Anda di halaman 1dari 36

RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS

LAPORAN STUDI KASUS MINOR

ILMU PENYAKIT MULUT

Disusun oleh:

Natanael Adi Susanto

160112150015

Pembimbing:

Erna Herawati, drg., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3

2.1 Status Awal................................................................................................3

2.1.1 Data Umum Pasien.............................................................................3

2.1.2 Anamnesis..........................................................................................3

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik................................................................4

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu..............................................................4

2.1.5 Kondisi Umum...................................................................................4

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral....................................................................5

2.1.7 Pemeriksaan Intra Oral.......................................................................5

2.1.8 Status gigi...........................................................................................6

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................6

2.1.10 Diagnosis............................................................................................6

2.1.11 Rencana Perawatan dan Pengobatan..................................................7

2.1.12 Prognosa.............................................................................................7

2.2 Status Kontrol 1.........................................................................................8

2.2.1 Anamnesis..........................................................................................8

2.2.2 Pemeriksaan Ekstra Oral....................................................................8

2.2.3 Pemeriksaan Intra Oral.......................................................................9

2.2.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang............................................................9

2.2.5 Diagnosis..........................................................................................10

ii
iii

2.2.6 Rencana Perawatan..........................................................................10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11

3.1 Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)......................................................11

3.1.1 Terminologi dan Epidemiologi........................................................11

3.1.2 Faktor Predisposisi...........................................................................11

3.1.3 Patofisiologi.....................................................................................17

3.1.4 Gambaran Klinis..............................................................................17

3.1.5 Diagnosa...........................................................................................21

3.1.6 Diagnosa Banding............................................................................22

3.1.7 Terapi...............................................................................................26

BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................28

BAB V SIMPULAN..............................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
BAB I

PENDAHULUAN

Ulcer merupakan defek epitel yang berbatas tegas dan tertutupi oleh suatu

fibrin clot yang menyebabkan warnanya menjadi putih kekuningan (Greenberg

dan Glick, 2008). Recurrent aphtous stomatitis (RAS) merupakan keadaan

patologik yang ditandai dengan ulser yang berulang, sakit, kecil, ulser bulat atau

oval, dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus dengan dasar kuning keabu-abuan

(Scully, et al., 2008). RAS merupakan lesi mukosa rongga mulut yang sering

terjadi pada mukosa oral, mengenai 5-25% dari populasi. RAS dapat terjadi

selama masa remaja dengan kecenderungan frekuensi dan tingkat keparahan

penyakit ini berkurang seiring bertambahnya usia. Sekitar 80% pasien dengan

kasus RAS, onset penyakit terjadi ketika mereka memasuki usia dekade ke-2.

Pada kasus RAS dengan onset usia lebih dari 30 tahun, diketahui terdapat faktor

predisposisi yang mengawalinya atau ulser tersebut bukanlah kasus RAS yang

sederhana melainkan kelainan yang lebih kompleks seperti sindrom Behcet’s

(Scully, et al., 2008). Lokasi lesi umumnya terdapat pada area mukosa rongga

mulut yang tidak berkeratin seperti bibir, pipi, dasar mulut dan vestibulum, serta

palatum lunak. Recurrent aphthous stomatitis (RAS) dapat sembuh dengan

sendirinya (self-limiting disease) pada hampir semua kasus (Slebioda et al, 2013).

Pada saat makan dan berbicara, pasien dengan RAS sering mengalami rasa sakit

sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Scully, et al., 2008).

1
2

RAS tidak memiliki penyebab secara pasti, akan tetapi terdapat beberapa

faktor predisposisi yang dapat mengawali terjadinya RAS, seperti genetik, trauma,

alergi terhadap suatu jenis makanan, hormonal (saat siklus menstruasi), stress dan

cemas, kebiasaan merokok, produk kimia, dan infeksi mikroba (Guallar, et al.,

2014).

Makalah ini akan membahas mengenai Recurrent Aphtous Stomatitis

(RAS) pada pasien wanita berusia 23 tahun yang datang ke RSGM Unpad. Pasien

tersebut mengeluhkan terdapat sariawan di gusi rahang bawah dekat lidah terasa

sakit saat makan, berbicara, dan tersentuh lidah sehingga mengganggu aktivitas.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Status Awal

2.1.1 Data Umum Pasien

Nama : Nn. NIR

Umur : 23 tahun

Alamat : Bandung

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum menikah

No. Rekam medis : 2014-007xx

Pekerjaan : Mahasiswa

Tanggal pemeriksaan : Senin, 18 Desember 2017

2.1.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan terdapat sariawan di gusi dekat lidah sejak 1

hari yang lalu. Pasien tidak nyaman dengan sariawannya karena terasa sakit. Sakit

meningkat ketika makan, terkena lidah, dan berbicara terlalu cepat.

Sebelumnya pasien pernah sariawan kurang lebih 1 bulan yang lalu.

Pasien merasa sariawannya muncul setiap beberapa hari setelah menstruasi.

Pasien mengaku bahwa ibunya juga sering terjadi sariawan setiap bulannya.

3
4

Pasien mengaku jarang meminum air putih dan kurang mengkonsumsi

buah-buahan dan sayuran. Pasien belum mengobati sariawannya dan jika

sariawannya muncul pasien membiarkan sembuh sendiri. Pasien ingin

sariawannya diobati.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik

Penyakit jantung : YA/TIDAK

Hipertensi : YA/TIDAK

Diabetes mellitus : YA/TIDAK

Asma/alergi : YA/TIDAK

Penyakit hepar : YA/TIDAK

Kelainan GIT : YA/TIDAK

Penyakit ginjal : YA/TIDAK

Kelainan darah : YA/TIDAK

Hamil : YA/TIDAK

Kontrasepsi : YA/TIDAK

Lain-lain : YA/TIDAK

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

2.1.5 Kondisi Umum

Keadaan umum : Baik Tensi : 110/80 mmHg


5

Kesadaran : Compos mentis Pernapasan : 20 kali/menit

Suhu : Afebris Nadi : 84 kali/menit

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

- Submandibula kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

- Submental kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

- Servikal kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

Mata : Konjungtiva non anemis, pupil isokhor,

sklera non ikhterik

TMJ : TAK

Bibir : Lip seal +, TAK

Wajah : Simetris

Sirkum oral : TAK

Lain-lain :-

2.1.7 Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan mulut : Baik (Skor OHI-S=1,2), Plak (+),Kalkulus (+),Stain (-)

Gingiva : Makula a.r. 12-13

Ulser di lingual gigi 43

Mukosa Bukal : Teraan gigitan a.r. 36-37 dan 46-47

Mukosa Labial : TAK

Palatum durum : TAK


6

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : Plak putih di 1/3 posterior

Dasar Mulut : TAK

2.1.8 Status gigi

BUKAL
UE CS UE

LINGUAL
UE CS PE

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Radiologi : TDL

Darah : TDL

Patologi Anatomi : TDL

Mikrobiologi : TDL

2.1.10 Diagnosis

D/ Recurrent aphtosus stomatitis minor a.r. gingival lingual gigi 43 ec. hormonal

DD/ Traumatic ulcer

D/ Linea alba a.r. mukosa bukal gigi 36-37 dan 46-47

DD/ Mursicatio buccarum

D/ Hiperpigmentasi fisiologis a.r. gingiva gigi 12-13


7

DD/ Smoker melanosis

D/ Coated tongue a.r. 1/3 posterior lidah

DD/ Candidiasis

2.1.11 Rencana Perawatan dan Pengobatan

Non Farmakologis: Instruksi dan edukasi pola hidup sehat dan OHI

1. Instruksi kepada pasien untuk makan makanan yang banyak mengandung

Vit.B12, Fe, As.folat, dan protein seperti sayur bayam, kangkung, kuning telur,

ati ayam, daging merah, dan kacang hijau

2. Instruksi untuk lebih sering minum air putih

3. Oral Hygine Instruction (OHI)

4. Instruksi cara pemakaian obat yang diberikan

5. Instrusi untuk control kembali 7 hari kemudian

Farmakologis

1. Pemberian multivitamin

R/ Triamcinolone acetonide 0,1% in orabase tube no. I

S 3 dd 1 part doi

2.1.12 Prognosa

Ad bonam
8

Gambar 2.1 Recurrent apthous stomatitis pada pasien pada gingival lingual gigi 43

2.2 Status Kontrol 1

Tanggal pemeriksaan : Kamis, 28/12/2017

2.2.1 Anamnesis

Pasien datang kembali untuk kontrol setelah pemakaian obat triamcinolone

acetonide 0,1% selama 6 hari dan pasien sudah tidak merasakan sakit lagi. Pasien

mengaku rutin meminum banyak air putih dan banyak konsumsi buah-buahan

serta sayuran selama 10 hari terakhir ini.

2.2.2 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

Submental kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : Tidak teraba, lunak, tidak sakit

Bibir : Lip seal +, TAK

Wajah : Simetris

Sirkum oral : TAK

Lain-lain :-
9

2.2.3 Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut

Debris Index Kalkulus Index

16 11 26

0 0 0

46 31 36

0 1 0
DI = 1/6 = 0,2 CI = 0/6= 0

OHI-S = DI+ CI = 0,2 (baik)

Stain (-)

Gingiva : Makula a.r. 12-13

Mukosa Bukal : Teraan gigitan di regio 36-37 dan 46-47

Mukosa Labial : TAK

Palatum durum : TAK

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : Plak putih di 1/3 posterior lidah

Dasar Mulut : TAK

2.2.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang

TDL
10

2.2.5 Diagnosis

RAS sudah sembuh

D/ Linea alba a.r. mukosa bukal gigi 36-37 dan 46-47

DD/ Mursicatio buccarum

D/ Hiperpigmentasi fisiologis a.r. gingiva gigi 12-13

DD/ Smoker melanosis

D/ Coated tongue a.r. 1/3 posterior lidah

DD/ Candidiasis

2.2.6 Rencana Perawatan

Non Farmakologis : Instruksi dan edukasi pola hidup sehat, serta OHI

1. Menjelaskan hasil kontrol dan keadaan mulut pasien

2. Oral Hygine Instruction (OHI)

3. Instrusi kontrol kembali 4 hari kemudian

Gambar 2.4 Hasil kontrol setelah 6 hari pemakaian triamcinolone acetonide 0,1%, tampak RAS
sudah sembuh
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)

3.1.1 Terminologi dan Epidemiologi

Recurrent aphtous stomatitis (RAS) merupakan keadaan patologik yang

ditandai dengan ulser yang berulang, sakit, kecil, ulser bulat atau oval, dikelilingi

oleh pinggiran yang eritematus dengan dasar kuning keabu-abuan (Greenberg dan

Glick, 2008). Ulser ini biasanya terjadi pada mukosa rongga mulut tidak

berkeratin, seperti bibir, pipi, vestibulum, dasar mulut, serta palatum lunak dan

terkadang pada gusi meskipun jarang terjadi (Guallar, et al.,2014). RAS

dikarakteristikkan dengan lesi ulser yang berbentuk bulat atau oval, berdiameter

kurang dari 1 sentimeter, dengan tepi eritem dan jaringan nekrotik di tengahnya.

Ulser ini sering diikuti rasa sakit yang memberikan dampak negatif terhadap

kualitas hidup pasien (Hulling et al, 2012).

Recurrent aphtous stomatitis dapat terjadi selama masa remaja dengan

kecenderungan frekuensi dan tingkat keparahan penyakit ini berkurang seiring

bertambahnya usia. Sekitar 80% pasien dengan kasus RAS, onset penyakit terjadi

ketika mereka memasuki usia dekade ke-2 (Scully, et al., 2008).

3.1.2 Faktor Predisposisi

Etiologi RAS belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat beberapa

faktor yang diketahui sebagai predisposisi munculnya penyakit ini, diantaranya

11
12

adalah genetik, alergi makanan, trauma lokal, gangguan hormonal (berkaitan

dengan siklus menstruasi), stres dan kecemasan, kebiasaan merokok, aktivitas

mikroorganisme, gangguan immunologi, defisiensi nutrisi, penyakit sistemik, dan

obat-obatan (Guallar, et al.,2014).

3.1.2.1 Genetik

Prevalensi terjadinya RAS akan lebih tinggi pada pasien dengan riwayat

keluarga, khususnya kedua orang tua, positif memiliki riwayat RAS. Hal ini

ditunjukan oleh sepertiga pasien yang mengalami RAS memiliki riwayat keluarga

yang positif dengan peningkatan frekuensi tipe histocompatibility antigen atau

HLA spesifik, terutama pada beberapa etnis (HLA-A2, A11, B12, dan DR2)

(Scully, 2008).

3.1.2.2 Alergi makanan

Beberapa jenis makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond,

strawberi, keju, tomat, dan gandum (mengandung gluten) pada beberapa orang

dapat menyebabkan timbulnya RAS. Setelah berkontak dengan beberapa bahan

yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous, disertai rasa panas, kadang-

kadang timbul gatal-gatal, sehingga dapat terbentuk vesikel kecil. Vesikel ini

bersifat sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang

kemudian berkembang menjadi RAS (Pratiknyo dan Hendarmin, 2007).


13

3.1.2.3 Trauma Lokal

Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser pada

pasien RAS (Scully, 2008). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara,

kebiasaan buruk, saat mengunyah, trauma akibat perawatan gigi, mengonsumsi

makanan atau minuman yang terlalu panas, dan trauma akibat penyikatan gigi

(Delong dan Burkhart, 2013; Rajendran, 2009).

3.1.2.4 Faktor Hormonal

Salah satu faktor predisposisi RAS adalah faktor hormonal. Faktor ini lebih

sering terjadi pada wanita berkaitan dengan kadar progesteron yang rendah saat

fase luteal pada siklus menstruasi atau saat pemakaian pil kontrasepsi. RAS juga

dapat terjadi secara temporal saat wanita sedang mengandung (Scully, 2008).

Individu yang memiliki kadar progesteron lebih rendah dari kadar normal

memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena RAS. Efek progesteron terhadap

jaringan periodonsium adalah meningkatkan produksi prostaglandin (self limiting

process), meningkatkan pilomorfonuklear leukosit, mengurangi efek inflamasi

dari glukokortikoid, mengubah sintesis protein kolagen dan nonkolagen serta

metabolism fibroblas, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Pada penderita

RAS dengan kadar progesteron yang rendah, maka polimorfonuklear leukosit dan

permeabilitas vaskuler menurun sehingga jaringan menjadi lebih rentan untuk

terkena infeksi. Hal-hal tersebut diduga dapat menyebabkan lesi RAS yang

muncul secara periodik sesuai siklus menstruasi (Soetiarto, et al., 2009).


14

3.1.2.5 Stres dan Kecemasan

Stres merupakan sebuah keadaan dialami seseorang ketika terdapat sebuah

ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk

mengatasinya (Looker, 2005). Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa

pasien dengan stres tingkat tinggi sering kali ditemukan RAS (Nasution, 2011).

Stres menyebabkan penurunan sistem imun, seperti limfosit, sel-sel

makrofag, sehingga ketika sebelum terjadinya RAS infeksi menjadi lebih mudah

terjadi, dan apabila telah terjadi luka atau ulser RAS penyembuhannya akan

menjadi lebih lama. Penurunan sistem imun dikarenakan stres mempengaruhi

hipotalamus yang akan merangsang korteks adrenal menghasilkan kortisol.

Kortisol inilah yang akan menyebabkan sistem imun menjadi berkurang (Scully,

2013).

3.1.2.6 Aktivitas Mikroorganisme

Streptococcus rongga mulut memiliki peranan penting dalam patogenesis

RAS. Isolat bakteri inisial pada RAS adalah Streptococcus sanguinis, akan tetapi

analisis terbaru mengungkapkan bahwa bakteri yang berperan dalam RAS adalah

strain Streptococcus mitis. Analisis lain juga mengatakan bahwa adenovirus juga

dapat menyebabkan terjadinya RAS akan tetapi perlu konfirmasi lebih lanjut

untuk hal ini (Jurge, et al., 2006).


15

3.1.2.7 Gangguan Immunologi

Terdapat penelitian yang membuktikan hubungan antara disfungsi

imunitas lokal dengan RAS. Selama 30 tahun terakhir, penelitian menemukan

hubungan antara RAS dengan lymphocytotoxicity, defek atau kerusakan

subpopulasi sel limfosit, dan perubahan ratio limfosit CD4 hingga CD8. Penelitian

terakhir telah terfokus pada disfungsi interaksi antara sitokin dengan mukosa yang

dihubungkan dengan RAS. Suatu kondisi yang abnormal dari limfosit akan

mengakibatkan lisis atau rusaknya lapisan keratin oleh sitokin sehingga dapat

menimbulkan ulserasi yang terlokalisir pada mukosa (Greenberg dan Glick,

2008).

3.1.2.8 Defisiensi Nutrisi

Faktor nutrisi yang berpengaruh pada RAS adalah zat besi, vit. B12, dan

asam folat. Pada penelitian, pasien RAS yang diterapi dengan sediaan zat besi,

vitamin B12, dan asam folat menunjukkan adanya perbaikan. Faktor nutrisi lain

yang penting adalah vitamin B1, B2, dan B6. Terapi dengan pemberian vitamin

tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh

dan rekuren berkurang (Nisa, 2011).

3.1.2.9 Penyakit Sistemik

Diagnosa RAS tidak jarang dihubungkan dengan ulser-ulser serupa

(apthous-like ulcers atau ALU) yang dapat terlihat pada pasien yang memiliki

penyakit sistemik. Penggalian informasi mengenai riwayat penyakit dan penilaian


16

secara keseluruhan harus dilakukan terhadap beberapa penyakit yang terjadi pada

cutaneous, gastrointestinal, genital, ocular, masalah sendi serta riwayat demam.

Penyakit-penyakit tersebut dapat berupa:

1. Defisiensi imun seperti HIV, neutropenial siklik, dan defek imun lainnya.

2. Behcet Syndrome, dimana ulser terdapat pada rongga mulut juga organ

genital.

3. Penyakit coeliac atau celiac, dimana sekitar 3% pasien dengan ulser

rongga mulut yang rekuren mengidap celiac (alergi terhadap gluten yang

terdapat pada tepung). Penyakit ini merupakan kondisi autoimun di mana

sistem imun tubuh salah mengenali senyawa yang terkandung di dalam

gluten dan menganggapnya sebagai ancaman bagi tubuh. Maka sistem

kekebalan tubuh menyerangnya dan akhirnya mengenai jaringan tubuh

yang sehat.

4. Penyakit crohn (Crohn disease), dimana ulser terlihat dengan terdapat

kondisi enteropati atau penyakit pada saluran pencernaan khususnya pada

usus kecil yang menyebabkan protein tidak dapat diserap oleh tubuh.

5. Kondisi autoinflammatory seperti demam yang periodik, sindrom

faringitis dan servikal adenitis (PFAPA) yang sering terjadi pada anak-

anak.

6. Sweet Syndrome, yaitu kondisi dimana terdapat ulser pada rongga mulut

disertai konjungtivitis, episkleritis, dan nodul atau papula pada kulit.

7. Pengguna obat-obatan, khususnya NSAID dan nicorandil.


17

3.1.2.10 Obat-obatan

Beberapa jenis obat seperti obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti

asam propionat, asam fenilasetik, dan diklofenak dapat memicu terjadinya ulser di

rongga mulut. Beberapa ulser biasanya terjadi sebagai efek samping dan dapat

menghilang dengan menghentikan penggunaan obat-obatan tersebut. Frekuensi

RAS juga dapat meningkat pada penggunaan sodium lauryl sulfate yang

terkandung pada pasta gigi (Swain et al, 2012).

3.1.3 Patofisiologi

Recurrent aphtous stomatitis pertama kali terjadi selama dekade kedua

kehidupan dan dapat dipercepat oleh trauma minor, menstruasi, infeksi saluran

pernapasan atas, dan kontak dengan makanan. Lesi terbentuk pada mukosa rongga

mulut dan dimulai dengan adanya predromal burning 2-48 jam sebelum ulser

muncul. Selama periode inisial ini, terbentuk area eritem yang terlokalisasi.

Selama beberapa jam, terbentuk papula kecil berwarna putih, kemudian berubah

menjadi ulser dan membesar lebih dari 48-72 jam (Greenberg dan Glick, 2008).

3.1.4 Gambaran Klinis

Karakteristik ulser pada RAS adalah berbatas jelas, simetris, terasa sakit,

kedalamannya dangkal, berbentuk bulat atau oval, bagian tengahnya ditutupi

dengan pseudomembran berwarna kuning keabuan, dan dikelilingi dengan tepi

yang menonjol serta halo eritem (Scully, et al.,2003).


18

Recurrent aphtous stomatitis diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu

minor aphtae ulcer, major aphtae ulcer, dan ulser herpetiform (Scully, et al.,

2003).

3.1.4.1 Minor aphtae ulcer

Ulser aftosa minor (Minor aphtae ulcer) dikenal juga sebagai Miculiz

aphthous atau ulser aftosa ringan. Ulser ini merupakan jenis RAS yang paling

sering terjadi, yaitu 75-85% dari seluruh kasus (Scully, 2013). Minor aphtae ulcer

dapat terjadi pada seluruh mukosa yang tidak berkeratin (mukosa bibir, mukosa

bukal, dasar lidah, vestibulum, dan permukaan ventral atau lateral lidah). Ukuran

lesi ini kurang dari 1 cm (biasanya 2-4 mm), berbentuk bulat atau ovoid, dan

banyaknya ulser berjumlah 1-6 buah pada saat kambuh. Pada awalnya dasar ulser

ditutupi oleh selaput berwarna kekuningan yang dikelilingi halo eritematus dan

odema, akan tetapi selaput tersebut akan berubah warna menjadi keabu-abuan

ketika proses epitelisasi terjadi, dapat sembuh 7-10 hari dengan sedikit

meninggalkan jaringan parut atau tidak sama sekali. Interval untuk terjadinya

rekurensi berkisar 1-4 bulan (Scully, 2008).


19

Gambar 3.1 Ulser aftosa minor (Scully and Felix, 2005)

3.1.4.2 Major aphtae ulcer

Ulser aftosa mayor (Major aphtae ulcer) dikenal juga sebagai Sutton

aphthous atau periadenitis mucosa necrotica recurrens. Ulser jenis ini

mempunyai durasi lebih lama dan lebih menyakitkan dibandingkan ulser minor.

Major aphtae ulcer biasanya muncul setelah masa pubertas dan insidensinya

sekitar 10-15% kasus. Karakteristiknya berbentuk bulat atau ovoid dengan batas

yang jelas, lebih dalam dan lebih besar daripada minor aphtae. RAS tipe ini dapat

berkembang menjadi ulser dengan batas yang ireguler dan membesar hingga 1

cm, terasa nyeri, dan dapat terjadi pada bibir, palatum lunak, dan tenggorokan.

Ulser dapat bertahan dalam hitungan minggu atau bulan dan meninggalkan

jaringan parut setelah proses penyembuhan. Demam, disfagia, serta rasa lemas

terkadang mengiringi proses permulaan penyakit (Scully, 2013).


20

Gambar 3.2 Ulser aftosa mayor (Scully and Felix, 2005)

3.1.4.3 Ulser Herpetiform

Ulser herpetiform hanya terjadi 5-10% dari total kasus RAS dan jarang

terjadi. Karakteristiknya adalah ulser yang multipel (5-100 buah), berukuran 1-3

mm, bulat, dan terasa nyeri. Ulser jenis ini dapat terjadi di seluruh mukosa rongga

mulut, baik yang berkeratin ataupun tidak. Ulser diawali dengan vesikel yang

berkembang cepat menjadi beberapa ulser kecil seukuran jarum (1-3 mm),

menyebar, dan dapat menyatu sehingga mengalami peningkatan ukuran dan

menjadi ulser besar yang bulat tidak beraturan. Ulser ini dapat sembuh dalam 10

hari atau lebih, tanpa meninggalkan jaringan parut, sering menimbulkan rasa sakit,

dan berulang. RAS jenis ini lebih sering terjadi pada wanita (Scully, et al.,2013).
21

Gambar 3.3 Ulser herpetiform (Scully, et al.,2013)

3.1.5 Diagnosa

Diagnosa RAS ditegakan berdasarkan anamnesis dan temuan klinis. Pada

saat anamnesis operator harus menggali informasi tentang ada atau tidaknya

kalainan darah, kelainan sistemik, dan ada atau tidak adanya lesi pada daerah lain,

seperti kulit, mata, genital, atau rektal. Pemeriksaan laboratorium diperlukan saat

ulser bertambah parah atau terjadi setelah umur 25 tahun. Biopsi hanya

diindikasikan apabila dicurigai adanya penyakit lain (Greenberg dan Glick, 2008).

Dokter gigi harus mencari tahu faktor yang dapat berkaitan dengan

timbulnya RAS jenis minor aphtae yang parah atau major aphtae, seperti penyakit

jaringan ikat, kadar serum zat besi, folat, vitamin B12, dan ferritin yang abnormal.

Pasien dengan kelaianan seperti di atas harus dirujuk ke spesialis penyakit dalam

untuk diberikan penanganan lebih lanjut. Operator juga harus selalu waspada

terhadap beberapa bentuk penyakit yang berkaitan dengan timbulnya RAS seperti

alergi makanan, sensitive terhadap makanan yang mengandung gluten, atau HIV

(Greenberg dan Glick, 2008).


22

3.1.6 Diagnosa Banding

3.1.6.1 Ulser traumatik

Ulser traumatik dapat disebabkan oleh trauma fisik, termal, ataupun kimia.

Ulser yang dihasilkan dari luka traumatik merupakan tipe ulser yang paling sering

ditemukan di klinik. Ketidak sengajaan tergigit saat mengunyah makanan ataupun

tertusuk makanan yang tajam seperti duri ikan dapat menyebabkan ulser traumatik

yang akut. Pada umumnya ulser akan sembuh dalam beberapa hari tanpa

komplikasi. Namun, trauma yang terus menerus dari tepi gigi yang tajam,

restorasi ataupun gigi tiruan yang tidak beradaptasi dengan baik dapat

menyebabkan ulser yang kronis sehingga perlu penanganan lebih lanjut pada gigi

atau tambalan tersebut (Anura,2014).

Berdasarkan dua penelitian kohort di Thailand dan Malaysia dapat

dilaporkan bahwa prevalensi ulser traumatik sebesar 13,2% dan 12,4%. Pada

penelitian lain menyebutkan bahwa 15.6% dari populasi penelitian dengan gigi

tiruan yang buruk, restorasi yang fraktur, dan tepi gigi yang tajam dapat

mengalami ulser traumatic (Anura,2014).

Ulser traumatik kronik biasa ditemukan pada mukosa yang sering terkena

trauma karena gigitam seperti mukosa bukal, tepi lateral lidah, atau bibir. Lesi

pada area lain termasuk mucobuccal fold dan gingiva biasanya disertai dengan

sumber iritasi lain seperti trauma saat menggosok gigi ataupun terkena makanan

(Anura,2014).

Tampilan klinis ulser traumatik adalah soliter, bisa dangkal ataupun dalam

disertai dengan variasi derajat keratosis peripheral. Dasar ulser ditutupi oleh
23

gumpalan fibrin berwarna putih atau kekuningan. Ulser yang dihasilkan dari

trauma berulang dapat bergejala ataupun tidak, umumnya ditandai dengan

peninggian tepi ulser yang teraba saat palpasi. Ulser dapat sembuh dengan

meninggalkan atau tidak meninggalkan bekas tergantung dari besarnya keparahan

yang terjadi (Anura,2014).

Gambar 3.4 Ulser traumatik pada lateral lidah. Ulser ditandai dengan adanya eritema dan dasar
ulser yang ditutupi gumpalan fibrin berwarna kuning dengan ketebalan yang bervariasi, dan
sekeliling ulser terdapat hiperkeratosis (Wood, 2014)

3.1.6.2 Infeksi Herpes Simplex Rekuren

Infeksi herpes rekuren di rongga mulut (herpes labialis rekuren; infeksi

herpes simplex intraoral rekuren) terjadi pada pasien dengan riwayat infeksi

herpes simplex dan memiliki serum antibodi proteksi untuk melawan infeksi

primer eksogen. Pada orang yang sehat, infeksi rekuren ini terlokalisasi pada kulit

dan membran mukosa. Herpes rekuren bukanlah suatu reinfeksi melainkan

aktivasi berulang dari virus yang laten pada jaringan saraf antara episode pada

tahap non replikasi. Herpes rekuren dapat diaktivasi ketika terdapat trauma pada

bibir, demam, kulit terbakar, imunosupresi, dan menstruasi. Virus akan berjalan
24

dari batang saraf dan menginfaksi sel epitel, meluas dari satu sel ke sel lainnya

menyebabkan lesi (Greenberg dan Glick, 2008).

Beberapa penelitian mengatakan, mekanisme reaktivasi virus herpes

simplex (HSV) laten disebabkan oleh rendahnya serum Ig A, menurunnya sel

perantara imun, menurunnya aktivitas salivasi anti herpes, rendahnya ADCC

(antibody- dependent cell- mediated cytotoxicity) dan interleukin-2 disebabkan

oleh prostaglandin yang dihasilkan di kulit. Individu dengan defisiensi limfosit T

pada penderita AIDS atau transplantasi serta kemoterapi kanker dapat membentuk

lesi kronik yang lebih besar (Greenberg dan Glick, 2008).

3.1.6.2.1 Manifestasi Klinik

Rekuren herpes labialis (RHL) biasa ditandai dengan cold sore atau

fever blister, timbulnya penyakit ini dapat dipercepat dengan adanya demam,

menstruasi, cahaya ultraviolet, dan stress emosional. Lesi didahului dengan masa

prodromal, yaitu adanya rasa seperti tersengat atau terbakar, disertai juga dengan

edema pada daerah lesi, diikuti dengan pembentukan sekelompok vesikel kecil.

Setiap vesikel berukuran 1-3 mm dan setiap kelompok vesikel memiliki diameter

1-2 cm (Greenberg dan Glick, 2008).

Lesi herpes simplex intraoral rekuren pada pasien normal tampilannya

sama seperti pada lesi RHL, akan tetapi vesikel pecah lebih cepat untuk

membentuk ulser. Lesi terdiri atas sekelompok vesikel kecil berukuran 1-2 mm,

terjadi pada mukosa berkeratin seperti gingival, palatum, dan alveolar ridge,

walaupun kadang dapat juga ditemukan pada mukosa lainnya. Perbedaan RHL
25

dengan RAS ialah lesi RAS dapat berkembang menjadi lesi yang lebih besar dan

biasa ditemukan pada permukaan mukosa dengan keratin rendah seperti mukosa

bukal, labial, dan dasar lidah (Greenberg dan Glick, 2008).

(a) (b)
Gambar 3.5 Lesi herpetik gingivostomatitis primer yang disebabkan oleh HSV tipe 1 (a) ulser
pada mukosa labial rahang bawah disertai krusta pada rahang atas (b) ulser pada mukosa rahang
bawah dan lidah. Keduanya menunjukan adanya inflamasi pada gingiva (Usatine dan Tinitigan,
2010)

(a) (b)
Gambar 3.6 Lesi herpes simplex labialis (a) ulser yang terbentuk akibat vesikel yang pecah (b)
lesi rekuren herpes simplex tipe 1 pada stase krusta di tepi vermilion bibir (Usatine dan Tinitigan,
2010)

3.1.6.3 Behcet’s Syndrome

Behcet’s syndrome digambarkan sebagai trias gejala yang meliputi

ulser oral rekuren, ulser genital rekuren, dan lesi mata. Behcet’s syndrome

disebabkan oleh imunokompleks yang mengarah pada vasculitis dari


26

pembuluh darah kecil dan sedang dan inflamasi dari epitel yang disebabkan

oleh limfosit T dan plasma sel yang imunokompeten. Ulser oral rekuren

muncul pada lebih dari 90% pasien; lesi ini tidak dapat dibedakan dari RAS.

Perawatan Behçet’s syndrome tergantung pada keparahan dan area yang

terkena. Lesi oral dapat ditangani dengan steroid topikal atau intralesional

seperti pada kasus RAS.

Yang dapat membedakan lesi ulser RAS dan lesi ulser Behcet’s

syndrome adalah keberadaan lesi ulser pada daerah genital dan lesi pada mata

yang hanya terjadi pada Behcet’s syndrome.

Gambar 3.7 Gambaran lesi ulser mukosa oral pada Behcet’s syndrome (Scully, 2013)

3.1.7 Terapi

Tujuan terapi adalah untuk menurunkan gejala, mengurangi jumlah dan

ukuran ulser, serta meningkatkan periode bebas ulser. Pada pasien dengan RAS

harus diketahui terlebih dahulu faktor predisposisi penyakit, sehingga penanganan

penyakit dapat sesuai, sebelum memberikan terapi lain yang spesifik. Obat yang
27

dapat mengurangi keparahan dan durasi ulser RAS diantaranya obat kumur

klorheksidin glukonat dan kortikosteroid topikal (Scully, 2013).

Terapi RAS harus disesuaikan dengan tingkat keparahannya. Pada kasus

ringan dengan 2-3 buah ulser kecil dapat menggunakan obat pereda rasa sakit

protektif seperti orabase (Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila

Pharmaceutions, Phoenix, AZ). Pereda nyeri pada lesi minor pun dapat diterapi

dengan agen anestesi topikal atau diclofenac topikal, yaitu NSAID yang sering

dipakai secara topikal setelah operasi mata (Greenberg dan Glick, 2008)

Pada kasus yang lebih parah dapat diterapi dengan topikal steroid berpotensi

tinggi seperti fluocinonide, betamethason, atau clobetasol. Gel obat diaplikasikan

langsung pada lesi setelah makan dan sebelum tidur, 2-3 kali sehari. Pada lesi

yang besar dapat menggunakan gauze sponge yang mengandung steroid topikal,

diletakan di atas ulser, biarkan 15-30 menit. Obat lainnya yang diketahui dapat

mempercepat waktu penyembuhan adalah pasta amlexanox dan topikal

tetracycline (Greenberg dan Glick, 2008).

Pada kasus RAS mayor dapat diterapi dengan colchicines, pentoxifylline,

dapsone, dan thalidomide. Meskipun obat-obat tersebut efektif mengurangi

jumlah ulser, operator harus tetap memperhatikan indikasi dan kontraindikasi dari

setiap obat. Thalidomide tidak boleh diberikan kepada wanita yang sedang hamil

muda karena dapat mengancam nyawa dan menyebabkan cacat lahir. Selain itu,

efek samping obat ini adalah neuropati, gangguan pencernaan, dan mengantuk

(Greenberg dan Glick, 2008).


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien wanita berusia 23 tahun datang ke bagian Ilmu

Penyakit Mulut RSGM Unpad didiagnosis menderita Recurrent aphthous

stomatitis (RAS). Berdasarkan anamnesis, pasien mengaku sering merasakan sakit

ketika dipakai untuk mengunyah makanan, berbicara terlalu cepat, dan saat

terkena lidah. Pasien sering mengalami sariawan kira-kira satu bulan sekali

setelah menstruasi. Pasien juga jarang makan sayur dan buah, serta jarang

meminum air putih.

Hasil pemeriksaan ekstraoral tidak terdapat kelainan, sedangkan hasil

pemeriksaan intraoral, ditemukan satu lesi ulser pada gingiva lingual gigi 43

berbentuk ovoid, berwarna putih, dangkal, regular, dikelilingi tepi kemerahan, dan

berdiameter 2 mm. RAS pada pasien ini merupakan RAS tipe minor, karena

diameternya yang kurang dari 1 cm, dasar ulser dangkal, dan sembuh tanpa

meninggalkan bekas luka.

Reccurent Apthous Stomatitis memiliki beberapa diagnosis banding yaitu

ulser traumatik, sindrom Behcet, infeksi Herpes Simpleks Virus. Pada kasus ini,

ulser ini bukan merupakan ulser traumatic karena ulser traumatik biasanya

ditemukan pada mukosa yang sering terkena trauma gigitan seperti mukosa bukal,

tepi lateral lidah, atau bibir. Sindrom Behcet memiliki trias gejala, yaitu ulser pada

mulut, uveitis, dan ulser pada daerah genital. Pada kasus ini tidak ditemukan

uveitis dan ulser pada daerah genital, sehingga ulser pada pasien ini bukan

28
29

merupakan gejala dari sindrom Behcet. Ulser pada mukosa oral yang merupakan

manifestasi infeksi Herpes Simpleks Virus merupakan vesikel yang kemudian

ruptur, disertai dengan rasa sakit seperti terbakar dan gatal. Umumnya lesi

herpetik ditemukan pada mukosa mulut berkeratin seperti gingival, palatum, dan

alveolar ridge. Selain itu, ditemukan pula krusta pada vermilion bibir. Pada kasus

ini tidak terdapat vesikel dan krusta pada pasien, sehingga ulser pada pasien ini

juga bukan merupakan manifestasi dari infeksi Herpes Simpleks Virus.

Menurut beberapa literatur, penyebab RAS belum diketahui secara pasti

akan tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu timbulnya

RAS. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, dapat diduga faktor predisposisi yang

menimbulkan RAS pada kasus ini adalah defisiensi nutrisi serta faktor hormonal

yaitu menstruasi.

Faktor nutrisi yang berpengaruh pada RAS adalah zat besi, vit. B, dan

asam folat. Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2, B6, B12)

kemungkinan dua kali lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat.

Pada penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan SAR dengan menurunnya

asupan makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1. Pada penelitian lain,

pasien RAS yang diterapi dengan sediaan zat besi, vitamin B12, dan asam folat

menunjukkan adanya perbaikan. Mekanisme kerja asam folat didalam tubuh ialah

mensintesis purin dan timin yang dibutuhkan untuk pembentukan DNA. Hal ini

dapat menjelaskan fungsi penting dari asam folat untuk menunjang pertumbuhan.

Sama halnya dengan asam folat, vitamin B12 memiliki fungsi untuk

meningkatkan pertumbuhan serta pembentukan dan pematangan sel darah merah.


30

Jika kedua zat gizi tersebut kurang, dapat menyebabkan abnormalitas dan

pengurangan DNA dan akibatnya adalah kegagalan pematangan inti dan

pembelahan sel.

Menstruasi menyebabkan penurunan hormon estrogen yang

mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke

perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga

mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang

berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga

mudah terjadi RAS.

Perawatan yang diberikan pada pasien adalah pemberian Triamcynolone

acetonide 0,1%. Kortikosteroid topikal ini diberikan karena mempunyai efek

antiinflamasi yang bekerja dengan menekan migrasi neutrophil, mengurangi

produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula

tinggi. Triamcynolone acetonie merupakan kortikosteriod topikal yang

diaplikasikan tiga kali sehari. Selain itu, pasien juga diinstruksikan untuk

memperbanyak konsumsi sayur dan buah, meminum banyak air putih, juga

memperbaiki kebersihan mulut dengan sikat gigi dua kali sehari dan membiasakan

untuk sikat lidah. Perawatan yang diberikan pada pasien tersebut adalah bertujuan

untuk perawatan simptomatik yaitu menghilangkan gejala pasien sehingga pasien

merasa lebih baik.

Pada kontrol hari ke-10 sejak timbulnya ulser, ulser tersebut sembuh

secara sempurna. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa

waktu penyembuhan sendiri (self limiting desease) RAS berkisar antara 7-14 hari.
BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan klinis, pasien didiagnosa

menderita RAS. RAS yang dialami pasien berasal dari faktor hormonal dan

defisiensi nutrisi. Pasien mengaku bahwa setiap bulan setelah menstruasi akan

mendapatkan sariawan. Selain itu pasien juga sangat jarang mengkonsumsi buah

dan sayur. Hal ini sesuai dengan faktor predisposisi RAS yaitu adanya faktor

hormonal dan defisiensi nutrisi.

Terapi diberikan melalui dua pendekatan, yaitu non farmakologis dan

farmakologis. Pada pendekatan non farmakologis, operator melakukan

komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien mengenai penyakitnya,

kemudian pasien diinstruksikan untuk selalu menjaga kebersihan rongga mulut,

meningkatkan konsumsi air putih, sayur, dan buah, serta kontrol 7 hari kemudian.

Sedangkan secara farmakologis, pasien diinstruksikan untuk menggunakan obat

oles triamcinolone dengan cara dioleskan pada daerah luka tersebut 3 kali dalam

sehari.

31
DAFTAR PUSTAKA

Anura, A. 2014. Traumatic oral mucosal lesions: a mini review and clinical
update. OHDM - Vol. 13 - No. 2 - June, 2014. School of Medicine and
Dentistry, James Cook University: Australia.

Delong, L. dan N. Burkhart. 2013.General and Oral Pathology for The Dental
Hygienist 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Greenberg, M.S. and M, Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 11th ed. United States: BC Decker Inc.

Guallar, I. B., et.al. 2014. Treatment of recurrent aphthous stomatitis. A literature


review. J. Clin Exp Dent. 6 (2): 168-174 pp.

Guyton, A.C. & J.E. Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC:
Jakarta.

Jurge, S., et al. 2006. Recurrent aphthous stomatitis. Blackwell Munksgaard: UK.

Nasution, H. 2011. Gambaran coping stress pada wanita madya dalam


menghadapi pramenopause. Skripsi pada fakultas psikologi, Universitas
Sumatera Utara: Medan.

Nisa, R. 2011. Stomatitis aftosa rekuren (sar) yang dipicu oleh stress pada
mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi pada
fakultas kedokteran gigi, Universitas Sumatera Utara: Medan.

Pratiknyo M, Hendarmin S. 2007. Aspek Klinik dan Penanggulangan Penyakit


Alergi (Clinical Aspect and Treatment of Allergy). Jakarta: Jurnal PDGI,
Vol. 57 No. 3; 77-81.

Rajendran. 2009. Shafers Textbook of Oral Patology. Delhi: Elsevier.

Rakhmayanthie, N. 2013. Gambaran keilitis angularis yang berkaitan dengan


tingkat asupan gizi pada anak panti asuhan usia 6-18 tahun. Universitas
Padjadjaran. Bandung.

Scully, C., et al. 2003. The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis. A consensus approach. JADA, vol 134.

32
33

Scully, C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and
Treatment 2nd ed. Elsevier: Philadelphia.

Setijanto, E. 2005. Hubungan antara kadar kortisol serum, kuantitas neutrofil


segmen, dan infiltrasi anestetik lokal levobupivakain pada penyembuhan
luka tikus waster. Universitas Diponegoro: Semarang.

Soetiarto, F., et al. 2009. Hubungan antara recurrent aphthae stomatitis dan kadar
hormon reproduksi wanita. Bul. Penelit. Kesehat. Vol . 37, no. 2, 79-86.
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.

Suganda, K.D. 2014. Tingkat stres pada mahasiswa tahun pertama Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2013. Medan.

Sukadiyanto. 2010. Stress dan cara menguranginya. Cakrawala pendidikan,


Th.XXIX no 1. FIK Universitas Negeri Yogyakarta.

Usatine, R.P. dan R. Tinitigan. 2010. Nongenital herpes simplex virus. University
of Texas Health Science Center, San Antonio, Texas.

Wood, M. 2014. Diagnosis and Management of Oral Lesions and Conditions: A


Resource Handbook fot The Clinician.
http://www.intechopen.com/books/diagnosis-and-management-of-oral-
lesions-and-conditions-a-resource-handbook-for-the-clinician/benign-
inflammatory-lesions-conditions-of-oral-mucous-membranes.

Anda mungkin juga menyukai