ternyata

memudahkan untuk menyulusup hingga sampai d bagian depan.

Kini, di hadapan kami tampak seorang perempuan kira-kira berusia 20 tahun. Ia

bertubuh kurus. Mengenakan celana seperti lelaki dari bahan yang sepertinya keras. Aku

tak tahu namanya. Di atas nya, ia mengenakan baju tanpa lengan dengan leher tinggi di

bawah dagu nya.

Rambut sebahu perempuan itu di biarkan terurai. Sebagian kusut, di antara helaian

rambut nya, tampak berkilauan anting-anting berbentuk lingkaran yang menggantung di

bawah telinga nya. Ukuran nya cukup besar, hampir sebesar kuping nya.

Dengan gelisah,perempuan itu duduk menekuk kedua kaki nya hingga merapat ke

dada nya. Ke dua tangan nya berpangku memeluk lutut. Kepalanya menunduk. Tak berani

mendongak melihat banyak nya pasangan mata warga desa ku yang berdiri mengelilingi nya.
Ia seperti bayi rusa yang di temukan Khadi sepuluh hari yang lalu. Bedanya, bayi rusa itu

berani membuka mata nya dan melihat orang-orang yang mengelilingi nya.

Kami bukan nya ingin menjadikan perempuan itu sebagai tontonan. Tapi aku

tahu,penduduk desa ini tak berani melakukan sesuatu tanpa perintah pemimpin desa, Jardin.

Untung lah salah seorang pemuda yang di minta menjemput Jardin,sudah kembali

bersamanya. Setelah Jardin muncul, semua dengungan warga yang sibuk mengomentari

kemunculan perempuan itu langsung berhenti. Arah pandangan seluruh warga mengikuti

Jardin, yang berjalan tenang mendekati perempuan yang masih duduk menekuk kaki itu.

Begitu sampai di hadapan perempuan itu, Jardin ikut berjongkok. Ia mengelus perlahan

kepala perempuan yang tetap menunduk itu. Begitu ia berdiri, seluruh warga langsung

menunggu keputusan darinya.

“tentunya semuanya setuju kalau tamu kita ini beristirahat. Aku akan mengantarnya

ke salah satu rumah warga untuk tinggal sementara di sana. Setelah itu, seperti biasa, kita

semua akan menjadi tuan rumah yang baik” jardin bertepuk tangan tiga kali, dan semua

orang langsung berbalik meninggalkan bale warga.

Saat aku berbalik hendak mengikuti mereka, Jardin menahanku.

“aku ingin ikut ke rumahmu. Perempuan ini bisa tinggal bersamamu kan?”

Aku mengangguk. Jadi, aku dan vadi masih tinggal di bale warga. Menatap perempuan

itu yang kini berdiri di sebelah jardin. Tinggi mereka sama.

“ayo!” ajak Jardin sambil menggandeng tangan wanita itu. Dalam diam, akhirnya kami

berjalan menuju rumahku.

Perempuan itu bernama Susan. Nama yang aneh untuk kampung kami. Meski aneh,

entah kenapa aku sepertinya cukup akrab dengan nama itu. Susan tak banyak bicara. Sering

ia terlihat bengong, menatap tanpa arah. Jika sudah seperti itu, Ibu cepat-cepat mengajak

Susan bicara tentang apa saja dan Susan menanggapinya dengan menis menurutku pada

dasarnya ia tak sulit di ajak bicara, hanya sering percakapan ibuku dengan Susan kurang aku

pahami.
“kalau mau, kamu bisa ikut mandi di kali. Disini sudah biasa waktu pagi dan sore

hari,anak-anak muda seperti mu mandi bersama. Orang tua seperti ku sesekali ikut. Tapi

sering terlalu banyak pekerjaan yang harus ku bereskan,jadinya tak sempat ikut. kalea bisa

mengantarmu jika kamu mau,”ujar ibuku pada suatu sore.

Aku mengangguk seolah meyakinkan susan,aku bisa mengantarnya ke kali.Yang tak ku

mengerti pertanyaan nya setelah itu ”hanya perempuan sajakan yang mandi di kali?”.

Aku langsung bengong. Begitu pula Ibuku.

“Tentu saja tidak. Pada dasarnya bisa ikut mandi bersama. Bukankan tadi aku

mengatakan anak-anak muda?” suara ibuku terdengar bingunng.

Yang lebih membuat kami bingung, meihat reaksi Susan setelah itu matanaya

terbeliak. Mulutnya ternganga. Seperti oarang yang barusaja dikageti” gila! Mandi bersama

laki dan perempuan? Ituh porno sekali” teriaknya terkaget-kaget.

Kepalaku tambah pusing.

“Porno itu apa? Kenapa kamu biilang gila? Kami bukan orang gila!” kataku.

Sekarang gantian Susan yang terlihat bingung.

“Aku baru sadar kalo aku terdampar ditempat aneh,” ujarnya setengah bergumam.

“lelaki dan perempuan tidak seharunya mandi bersama. Ituh terlarang. kalau sudah kawin sih

tidak masalah. Tapi kalo belum sih ituh tidak boleh, dosa, tabu,” tambahnya.

Aku dan ibu langsung menggeleng-geleng kepala. kami sama-sama menghela napas.

“sudah bertahun-tahun kami melakukan nya.makannya kami tidak tahu yang aneh dari mandi

bersama.mungkin hal ini takbiasa ditempat mu berasal. Tapi sekarang kamu ada di sini.

Silakan saja kalau kamu ingin menyesuaikan diri atau tidak.

Ibu langsung berbalik kedapur seperti orang marah. Aku juga ingin marah. Tapi aku

kasihan karena susan terlihat betul betul bingung.

Untuk menghilangkan kebingungan susan, seharian itu Aku ajak dia jalan-jalan. Di tepi

kali, ia tak bisa menahan diri sekali berteriak kaget saat mendapati para perempuan di
desa kami mandi di kali. Waktu kuajak dia menanti giliran para lelaki mandi, susan langsung

terbirit-birit pergi. Aku tak tahu apa yang membuatnya takut.

Sambil mengajaknya berkeliling, Kuceritakan tentang kampung kami.Dengan luas yang

tak kuketahui persisnya, kata jardin, penghuni kampung ini semuanya pendatang yang tiba-

tiba masuk dari perbatasan. Selebihnya anak-anak sepertiku, lahir dikampung ini. Tidak ada

yang tahu perbatasan itu seperti apa. Menurut yang kudengar , baik ibuku maupun orang-

orang dewasa dikampung ini, tiba-tiba saja muncul diperbatasan dalam keadaan tak sadar

dan linglung. Sama seperti saat susan di temukan.

Setelah dikampung ini, biasanya orang-orang dewasa itu perlahan-lahan akan lupa akan

tempat asalnya. Kalaupun tidak lupa, mereka tidak bisa lagi kembali. Aku sendiri belum

pernah keperbatasan, tapi kata orang-orang, perbatasan kampung ini berupa hutan yang tak

berujung. Mungkin karena itulah, mereka tidak ada yang pernah mencoba untuk kembali,

Entah karena malas saking lebat dan luasnya hutan tersebut, atau mereka sudah betah

tinggal di kampung ini. Aku pikir alasan utamanya karena mereka betah. Soalnya, sebagian

besar dari mereka tak pernah mencoba datang ke perbatasan. Kata mereka, kehidupan di

kampung ini lebih menyenangkan dari tempat asal mereka.

Lihat saja Susan. Meski ia terkaget-kaget melihat cara mandi orang-orang di kampung

ini, dalam waktu seminggu, ia sudah bergabung dengan mereka. Bahkan paling semangat.

Kata susan, di tempat ia berasal, ia tak pernah sebahagia ini

SEBULAN setelah susan ditemukan, entah kenapa banyak sekali orang yang ditemukan

di perbatasan. Hal ini membuat jardin menyuruh membuat lebih banyak rumah. Banyaknya

orang yang datang membuat sebagian besar orang dewasa mulai mengadakan banyak

pembicaraan rahasia.

Kata jardin, akan makin banyak orang yang ditemukan di perbatasan. Kita harus siap-

siap,  kata raji pada Ibu suatu malam.

Mereka mengira aku sudah tidur. Makanya mereka tidak lagi bicara sambil berbisik-

bisik.
Aku tahu saat seperti ini akan datang. Mereka semakin terhimpit, tersedak, saat

itulah mereka berhasil menemukan perbatasan. Hanya yang betul-betul membutuhkan

tempat ini yang berhasil menemukan perbatasan, bisik ibu.

Kita sudah beruntung berada di tempat ini. Masih banyak orang-orang tertinggal di

daerah sana. Aku dengar dari mereka yang baru tiba, situasi makin tak karuan. Banyak

aturan yang semakin menjauhkan manusia dari naluri mereka. Perempuan dilarang keluar

malam. Bergandengan tangan juga dihukum. Bahkan mereka mulai menangkapi lelaki yang

tinggal bersama dengan teman lelakinya, juga perempuan-perempuan yang hidup satu

rumah. 

Aku tersentak. Tak dapat kubayangkan betapa mengerikannya daerah asal ibuku.

Bagaimana mungkin bergandengan tangan pun dilarang. Padahal di kampung ini, setiap orang

berjalan-jalan sambil bergandengan tangan.

Setiap bertemu, kami berciuman. Baik itu sesama perempuan, sesama lelaki, atau lelaki

dan perempuan. Tak ada yang salah dari semua itu. Aku bahkan tak habis pikir kenapa

menangkapi para perempuan yang keluar pada malam hari.

Saat kuceritakan semua ini kepada Vadi, dia begitu marah. Sambil membawa rotan, ia

mengajakku pergi ke perbatasan. Aku menolak. Tapi Vadi menarik keras tanganku. Kami

akhirnya berlari menuju batas desa. Pohon-pohon begitu tinggi dan lebat. Aku ragu

melangkah. Tapi Vadi semakin keras menggenggam tanganku. Sebelah tangannya yang lain

memegang sebilah rotan dengan kuat. Aku tahu ia sangat marah sekali. Jika sudah seperti

ini, tak ada yang dapat menghentikannya lagi.

Sambil mendongak ke atas, kucoba melihat pucuk tertinggi pohon-pohon di depanku.

Sia-sia. Ujung-ujungnya seolah menyatu dengan langit. Aku tak dapat melihatnya. Sinar

matahari membuatku silau. Saat menunduk, baru kusadar langkah kami sudah memasuki

hutan. Anehnya, saat melewati pohon demi pohon, kami seolah melewati udara. Batang-

batang pohon itu seolah mengabur seperti asap.


Kami terus berjalan. Terus. Dan semakin kami berjalan, pohon-pohon itu menguap

satu demi satu. Tak kurasakan lagi cahaya matahari. Aku ingin kembali. Tapi entah kenapa

aku tak dapat menghentikan langkahku. Begitu pula Vadi.

Aku ingin kembali, ujarnya sambil menangis.

Tapi kami tak dapat berhenti. Semakin jauh kami berjalan, kegelapan semakindatang.

Hingga akhirnya kami mendapati kegelapan itu dipenuhi titik-titik cahaya seperti kunang-

kunang. Hanya saja kunang-kunang itu berukuran besar dan menempel di semacam kayu

berwarna putih. Saat kuketuk batangnya. Terdengar bunyi tang. Keras sekali. Tanganku

sampai sakit.

Tempat kami berpijak bukan tanah. Aku tak tahu apa namanya. Berwarna abu-abu

dan berbentuk kotak-kotak panjang yang ditempel berjajar. Di depan kami, melintas benda-

benda seperti kardus berukuran besar dengan orang duduk di dalamnya. Benda-benda itu

bergerak begitu cepat. Melebihi lari seorang manusia. Refleks, kugenggam telapak tangan

Vadi berkeringat. Ia pasti juga ketakutan sama sepertiku.

Tiba-tiba, sebuah kardus berhenti. Dari dalam keluar laki-laki berseragam membawa

tongkat. Mereka melihat kami. Spontan kami berbalik dan lari. Mereka mengejar. Aku tak

tahu mengapamereka meneriaki kami. Tapi sambil berlari, kulihat mereka juga mengejar

beberapa perempuan. Keadaan begitu kacau balau. Teriakan perempuan terdengar di mana-

mana. Aku ikut. Berteriak.

Kutarik tangan Vadi. Kami mencoba mencari hutan yang kai lalui tadi. Tapi kami tidak

menemukannya. Kami terus berlari. Bercampur bersama para perempuan yang dikejar para

lelaki berseragam itu. Entah sampai kapan kami harus berlari. Perbatasan itu tak kami

temukan lagi.

Jakarta, 8 Mei 2008

E.     Analisis cerpen

“PERBATASA”

Analisis cerpen berdasarkan unsur intrinsik menurut Nurgiyantoro


A.    Tema cerita

Ditemukannya seorang perempuan tergeletak di daerah perbatasan

B.     Alur cerita

Alur cerita ini merupakan peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan, urutan

kejadian, Jalin-menjalinnya berbagai peristiwa waktu, sehingga alur cerita ini alur maju

C.     Penokohan dalam cerpen “perbatasan”

         Aku→ yang menjadi tokoh Aku dalam cerpen perbatasan meruapakan seorang anak kecil

yang tinggal di suatu desa. Wataknya yang menjadi tokoh “aku” adalah orang yang selalu

ingin tau segala sesuatu kejadian dan permasalahan. Beperan sebagai peran prontagonis.

         Ibu → yang menjadi tokoh Ibu dalam cepen perbatasan adalah seorang Ibu rumah

tangga yang sama dengan anaknya yang tinggal di desa. Watak tokoh Ibu dalam cerpen

perbatasan adalah selalu berhati-hati dalam memutuskan suatu hal dan baik hati, ramah

tamah, dan mudah bersosialisasi terhadap orang yang belum ia kenal. Berperan sebagai

peran prontagonis.

         vadi→temannya yang menjadi Tokoh aku dan wataknya sama dengan yang menjadi tokoh

aku, yaitu selalu ingin tau terhadap suatu hal kejadian. Berperan sebagai peran prontagonis

         Jardin→ adalah seorang pemimpin desa. Watak Jardin dalam cerita ini sifatnya baik

hati dan selalu bisa mengatur warganya yang baru dan yang lama. Berperan sebagai peran

prontagonis

         Susan→adalah seorang perempuan yang berumur kira-kira 22 tahun yang tersesat di

suatu tempat yang disebut perbatasan. Wataknya tidak mudah bersosialisasi dengan orang

yang asing baginya. Berperan sebagai peran prontagonis

D.    Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur

pokok, antara lain sebagai berikut.

         Latar tempat

Latar yang terjadi dalam cerpen perbatasan adalah di sebuah kampung, perbatasan, hutan,

perkotaan, sungai dan di balai warga.


         Latar waktu dalam cerpen perbatasan

o   Pagi hari

o   Sore hari

         Latar sosial dalam cerpen perbatasan

o   Masyarakat yang tinggal di kampung dekat perbatasan masyarakatnya tidak mengenal

agama, perilakunya bebas tidak ada aturan, tidak mengetahui soaial budaya yang baik dan

banyak hal-hal mistis di kampung ini.

o   Latar sosial yang menjadi tokoh Susan, orangnya beragama, mengetahui yang benar dan

salah, dan mengetahui soaial budaya yang baik.

E.     Sudut pandang

         Pengarang mengungkapkan gagasanya dan pikiranya kedalam cerita ini mengungkapakan

kurangnya peradaban manusia terhadap hal-hal yang ber agama, modern, budaya dan soial.

Posisi cerita ini berganti-ganti, karena banyak kejadiannya sehingga diceritakan secara satu

persatu tetapi tersusun ceritanya dari kejsdian yang satu ke kejadian yang lainnya.

Pengarang menyampaikan ceritanya kepada pembaca dengan persepsi tokoh.

         berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu bentuk persona

tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama

persona yang pertama “dia”, yaitu yang menjadi tokoh utama dalam cerita

perbatasan yang bernama Suasan dan yang menjadi persona yang ketiga yaitu yang menjadi

tokoh aku yaitu sorang anak kecil yang berperan banyak membantu Susan.

F.      Gaya bahasa dan jiwa

Citra/imaji. Citra/imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas

atau memperkonkret apa yang dinyatakan pengarang sehingga apa yang digambarkan itu

dapat ditangkap oleh pancaindera kita. Melalui pencitraan/pengimajian apa yang

digambarkan seolah-olah dapat dilihat (citraan penglihatan) didengar (citraan pendengaran),

dicium ( citraan penciuman), dirasa (citraan taktil), diraba (citraan perabaan), dicecap

(citraan pencecap), dan lain-lain.


Kisah Sapi dan Kutu
9 04 2010

Pada sebuah kandang sapi yang berada di rumah petani,


hiduplah seekor sapi yang selalu menurut semua perintah
tuannya. Sapi tersebut tidak pernah mengeluh dengan
segala tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan setia sapi
tersebut membajak di sawah petani setiap hari. Kalau tidak
membajak sawah di geretnya gerobak petani ke pasar
menjual hasil panen.

Setiap selesai mengerjakan tugasnya, petani selalu


memberikannya makanan jerami ataupun rumput segar.
Selesai  memberi makan sapinya petani dengan sayang
selalu menepuk-nepuk kepala si sapi, sambil bergumam
“makan yang banyak sapiku.”

Ternyata rutinitas yang dijalani sapi setiap hari tak luput


dari perhatian kutu yang bersarang di kepala si sapi. Kutu
selalu mengganggu kenyamanan sapi dengan menggigit
ataupun menari-nari di atas kepala sapi. Meskipun jengkel
dan kesal sapi tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya bisa menahan rasa gatal yang menyerangnya
akibat ulah si kutu.

Kutu yang memang usil itu selalu mengejek sapi dengan angkuhnya. “Hai sapi … betapa
bodohnya dirimu, setiap hari kau selalu bekerja keras untuk tuanmu si petani itu, tapi apa
balasannya terhadapmu!” Mendengar ocehan kutu itu sapi hanya diam saja ia tetap asyik
menikmati rumput segar yang diberikan si petani. Melihat sapi hanya diam kutupun semakin
berani “Balasannya untukmu hanya setumpuk jerami atau rumput segar saja dan tentu dengan
tepukan-tepukan tangan si petani di kepalamu yang membuatmu menjadi semakin bodoh!”

Begitulah kehidupan si sapi di dalam kandangnya, ia harus terus bersabar dengan celoteh kutu
dan gigitannya yang membuatnya gatal. Sapi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setiap
kali rasa gatal akibat ulah si kutu itu menyerang. Setiap hari juga kutu merasa senang
mengganggu dan menggoda si sapi yang tidak pernah bisa membalas kelakuannya.

Suatu hari tiba waktunya untuk petani memberi makan kepada sapi di dalam kandangnya. Kutu
yang sudah biasa melihat rutinitas itu ingin sekali melihat dengan lebih jelas dan tidak mau
ketinggalan sedikitpun apa yang akan dilakukan petani kepada sapi. Kutu berdiri di atas kepala
sapi dengan congkaknya.

Setelah memberi makan kepada sapinya seperti biasa petani itupun menepuk-nepuk kepala si
sapi. Dan kutu yang sejak tadi berada di atas kepala sapi itu tidak bisa menghindar terkena
tepukan tangan  si petani. Akirnya kutupun mati terpelanting jatuh ke tanah karena
kesombongannya sendiri. Ia lupa rutinitas petani yang selalu menepuk-nepuk kepala sapi,
sehingga kutupun mati.

Sapi yang melihat kejadian itu hanya bergumam “Sekarang kau sudah merasakan sendiri tepukan
tangan petani di kepalaku yang selalu kau ejek itu kutu.” Dan hari-hari berikutnya sapi hidup
lebih tenang dan nyaman tanpa gangguan dari kutu.

Anda mungkin juga menyukai