Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
A. latar Belakang
Saat ini jumlah ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) di dunia diperkirakan
telah mencapai angka 450juta jiwa (WHO, 2017). Kasus ganggguan jiwa di Indonesia
meningkat berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Data Kesehatan Dasar) tahun 2018.
peningkatan dapat terlihat dari prevalensi rumah tangga yang memiliki ODGJ di
Indonesia. terjadi peningkaran menjadi 7 permil rumah tangga yang berarti per 1000
rumah tangga terdapat 7 rumah dengan ODGJ sehingga dapat diperkirakan terdapat
sekitar 450 ribu ODGJ berat.
Hasil Riskesdas pada tahun 2018 menunjukan gangguan depresi dapat terjadi
mulai dari usia 15 tahun dengan prevelensi 6,2% pola prevalensi semakin meningkat
seiring dengan peningkatan usia. tertinggi terjadi pada umur 75+tahun sebesar 8,9%.
Sedangkan prevalensi depresi pada penduduk umur >15 tahun di indonesia sendiri
tertinggi terdapat di provinsi sulawesi tenggara dengan prevelensi 17,3% dan Banten
tertinggi ke 6 dengan prevelensi 8,7%. untuk prevelensi (per mil) Rumah tangga dengan
ART (anggota rumah tangga) gangguan jiwa skizofrenia/psikosis, tertinggi berada di Bali
dengan prevelensi 11,1% dan Banten berada di urutan ke 23 dengan prevelensi 5,7%
(Risekdas, 2018)
Prevalensi (Per-mil) rumah tangga dengan ART gangguan jiwa
psikosis/skizofrenia berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Banten menurut Risekdas
2018 tertinggi oleh Serang dengan prevalensi 17,87%. Jumlah penderita ODGJ (Orang
Dengan Gangguan Jiwa) di Tangerang, Banten sendiri tercatat sejak 2017 hingga 2019
ada 4000 orang. dan dari jumlah tersebut, terdapat 7 orang di tahun 2017 penderita
dipasung. kemudian pada tahun 2018 penderita di pasung berttambah pada tahun 2018
menjadi 40 kasus lalu pada tahun 2019 kembali ditemukan 20 kasus baru. sehingga saat
ini terdapat 65 kasus pasung di Tangerang Banten (Bachtiar, 2019).
Pada masa pandemic seperti ini, banyak hal yang terjadi yang dapat
mempengaruhi berbagai aspek salah satunya adalah psikologis seperti perubahan sikap
dan perilaku masyarakat. Bagi beberapa orang hal tersebut merupakan hal biasa dan tidak
berpengaruh pada mereka. Namun, bagi beberapa orang hal ini dapat sangat berprngaruh
terutama dalam aspek social, ekonomi maupun psikologis.
Dikutip dari suara.com, Direktur P2MKJN Kemenkes RI dr. Siti Khalimah, SpKJ,
MARS mengatakan jika kasus pasung meningkat dari taun 2019 terdapat 5.200 tahun ini
meningkat menjadi 6.200 kasus. Menurutnya, peningkatan ini terjadi dikarenakan pada
situasi pandemic terdapat pembatasan social sehingga secara langsung maupun tidak
langsung berdampak kepada perawatan kesehatan di Rumah Sakit Jiwa. Hal ini juga
menyebabkan kemunduran pada program pemerintah yaitu Indonesia Bebas Pasung.
Menghadapi kondisi seperti ini, pemerintah telah menyediakan hotline call center
119 Ext.8 untuk konseling awal sehingga konseling bisa dilakukan secara jarak jauh
untuk meminimaisir kontak fisik. Hal ini dilakukan agar keluarga bisa mengetahui apa
yang terjadi pada dirinya ataupun anggota keluarganya. Lewat konsultasi tersebut
kemudian diputuskan langkah selanjutnya apakah harus atau tidaknya mendatangi pakar
atau psikiater.
Pasien dengan gangguan jiwa sering kali dibawa dengan keadaan terikat atau
dipasung dan dapat menjadi tanda pasien telah mengganggu lingkungannya dengan
menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Resiko perilaku kekerasan merupakan bentuk
respon yang menunjukan bahwa pasien dapat membahayakan diri sendiri, orang lain
maupun lingkungannya. Baik secara fisik, emosional, seksual dan verbal (Sutejo 2019).
Menurut Herdman dan Kamitsu (2014), risiko perilaku kekerasan merupakan salahsatu
diagnosis atau masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan gangguan
jiwa berat.
Menurut Yusuf dkk (2015) gejala atau tanda marah berdasarkan perilaku yaitu
secara emosi tidak adekuat, merasa tidak akam dan merasa teganggu, marah atau dendam
serta jengkel. Secara intelektual cenderung mendominasi, bawel, sarkas, suka berdebat
serta meremehkan. Secara fisik wajah tampak merah, pandangan tajam, nafas pendek
hingga tekanan darah dapat meninggi. Serta secara sosial cenderung menarik diri dan
melakukan kekerasan.
Berdasarkan uraian diatas menunjukan bahwa koping yang tidak sehat akan
berdampak pada munculnya masalah keperawatan yang ditunjukan dalam perilaku pasien
yang cenderung maladaptif. Menurut Stuart (2013) dampak dari koping yang tidak sehat
tersebut dapat menyebabkan terjadinya resiko perilaku kekerasan yang dapat berpengaruh
terhadap individu, keluarga maupun lingkungannya. yaitu dimana individu menjadi tidak
produktif dan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan dapat menyerai diri
sendiri maupun orang lain atau lingkungannya.
Upaya untuk menurunkan perilaku kekerasan yang merugikan orang lain dengan
melatih perilaku asertif secara verbal maupun fisik pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan. Selain itu, diperlukan juga strategi yang tepat dengan memberikan tindakan
keperawatan yang komprehensif.
Peran perawat dalam membantu pasien dengan resiko perilaku kekerasan dapat
berupa proses komunikasi terapeutik yang berupa strategi pelaksanaan (SP). SP
merupakan panduan yang digunakan oleh perawat untuk berinteraksi dengan pasien
secara terapeutik yang melibatkan hubungan saling percaya antar pasien dan perawat
untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Untuk mengatasi masalah keperawatan
pada pasien, dilakukan intevrensi berupa SPTK (Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan) untuk menurunkan resiko perilaku kekerasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dyah, Budi dan Sutanto (2011) yang
berjudul Penerapan Strategi Pelaksana Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan didapatkan hasil bahwa rerata total skor perilaku kekerasan sebelum
responden mendapatkan Assertiveness Training yaitu 45,54 (tinggi mendekati sedang)
mengalami penurunan skor respon social kelompok yang mendapatkan terapi generalis
dan tindakan Assertiveness Training lebih rendah secara bermakna sebesar 8,86 (p<0,05).
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik untuk
menulis karya tulis ilmiah dengan judul “Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan Terhadap Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan di Wilayah
Kerja Puskesmas Neglasari Tahun 2021”

B. Rumusan masalah
Berasarkan uraian yang penulis jabarkan di latar belakang, pennulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
Apakah penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SPTK) dapat
berpengaruh pada penurunan rsiko perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas
Neglasari

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan SPTK terhadap
penurunan resiko perilaku kekerasan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari
2. Tujuan Khusus
Melihat apakah ada perbedaan kemampuan pasien sebelum dan sesudah dilakukan
penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Mendapat pengalamn nyata melakukan penerapan SPTK kepada pasien dengan
Resiko Perilaku Kekerasan

2. Bagi pasien
Mampu menerapkan cara mengatasi marah yang konstruktif

3. Bagi institusi pendidikan


Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat menjadi tambahan referensi dalam
pendidikan khususnya bagi mata kuliah keperawatan jiwa dan dapat menjadi acuan
bagi penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai